------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Kamis, Maret 04, 2010

Pembantu Rumah Tangga Bukanlah Budak

Oleh: Adela Eka Putra Marza


Banyaknya kejadian seputar kekerasan sang majikan terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT), sudah bukan hal yang aneh lagi di jagat raya ini. Kasus kekerasan terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja pada sektor PRT juga sering kali terjadi di negeri jiran Malaysia.

Puncaknya, adalah kasus kekerasan yang dialami Siti Hajar pada pertengahan 2009 lalu yang mengakibatkan pemerintah Indonesia melakukan penghentian sementara pengiriman PRT ke negeri jiran tersebut.

Kekerasan juga dialami oleh para TKI lainnya, seperti Munti, TKI asal Jawa Timur. Kekerasan yang dialami oleh perempuan berusia 36 tahun itu begitu mengejutkan banyak pihak. Ia mengalami kekerasan fisik dan dikurung di dalam kamar mandi. Hingga akhirnya meninggal dunia setelah sempat dirawat di rumah sakit.


Peristiwa kekerasan terhadap PRT di Malaysia ibarat gunung es yang muncul hanya di permukaan. Sebenarnya masih banyak lagi kasus kekerasan dan perlakuan semena-mena yang terjadi pada para TKI yang belum terungkap. Berbagai bentuk eksploitasi dan kekerasan pernah dialami oleh Nirmala Bonat, Ceriyati, Dede, Sani, Siti Hajar, Mautik Hani, dan ribuan PRT Indonesia lainnya yang telah menjadi korban kekerasan di Malaysia.


Penipuan, pemalsuan dokumen, ancaman, intimidasi, jeratan hutang, kekerasan, pengabaian hak-hak pekerja selalu terjadi dalam penempatan TKI infomal PRT di Malaysia. Secara tidak langsung "perdagangan PRT ke Malaysia" mengarah kepada traficking dan perbudakan di zaman modern.


"Bisnis" Menggiurkan

Hingga saat ini, hampir 300 ribu warga Indonesia bekerja di Malaysia sebagai PRT. Jumlah ini terus meningkat dari tahun ke tahun. "Perdagangan" PRT ke Malaysia memang telah menjadi industri yang sangat menggiurkan bagi Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Sekitar 2 ribu orang PRT setiap bulannya dikirim ke Malaysia. PJTKI mendapatkan bayaran sekitar Rp 5-6 juta per orang dari agensi di Malaysia.


Sementara itu, calo atau dikenal dengan istilah sponsor yang dipekerjakan PJTKI untuk mencari para calon PRT, mendapatkan imbalan Rp 1-2 juta per orang. Demikian juga dengan agensi di Malaysia. Setiap menyalurkan PRT, majikannya harus membayar RM 6 ribu (sekitar Rp 18 juta) kepada agensi. Namun kemudian, nilai itu semua harus dibayar oleh para PRT dengan cara potongan gaji selama 5-6 bulan kerja.


Setelah bekerja di rumah majikannya masing-masing, para PRT tersebut belum tentu akan mendapatkan kelayakan kesejahteraan seperti tenaga kerja lainnya. Banyak di antara mereka yang dipaksa bekerja selama 16 jam hingga 18 jam per hari. Bahkan, ada juga yang sampai 20 jam. Hal ini tidak sebanding dengan gaji mereka yang masih jauh dibawah RM 800 (sekitar Rp 2,2 juta) setiap bulannya. Bahkan ada beberapa kasus, para PRT dari Indonesia tersebut malah bekerja tanpa gaji.


Belum lagi tindak kekerasan yang mereka terima dari para majikannya. Jika majikan merasa tidak senang dengan hasil kerja mereka, maka ia tidak akan segan-segan untuk menghukumnya. Apabila berbuat kesalahan biasanya majikan akan memberitahu agensi. Lalu dilakukan "konseling", yang dalam prakteknya disalahgunakan oleh beberapa pihak oknum agensi di Malaysia. Para PRT tersebut mengalami intimidasi dan kekerasan oleh agen yang bertugas melakukan konseling.


