------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Minggu, Desember 16, 2012

Solusi Pencegahan Banjir di Kota Medan

Oleh: Adela Eka Putra Marza

Dalam beberapa hari belakangan, Kota Medan kembali dilanda banjir. Walaupun tidak separah banjir-banjir yang pernah terjadi sebelumnya, namun kondisi tersebut tetap saja meresahkan masyarakat. Bagaimana tidak, banyak kegiatan masyarakat yang terganggu karena luapan air yang menggenangi rumah, pemukiman hingga jalan raya. Kerugian materi pun juga harus diterima sebagian masyarakat.

Senin, Desember 10, 2012

Asa Indonesia pada KPK



Oleh: Adela Eka Putra Marza

Bangsa Indonesia lagi-lagi dikejutkan dengan hasil perkembangan penyidikan sejumlah kasus korupsi di negeri ini. Setelah sebelumnya beberapa nama ditetapkan sebagai tersangka, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menunjukkan peningkatan kinerjanya dengan menetapkan beberapa orang tersangka lainnya dalam kasus korupsi proyek Pembangunan Pusat Pelatihan dan Sarana Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang.

Parit Tersumbat, Nyamuk Semakin Kuat

Oleh: Adela Eka Putra Marza 

Belakangan perkembangan nyamuk terasa semakin banyak. Situasi ini diperparah dengan kondisi cuaca yang seringkali hujan. Dengan keadaan drainase, terutama parit di Kota Medan yang lebih banyak tersumbat, mengakibatkan munculnya genangan air. Genangan air inilah yang membantu meningkatnya pertumbuhan jentik-jentik nyamuk, seperti nyamuk Aedes Aegypty. Dampaknya, kasus penyakit demam berdarah dengue (DBD) pun ikut naik tinggi.

Bank Sampah, Cara Menyulap Sampah Jadi Uang

Oleh: Adela Eka Putra Marza 

Sebagai salah satu kota besar di Indonesia dengan luas wilayah 265,10 km2, Kota Medan memiliki populasi penduduk sebanyak 2.949. 830 jiwa dengan kepadatan mencapai 11.127,2/km2 (Wikipedia.org). Dengan jumlah tersebut, tak heran jika pola produksi dan konsumsi di Tanah Deli ini juga tinggi. Fakta ini pula yang menyebabkan produksi sampah di Kota Medan terus mengalami kenaikan setiap tahun.

Menurut Walikota Medan Rahudman Harahap dalam suatu kesempatan beberapa waktu lalu, produksi sampah di Kota Medan per hari diperkirakan mencapai 1.500 ton. Bahkan, menurut Dinas Kebersihan Kota Medan, produksi sampah tersebut bisa mencapai 1.800 ton dalam sehari di hari-hari tertentu, seperti pada malam tahun baru. Dari jumlah itu, hanya sekitar 81 persen yang bisa diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Pemerintah Kota Medan sendiri hanya memiliki dua lokasi TPA, yaitu di Desa Namo Bintang, Pancur Batu dengan luas 16 hektar yang kondisinya sudah penuh tumpukan sampah setinggi 10 hingga 15 meter seluas 10 hektar, dan TPA di Desa Terjun, Kecamatan Medan Marelan dengan luas 14 hektare yang kondisinya hanya tersisa lahan kosong seluas 4 hektar. Jika melihat jumlah produksi sampah, tentu saja kedua lokasi TPA sudah tidak memadai lagi.

Oleh karena itu, diperlukan program pengelolaan persampahan secara lebih komprehensif dan terpadu. Apalagi selama ini, pengelolaan sampah di banyak daerah belum memenuhi kriteria pengelolaan sampah seperti diatur Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21 Tahun 2006 tentang Kebijakan dan Strategi Pengembangan Sistem Pengolahan Sampah Nasional.

Bank Sampah
Dalam banyak konsep pengelolaan sampah yang diaplikasikan di sejumlah negara, secara umum menggunakan konsep hierarki sampah yang merujuk kepada teori 3M, yaitu mengurangi sampah, menggunakan kembali sampah dan daur ulang. Teori ini mengklasifikasikan strategi pengelolaan sampah kepada tujuan keuntungan maksimum dari produk-produk praktis dan menghasilkan jumlah minimum sampah (Wikipedia.org).

Salah satu terobosan besar dalam pengeloaan sampah di Indonesia adalah program bank sampah. Melalui program ini, paradigma yang terbentuk dalam pikiran masyarakat bahwa sampah adalah sesuatu yang tidak berguna dan dibuang begitu saja, diubah menjadi sesuatu yang juga memiliki nilai dan harga. Melalui bank sampah, masyarakat bisa menabung sampah, yang kemudian dalam kurun waktu tertentu bisa menghasilkan uang.

Proses dalam bank sampah ini hampir sama dengan bank konvensional pada umumnya. Bedanya, jika bisanya kita menabung uang dapatnya uang, maka melalui bank sampah kita menabung sampah dapatnya malah uang. Inilah yang dilakukan oleh Bank Sampah Gemah Ripah di Desa Badegan, Bantul, Yogyakarta, digagas oleh dosen Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Yogyakarta Bambang Suwerda pada tahun 2008.

