------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Rabu, Maret 31, 2010

Hantu "Gentayangi" Film Nasional

Oleh: Adela Eka Putra Marza


Keputusan Presiden Nomor 25 yang ditandatangani Presiden BJ Habibie pada 29 Maret 1999 lalu menjadi bukti sejarah penetapan tanggal 30 Maret sebagai Hari Film Nasional.


Pertimbangan para tokoh perfilman nasional mengusulkan tanggal ini, sebab pada 30 Maret 1950 untuk pertama kalinya diproduksi film Indonesia yang semuanya dibuat oleh warga pribumi dan perusahaan film pribumi. Judulnya "Darah dan Doa", sebuah film yang bercerita tentang perjalanan pasukan Siliwangi, Bandung.


Namun sebenarnya, sejarah pembuatan film cerita di Indonesia yang dulunya bernama Hindia Belanda sudah dimulai sejak 1926. Bahkan sampai 1942, industri film lokal sudah cukup berkembang, meskipun masih kalah bersaing dengan film-film asing terutama dari Amerika. Pada masa itu, para pemilik perusahaan-perusahan film lokal adalah orang-orang Cina dan Belanda.


Film cerita yang pertama kali dibuat di negeri ini berjudul Loetoeng Kasaroeng yang masih berupa film bisu. Pemainnya adalah orang-orang pribumi, sedangkan sutradaranya dua orang Belanda; G Krugers dan L Heuveldorf. Saat itu, penduduk Hindia Belanda khususnya warga Batavia, sejak penghujung tahun 1900 sudah tidak asing lagi dengan pemutaran film yang dulu dikenal dengan sebutan "gambar idoep" ini.


"Kebangkitan" Film Indonesia

Itulah tonggak dimulainya sejarah perfilman nasional. Seiring perjalanan waktu dari masa ke masa, perjalanan perfilman nasional juga mengalami pasang surut. Film musikal Petualangan Sherina yang hadir di tahun 1999 sempat menerbitkan kembali gairah industri perfilman Indonesia yang sempat "lesu" di era 90-an. Petualangan Sherina yang digarap oleh sutradara Riri Riza itu mampu meraup sekitar 1,6 juta penonton.


Jumlah yang terbilang besar mengingat saat itu industri perfilman Indonesia sedang berada di titik nadir, karena semakin ketatnya aturan perundang-undang perfilman yang diberlakukan pemerintah Indonesia rezim Orde Baru. Apalagi ditambah dengan kemunculan stasiun-stasiun televisi swasta dan invasi film-film Hollywood melalui bendera 21 Cineplex yang membuat film nasional semakin terpuruk.


Akhirnya, harapan untuk melihat kebangkitan kembali industri film Indonesia menjadi kenyataan. Pasca kesuksesan film Petualangan Sherina, muncul berbagai film yang mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat Indonesia, bahkan juga dunia luar. Sebuat saja beberapa di antaranya yang cukup fenomenal, film remaja Ada Apa Dengan Cinta dan film bergenre horor Jelankung.


Hingga di penghujung era 2000-an, tepatnya pada 2008 dan 2009, dunia film Indonesia kembali menorehkan sejarah dan berbagai rekor dengan kahdiran film Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi. Kemudian disusul dengan film Ketika Cinta Bertasbih dan Sang Pemimpi di akhir 2009. Film dari karya-karya novelis Habiburrahman El-Shirazy dan Andrea Hirata itu mendapat sambutan hangat dari pemirsa film nasinonal.


Hantu Mesum Laris Manis

Dunia perfilman nasional memang telah bangun dari tidur panjangnya. Konspirasi ini ditandai dengan munculnya optimisme insan muda film dalam berkarya. "Gembar-gembor" promosi film nasional di berbagai media massa sangat menyejukkan hati bangsa Indonesia yang tengah merasa frustasi dan terpuruk oleh kondisi saat ini. Mungkin hanya dunia filmlah yang akan mampu membanggakan hati masyarakat yang sedang mengalami krisis identitas, status, dan kepercayaan diri sebagai bangsa Indonesia.


Namun, kebangkitan itu ternyata tak teruji secara kualitas; meski secara kuantitas hampir setiap bulan ada film nasional baru yang muncul di bioskop. Coba lihat di bioskop-bioskop besar di negeri ini; sederetan poster film-film nasional bergenre horor menjadi sajian utama. Ternyata hantu, kuntilanak, genderuwo, pocong dan kawan-kawannya laris "dikontrak" menjadi bintang film.


Beberapa judul film seperti Hantu Jeruk Purut, Hantu Kereta Api Manggarai, Suster Ngesot, dan Mati Kemaren (Tiren), penah menghiasi layar lebar di Indonesia. Malah sudah menjadi tren bagi perusahaan-perusahaan film dalam negeri untuk berlomba-lomba memproduksi film horor, yang menurut saya (maaf) sama sekali tidak berkualitas. Bahkan, artis-artis tak laku pun bisa menjadi kaya raya dari industri film horor di Tanah Air.


Parahnya lagi, mayoritas "film hantu" itu didominasi oleh adegan-adegan "panas" dan vulgar layaknya film porno. Sebut saja, Hantu Jamu Gendong, Diperkosa Setan, Kain Kafan Perawan, Tali Pocong Perawan, hingga Paku Kuntilanak. Judulnya saja film horor, tapi tayangannya benar-benar tidak mendidik. Dari posternya saja, sudah jelas bagaimana akting para bintang-bintang "hantu mesum" tersebut (mungkin lebih tepat dibilang seperti itu).


Awal 2010, barisan "film hantu" Indonesia diramaikan lagi oleh film Suster Keramas. Film yang katanya sang produser dan sutradaranya dikemas dalam bentuk komedi dan horor itu malah dibintangi oleh artis porno asal Jepang, Rin Sakuragi. Ternyata, setelah gagal memboyong artis porno Jepang lainnya, Maria Ozawa alias Miyabi untuk film Menculik Miyabi yang ditolak kalangan masyarakat, ternyata diam-diam mereka berhasil juga mendatangkan bintang film porno lainnya.


Hantu Dendam Pocong Mupeng yang baru beberapa hari ini rilis di bioskop, juga tak jauh berbeda. Setelah sempat dicekal oleh Lembaga Sensor Film akibat adegan mesum Andi Soraya di dalam film tersebut, ternyata film ini akhirnya bisa meluncur juga ke hadapan pemirsa. Hanya judulnya saja yang diganti, dari semula berjudul Hantu Puncak Datang Bulan.


Lembaga Sensor Film(?)

Lalu mau dibawa kemana film-film ini? Film nasional saat sepertinya sudah kehilangan jati diri. Bisa dihitung dengan jari sebelah tangan film-film Indonesia saat ini yang bisa mendidik dan menghibur masyarakat. Paradigma dunia perfilman nasional saat ini sudah terpengaruh banyak oleh industri kapitalisme yang hanya memprioritaskan keuntungan belaka. Tak ada lagi nilai-nilai lokal ketimuran yang jauh dari perang komunikasi, informasi dan budaya seperti yang dilakukan dunia Barat.


Jaring-jaring kapitalisme semakin menggiring para insan perfilman nasional pada penjualan idealisme diri. Mereka hanya terfokus pada "kocek" berlipat-lipat yang bisa dihasilkan. Sedangkan, para penonton dianggap hanyalah robot-robot tak berjiwa yang akan menelan semua ide-ide kontradiktif mereka, tanpa memikirkan imbasnya di masa mendatang. Kekuasaan pasar yang mutlak para insan film tunduk pada ideologi pasar demi kuntungan besar.


Sangat miris sekali melihatnya. Harapan saat ini hanya terletak di bahu Lembaga Sensor Film (LSF). Tumbuh bak jamurnya film-film di negeri ini hanya bisa ditahan oleg LSF sebagai satu-satunya lembaga yang bisa mengontrol perfilman nasional. Jangan pernah lagi berpikir untuk menghilangkan lembagai ini. Masih ada saja LSF, film-film Indonesia sudah rusak seperti ini. Bagaimana lagi jika LSF ditiadakan?


Malah seharusnya peran lembaga ini diperkuat. Kreativitas para insan film tidak akan terpotong oleh LSF, jika mereka benar-benar menjual "kreativitas positif" di dalam karya-karayanya. Jika kreativitas yang dijual adalah akting-akting para "hantu mesum" seperti yang ada dalam film horor Indonesia belakangan ini, saya sepakat jika LSF tidak usah mengeluarkan izin lolos sensornya.


* Dimuat di Harian Analisa, Medan (Rabu, 31 Maret 2010)


Source:

http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=49516:hantu-qgentayangiq-film-nasional&catid=78:umum&Itemid=131


1 komentar:

  1. AGENS128 Adalah Situs Judi Online Taruhan Sepak Bola, Casino, Sabung Ayam, Tangkas, Togel & Poker Terpopuler di Indonesia
    Pasang Taruhan Online Melalui Agen Judi Terpercaya Indonesia Agens128, Proses Cepat, Banyak Bonus, Online 24 Jam dan Pasti Bayar!
    Sabung ayam
    sbobet online
    casino online
    tembak ikan
    daftar bisa langsung ke:
    LINE : agens1288
    WhatsApp : 085222555128

    BalasHapus