Selama beberapa tahun terakhir ini, Malaysia memang telah masuk daftar hitam sebagai negara yang dianggap kurang serius dalam menangani perdagangan manusia oleh Amerika Serikat. Walaupun Pemerintah Malaysia telah membantahnya dan telah membuat Undang-undang anti perdagangan manusia tahun 2008, namun tidak dapat dipungkiri kejahatan transnasional traficking masih saja terjadi.


Berdasarkan Data Polisi Diraja Malaysia (PDRM), selama tahun 2000-2005 rata-rata ada 2 ribu wanita Indonesia yang dijual menjadi pelacur dan tertangkap oleh pihak polisi Malaysia setiap tahunnya. Buruknya sistem pengiriman PRT ke Malaysia adalah salah satu penyebabnya. Belum lagi pekerja asing dari negara lainnya. Saat ini, Malaysia sendiri mempekerjakan sekitar 320 ribu PRT asing legal; sebagian besar berasal dari Indonesia, Sri Lanka, Filipina, Kamboja dan Thailand.


Peran Pemerintah

Untuk sistem perekrutan dan penempatan TKI, sudah saatnya pemerintah melakukan pembenahan. Kewenangan yang terlalu luas diberikan kepada pihak swasta dalam menempatkan TKI telah menjadi masalah yang besar karena tidak ada kontrol. Karena, sistem yang amburadul, perebutan lahan bisnis TKI, membuat Indonesia dipandang sebelah mata dan seolah-olah melegalkan traficking pada PRT. Sudah saatnya wewenang swasta dalam penempatan TKI informal dibatasi dan kendali dipegang langsung oleh pemerintah dalam bentuk government to government dengan negara penerima.


Pemerintah harus mulai memberikan perhatian yang serius untuk menghindari TKI menjadi korban traficking. Monitoring di negara penempatan harus dilakukan dengan membentuk lembaga monitoring khusus. Selain itu, tindakan tegas kepada majikan yang memperlakukan TKI secara semena-mena juga harus dilakukan. Ini semua harus dilakukan agar perlakuan kekerasan terhadap para PRT Indonesia di luar negeri dapat diminimalisir, bahkan mungkin kalau bisa dihilangkan.


Sementara itu, pada akhir 2009 lalu, Indonesia melakukan pertemuan dengan Malaysia untuk merevisi nota kesepahaman tahun 2006 tentang pengiriman PRT. Pertemuan itu dilakukan terkait langkah pemerintah Indonesia yang menghentikan sementara pengiriman PRT ke Malaysia pada Juni 2009, hingga ada revisi MOU Indonesia-Malaysia. Penghentian itu dilakukan setelah ada beberapa pembantu Indonesia mengalami siksaan.


Dalam pertemuan tersebut, Indonesia menginginkan adanya peraturan libur satu hari untuk pembantu, perlindungan asuransi, gaji minimum dan kenaikan gaji berkala, serta adanya kontrak kerja antara majikan dengan PRT. Poin yang paling penting, pemerintah menuntut tidak adanya diskriminasi gaji di antara sesama pembantu. Jika ada pembantu dari negara lain mendapatkan upah RM 800 per bulan, maka gaji pembantu Indonesia juga harus sebesar itu. Itulah nilai minimum yang diminta pemerintah Indonesia.


Selain itu, Menteri Tenaga Kerja juga sudah beberapa kali meminta kepada Malaysia, agar paspor dipegang oleh pekerja Indonesia karena itu adalah identitas dan hak asasi manusia secara internasional. Paspor boleh dipegang oleh majikan asalkan diserahkan sukarela oleh pembantu dan ada perjanjian tertulis kedua belah pihak. Pemerintah juga meminta agar Malaysia mau menolak rekrutmen pembantu secara individual atau perorangan.


Dengan adanya perlindungan asuransi serta kontrak kerja yang jelas seperti itu, tentu bisa meminimalisir terjadinya eksploitasi para pekerja oleh majikan-majikan mereka di Malaysia. Karena selama ini, sering kali mereka harus bekerja hingga di luar batas kewajaran. Selain itu, ada juga kasus beberapa PRT yang dipekerjakan secara bergilir di rumah keluarga majikannya yang lain tanpa bayaran. Kita berharap, para TKI di luar negeri bisa benar-benar diperlakukan sama dengan pekerja profesional lainnya, bukan sebagai budak.


* Dimuat di Harian Analisa (Kamis, 25 Februari 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar