------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Rabu, Maret 31, 2010

Hantu "Gentayangi" Film Nasional

Oleh: Adela Eka Putra Marza


Keputusan Presiden Nomor 25 yang ditandatangani Presiden BJ Habibie pada 29 Maret 1999 lalu menjadi bukti sejarah penetapan tanggal 30 Maret sebagai Hari Film Nasional.


Pertimbangan para tokoh perfilman nasional mengusulkan tanggal ini, sebab pada 30 Maret 1950 untuk pertama kalinya diproduksi film Indonesia yang semuanya dibuat oleh warga pribumi dan perusahaan film pribumi. Judulnya "Darah dan Doa", sebuah film yang bercerita tentang perjalanan pasukan Siliwangi, Bandung.


Namun sebenarnya, sejarah pembuatan film cerita di Indonesia yang dulunya bernama Hindia Belanda sudah dimulai sejak 1926. Bahkan sampai 1942, industri film lokal sudah cukup berkembang, meskipun masih kalah bersaing dengan film-film asing terutama dari Amerika. Pada masa itu, para pemilik perusahaan-perusahan film lokal adalah orang-orang Cina dan Belanda.


Film cerita yang pertama kali dibuat di negeri ini berjudul Loetoeng Kasaroeng yang masih berupa film bisu. Pemainnya adalah orang-orang pribumi, sedangkan sutradaranya dua orang Belanda; G Krugers dan L Heuveldorf. Saat itu, penduduk Hindia Belanda khususnya warga Batavia, sejak penghujung tahun 1900 sudah tidak asing lagi dengan pemutaran film yang dulu dikenal dengan sebutan "gambar idoep" ini.


"Kebangkitan" Film Indonesia

Itulah tonggak dimulainya sejarah perfilman nasional. Seiring perjalanan waktu dari masa ke masa, perjalanan perfilman nasional juga mengalami pasang surut. Film musikal Petualangan Sherina yang hadir di tahun 1999 sempat menerbitkan kembali gairah industri perfilman Indonesia yang sempat "lesu" di era 90-an. Petualangan Sherina yang digarap oleh sutradara Riri Riza itu mampu meraup sekitar 1,6 juta penonton.


Jumlah yang terbilang besar mengingat saat itu industri perfilman Indonesia sedang berada di titik nadir, karena semakin ketatnya aturan perundang-undang perfilman yang diberlakukan pemerintah Indonesia rezim Orde Baru. Apalagi ditambah dengan kemunculan stasiun-stasiun televisi swasta dan invasi film-film Hollywood melalui bendera 21 Cineplex yang membuat film nasional semakin terpuruk.


Akhirnya, harapan untuk melihat kebangkitan kembali industri film Indonesia menjadi kenyataan. Pasca kesuksesan film Petualangan Sherina, muncul berbagai film yang mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat Indonesia, bahkan juga dunia luar. Sebuat saja beberapa di antaranya yang cukup fenomenal, film remaja Ada Apa Dengan Cinta dan film bergenre horor Jelankung.


Hingga di penghujung era 2000-an, tepatnya pada 2008 dan 2009, dunia film Indonesia kembali menorehkan sejarah dan berbagai rekor dengan kahdiran film Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi. Kemudian disusul dengan film Ketika Cinta Bertasbih dan Sang Pemimpi di akhir 2009. Film dari karya-karya novelis Habiburrahman El-Shirazy dan Andrea Hirata itu mendapat sambutan hangat dari pemirsa film nasinonal.


Hantu Mesum Laris Manis

Dunia perfilman nasional memang telah bangun dari tidur panjangnya. Konspirasi ini ditandai dengan munculnya optimisme insan muda film dalam berkarya. "Gembar-gembor" promosi film nasional di berbagai media massa sangat menyejukkan hati bangsa Indonesia yang tengah merasa frustasi dan terpuruk oleh kondisi saat ini. Mungkin hanya dunia filmlah yang akan mampu membanggakan hati masyarakat yang sedang mengalami krisis identitas, status, dan kepercayaan diri sebagai bangsa Indonesia.


