Oleh: Adela Eka Putra Marza
Keputusan Presiden Nomor 25 yang ditandatangani Presiden BJ Habibie pada 29 Maret 1999 lalu menjadi bukti sejarah penetapan tanggal 30 Maret sebagai Hari Film Nasional.
Pertimbangan para tokoh perfilman nasional mengusulkan tanggal ini, sebab pada 30 Maret 1950 untuk pertama kalinya diproduksi film Indonesia yang semuanya dibuat oleh warga pribumi dan perusahaan film pribumi. Judulnya "Darah dan Doa", sebuah film yang bercerita tentang perjalanan pasukan Siliwangi,
Namun sebenarnya, sejarah pembuatan film cerita di
Film cerita yang pertama kali dibuat di negeri ini berjudul Loetoeng Kasaroeng yang masih berupa film bisu. Pemainnya adalah orang-orang pribumi, sedangkan sutradaranya dua orang Belanda; G Krugers dan L Heuveldorf. Saat itu, penduduk Hindia Belanda khususnya warga Batavia, sejak penghujung tahun 1900 sudah tidak asing lagi dengan pemutaran film yang dulu dikenal dengan sebutan "gambar idoep" ini.
"Kebangkitan" Film
Jumlah yang terbilang besar mengingat saat itu industri perfilman
Akhirnya, harapan untuk melihat kebangkitan kembali industri film
Hingga di penghujung era 2000-an, tepatnya pada 2008 dan 2009, dunia film
Hantu Mesum Laris Manis
Dunia perfilman nasional memang telah bangun dari tidur panjangnya. Konspirasi ini ditandai dengan munculnya optimisme insan muda film dalam berkarya. "Gembar-gembor" promosi film nasional di berbagai media
Namun, kebangkitan itu ternyata tak teruji secara kualitas; meski secara kuantitas hampir setiap bulan ada film nasional baru yang muncul di bioskop. Coba lihat di bioskop-bioskop besar di negeri ini; sederetan poster film-film nasional bergenre horor menjadi sajian utama. Ternyata hantu, kuntilanak, genderuwo, pocong dan kawan-kawannya laris "dikontrak" menjadi bintang film.
Beberapa judul film seperti Hantu Jeruk Purut, Hantu Kereta Api Manggarai, Suster Ngesot, dan Mati Kemaren (Tiren), penah menghiasi layar lebar di Indonesia. Malah sudah menjadi tren bagi perusahaan-perusahaan film dalam negeri untuk berlomba-lomba memproduksi film horor, yang menurut saya (maaf) sama sekali tidak berkualitas. Bahkan, artis-artis tak laku pun bisa menjadi kaya raya dari industri film horor di Tanah Air.
Parahnya lagi, mayoritas "film hantu" itu didominasi oleh adegan-adegan "panas" dan vulgar layaknya film porno. Sebut saja, Hantu Jamu Gendong, Diperkosa Setan, Kain Kafan Perawan, Tali Pocong Perawan, hingga Paku Kuntilanak. Judulnya saja film horor, tapi tayangannya benar-benar tidak mendidik. Dari posternya saja, sudah jelas bagaimana akting para bintang-bintang "hantu mesum" tersebut (mungkin lebih tepat dibilang seperti itu).
Awal 2010, barisan "film hantu"
Hantu Dendam Pocong Mupeng yang baru beberapa hari ini rilis di bioskop, juga tak jauh berbeda. Setelah sempat dicekal oleh Lembaga Sensor Film akibat adegan mesum Andi Soraya di dalam film tersebut, ternyata film ini akhirnya bisa meluncur juga ke hadapan pemirsa. Hanya judulnya saja yang diganti, dari semula berjudul Hantu Puncak Datang Bulan.
Lembaga Sensor Film(?)
Lalu mau dibawa kemana film-film ini? Film nasional saat sepertinya sudah kehilangan jati diri. Bisa dihitung dengan jari sebelah tangan film-film
Jaring-jaring kapitalisme semakin menggiring para insan perfilman nasional pada penjualan idealisme diri. Mereka hanya terfokus pada "kocek" berlipat-lipat yang bisa dihasilkan. Sedangkan, para penonton dianggap hanyalah robot-robot tak berjiwa yang akan menelan semua ide-ide kontradiktif mereka, tanpa memikirkan imbasnya di masa mendatang. Kekuasaan pasar yang mutlak para insan film tunduk pada ideologi pasar demi kuntungan besar.
Sangat miris sekali melihatnya. Harapan saat ini hanya terletak di bahu Lembaga Sensor Film (LSF). Tumbuh bak jamurnya film-film di negeri ini hanya bisa ditahan oleg LSF sebagai satu-satunya lembaga yang bisa mengontrol perfilman nasional. Jangan pernah lagi berpikir untuk menghilangkan lembagai ini. Masih ada saja LSF, film-film
Malah seharusnya peran lembaga ini diperkuat. Kreativitas para insan film tidak akan terpotong oleh LSF, jika mereka benar-benar menjual "kreativitas positif" di dalam karya-karayanya. Jika kreativitas yang dijual adalah akting-akting para "hantu mesum" seperti yang ada dalam film horor
* Dimuat di Harian Analisa, Medan (Rabu, 31 Maret 2010)
Source:
http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=49516:hantu-qgentayangiq-film-nasional&catid=78:umum&Itemid=131