------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Selasa, Agustus 23, 2011

Brastagi: Riwayatmu Kini

Oleh : Adela Eka Putra Marza

Siapa yang tak kenal dengan Brastagi?! Kota kecil di Tanah Karo, Sumatera Utara ini sudah lama akrab dengan kita sebagai salah satu tujuan wisata lokal di Indonesia. Melepas penat dalam kesejukan dataran tinggi sambil memetik buah jeruk di kebun-kebun petani Karo menjadi alasan banyak orang datang ke Brastagi.

Seperti Jakarta yang memiliki tempat peristirahatan di daerah Puncak Bogor, Bali memiliki Kintamani dan Bedugul, Jawa Timur memiliki Batu dan Malang, dan Sumatera Barat memiliki Bukit Tinggi, maka Brastagi menjadi icon Sumatera Utara. Di kota kecil itulah tempat menikmati hijaunya dedaunan dan sejuknya alam perbukitan.

Secara geografis, Brastagi berada di dataran tinggi sekitar 1.300 meter di atas permukaan laut (dpl). Masuk dalam kawasan Bukit Barisan, dengan diapit dua gunung aktif, Gunung Sibayak dengan ketinggian 2.100 meter dpl dan Gunung Sinabung pada ketinggian 2.400 meter dpl dengan Danau Lau Kawar di kakinya.

Jalanan berkelok-kelok ciri khas Jalur Lintas Sumatera dengan pepohonan khas daerah perbukitan menjadi santapan sepanjang jalan. Brastagi memang berada di kawasan perbukitan. Jalanan sempit dan bergelombang harus dilewati sejauh lebih kurang 60 kilometer dari Kota Medan dengan waktu perjalanan sekitar dua jam.

Infrastruktur Jalan

Sayangnya, potensi Brastagi di bidang pariwisata ini tidak lagi didukung oleh fasilitas umum bagi para pengunjung. Wisatawan tak lagi mendapatkan kenyamanan saat berwisata ke kota kecil ini. Sehingga, berkunjung ke Brastagi pun sama saja menambah penat tubuh.

Infrastruktur jalan Medan-Brastagi belakangan ini terus menjadi sorotan banyak pihak, terutama masyarakat pengguna jalan tersebut. Kenapa tidak, satu-satunya jalan utama paling dekat yang menghubungkan Medan dengan Brastagi itu kondisinya sangat memprihatinkan.

Di beberapa ruas jalan, masih terdapat jalan yang rusak serta tidak rata. Sehingga bisa beresiko membahayakan pengguna jalan. Bahkan, ada bagian jalan yang ambruk akibat longsor hingga memakan setengah badan jalan. Belum lagi banyak badan jalan terus terkikis erosi akibat banjir.

Selain itu, jalannya sempit juga seringkali menyebabkan kemacetan arus lalu lintas, baik dari Medan maupun yang dari Brastagi. Apalagi pada hari-hari libur atau musim liburan sekolah. Kemacetan yang terjadi bahkan bisa berkilo-kilometer dan terpaksa harus menunggu berjam-jam jika Anda mengendarai mobil.

Akibatnya banyak pengendara sepeda motor yang mengambil jalan di sisi kanan jalan hingga memasuki bagian jalan yang berlawanan arah. Selain beresiko tinggi terhadap pengendaranya karena bisa saja menyebabkan kecelakaan, hal ini juga semakin mempertambah kemacetan yang terjadi.

Belum lagi angkutan umum Medan-Brastagi yang sering ugal-ugalan di jalan raya. Sopir-sopir dari Tanah Batak memang terkenal beringas dan tidak takut mati jika sudah berada di jalanan. Itulah yang akan terlihat di sepanjang jalan, angkutan umum yang ngebut-ngebutan dan saling mendahului untuk mendapatkan penumpang.

Masalah Kebersihan

Ternyata tidak hanya infrastruktur jalan yang tak lagi memadai yang menjadi persoalan, masalah kebersihan juga menjadi sorotan. Saking terbiasanya warga sekitar dengan kondisi ini, lokasi yang jorok dan minimnya fasilitas umum di lokasi objek wisata itu sepertinya sudah menjadi hal yang lumrah.

Padahal banyak wisatawan yang mengeluhkan hal tersebut. Dimana-mana di sekitar lokasi Bukit Gundaling dan kawasan Pasar Buah yang berada di jantung Kota Brastagi, kotoran kuda yang dijadikan angkutan wisata di daerah tersebut berserakan di sana-sini. Baunya pun menusuk hidung.

Belum lagi sampah yang tiba-tiba merusak pemandangan, teronggok di salah satu sudut taman di Bukit Gundaling. Begitu pun kondisi toilet umumnya jangan ditanya lagi, betapa tidak terurusnya. Padahal, pengunjung sudah membayar retribusi untuk masuk ke lokasi wisata, dan membayar uang kebersihan kamar mandi.

Jika dibandingkan dengan provinsi tetangga, seperti di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, kondisinya sangat jauh berbeda. Padahal di kota wisata yang berada di Ranah Minang itu juga terdapat angkutan wisata kuda delman, sama seperti di Brastagi. Namun, pemerintah daerahnya melarang keras adanya kotoran kuda yang berserakan.

Selain itu, juga banyak fasilitas umum lainnya di kawasan taman Bukit Gundaling yang kumuh dan sudah rusak. Terutama beberapa tempat bersantai yang dibangun di tengah-tengah taman yang sudah tak layak lagi di sebuah lokasi wisata. Begitu juga dengan lokasi parkir yang tidak tertata dengan rapi.

Makanya tak heran jika wisatawan yang berkunjung ke Brastagi terus menurun setiap tahun. Bahkan, jika Anda datang ke kota ini, sudah tak banyak lagi turis asing yang bisa dijumpai. Padahal, beberapa tahun sebelumnya, turis-turis yang berjalan kaki di pusat kota Brastagi sudah menjadi hal yang biasa.

Perhatian Bersama

Persoalan ini tentu saja menjadi permasalahan kita bersama sebagai warga Sumut, demi mengembangkan pariwisata di daerah ini. Jika tidak kita yang melakukan, siapa lagi yang akan peduli dengan negeri kita. Namun, anehnya perhatian pemerintah setempat seakan-akan sudah berkurang, bahkan mulai pudar.

Sebagai salah satu destinasi tujuan wisata, apalagi sudah dikenal di tingkat nasional bahkan hingga ke luar negeri, seharusnya pemerintah daerah memperhatikan hal ini. Misalnya infrastruktur jalan, jika bagus tentunya akan lebih memudahkan akses wisatawan untuk mendatangi Brastagi.

Namun, jika keadaan ini terus dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak akan mungkin Brastagi akan semakin dilupakan orang. Siapa lagi yang mau datang ke Brastagi jika hanya untuk menghabiskan waktu berjam-jam terjebak dalam kemacetan panjang hingga puluhan kilometer?!

* Dimuat di Harian Analisa, Medan (Sabtu, 13 Agustus 2011)

Baca juga di: http://www.analisadaily.com/news/read/2011/08/13/8392/brastagi_riwayatmu_kini/#.TlMmSV0i-So

Rabu, Juli 13, 2011

Tenaga Kerja Indonesia: Pahlawan Devisa yang "Menjual Nyawa"

Oleh : Adela Eka Putra Marza

Indonesia kembali geger. Bukan soal korupsi M Nazaruddin yang membuat Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono "kebakaran jenggot". Bukan juga soal ramalan kehancuran Partai Demokrat pada Pemilu 2014 mendatang yang didengungkan oleh banyak pakar, gara-gara beberapa kasus korupsi yang menimpa kader partai tersebut.

Namun, seorang perempuan setengah baya bernama Ruyati binti Satubi yang membuat berita besar dan menghiasi berbagai media massa di Tanah Air. Siapa dia? Ruyati hanyalah seorang pekerja Indonesia di Arab Saudi, alias Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Meskipun hanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga, namun dia ikut menyumbangkan devisa yang digunakan untuk pembangunan negeri ini.