Namun, kebangkitan itu ternyata tak teruji secara kualitas; meski secara kuantitas hampir setiap bulan ada film nasional baru yang muncul di bioskop. Coba lihat di bioskop-bioskop besar di negeri ini; sederetan poster film-film nasional bergenre horor menjadi sajian utama. Ternyata hantu, kuntilanak, genderuwo, pocong dan kawan-kawannya laris "dikontrak" menjadi bintang film.


Beberapa judul film seperti Hantu Jeruk Purut, Hantu Kereta Api Manggarai, Suster Ngesot, dan Mati Kemaren (Tiren), penah menghiasi layar lebar di Indonesia. Malah sudah menjadi tren bagi perusahaan-perusahaan film dalam negeri untuk berlomba-lomba memproduksi film horor, yang menurut saya (maaf) sama sekali tidak berkualitas. Bahkan, artis-artis tak laku pun bisa menjadi kaya raya dari industri film horor di Tanah Air.


Parahnya lagi, mayoritas "film hantu" itu didominasi oleh adegan-adegan "panas" dan vulgar layaknya film porno. Sebut saja, Hantu Jamu Gendong, Diperkosa Setan, Kain Kafan Perawan, Tali Pocong Perawan, hingga Paku Kuntilanak. Judulnya saja film horor, tapi tayangannya benar-benar tidak mendidik. Dari posternya saja, sudah jelas bagaimana akting para bintang-bintang "hantu mesum" tersebut (mungkin lebih tepat dibilang seperti itu).


Awal 2010, barisan "film hantu" Indonesia diramaikan lagi oleh film Suster Keramas. Film yang katanya sang produser dan sutradaranya dikemas dalam bentuk komedi dan horor itu malah dibintangi oleh artis porno asal Jepang, Rin Sakuragi. Ternyata, setelah gagal memboyong artis porno Jepang lainnya, Maria Ozawa alias Miyabi untuk film Menculik Miyabi yang ditolak kalangan masyarakat, ternyata diam-diam mereka berhasil juga mendatangkan bintang film porno lainnya.


Hantu Dendam Pocong Mupeng yang baru beberapa hari ini rilis di bioskop, juga tak jauh berbeda. Setelah sempat dicekal oleh Lembaga Sensor Film akibat adegan mesum Andi Soraya di dalam film tersebut, ternyata film ini akhirnya bisa meluncur juga ke hadapan pemirsa. Hanya judulnya saja yang diganti, dari semula berjudul Hantu Puncak Datang Bulan.


Lembaga Sensor Film(?)

Lalu mau dibawa kemana film-film ini? Film nasional saat sepertinya sudah kehilangan jati diri. Bisa dihitung dengan jari sebelah tangan film-film Indonesia saat ini yang bisa mendidik dan menghibur masyarakat. Paradigma dunia perfilman nasional saat ini sudah terpengaruh banyak oleh industri kapitalisme yang hanya memprioritaskan keuntungan belaka. Tak ada lagi nilai-nilai lokal ketimuran yang jauh dari perang komunikasi, informasi dan budaya seperti yang dilakukan dunia Barat.


Jaring-jaring kapitalisme semakin menggiring para insan perfilman nasional pada penjualan idealisme diri. Mereka hanya terfokus pada "kocek" berlipat-lipat yang bisa dihasilkan. Sedangkan, para penonton dianggap hanyalah robot-robot tak berjiwa yang akan menelan semua ide-ide kontradiktif mereka, tanpa memikirkan imbasnya di masa mendatang. Kekuasaan pasar yang mutlak para insan film tunduk pada ideologi pasar demi kuntungan besar.


Sangat miris sekali melihatnya. Harapan saat ini hanya terletak di bahu Lembaga Sensor Film (LSF). Tumbuh bak jamurnya film-film di negeri ini hanya bisa ditahan oleg LSF sebagai satu-satunya lembaga yang bisa mengontrol perfilman nasional. Jangan pernah lagi berpikir untuk menghilangkan lembagai ini. Masih ada saja LSF, film-film Indonesia sudah rusak seperti ini. Bagaimana lagi jika LSF ditiadakan?


Malah seharusnya peran lembaga ini diperkuat. Kreativitas para insan film tidak akan terpotong oleh LSF, jika mereka benar-benar menjual "kreativitas positif" di dalam karya-karayanya. Jika kreativitas yang dijual adalah akting-akting para "hantu mesum" seperti yang ada dalam film horor Indonesia belakangan ini, saya sepakat jika LSF tidak usah mengeluarkan izin lolos sensornya.