Dalam 4 tahun, keberadaan bank sampah yang kemudian dikembangkan oleh pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup ini bertambah secara drastis menjadi sebanyak 477 unit dengan penghasilan Rp 1,7 miliar. Salah satunya ada di Kota Medan, yaitu Bank Sampah Mutiara yang berada di Jalan Pelajar Timur, Gang Kelapa, Lorong Gabe, Kelurahan Binjai, Kecamatan Medan Denai, yang diresmikan pada 12 Mei 2012 lalu.

Selain memberikan nilai ekonomis bagi masyarakat yang menabungkan sampahnya melalui bank sampah, keberadaan bank sampah ini juga diharapkan mampu mengurangi sekitar 10 persen sampah yang masuk ke TPA. Program ini bahkan bisa mengurangi setengah dari jumlah sampah yang masuk ke TPA, jika Pemko Medan jadi membantu pendirian lima bank sampah lainnya pada tahun ini.

Kurang Sosialisasi
Sayangnya, satu-satunya bank sampah di Kota Medan ini belum mampu menarik perhatian masyarakat. Entah kurangnya sosialisasi pemerintah daerah, atau mungkin karena masyarakat yang kurang membaca informasi, faktanya keberadaan bank sampah ini hanya diketahui oleh segelintir orang. Hingga saat ini, memang masih minim informasi mengenai bank sampah, sehingga warga yang menggunakannya pun tidak banyak.

Di sisi lain, jumlah bank sampah di Kota Medan juga masih sedikit. Saat ini, hanya satu bank sampah yang tersedia untuk membantu masyarakat mengeloa sampah menjadi bernilai ekonomis. Padahal, jika dilihat secara geografis luas wilayah Kota Medan, seharusnya setiap kecamatan memiliki bank sampah. Bahkan, akan sangat membantu jika di tiap kecamatan terdapat minimal ada lima bank sampah.

Bandingkan, misalnya dengan Kota Banjarmasin yang sudah memiliki 30 bank sampah, (Analisa 13/11). Melalui unit-unit bank sampah tersebut, pengelolaan sampah yang dilakukan mampu memberikan penghasilan Rp 30 juta per bulan. Bahkan, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Banjarmasin menargetkan akan menambahnya hingga berjumlah paling sedikit 250 lokasi bank sampah dalam waktu dekat.

Melihat kondisi ini, tentunya akan sangat efektif jika Pemerintah Kota Medan lebih aktif lagi dalam menyosialisasikan keberadaan dan fungsi bank sampah. Misalnya, Pemko Medan bisa melakukan sosialisasi melalui posko-posko informasi yang ditempatkan di sejumlah fasilitas umum atau di kantor-kantor kecamatan. Melalui posko tersebut, masyarakat bisa mendapatkan informasi seputar keuntungan menjadi nasabah bank sampah.

Selain itu, pengenalan bank sampah kepada murid-murid sekolah seperti yang sudah dilakukan oleh pengelola Bank Sampah Mutiara, juga cukup efektif untuk menyosialisasikan program ini kepada masyarakat. Murid-murid sekolah ini diharapkan bisa menjadi pelopor dalam masyarakat untuk memanfaatkan pengelolaan sampah melalui bank sembari mendapatkan keuntungan ekonomis.


* Pernah dimuat di Harian Analisa (Minggu, 2 Desember 2012)

Baca juga di http://www.analisadaily.com/news/read/2012/12/02/91340/bank_sampah_cara_menyulap_sampah_jadi_uang/ 

Sabtu, Desember 01, 2012

Mencari Solusi BBM Bersubsidi

Oleh: Adela Eka Putra Marza

Persoalan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi masih saja menjadi polemik di negeri ini. Seminggu terakhir, habisnya stok BBM di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Kota Medan membuat heboh masyarakat. Seperti diberitakan Harian Analisa terbitan Selasa, 27 November 2012, kehabisan BBM tersebut disebabkan karena kurangnya jatah BBM bersubsidi dari Pertamina.

Pernyataan dari pihak PT Pertamina Sumatera Bagian Utara, mereka melakukan pengendalian harian (kitir harian) dalam menyalurkan kuota BBM bersubsidi hingga 31 Desember 2012, untuk mengantisipasi kekurangan BBM pascaoverkuota. Kondisi ini yang menyebabkan terjadinya kekosongan di sejumlah SPBU, karena adanya upaya penyusunan jadwal pengiriman BBM bersubsidi secara ketat dan teratur.

Namun, pihak Pertamina tetap berharap masyarakat tidak melakukan panic buying, apalagi dengan munculnya isu kenaikan BBM pada akhir tahun 2012. Karena hingga saat ini, isu kenaikan BBM tersebut belum terbukti. Oleh karena itu, masyarakat harus tetap membeli BBM bersubsidi sesuai kewajaran, melakukan penghematan, dan jangan melakukan penimbunan dalam jumlah banyak.

Over Kuota
Untuk tahun 2012, DPR telah menetapkan kuota BBM bersubsidi sebesar 40,4 juta kl, terdiri atas premium 24,41 juta kl, minyak tanah 1,7 juta kl, dan solar 13,89 juta kl. Pada bulan September 2012, pemerintah mengajukan tambahan kuota sebesar 4 juta kl lagi. Namun, kuota yang telah ditetapkan tersebut masih saja kurang. PT Pertamina (Persero) memperkirakan akan terjadi over kuota mencapai 1,227 juta kl di akhir tahun 2012.