Sayangnya, perjalanan hidup Ruyati begitu pilu. Nyawanya berakhir di ujung pedang, Sabtu (18/6) lalu, setelah divonis hukuman mati karena membunuh majikannya Khairiya binti Hamid Mijlid. Padahal, ia baru tiga tahun bekerja di rumah tersebut, setelah dikirim bekerja sebagai TKI oleh PJTKI PT Dasa Graha Utama yang berbasis di Jakarta.

Ratusan Orang

Selain Ruyati, ternyata masih ada 23 TKI lainnya di Arab Saudi yang terancam menerima kenyataan seperti warga Sukatani, Bekasi, Jawa Barat itu. Para TKI yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga itu juga menghadapi ancaman hukuman mati. Di antaranya, tenaga kerja wanita (TKW) bernama Sumartini binti Manaungi Galisung asal Nusa Tenggara Barat.

Arab Saudi memang menjadi negara tujuan penempatan TKI terbesar kedua setelah Malaysia. Jumlah TKI di Arab Saudi berjumlah sedikitnya 1,5 juta orang, yang sebagian besarnya adalah pekerja rumah tangga. Sebagian besar pekerja rumah tangga itu perempuan yang mengirim devisa sedikitnya 7,1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 61 triliun tahun 2010.

Jika diamati secara keseluruhan, menurut data dari Kementerian Luar Negeri RI ternyata ada ratusan WNI yang terancam hukuman mati di seluruh dunia. Data ini diambil sejak tahun 1999 hingga 2011, dengan total berjumlah 303 orang. Dari jumlah tersebut, tiga orang telah dieksekusi; dua orang dicabut nyawanya di Arab Saudi, dan satu orang di Mesir.

Kasus terbanyak tetap saja di Malaysia, dengan jumlah 233 TKI. Selanjutnya, China berada di peringkat kedua dengan 29 orang TKI, dan disusul Arab Saudi. Sebanyak 216 orang di antaranya masih dalam proses pengadilan. Yakni, di Malaysia sebanyak 177 orang, di China 20 orang dan di Arab Saudi 17 orang TKI.

Gagal Lindungi Rakyat

Pemerintah Indonesia pun langsung menjadi sorotan di dalam negeri. Kenapa tidak? Dalam kasus terakhir, Pemerintah seharusnya mampu menyelamatkan nyawa Ruyati dengan meminta keringanan hukuman melalui hubungan diplomatik dengan Pemerintah Arab Saudi. Namun, selama ini malah tidak terdengar sama sekali upaya pemerintah kita untuk melakukan itu.

Kesimpulannya, Pemerintah Indonesia saat ini telah gagal melindungi rakyatnya, dimana ini merupakan kewajiban negara. Apalagi, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama ini selalu berkoar-koar bahwa perlindungan atas rakyat menjadi salah satu programnya sebagai kepala pemerintah. Namun, tetap saja itu tidak berpengaruh sama sekali terhadap hidup Ruyati.

Sebelumnya, Presiden SBY juga pernah mengatakan bahwa mereka telah mengambil langkah administratif dan hukum untuk melindungi dan memberdayakan buruh migran seperti Ruyati dan puluhan ribu TKI lainnya. Hal itu disampaikan dengan suara lantang melalui pidatonya dalam Konferensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) di Jenewa, Swiss, Selasa (14/6) lalu.

Apakah ini hanya janji-janji omong kosong belaka? Percuma saja Presiden SBY menyebut para buruh migran ini sebagai pahlawan devisa. Mana perlindungan yang dijanjikan pemerintah sama sekali tidak terbukti. Apa saja tugas Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Luar Negeri, Menteri Hukum dan HAM, BNP2TKI dan Kedubes?

Buka Lapangan Kerja

Hukuman mati itu sebenarnya dapat dihindarkan dengan langkah politik, seperti pernah dilakukan Presiden Abdurrahman Wahid. Namun, pemerintah saat ini terlihat masih sangat kurang usahanya itu melakukan diplomasi tersebut. Seperti dalam kasus Darsem binti Daud Tawar, TKI asal Kabupaten Subang, Jawa Barat, pemerintah lebih berkonsentrasi dalam pembayaran diyat (uang darah) ketimbang melakukan advokasi litigasi di peradilan atau diplomasi secara maksimal.