* Dimuat di Harian Analisa, Medan (Rabu, 31 Maret 2010)


Source:

http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=49516:hantu-qgentayangiq-film-nasional&catid=78:umum&Itemid=131


Kamis, Maret 18, 2010

Kejaksaan Indonesia: Saatnya Pembenahan Moral dan Mental

Oleh: Adela Eka Putra Marza

Salah satu bentuk kejahatan hukum yang paling fatal sehingga merugikan orang banyak adalah korupsi. Anehnya, korupsi malah tumbuh subur di negeri ini. Bahkan sudah begitu mengakar hingga menjelma menjadi gurita yang gigantis dalam struktur politik di Indonesia.

Dalam peta politik kita, banyak sekali zona-zona yang menjadi lahan tumbuh suburnya budaya korupsi. Di sini banyak dijumpai para mafia dan penjahat negara yang berkongkalikong, menyusun konspirasi jahat dan menciptakan kesepakatan-kesepakatan gelap untuk menilap uang negara.

Anda mungkin setuju, jika lembaga kejaksaan merupakan salah satu zona tersebut. Sebagai bagian dari aparat penegak hukum yang semestinya ikut memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya, yang terjadi malah konspirasi para jaksa dengan penjahat-penjahat negara. Lembaga kejaksaan malah menjadi salah satu wilayah basah bagi tumbuh suburnya korupsi dan manipulasi. Saya sendiri sepertinya tak perlu lagi menuliskan contoh kasusnya di sini, karena hampir setiap hari televisi menyajikan beragam cerita korupsi dan manipulasi yang melibatkan sejumlah orang dari lembaga yang satu ini.

Krisis Kredibilitas

Selama ini, kinerja kejaksaan memang di bawah harapan masyarakat. Banyak kasus-kasus hukum yang tidak terungkap ke permukaan. Kalaupun muncul pengaduan masyarakat, dilakukan aksi unjuk rasa oleh sebagian masyarakat, namun kasusnya tidak juga terungkap hingga sidang pengadilan.

Atur-mengatur pasal pun acapkali terdengar dan sering kali terjadi dalam beberapa kasus di kejaksaan. Ini citra buruk kejaksaan. Dan citra buruk ini malah semakin diperparah oleh ulah para jaksa nakal yang bermain-main dengan hukum, membantu para penjahat negara untuk lebih leluasa melakukan aksinya.

Ulah oknum yang menyimpang tersebut menjadi tamparan keras dan telah mencoreng citra kejaksaan. Lembaga yang aktif memerangi tindak pidana korupsi ini malah harus menelan pil pahit ketika salah satu jaksanya terlibat kasus suap dalam menangani kasus korupsi besar. Ulah oknum tersebut seolah-olah telah menghapus apa yang telah dilakukan kejaksaan selama ini.

Inilah masa di mana lembaga kejaksaan telah mengalami krisis kredibilitas. Dalam sejarah kejaksaan, ini merupakan lembaran paling hitam sekaligus ironi yang menyakitkan. Wujud kedewasaan dan kematangan dari umurnya yang hampir mencapai setengah abad, ternyata tidak mensyaratkan kejaksaan benar-benar telah sempurna secara mental dan psikologis. Citra kejaksaan yang sudah tercoreng dan semakin carut-marut.

Antara para jaksa dengan pihak pelanggar hukum malah terjalin sebuah relasi yang sedemikian "intim". Jauh berbeda dari yang seharusnya terjadi, di mana seharusnya para jaksa ini menghindari hubungan "akrab" dengan para penjahat yang akan mereka adili. Kesalahan ini akhirnya merubah pola hubungan di antara mereka.

Relasi yang terbangun dalam sebuah institusi seperti kejaksaan seharusnya relasi yang tersimbolkan antara "kucing" dengan "tikus", antara penangkap dan yang ditangkap. Seharusnya si kucing mencerminkan wajah garangnya yang menangkap si tikus. Tapi anehnya, yang terjadi malah sang kucing justru bersekutu dengan si tikus. Akhirnya semuanya menjadi tikus.