Berdasarkan data Pertamina, realisasi penyaluran premium secara nasional hingga 24 November 2012 sudah mencapai 25,2 juta kl (Harian Analisa, 26 November 2012). Wajar saja jika Pertamina melakukan pemotongan pasokan BBM bersubsidi per SPBU sebesar 10 persen mulai 19 November 2012 lalu. Selain itu, Pertamina juga terpaksa menyiapkan dana sekitar Rp 6 trilun untuk penambahan kuota.

Sementara itu, di Sumatera Utara hingga 21 November 2012, premium bersubsidi yang tersisa hanya 12 persen lagi, dimana 1,4 juta kiloliter (kl) sudah disalurkan. Diperkirakan juga akan terjadi over kuota premium sekitar 1-2 persen (Harian Analisa, 27 November 2012). Bahkan, pada April 2012 lalu, penyaluran premium mencapai 512 ribu, melebihi kuota hingga April 2012 yang hanya 433 ribu kl.

Hari Tanpa BBM Bersubsidi
Untuk tahun 2013, telah ditetapkan kuota BBM bersubsidi sebanyak 46 juta kl, naik 2 juta kl dari kuota tahun 2012. Namun, kuota tersebut bisa saja tetap mengalami kekurangan, jika konsumsinya tidak dibatasi. Apalagi jika melihat tingkat pertumbuhan kendaraan bermotor, terutama kendaraan pribadi yang terus meningkat setiap tahun. Untuk itu, pemerintah harus menelurkan sejumlah kebijakan dalam mengerem konsumsi BBM.

Salah satu program yang dicanangkan pemerintah adalah Gerakan Nasional Hari Tanpa BBM Bersubsidi yang akan dilaksanakan pada 2 Desember 2012. Rencananya, semua SPBU yang beroperasi di Jawa-Bali dan 5 kota besar lainnya di luar Jawa, yaitu Medan, Batam, Palembang, Balikpapan dan Makassar tidak akan melayani penjualan premium bersubsidi selama pukul 06.00 hingga 18.00 WIB.

Sebagai gantinya, Pertamina menyiapkan alternatif bensin non subsidi, yaitu Pertamax dan Pertamax Plus. Melalui gerakan ini, Pertamina berharap dapat menghemat konsumsi premium bersubsidi hingga 15 ribu kl dengan nilai mencapai Rp 75 miliar (Harian Kompas, 26 November 2012). Diharapkan, semua masyarakat bisa mendukung gerekan nasional ini, demi menjaga ketercukupan kuota BBM bersubsidi hingga akhir tahun.

Memberlakukan 2 Harga
Selama ini, rencana untuk menaikkan harga BBM bersubsidi terus menjadi perbincangan hangat di Gedung DPR. Meski begitu, rencana tersebut belum terelisasi hingga saat ini, dengan pertimbangan bahwa negera seharusnya bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan rakyat atas bahan bakar minyak. Dalam hal ini, pemerintah harus tetap memberikan subsidi, meskipun hal tersebut mengakibatkan defisit keuangan negara.

Sebenarnya, menaikkan harga BBM bersubsidi boleh saja dilakukan, asal dengan perencanaan yang matang tanpa ditunggangi upaya politisasi oleh pihak-pihak tertentu. Misalnya, memberlakukan kebijakan dua harga (dual price), yaitu Rp6.000/liter untuk mobil pribadi sesuai usulan RAPBN-P 2012, sedangkan kendaraan umum, angkutan pedesaan, kendaraan barang/usaha kecil menengah, dan motor tetap Rp4.500/liter.

Dengan kebijakan seperti ini, kemungkinan defisit keuangan negara bisa ditekan hingga menjadi 2,5 persen. Angka ini sendiri masih di bawah ambang batas yang diizinkan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam artian, konsumsi BBM bersubsidi setiap tahun bisa dikurangi walaupun tidak banyak. Namun, kebijakan ini tentu tetap akan berpengaruh terhadap keuangan negara, selain juga dapat mengatur distribusi subsidi.

Solusi Bersama
Sejauh ini, pemerintah memang sudah melakukan sejumlah solusi untuk membatasi penggunaan BBM bersubsidi. Salah satunya, upaya menjaga tingkat pertumbuhan kendaraan bermotor dengan cara menaikkan nilai DP (down payment) untuk kredit sepeda motor sebesar 25 persen dari harga jual, dan minimal 30 persen untuk mobil. Dengan peraturan ini, diharapkan penjualan kendaraan bermotor mengalami penurunan hingga 25 persen.

Selain itu, pemerintah juga bisa menerapkan teknologi dengan sistem terintegrasi, seperti penggunaan kartu elektronik BBM (e-BBM) yang diusulkan Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan, atau penggunaan sistem teknologi pencatat pengguna BBM oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) pada 2013. Dengan sistem ini, misalnya bisa diberlakukan batas maksimum penggunaan BBM bersubsidi per hari.

Meski begitu, solusi bersama dari semua pihak tetap menjadi hal terpenting dalam menyelesaikan persoalan BBM bersubsidi ini. Dalam kasus ini, jangan hanya masyarakat saja yang diminta untuk melakukan penghematan melalui sejumlah kebijakan dari pemerintah. Namun, pihak pemerintah juga harus ikut melakukan penghematan, terutama para pejabat negara yang masih banyak menggunakan BBM bersubsidi.


* Dimuat di Harian Analisa (Jumat, 30 November 2012)

Sumber: http://www.analisadaily.com/news/read/2012/11/30/90871/mencari_solusi_bbm_bersubsidi/

Rakyat Makin Beringas, Salah Siapa?

Oleh : Adela Eka Putra Marza

Selama beberapa hari terakhir, di tengah-tengah peringatan Hari Sumpah Pemuda, kita malah disuguhkan dengan berita-berita nasional seputar bentrok antar warga di sejumlah daerah. Kerusuhan sosial yang terjadi melibatkan ratusan bahkan ribuan warga antar daerah. "Hebatnya" lagi, bentrokan tersebut menyebabkan sejumlah orang meninggal dunia, rumah masyarakat yang hancur dilempar batu, dan kendaraan bermotor dibakar warga yang bentrok. Selain itu, ribuan warga terpaksa mengungsi dan anak-anak yang mengalami trauma akan kekerasan.

Mulai dari rusuh di Lampung Selatan, Bandar Lampung, antara warga Desa Agom Kecamatan Kalianda dengan warga Desa Balinuraga Kecamatan Way Panji. Sejak Minggu, 28 Oktober 2012 lalu, hingga saat ini, sudah belasan orang yang meninggal dunia dalam kerusuhan tersebut. Padahal, penyebabnya hanyalah masalah sepele. Namun, menjadi besar karena disusupi isu SARA, ditambah emosi yang meledak-ledak antara warga Desa Agom yang didominasi etnis Lampung ke Desa Bali Nuraga yang didominasi etnis Bali tersebut.

Beberapa bulan sebelumnya, tepatnya di pertengahan 2012, Lampung juga heboh karena konflik Mesuji, Ogan Komering Ilir. Sejumlah warga terpaksa kehilangan nyawanya. Penyebabnya adalah saling ejek antar dua kelompok warga yang berujung dengan kerusuhan. Selain itu, pada April 2011 dan penghujung tahun yang sama juga terjadi bentrok antar warga. Jika ditotal sudah menyebabkan belasan orang pula yang meninggal dunia. Belum lagi, akibat dari konflik antara perusahaan perkebunan sawit PT Silva Inhutani dengan warga setempat yang terjadi sejak 2003.

Kemudian bentrok antar warga yang terjadi di Palu, Sulawesi Tengah, di waktu yang bersamaan dengan kerusuhan di Lampung Selatan. Hingga saat ini, beberapa warga meninggal akibat bentrok, dan suasana masih "panas". Sebelumnya, pada April 2012 juga terjadi bentrok antar warga di Palu. Bentrokan ini malah hanya disebabkan oleh perkelahian kecil sejak tahun 1996 yang masih menyisakan dendam hingga saat ini. Berulang kali bentrok terjadi, meskipun sebenarnya kedua belah pihak yang berbeda desa tersebut masih memiliki hubungan keluarga.

Kebebasan Tanpa Kepastian Hukum
Jika melihat lebih jauh ke belakang, tentu kita juga akan ingat dengan sejumlah konflik di beberapa daerah, seperti konflik SARA di Poso (Sulawesi Tengah) dan Ambon, atau konflik separatis di Aceh dan Maluku Utara beberapa tahun silam. Belum lagi tawuran antar pelajar yang semakin marak terjadi, bahkan seakan jadi tren baru dalam kehidupan sosial pelajar. Semua konflik sosial ini malah terjadi ketika kita sudah lepas dari rezim "diktator" Orde Baru dan "keran" kebebasan dibuka selebar-lebarnya oleh pemerintah.

Satu hal yang perlu kita perhatikan dalam kasus ini adalah poin kebebasan. Kebebasan yang selama ini terkungkung akibat pemerintahan ala diktator yang dijalankan oleh elit politik Orde Baru, tiba-tiba saja didapatkan oleh semua rakyat ketika reformasi bergelora di Tanah Air. Sejak saat itu, semua orang bisa bebas bersuara, bebas mengeluarkan pendapat, dan bebas menunjukkan ekpresi dirinya. Apalagi ketika azas hak asasi manusia (HAM) semaki menguat dan menjadi kepemilikian utuh bagi siapa saja dengan perlindungan hukum oleh negara.

Bahkan, belakangan HAM selalu dijadikan tameng bagi setiap orang untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak salah, meskipun perbuatannya sebenarnya telah melanggar norma-norma sosial dan bertentangan dengan hukum. Tak heran jika banyak orang yang berani melakukan apa saja demi mendapatkan keinginannya, dengan alasan hal tersebut dilakukan atas hak asasinya sebagai seorang manusia. Seperti misalnya, warga yang menunjukkan ekspresi kemarahannya akibat (mungkin) harga dirinya dilecehkan orang lain.

Selain itu, menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang juga Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof. Jimly Asshiddiqie, dalam sebuah pertemuan di Bandung beberapa bulan yang lalu, kebebasan yang terjadi di Indonesia saat ini hanya dinikmati oleh sebagian orang saja. Hal ini kemudian justru menimbulkan kesenjangan yang berujung pada konflik di berbagai daerah. Apalagi kebebasan tersebut tidak disertai dengan prinsip keadilan dan tanggung jawab, sehingga akhirnya menimbulkan banyak masalah.