Belakangan, pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan moratorium TKI ke Arab Saudi. Mulai 1 Agustus mendatang, Indonesia akan menyetop pengiriman TKI ke negara di Timur Tengah tersebut. Tidak terima dengan moratorium itu, pemerintah Arab Saudi pun membalasnya dengan tidak akan lagi mengeluarkan visa bagi TKI per 1 Juli kemarin.

Sebenarnya, gagasan moratorium TKI ke Arab Saudi ini merupakan wacana lama. Seharusnya, pemerintah juga melakukan kebijakan lain terkait persoalan TKI ini. Salah satunya dengan memikirkan bagaimana caranya agar warga yang berniat untuk menjadi TKI tidak lagi membludak seperti biasanya. Solusinya, pemerintah harus memiliki komitmen tinggi untuk membangun kawasan pedesaan, yang merupakan penyumbang tertinggi jumlah TKI.

Kita tak dapat menampik bahwa munculnya hasrat masyarakat untuk menjadi TKI, karena melihat manisnya hidup di luar negeri, walaupun hanya sebagai seorang pembantu rumah tangga. Sedangkan di desa tak ada lagi peluang pekerjaan yang mampu mengangkat harkat hidup mereka. Sehingga, mereka pun nekat mengadu nasib di negeri orang.

Poin utama yang harus segera diperhatikan pemerintah adalah menyelesaikan persoalan di kawasan desa ini. Pemerintah harus lebih gencar memperbanyak lapangan pekerjaan di desa-desa, agar masyarakat punya alasan untuk bertahan di kampungnya. Memaksimalkan industri pertanian bisa menjadi salah satu jalan.

* Dimuat di Harian Analisa Medan (Selasa, 12 Juli 2011)


Baca juga di:

http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=100961:tenaga-kerja-indonesia--pahlawan-devisa-yang-qmenjual-nyawaq&catid=1061:12-juli-2011&Itemid=218

Senin, Mei 23, 2011

Solusi Kemacetan; Menggagas Busway untuk Kota Medan

Oleh: Adela Eka Putra Marza

Kemacetan di Kota Medan belakangan ini sepertinya sudah menjadi pemandangan yang lumrah setiap hari. Setiap pagi, jam istirahat makan siang dan pulang sekolah, serta sore harinya saat jam pulang kerja, jalanan di salah satu kota terbesar di Indonesia ini selalu saja diwarnai kemacetan.

Ratusan mobil dan sepeda motor terpaksa berinsut-insut di sejumlah jalan protokol. Sebut saja, seperti di Jalan Setia Budi, Jalan S Parman, Jalan Gajah Mada, Jalan Maulana Lubis, dan Jalan Juanda. Bahkan, keberadaan petugas kepolisian yang mengatur lalu lintas di kawasan itu pun tak bisa berbuat banyak.

Kondisi seperti ini tentu saja sangat mengganggu, terutama bagi para pekerja dan pelajar saat berangkat menuju kantor dan sekolah. Tidak hanya menyebabkan keterlambatan, emosi dan kesehatan pun bisa terganggu, karena mengalami depresi serta gangguan saluran pernapasan akibat asap kendaraan bermotor.

Salah satu faktor utama penyebab kemacetan ini ditengarai karena angka pertumbuhan kendaraan bermotor di Medan yang terus mengalami peningkatan setiap tahun. Bayangkan saja, dalam dua tahun selama 2007-2009, sebanyak 214.597 unit sepeda motor bertambah di Medan.

Angka ini berdasarkan data dari Dinas Perhubungan Kota Medan, dimana sebanyak 2. 318.623 unit sepeda motor tercatat dimiliki oleh warga Medan hingga 2009. Padahal, pada 2007 hanya berjumlah 2.104.026 unit. Dipastikan, angka ini terus bertambah hingga 2011 ini.

Pertumbuhan pesat ini diyakini disebabkan mudahnya akses masyarakat untuk memiliki sepeda motor. Dewasa ini, dengan hanya mengeluarkan uang sekitar Rp 1 juta, masyarakat sudah bisa membeli sepeda motor dengan cara kredit. Selain itu, dealer-dealer sepeda motor juga memberikan cicilan yang rendah kepada konsumennya.