Ternyata banyak aparat kejaksaan yang terbukti korup dan tidak jujur. Kejaksaan kini justru berubah menjadi sarang mafia peradilan. Mereka dengan cara sembunyi-sembunyi melakukan suap menyuap dengan para "aktor" yang sedang tersandung masalah hukum. Kejaksaan yang seharusnya profesional sebagai garda depan keadilan, sekarang malah menjadi simbol budaya korup di negeri ini. 

Dan semuanya itu menjadi jelas setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beraksi. Setelah KPK aktif menangkapi para pelaku korupsi dari pusat hingga ke daerah-daerah, pihak kejaksaan mulai "mati kutu", karena sejumlah kasus yang mengendap di kejaksaan akhirnya terangkat oleh KPK.

Tentunya hal tersebut membuat citra kejaksaan semakin anjlok di mata hukum. Tak pelak, masyarakat pun sudah tak percaya lagi dengan kinerja kejaksaan. Tak ada yang bisa diharapkan lagi dari para aparat kejaksaan ini, begitulah pikiran masyarakat Indonesia saat ini.

Masalahnya adalah soal mentalitas para jaksa yang sudah bobrok. Mental mereka bukan lagi sebagai penegak hukum, tapi hanya mental-mental yang bisa dibeli dengan uang demi kebebasan dari hukum di negeri ini. Malah para jaksa yang membantu penjahat untuk merasa aman dalam aksinya melawan hukum.

Membangun Moral

Perubahan mendasar dalam kejaksaan terkait tertib moral menjadi poin utama dalam memperbaiki citra kejaksaan ke depannya. Pembenahan mentalitas aparat kejaksaan harus menjadi yang terpenting untuk diprogramkan, karena mereka merupakan ujung tombak dan garda depan bangsa ini dalam upaya menciptakan negara yang bebas dari korupsi.

Kehilangan citra, kehormatan, dan harga diri tidaklah cukup hanya disesali, tetapi harus diperbaiki secara berani oleh kejaksaan sendiri. Pimpinan kejaksaan harus bisa bersikap tidak akan segan-segan menindak pelanggaran yang dilakukan para aparatnya yang dapat menjatuhkan nama institusi. Jangan ada dalam penyelidikan saksi yang menjadi tersangka atau tersangka yang menjadi saksi.

Sistem reward and punishment di kejaksaan, sepertinya patut untuk dijalankan. Jika ini dapat diwujudkan dan berjalan lancar, bukan tidak mungkin banyak sekali jaksa nakal yang bakal terkena hukuman. Namun hal ini terpulang pada kemauan, kejujuran dan ketegasan puncak pimpinannya, yakni Jaksa Agung.

Hancurnya kinerja kejaksaan juga terkait erat dengan lemahnya sistem rekruitmen di lembaga ini. Para aparat yang diterima kurang berkualitas dan tidak mencerminkan "marwah" kejaksaan sebagai penegak hukum. Hal ini perlu direformasi agar ke depannya SDM kejaksaan dari pusat hingga daerah benar-benar menjadi aparat yang andal.

Mengembalikan moral kejaksaan serta dukungan masyarakat hanya dapat berhasil dengan menampilkan pejabat baru yang benar-benar dapat dipercaya serta memunculkan kejutan-kejutan spektakuler berupa prestasi kerja. Kejaksaan bisa mencontoh gebrakan yang dilakukan KPK, bukan malah menambah pekerjaan mereka dengan mendaftarkan kasus korupsi lainnya.

KPK yang semakin aktif menangkap para pejabat yang bermain-main atau menjual hukum, memberikan dampak positif bagi seluruh lembaga tinggi negara di pusat hingga daerah. Seharusnya, gebrakan KPK ini diikuti oleh lembaga penegak hukum lainnya, khususnya kejaksaan. Karena kewajiban mereka adalah menangkap "tikus-tikus berdasi" di lembaga-lembaga tinggi di negeri ini.

Yang namanya mafia peradilan harus dijadikan musuh bersama oleh aparat penegak hukum. Karena selama ini, mafia peradilan sudah merusak sistem peradilan di negeri kita, serta membuat bangsa ini menjadi rusak dan carut-marut akibat tangan-tangan kotor mereka. Jangan sampai para jaksa menambah daftar geng mafia peradilan ini.

Sudah selayaknyalah kejaksaan menunjukkan komitmennya untuk sungguh-sungguh melakukan perbaikan citra institusi sekaligus kinerja demi bangsa Indonesia, jika kita memang benar-benar menghendaki keadilan hukum menjadi realitas kehidupan di bumi nusantara ini. Sudah saatnya jajaran kejaksaan melakukan introspeksi diri, melihat kembali perjalanan sejarah dan kinerjanya selama ini.

Lakukan evaluasi yang benar-benar fair, sehingga diperoleh nilai sebenarnya. Kalau memang jelek, apa salahnya menerima dengan lapang dada sehingga dapat dilakukan perbaikan. Untuk apa memberi nilai yang tinggi, kalau kenyataannya kinerja kejaksaan di bawah harapan masyarakat. Jika dengan usaha ini tak memberikan hasil yang lebih baik juga, mungkin sudah tak pantas lagi Kejaksaan Agung Republik Indonesia menyandang gelar "agung."

* Dimuat di Harian Analisa (Rabu, 17 Maret 2010)

Kamis, Maret 04, 2010

PR untuk PLN

Oleh: Adela Eka Putra Marza

Masih banyak catatan yang harus dikerjakan oleh PLN hingga saat ini. Semua pekerjaan rumah ini harus dilakukan PLN, setidaknya agar citra PLN di hadapan masyarakat bisa lebih membaik. Karena seperti yang kita tahu, hampir setiap tahun perusahaan negara ini berurusan dengan pelayanan yang menurut anggapan masyarakat kebanyakan masih belum maksimal, bahkan jauh di bawah standar.


Catatan tugas penting yang harus dilakukan PLN ini pada dasarnya untuk selalu meningkatkan pelayanan ke konsumen. Hal ini harus menjadi perhatian bagi pihak PLN sendiri.

Pemadaman Bergilir

Salah satunya yang paling utama adalah soal pemadaman listrik bergilir yang hingga saat ini masih terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia, termasuk di daerah Sumatera Utara dan Kota Medan. Hingga hari ini masih saja terjadi pemadaman bergilir di beberapa daerah di kota yang katanya sudah menjadi kota metropolitan ini. Bahkan bisa mencapai empat hingga lima jam dalam sehari.

Tidak hanya itu saja. Di beberapa daerah malah bisa terjadi pemadaman hingga tiga kali dalam sehari; sudah seperti minum obat. Bayangkan saja, jika malam hari Anda harus tinggal dalam gelap gulita.

Soal defisit daya listrik terus menjadi alasan bagi pihak PLN untuk menjawab keluhan masyarakat. Atau terkadang dengan memberikan alasan adanya kerusakan pada beberapa pembangkit tenaga listrik di daerah ini. Namun kenapa bisa kerusakan atau defisti tersebut terjadi hingga waktu yang relatif lama?

Pada akhir tahun lalu, pihak PLN sempat menjanjikan, Sumatera Utara terutama Kota Medan tidak akan mengalami pemadaman listrik bergilir lagi. Saat itu, pihak PLN memastikan bahwa daya listrik PLN Wilayah I Sumut-NAD saat ini sudah mencukupi, yakni sebesar 1.300 Mega Watt (MW) dengan beban terpasang 1.250 MW. Namun pada kenyataanya, di kota ini masih saja terjadi pemadaman di beberapa daerah. Pemadaman bergilir masih saja tetap menjadi penyakit akut bagi PLN.

Penambahan Daya

Catatan lainnya, adalah terus meningkatkan pelayanan sambungan baru dan penambahan daya. Sepertinya diketahui, kebutuhan listrik di daerah ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Karena memang industri di Sumatera Utara, terutama di Medan terus mengalami perkembangan dan peningkatan. Seharusnya, PLN telah siap dengan kondisi seperti ini. Mereka harus menyediakan kebutuhan listrik yang diminta oleh masyarakat, termasuk bagi pelaku usaha.

Terlepas dari kebutuhan listrik bagi industri, pembangunan listrik di daerah terpencil dan pedesaan juga perlu diperhatikan. Karena tidak hanya daerah perkotaan saja yang butuh listrik, tetapi masyarakat desa juga membutuhkannya, setidaknya untuk lepas dari keterbelakangan. Karena selama ini, masih saja banyak daerah-daerah terpencil yang belum disentuh oleh listrik. Ini tentunya dapat menghambat pertumbuhan daerah tersebut untuk mengikuti arus perkembangan global.

Soal, peningkatan kecepatan dalam menanggapi pengaduan gangguan dan kesalahan dalam pencatatan meteran juga harus menjadi perhatian PLN. Karena selama ini malah masyarakat merasa ada jarak yang memisahkan antara PLN dengan masyarakat. Paling tidak, PLN bisa membangun citra positif mereka di hadapan masyarakat dengan memberikan pelayanan pengaduan dengan tanggap dan segera. Hal itu setidaknya dapat mengembalikan marwah PLN di mata masyarakat. Apalagi jika pada akhirnya, PLN benar-benar bisa melayani masyarakat dengan maksimal.


Solusi

Tantangan yang dihadapi PLN dalam upaya memenuhi tenaga listrik nasional adalah menyediakan sumber energi yang memadai untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, baik itu masyarakat umum dan tentunya juga bagi para pelaku usaha. Namun pada kenyataannya, Pulau Sumatera sendiri sebagai salah satu daerah penghasil energi terbesar tetap juga mengalami krisis listrik. Tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Pulau Jawa dan Bali.


Sebenarnya hal ini bisa saja diatasi, jika setiap daerah bisa lebih cerdik lagi dalam mencari dan memproduksi energi baru untuk menghasilkan listrik. Seperti misalnya pengadaan waduk di beberapa daerah di Jawa, setidaknya itu mampu menambah pasokan listrik di daerah tersebut. PLN dan pemerintah harus memikirkan jalan keluar untuk memenuhi pasokan listrik dengan pengadaan dari sumber-sumber energi lain seperti itu.


PLN juga perlu memperhatikan energi lain di luar minyak bumi. Karena selama ini keterbatasan ketersediaan bahan bakar untuk listrik juga menjadi salah satu persolan utama dalam kelistrikan nasional. PLN harus mulai memikirkan untuk memanfaatkan energi terbarukan atau energi lainnya di beberapa daerah yang selama ini belum tersentuh. Bisa jadi di daerah-daerah lain juga terdapat energi lainnya yang bisa memproduksi listrik.


Energi dari bahan tambang batubara juga bisa dikembangkan di daerah-daerah yang punya cadangan cukup. Salah satunya bisa seperti pemanfaatan batubara muda untuk proyek listrik 10 ribu MW. Energi batubara ini cukup besar sekali dalam mengurangi beban pemerintah untuk menyediakan subsidi energi bagi masyarakat. Penggunaan batubara dalam program listrik 10 ribu MW dapat menghemat biaya hingga Rp 25-30 triliun melalui diversifikasi energi primer.


Penghematan biaya ini tentu saja bisa dialihkan untuk pengadaan energi listrik lainnya, seperti penambahan pembangkit. Belum lagi ditambah dari penghematan karena menggunakan sumber energi lainnya. Namun, ke depannya soal pemeliharaan dan perawatan setiap pembangkit tersebut juga harus diperhatikan dengan teliti. Kerusakan-kerusakan yang terjadi pastinya kebanyakan akibat kurang kewaspadaan dalam memelihara dan merawat pembakit listrik tersebut.


Pada dasarnya, PLN bisa untuk memenuhi kebutuhan listrik bagi masyarakat, asalkan PLN mau berniat untuk sungguh-sungguh serta bekerja lebih maksimal lagi dalam pengadaan energi listrik tesrebut. Pastinya, untuk ini semua kita juga tidak mungkin hanya mengandalkan PLN saja. Namun diperlukan juga partisipasi dari seluruh lapisan masyarakat, termasuk para pelaku usaha. Karena mengingat kesediaan dana dari pemerintah yang terbatas, sedangkan kebutuhan listrik luar biasa banyaknya. Asalkan pemerintah tidak melakukan korupsi lagi, setidaknya itu bisa menghemat dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik untuk kita bersama, masyarakat Indonesia.


* Dimuat di Harian Global (Senin, 1 Maret 2010)

Pembantu Rumah Tangga Bukanlah Budak

Oleh: Adela Eka Putra Marza


Banyaknya kejadian seputar kekerasan sang majikan terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT), sudah bukan hal yang aneh lagi di jagat raya ini. Kasus kekerasan terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja pada sektor PRT juga sering kali terjadi di negeri jiran Malaysia.

Puncaknya, adalah kasus kekerasan yang dialami Siti Hajar pada pertengahan 2009 lalu yang mengakibatkan pemerintah Indonesia melakukan penghentian sementara pengiriman PRT ke negeri jiran tersebut.

Kekerasan juga dialami oleh para TKI lainnya, seperti Munti, TKI asal Jawa Timur. Kekerasan yang dialami oleh perempuan berusia 36 tahun itu begitu mengejutkan banyak pihak. Ia mengalami kekerasan fisik dan dikurung di dalam kamar mandi. Hingga akhirnya meninggal dunia setelah sempat dirawat di rumah sakit.


Peristiwa kekerasan terhadap PRT di Malaysia ibarat gunung es yang muncul hanya di permukaan. Sebenarnya masih banyak lagi kasus kekerasan dan perlakuan semena-mena yang terjadi pada para TKI yang belum terungkap. Berbagai bentuk eksploitasi dan kekerasan pernah dialami oleh Nirmala Bonat, Ceriyati, Dede, Sani, Siti Hajar, Mautik Hani, dan ribuan PRT Indonesia lainnya yang telah menjadi korban kekerasan di Malaysia.


Penipuan, pemalsuan dokumen, ancaman, intimidasi, jeratan hutang, kekerasan, pengabaian hak-hak pekerja selalu terjadi dalam penempatan TKI infomal PRT di Malaysia. Secara tidak langsung "perdagangan PRT ke Malaysia" mengarah kepada traficking dan perbudakan di zaman modern.


"Bisnis" Menggiurkan

Hingga saat ini, hampir 300 ribu warga Indonesia bekerja di Malaysia sebagai PRT. Jumlah ini terus meningkat dari tahun ke tahun. "Perdagangan" PRT ke Malaysia memang telah menjadi industri yang sangat menggiurkan bagi Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Sekitar 2 ribu orang PRT setiap bulannya dikirim ke Malaysia. PJTKI mendapatkan bayaran sekitar Rp 5-6 juta per orang dari agensi di Malaysia.


Sementara itu, calo atau dikenal dengan istilah sponsor yang dipekerjakan PJTKI untuk mencari para calon PRT, mendapatkan imbalan Rp 1-2 juta per orang. Demikian juga dengan agensi di Malaysia. Setiap menyalurkan PRT, majikannya harus membayar RM 6 ribu (sekitar Rp 18 juta) kepada agensi. Namun kemudian, nilai itu semua harus dibayar oleh para PRT dengan cara potongan gaji selama 5-6 bulan kerja.


Setelah bekerja di rumah majikannya masing-masing, para PRT tersebut belum tentu akan mendapatkan kelayakan kesejahteraan seperti tenaga kerja lainnya. Banyak di antara mereka yang dipaksa bekerja selama 16 jam hingga 18 jam per hari. Bahkan, ada juga yang sampai 20 jam. Hal ini tidak sebanding dengan gaji mereka yang masih jauh dibawah RM 800 (sekitar Rp 2,2 juta) setiap bulannya. Bahkan ada beberapa kasus, para PRT dari Indonesia tersebut malah bekerja tanpa gaji.


Belum lagi tindak kekerasan yang mereka terima dari para majikannya. Jika majikan merasa tidak senang dengan hasil kerja mereka, maka ia tidak akan segan-segan untuk menghukumnya. Apabila berbuat kesalahan biasanya majikan akan memberitahu agensi. Lalu dilakukan "konseling", yang dalam prakteknya disalahgunakan oleh beberapa pihak oknum agensi di Malaysia. Para PRT tersebut mengalami intimidasi dan kekerasan oleh agen yang bertugas melakukan konseling.


Selama beberapa tahun terakhir ini, Malaysia memang telah masuk daftar hitam sebagai negara yang dianggap kurang serius dalam menangani perdagangan manusia oleh Amerika Serikat. Walaupun Pemerintah Malaysia telah membantahnya dan telah membuat Undang-undang anti perdagangan manusia tahun 2008, namun tidak dapat dipungkiri kejahatan transnasional traficking masih saja terjadi.


Berdasarkan Data Polisi Diraja Malaysia (PDRM), selama tahun 2000-2005 rata-rata ada 2 ribu wanita Indonesia yang dijual menjadi pelacur dan tertangkap oleh pihak polisi Malaysia setiap tahunnya. Buruknya sistem pengiriman PRT ke Malaysia adalah salah satu penyebabnya. Belum lagi pekerja asing dari negara lainnya. Saat ini, Malaysia sendiri mempekerjakan sekitar 320 ribu PRT asing legal; sebagian besar berasal dari Indonesia, Sri Lanka, Filipina, Kamboja dan Thailand.


Peran Pemerintah

Untuk sistem perekrutan dan penempatan TKI, sudah saatnya pemerintah melakukan pembenahan. Kewenangan yang terlalu luas diberikan kepada pihak swasta dalam menempatkan TKI telah menjadi masalah yang besar karena tidak ada kontrol. Karena, sistem yang amburadul, perebutan lahan bisnis TKI, membuat Indonesia dipandang sebelah mata dan seolah-olah melegalkan traficking pada PRT. Sudah saatnya wewenang swasta dalam penempatan TKI informal dibatasi dan kendali dipegang langsung oleh pemerintah dalam bentuk government to government dengan negara penerima.


Pemerintah harus mulai memberikan perhatian yang serius untuk menghindari TKI menjadi korban traficking. Monitoring di negara penempatan harus dilakukan dengan membentuk lembaga monitoring khusus. Selain itu, tindakan tegas kepada majikan yang memperlakukan TKI secara semena-mena juga harus dilakukan. Ini semua harus dilakukan agar perlakuan kekerasan terhadap para PRT Indonesia di luar negeri dapat diminimalisir, bahkan mungkin kalau bisa dihilangkan.


Sementara itu, pada akhir 2009 lalu, Indonesia melakukan pertemuan dengan Malaysia untuk merevisi nota kesepahaman tahun 2006 tentang pengiriman PRT. Pertemuan itu dilakukan terkait langkah pemerintah Indonesia yang menghentikan sementara pengiriman PRT ke Malaysia pada Juni 2009, hingga ada revisi MOU Indonesia-Malaysia. Penghentian itu dilakukan setelah ada beberapa pembantu Indonesia mengalami siksaan.


Dalam pertemuan tersebut, Indonesia menginginkan adanya peraturan libur satu hari untuk pembantu, perlindungan asuransi, gaji minimum dan kenaikan gaji berkala, serta adanya kontrak kerja antara majikan dengan PRT. Poin yang paling penting, pemerintah menuntut tidak adanya diskriminasi gaji di antara sesama pembantu. Jika ada pembantu dari negara lain mendapatkan upah RM 800 per bulan, maka gaji pembantu Indonesia juga harus sebesar itu. Itulah nilai minimum yang diminta pemerintah Indonesia.


Selain itu, Menteri Tenaga Kerja juga sudah beberapa kali meminta kepada Malaysia, agar paspor dipegang oleh pekerja Indonesia karena itu adalah identitas dan hak asasi manusia secara internasional. Paspor boleh dipegang oleh majikan asalkan diserahkan sukarela oleh pembantu dan ada perjanjian tertulis kedua belah pihak. Pemerintah juga meminta agar Malaysia mau menolak rekrutmen pembantu secara individual atau perorangan.


Dengan adanya perlindungan asuransi serta kontrak kerja yang jelas seperti itu, tentu bisa meminimalisir terjadinya eksploitasi para pekerja oleh majikan-majikan mereka di Malaysia. Karena selama ini, sering kali mereka harus bekerja hingga di luar batas kewajaran. Selain itu, ada juga kasus beberapa PRT yang dipekerjakan secara bergilir di rumah keluarga majikannya yang lain tanpa bayaran. Kita berharap, para TKI di luar negeri bisa benar-benar diperlakukan sama dengan pekerja profesional lainnya, bukan sebagai budak.


* Dimuat di Harian Analisa (Kamis, 25 Februari 2010)