Makanya tak heran, jika semua sepeda motor milik warga Medan ini dikumpulkan, maka jalanan di kota ini akan penuh sesak. Buktinya, sudah bisa kita lihat saat ini, yakni kemacetan yang semakin kompleks. Selain itu, kemacetan ini juga disebabkan oleh jumlah mobil pribadi dan angkutan umum.

Masih berdasarkan catatan Dinas Perhubungan Kota Medan, jumlah mobil penumpang di Medan pada 2009 mencapai 222.891 unit. Sedangkan, bus berjumlah 22.123 unit. Belum lagi, kebanyakan angkutan umum ini sering kali ugal-ugalan dalam menggunakan jalan raya. Hal ini tentunya juga dapat membahayakan keselamatan.

Pertumbuhan kendaraan bermotor ini memang semakin tidak terkendali belakangan ini. Pihak kepolisian yang mengurusi izin operasional kendaraan bermotor, seharusnya bertanggung jawab atas permasalahan ini. Karena, selama ini sama sekali tidak pasal yang mengatur kepemilikan kendaran bermotor ini.

Akibatnya, masyarakat bisa dengan mudah membeli sepeda motor, hingga jumlahnya terus membengkak setiap tahun. Seharusnya, jumlah sepeda motor ini dibatasi kepemilikannya. Begitu juga dengan mobil pribadi dan angkutan umum, yang jumlah juga ikut-ikutan bertambah.

Dengan adanya aturan mengenai kepemilikan kendaraan bermotor ini, pertumbuhannya bisa dikontrol, sesuai dengan kapasitas lalu lintas yang tersedia. Apalagi, selama ini sarana jalan raya yang tersedia di Medan sama sekali tidak mengalami pertambahan, atau setidaknya perbaikan agar layak digunakan.

Selain itu, Dinas Perhubungan juga harus melakukan pengawasan terhadap lokasi parkir. Selama ini, sering kali badan jalan disulap menjadi lokasi parkir liar. Padahal, sudah jelas rambu-rambunya bahwa tidak dibenarkan parkir di pinggir jalan raya. Penindakan terhadap parkir yang menyalah ini sama sekali tidak terlihat.

Akibatnya, keberadaan parkir liar itu semakin menambah kemacetan, karena menghambat arus lalu lintas. Belum lagi, perubahan arus yang dilakukan di sejumlah ruas jalan protocol di Medan, pada akhir tahun lalu. Ini semakin menambah kompleks permasalahan kemacetan di kota ini.

Selain mengatur pembatasan kepemilikan kendaraan bermotor dan parkir liar, pihak Dinas Perhubungan, kepolisian dan Pemerintah Kota Medan juga harus mulai mencari solusi lain untuk mengatasi, atau setidaknya mengurangi kemacetan ini. Ini musti dilakukan demi menghadirkan kenyamanan bagi masyarakat pengguna jalan.

Salah satu solusi lain yang perlu dipikirkan adalah menyediakan transportasi massal bagi masyarakat umum. Membangun Bus Rapid Transit, atau yang biasa dikenal dengan busway, sepertinya sudah perlu dilakukan di Medan, untuk mengatasi kemacetan di kota ini.

Seperti di Jakarta, transportasi massal ini bisa mengangkut masyarakat dalam jumlah besar dengan sekali jalan. Setidaknya, keberadaan transportasi massal ini bisa mengurangi jumlah kendaraan bermotor yang menggunakan jalan raya, sehingga dapat mengurangi kepadatan lalu lintas.

Selain itu, sebenarnya Kota Medan juga sudah memiliki kereta api kota untuk jarak dekat, yakni Kereta Rel Diesel Indonesia (KRDI) Sri Lelawangsa. Hanya saja, kereta api ini belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai transportasi umum. Kereta api ini harus lebih dipromosikan lagi kepada masyarakat.

Solusi ini seharusnya bisa ditanggapi dengan serius oleh semua pihak terkait, terutama oleh Pemerintah Kota Medan. Apalagi, wacana ini sebelumnya sudah sempat diangkat oleh Dinas Perhubungan Medan. Tinggal menunggu perhatian dari pemerintah dan action untuk sesegera mungkin diwujudkan. ***

* Dimuat di Harian Analisa, Medan (Senin, 23 Mei 2011)


Baca juga di:

http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=96341:solusi-kemacetan--menggagas-busway-untuk-kota-medan&catid=78:umum&Itemid=131

Sabtu, Mei 14, 2011

Ketika Pembaca Lebih Memilih Berita "Orang Biasa"

Oleh: Adela Eka Putra Marza

Dalam esai pendek Kehidupan Sastra di Dalam Pikiran yang dimuat dalam bukunya Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (1997), Seno Gumira Ajidarma menulis, "Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Karena bila jurnalisme bicara dengan fakta, sastra bicara dengan kebenaran."

Tak salah yang diopinikan Seno Gumira Ajidarma tersebut. Sastra harus bisa menjadi alternatif, ketika jurnalisme tak mampu lagi menjalankan perannya untuk menyampaikan kebenaran kepada semua orang. Ketika jurnalisme saat ini sudah kehilangan kepercayaan dari masyarakat akibat permainan politik para kapitalis pemiliknya, perannya dapat diselamatkan oleh sastra.

Lalu bagaimana jika jurnalisme dan sastra dikawinkan? Sebuah pertanyaan yang cukup menarik. Paham jurnalistik yang mengedepankan fakta dipadukan dengan sastra yang identik dengan fiksi. Sebuah genre jurnalisme baru yang kemudian diperkenalkan oleh Tom Wolfe kepada dunia. New journalism itu adalah literary journalism alias jurnalisme sastra.

Kelahiran Jurnalisme Sastra

Istilah jurnalisme sastra mulai dibicarakan secara meluas pada awal dekade 1980-an, ketika jurnalisme model baru ini didiskusikan oleh para penulis dan pembaca, dan diajarkan di kelas-kelas sekolah menengah. Tom Wolfe dikenal sebagai jurnalis yang mengembangkan genre baru ini pada tahun 1973 di New York.

Namun jauh sebelumnya, Joseph Mitchell (The New Yorker) sudah mulai menulis genre ini pada tahun 1930-an. Bahkan, para pendatang baru seperti Ted Conover, Susan Orlean, dan Adrian Nicole LeBlanc, juga mengembangkan bentuk penulisan seperti ini yang sudah dirintis oleh Daniel Defoe melalui tulisan-tulisannya di awal tahun 1700-an (Septiawan Santana Kurnia, 2002).

Menurut Nieman Reports, jurnalisme sastra mulai menguasai media cetak di Amerika pada tahun 1980-an. Sejak saat itu, suratkabar-suratkabar di Negara Paman Sam tersebut banyak memakai jurnalisme yang identik dengan laporan mendalam ini, ketika kecepatan televisi tidak tertandingi lagi.

Di Indonesia, majalah Tempo dikenal sebagai yang pertama kali memperkenalkan gaya penulisan sastra dalam pemberitaan pada tahun 1970-an (Septiawan Santana Kurnia, 2002). Gaya penyajiannya yang saat itu masih langka dan unik karena menggabungkan kaidah pers dan sastra, memberikan kesegaran dalam gaya penulisan berita di Indonesia.

Namun begitu, hingga awal 1980-an, pelaporan jurnalisme baru ini masih belum mungkin dilakukan secara sempurna di Indonesia. Menurut Atmakusumah (1981), keuangan pers Indonesia belum mampu mengakomodasi wartawannya untuk liputan hingga berbulan-bulan. Soal penggunaan bahasa Indonesia, penyusunan tulisan, kesulitan mencari fakta yang benar-benar obyektif dan jelas juga menjadi permasalahan.

Dekade 1990-an, masalah ini mulai teratasi. Walaupun masih ada kekurangan di sana-sini, terutama masalah kebebasan pers yang merupakan faktor penghambat terbesar. Dalam perkembangan selanjutnya, banyak media cetak yang kemudian mengikuti gaya ini. Ekspresi sastra untuk penulisan jurnalistik pun berkembang menjadi semacam trendsetter.

Liputan Mendalam nan Memikat

Di awal perkembangan jurnalisme sastra, Wolfe mengawinkan disiplin keras dalam jurnalisme dengan daya pikat sastra. Ibarat sebuah novel, tapi menyampaikan isu faktual. Jurnalisme ini mensyaratkan liputan dalam, namun memikat. Penulis jurnalisme sastra lebih banyak memperhatikan soal kehidupan sehari-hari ketimbang tokoh publik atau selebritis.

Laporan mereka banyak yang menampilkan kisah-kisah tersembunyi dari komunitas yang tak tersentuh media, dengan kekuatan narasi yang sama menggugahnya dengan kisah-kisah spektakuler di headline koran. Kisah-kisah spektakuler juga tetap disentuh dengan gaya tutur genre klasik yang menangkap perasaan dan pengalaman, sebagai layaknya orang biasa di balik kementerengan dan kegemerlapan sang tokoh (Septiawan Santana Kurnia, 2002).

Penulis jurnalisme sastra, menurut Norman Sims dalam The Art of Literary Journalism, mengaku menggunakan teknik yang sama dengan teknik yang digunakan penulis fiksi. Para penulis berusaha menampilkan profil karakter-karakter dan mengungkapkan pengalaman-pengalaman mereka dengan lebih mendalam.

Dalam perjalanannya, jurnalisme sastra berkembang menjadi genre yang menarik dan kreatif, yang memungkinkan para penulis untuk masuk ke bidang-bidang yang selama ini dijauhi. Dalam format yang lebih jauh dari bentuk tradisional, karya jurnalisme sastra diarahkan menjadi medium untuk menancapkan penulisnya di antara teks-teks laporan perjalanan atau memoar mereka.

Sebagai Alternatif Berita

"Tapi mengapa sastra?" tulis Septiawan sebagai sub judul dalam bukunya Jurnalisme Sastra (2002). Seperti Seno yang memberikan judul Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (1997) untuk salah satu bukunya, mungkin itu juga yang diinginkan Wolfe ketika pertama kali bergelut dengan jurnalisme sastra.

Karena sastra mampu menyampaikan kebenaran yang masih belum tersentuh secara menyeluruh oleh jurnalistik. Karena sastra dapat bicara banyak tentang realitas sosial, politik, budaya, dan lainnya yang tak bisa diangkat pers. Sastra membawa tawaran alternatif medium watchdog terhadap dominasi kekuatan politik yang selama ini mencekoki masyarakat.

Ketika jurnalisme diaduk dengan sastra, inilah yang menjadi ramuan ajaib yang begitu ditunggu-tunggu oleh pembaca, untuk menyegarkan pemikiran pers di dunia ini, begitu pun di Indonesia. Masyarakat saat ini sudah bosan dengan sajian berita-berita yang terlalu sering dipelintir oleh pemilik modal. Tak lagi murni kebenaran, melainkan "kebenaran" menurut masing-masing para kapitalis media tersebut.

Di tengah-tengah kondisi inilah jurnalisme sastra hadir dengan penyajian berita yang lebih segar. Para jurnalis sastra mengembangkan teknik pelaporan yang tidak berjarak dengan pembaca, untuk menampilkan realitas seutuhnya, untuk lebih menuruti kehendak masyarakat, dan untuk melihat fakta secara lebih tegas. Mereka malah menjauhi koridor-koridor kekuasaan dan memilih meriwayatkan "keluhuran orang-orang biasa".

Belakangan, sejumlah media cetak lokal juga mulai memperhatikan berita-berita dengan gaya seperti ini, termasuk Harian Analisa dengan tulisan khas dari Rizal Surya. Cerita ringan yang berisi drama, emosi, dan kompleksitas kehidupan orang biasa ini memang jauh lebih ’berharga’, di tengah kecepatan laju perkembangan media online saat ini. ***

* Dimuat di Harian Analisa, Medan (Jumat 13 Mei 2011)


Baca juga di:

http://analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=95416:ketika-pembaca-lebih-memilih-berita-qorang-biasaq&catid=78:umum&Itemid=131