Kembalikan Kepercayaan Rakyat
Kesalahpahaman dalam mengartikan kebebasan dan hak asasi ini pun semakin menjadi-jadi, ketika hukum di negeri kita tidak dijalankan dengan benar oleh para penegak hukum. Rakyat tidak lagi yakin bisa mendapatkan keadilan dan kepastian hukum, meskipun dia adalah korban. Buktinya banyak pelanggar hukum bisa lepas dari jeratan tuntutan, hanya karena dia bisa "membeli" hukum tersebut. Bahkan ironisnya, ada kasus yang terjadi, malah pihak korban yang dihukum. Bukan tidak mungkin alasan-alasan seperti ini yang menyebabkan rakyat semakin beringas.

Keadilan dan kepastian hukum itu seperti oase yang sangat ditunggu untuk dapat menghapus dahaga rakyat saat ini. Namun masalahnya, alat-alat kekuasaan negara gagal memproduksi kepastian dan keadilan tersebut untuk semua rakyat. Dan lagi-lagi, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menikmati kepastian dan keadilan hukum tersebut, yang seharusnya menjadi hak bagi semua orang. Hanya elit saja yang bisa mendapatkannya, sedangkan rakyat biasa terpaksa harus menderita karena ketidakjelasan keadilan dan kepastian hukum tersebut.

Inilah yang kemudian melahirkan rasa ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah. Banyak persoalan yang sesungguhnya sepele akhirnya menjadi persoalan besar, karena semua orang merasa lebih baik mengambil tindakan sendiri daripada menyerahkan penyelesaiannya kepada penegak hukum. Apa yang dikatakan Ketua DPD RI Irman Gusman dalam Sidang Paripurna DPD Peringatan Hari Ulang Tahun Ke-8 DPD RI awal Oktober lalu, bahwasanya ketiadaan keadilan hukum berpotensi melahirkan berbagai gejolak dan konflik, ternyata sangat benar adanya.

Dalam hal ini, pemerintah mempunyai tanggung jawab berat untuk mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap pelaksanaan hukum di negeri ini. Pemerintah harus mampu meyakinkan kembali semua rakyat Indonesia, bahwa mereka juga mendapat perlindungan hukum yang sama tanpa adanya pembedaan, tanpa adanya transaksi jual beli hukum tersebut. Dengan itu, hukum yang selama ini hanya menjadi seonggok peraturan tanpa roh, bisa dirasakan keberadaannya sebagai sebuah kebenaran oleh semua orang tanpa kecuali.

Selain itu, pemerintah juga harus bertanggung jawab untuk menghidupkan kembali nilai-nilai kebebasan yang bertanggung jawab dalam kehidupan rakyat saat ini. Pendidikan harus mampu mengajarkan wawasan kebangsaan dan nilai-nilai pluralistik sejak dini. Sehingga, ketika anak-anak sudah menjadi bagian dari masyarakat, pemahaman tersebut bisa ikut tertanam di dalam kehidupan masyarakat. Kemudian, prinsip solidaritas dan sikap toleransi juga harus dihidupkan kembali dalam hidup bermasyarakat. Agar pemahaman tentang "perbedaan itu adalah kodrat" bisa dimaknai secara bersama, yang secara perlahan-lahan akan melunakkan kembali rakyat yang mulai beringas.


* Dimuat di Harian Analisa (Senin, 5 November 2012)

Sumber: http://www.analisadaily.com/news/read/2012/11/05/85538/rakyat_makin_beringas_salah_siapa/

Tayangan TV Mengancam Anak Kita

Oleh : Adela Eka Putra Marza

Sejatinya, televisi berfungsi sebagai media komunikasi, informasi, dan dengan sendirinya juga sebagai media pendidikan. Tentu saja tidak ada yang kontroversial dengan fungsi tersebut. Namun dalam perkembangannya belakangan ini, pengusaha media televisi ternyata lebih mengutamakan sisi bisnis dalam menjalankan media tersebut. Silang pendapat pun muncul karena persepsi, perspektif, dan kepentingannya kemudian bisa menjadi berbeda-beda.

Biasanya persoalan rating menjadi alasan utama ketika pengusaha televisi lebih memilih untuk menayangkan sinteron dengan cerita bertele-tele atau film televisi (FTV) tentang cinta, ketimbang menyajikan tayangan bermuatan pendidikan. Bahkan, belakangan tayangan reality show yang kebanyakan sudah diatur alur ceritanya juga ikut meramaikan dunia pertelevisian dalam negeri.

Tak heran jika kemudian muncul pendapat bahwa siaran televisi dianggap sebagai salah satu penyumbang terbesar terhadap kerusakan moral anak-anak. Penilaian banyak kalangan bahwa banyak tayangan televisi yang tidak memberikan nilai positif terhadap anak-anak menjadi pertimbangan penting. Malah banyak isi tayangan televisi yang tidak layak dikonsumsi anak-anak.

Ideologi Televisi
Seperti dikatakan Garin Nugroho, "Ia seperti Dewa Janus, penyelamat sekaligus penghancur. Televisi adalah meta-medium, instrumen yang tidak hanya mengarahkan pengetahuan tentang dunia, tetapi mengarahkan kita bagaimana mendapatkan pengetahuan" (Kompas, 10 September 1996). Televisi menawarkan ideologinya sendiri yang khas.

Seringkali televisi mencampuradukkan berbagai realitas pengalaman kita yang berlainan, karena tak adanya batasan yang jelas dan riil dalam setiap tayangan televisi. Kesulitan mengidentifikasi pengalaman pribadi yang sebenarnya; antara khayalan dan kenyataan, menjadi persoalan besar yang (malah) sering terlupakan. "Sebagai akibatnya, masyarakat kita bingung, gagap, tak berdaya, mengalami konflik, dan gegar budaya," tambah Dedy Mulyana dalam Jurnal Sosioteknologi Edisi 15 Tahun 7, Desember 2008.

Ungkapan Taufik Abdullah bahwa budaya televisi adalah "budaya pop" yang melarutkan identitas kita dalam keseragaman yang dangkal sehingga kita kehilangan kemampuan untuk mendefinisikan jati diri bangsa kita (Kompas, 14 April 1997), ternyata juga relevan dalam persoalan ini. Ini menjadi kenyataan, saat melihat banyak hilangnya jati diri dari generasi muda bangsa ini.

Televisi pada hakikatnya melakukan penetrasi yang lebih besar terhadap kehidupan kita dari pada ideologi-ideologi konvensional yang kita kenal selama ini. Hanya saja caranya begitu halus sehingga sulit terdeteksi. Ketika pesan-pesan yang disampaikan oleh televisi mulai menyimpang dari ideologi masyarakat Indonesia pada umumnya, tentu ini harus dipersoalkan. Apalagi, jika terjadi eksploitasi yang berlebihan dalam kehidupan seseorang yang ditayangkan; hanya karena pertimbangan bisnis.

Ketika media massa seperti televisi tunduk kepada kepentingan modal, kepentingan moral untuk masyarakat bisa menjadi ambivalen. Bahkan, media massa bisa tidak mempunyai kepekaan atas perasaan masyarakat. Media massa bisa kehilangan imajinasi dan fantasinya tentang masyarakat. Yang ia lihat, masyarakat adalah sederetan angka penting. Semakin tergantung masyarakat padanya, media massa itu akan semakin merasa sukses.

Ancaman Tersembunyi
Masalahnya sekarang, televisi tidak hanya memberikan ruang diplomasi virtual, tetapi juga menciptakan kesadaran baru. Media ini memberikan proses learning social norms yang lebih intensif daripada lainnya. Tentu saja dampaknya bisa baik, dan bisa buruk. Namun jika televisi dihadapi dengan ketidakkritisan, ia lebih cenderung berakibat buruk.

Itulah yang terjadi saat ini di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Kita belum punya kemampuan yang besar untuk menyaring setiap "godaan" yang diperlihatkan dalam tayangan-tayangan televisi. Apalagi jiga dengan mempertimbangkan daya ekonomi dan daya tawar masyarakat kita yang tidak merata. Hal ini pula yang kemudian mengancam anak-anak dengan yang setiap hari tidak bisa dari tayangan televisi.

American Academy of Pediatrics (AAP) dalam publikasi di jurnal ilmiahnya, "Pediatrics", pernah membuat pernyataan tentang pengaruh televisi terjadap anak; yang kemudian menimbulkan reaksi pro dan kontra. "…bahwa 2 tahun pertama seorang bayi adalah masa yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan otak, dan dalam masa itu anak membutuhkan interaksi dengan anak atau orang lain. Terlalu banyak menonton TV akan memberi pengaruh negatif pada perkembangan otak. Hal ini benar, terutama bagi usia yang masih awal, di mana bermain dan bicara sangatlah penting…"

Lebih lanjut, AAP mengeluarkan pernyataan tidak merekomendasikan anak di bawah 2 tahun untuk menonton TV. Sedangkan untuk anak yang berusia lebih tua, AAP merekomendasikan batasan menonton TV hanya satu atau dua jam saja, dan yang ditonton adalah acara yang edukatif dan tidak menampilkan kekerasan. Sebuah penelitian yang melibatkan lebih dari 3.000 anak usia 3 tahun, juga menemukan bahwa anak-anak yang terlalu sering menonton TV, secara langsung atau pun tidak, akan berisiko untuk memamerkan perilaku agresif (Kompas, 11 Juli 2011).

Pada kenyataannya, perilaku yang ditirukan anak-anak memang tidak sekadar bersifat fisik dan verbal, melainkan juga malah turut mempraktikkan nilai-nilai yang dianut tokoh-tokoh yang dilukiskan dalam setiap tayangan televisi yang ditontonnya. Pengaruh televisi memang tidak langsung terlihat, namun terpaan yang berulang-ulang pada akhirnya dapat mempengaruhi sikap dan tindakan penonton; dalam artian efeknya baru akan terasa setelah waktu yang lama.

Matikan TV!
Seharusnya para pengusaha media televisi sendiri bisa memikirkan bagaimana membuat program-program yang bermutu, menarik dan memberdayakan masyarakat, selain secara finansial menguntungkan. Jangan hanya sekedar menghitung, berapa keuntungan yang harus didapatkan dari program-program sinetron ataupun reality show yang tak jelas juntrungan dan manfaatnya.

Kita lupa bahwa mayoritas masyarakat kita tidak mendapatkan pendidikan yang maksimal, dan karenanya kurang kritis. Kita juga lupa bahwa sebagian besar dari pemirsa adalah anak-anak yang cenderung meniru apa yang mereka lihat dari televisi. Karenanya, keberadaan benda ini sangat besar pengaruhnya dalam proses pembentukan pola pikir dan karakter perilaku suatu masyarakat. Sehingga keberadaannya sangat penting dalam melakukan propaganda untuk kepentingan-kepentingan tertentu.

Semua ini memang tak bisa juga hanya menyalahkan para pengelola televisi. Kita juga harus melihat tingkat kesanggupan masyarakat kita untuk menerima semua konten tayangan televisi. Setiap individu, keluarga dan masyarakat memiliki tugas masing-masing untuk senantiasa membentengi dan mengingatkan diri sendiri, keluarga dan masyarakat dari berbagai pengaruh asing yang datang dan menggerogoti melalui televisi.

Seiring itu pula muncul seruan kampanye hari tanpa televisi pada Minggu, 25 Juli 2010 lalu, bersamaan dengan peringatan Hari Anak Nasional 23 Juli. Dengan kampanye ini, orangtua harus lebih memperhatikan pola kebiasaan anak menonton televisi; dengan tidak menghidupkan televisi selama satu hari. Harapannya, ketergantungan anak-anak akan siaran televisi bisa dikurangi.

Kita harus berani mengambil sikap tegas dalam membentengi diri kita sendiri dan terutama keluarga untuk menghindari nilai-nilai negatif dari televisi. Bahasa gampangnya, kita harus berani mematikan televisi ketika acara yang ditayangkan sama sekali tidak bermanfaat dan tidak mendidik. Seperti yang ditulis Sunardian Wirodono (2006) dalam bukunya tentang dampak negatif televisi; "Bunuh saja, TV-mu!"


* Dimuat di Harian Analisa (Sabtu, 28 Juli 2012)

Sumber: http://www.analisadaily.com/news/read/2012/07/28/65553/tayangan_tv_mengancam_anak_kita/

Kamis, April 19, 2012

Danau Toba : Antara Ekosistem dan Kerusakan Lingkungan

Oleh : Adela Eka Putra Marza

Danau Toba memang benar-benar menjadi anugerah untuk
masyarakat di sekitarnya. Tidak hanya keindahan alam, namun danau ini juga memberikan kehidupan bagi orang Batak Toba. Sangat disayangkan jika semua ini menjadi punah, hanya gara-gara masyarakat mengeyampingkan kelestarian ekosistem Danau Toba demi meraup rupiah.

Sekitar jutaan tahun lalu, satu gunung api raksasa yang berada di dataran Sumatera meletus. Menurut pakar, letusan gunung yang kemudian dikenal orang sebagai Gunung Toba itu merupakan salah satu dari dua letusan supervolcano (gunung api raksasa) yang pernah terjadi dan diidentifikasi di dunia, selain Supervolcano Yellowstone di Amerika.

Berdasarkan geologi, letusan Supervolcano Toba yang memiliki tingkat letusan mencapai skala 8 VEI (Volcano Explosivity Index/skala maksimum) itu membentuk kaldera, yang kemudian cikal bakal Danau Toba. Oleh karena itulah Danau Toba disebut sebagai sebuah danau vulkanik dengan pulau vulkanik bernama Pulau Samosir di tengah-tengahnya.

Letusan Supervolcano Toba itu sendiri memuntahkan ribuan kubik material. Menurut Bill Rose dan Craig Chesner dari Michigan Technological University, diperkirakan bahan-bahan vulkanik yang dimuntahkan gunung itu sebanyak 2800 km3; 800 km3 batuan ignimbrit dan 2000 km3 abu vulkanik, yang diperkirakan tertiup angin ke barat selama 2 minggu.

Debu vulkanik yang ditiup angin tersebut menyebar ke separuh bagian bumi, dari China hingga ke Afrika Selatan. Letusannya terjadi selama satu minggu dan lontaran debunya mencapai 10 km di atas permukaan laut. Kejadian ini bahkan menyebabkan kematian massal dan pada beberapa spesies, yang kemudian diikuti kepunahan.

Menurut beberapa bukti DNA, letusan ini juga menyusutkan jumlah manusia sampai sekitar 60 persen dari jumlah populasi manusia bumi saat itu, yakni sekitar 60 juta manusia. Letusan tersebut juga ikut menyebabkan terjadinya zaman es, walaupun para ahli masih memperdebatkan soal itu.


Spesies Endemik

Begitu dahsyatnya letusan Gunung Toba, yang berpengaruh besar terhadap perkembangan ekosistem makhluk hidup yang ada saat itu. Pengaruh tersebut ternyata masih ada dalam hingga saat ini. Danau Toba yang terbentuk akibat letusan gunung api raksasa tersebut juga mempengaruhi ekosistem yang ada di sekitarnya saat ini.


Danau Toba banyak menyimpan spesies endemik yang sangat beragam. Terutama berupa ikan Batak (ihan), spesies Neolissochillus Thienemanni yang hanya ada di Danau Toba. Berdasarkan kriteria IUCN (International Union for the Conservation of Nature), jenis ikan ini sudah diklasifikasikan sebagai terancam punah (endangered).


Dulu ikan ini sering dihidangkan sebagai sajian istimewa untuk berbagai acara pesta adat bagi masyarakat setempat. Sayangnya, sekarang sudah sangat sulit untuk menemukan ikan tersebut di Danau Toba. Spesies ikan endemik Danau Toba ini mulai terancam punah akibat kerusakan lingkungan.


Apalagi, masyarakat di sekitar Danau Toba saat ini juga lebih memilih ikan budidaya seperti ikan mas dan nila, untuk dibibitkan dalam keramba jaring apung (KJA). Bisnis ini memang sedang menjadi tren di tengah-tengah masyarakat di sekitar Danau Toba, sebagai pilihan usaha; meskipun kenyataannya banyak menghasilkan limbah bagi Danau Toba.


Keanekaragaman Hayati

Potensi air dari Danau Toba memang sangat besar. Hal ini sebenarnya juga bisa dimanfaatkan untuk menjaga keutuhan ekosistem di daratan. Bahkan, seharusnya juga mampu menopang kebutuhan air untuk pertanian di sekitar Danau Toba sebagai sumber air untuk irigasi. Namun, malah sering kali lahan pertanian di Samosir malah kekeringan.


Hal yang tak kalah menarik dari ekosistem Danau Toba adalah potensi keanekaragaman hayati daratan yang dimilikinya. Berbagai jenis tumbuhan terdapat di sekitar Danau Toba dan hanya bisa ditemukan di sana. Di antaranya ada anggrek Toba, adulpak, kantung semar dan andaliman yang dikenal sebagai salah satu bahan masakan khas Batak Toba.

Di samping itu, kawasan Danau Toba juga menyimpan potensi kawasan hutan yang sangat luas. Daerah ini memiliki ekosistem daratan yang luas dengan di kelilingi oleh pegunungan Bukit Barisan. Meski beberapa tahun belakangan ini sudah mulai gundul, namun kawasan hutan tersebut turut berperan dalam menjaga ketersediaan air Danau Toba.

Ekosistem daratan ini memiliki potensi andalan, antara lain kawasan dikelilingi oleh pegunungan Bukit Barisan dengan panjang mencapai 87 kilometer. Kawasan hutan ini memiliki luas 259.721 hektar yang berada pada ketinggian 900 meter dari permukaan laut, dan menghidupi masyarakat di 443 desa di sekitar Danau Toba.


Ancaman Lingkungan

Sangat disayangkan, aktifitas perekonomian masyarakat di sekitar Danau Toba saat ini mulai banyak mengancam kelestarian ekosistem dan lingkungan di sekitar Danau Toba tersebut. Usaha keramba yang menjamur di perairan Danau Toba menjadi penyumbang limbah terbanyak, akibat sisa-sisa pakan ikan yang berasal dari bahan kimia.


Bahan-bahan tersebut mempengaruhi mutu air di Danau Toba yang semakin lama semakin rendah. Berdasarkan hasil penelitian Prof Ternala Alexander Barus, Guru Besar FMIPA Universitas Sumatera Utara pada akhir 2004, diketahui bahwa nilai kelarutan oksigen pada air Danau Toba telah turun pada nilai yang sangat rendah, yakni 2,95 mg/l.


Ini menunjukkan bahwa ketersediaan oksigen sudah sangat terbatas. Selain itu, nilai BOD (Biochemical Oxygen Demand) pada air Danau Toba sebesar 14 mg/l juga mengindikasikan tingginya bahan organik di dalam air. Bahan tersebut kemungkinan berasal dari sisa pakan yang tidak habis dikonsumsi oleh ikan budidaya.


Melihat ancaman pencemaran lingkungan di sekitar Danau Toba ini, tentunya pemerintah harus segera menentukan langkah untuk mengatasinya. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara harus konsisten dalam pemberlakuan zonasi di kawasan Danau Toba. Pembatasan terhadap zona industri yang memanfaatkan lingkungan Danau Toba harus dilakukan secara tegas.


Selain itu, upaya menjaga agar kualitas mutu air Danau Toba tetap baik juga bisa dilakukan dengan cara mengakrabkan lingkungan dengan ekonomi masyarakat sekitar kawasan Danau Toba. Pemerintah daerah harus mampu mengakrabkan kepentingan lingkungan Danau Toba dan kepentingan perut masyarakat dalam mempertahankan hidupnya.


* Dimuat di Harian Analisa (Kamis, 19 April 2012)

Sumber: www.analisadaily.com/news/read/2012/04/19/46424/antara_ekosistem_dan_kerusakan_lingkungan/

Sabtu, Januari 28, 2012

Ada "Tambang Emas" di Danau Toba

Oleh : Adela Eka Putra Marza

Penyanyi legendaris dari Tanah Batak, Nahum Situmorang menceritakan "hebatnya" danau ini kepada banyak orang melalui bait-bait dalam sebuah tembang berjudul "O Tao Toba". Danau Toba memang luar biasa. Tak hanya indah, tapi juga memiliki banyak potensi; meski masih belum digarap sempurna.

Danau Toba sejak dulu sudah menjadi ikon Sumatera Utara. Danau ini menjadi salah satu kekayaan alam yang paling luar biasa di Sumatera Utara sebagai salah satu danau volkano tektonik terluas di dunia. Di dalamnya tersimpan banyak potensi, yang jika digarap dengan benar dan secara maksimal, bisa saja danau ini menjadi lahan pendapatan daerah bagi Sumatera Utara.

Dalam bidang pariwisata saja, Danau Toba pernah menyedot hampir 35 ribu pengunjung dalam satu tahun pada 1998 berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik Kabupaten Samosir. Sayangnya, angka ini terus menurun dari tahun ke tahun seiring terjadinya krisis ekonomi dan travel warning yang sempat melekat pada Indonesia; meski tak sepenuhnya hal itu jadi alasan utama.

Danau Toba sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Sumatera Utara, pada saat ini memang kurang banyak diminati oleh wisatawan. Selain terus menurunnya angka kunjungan wisatawan, fakta lain yang membuktikan kenyataannya ini adalah saat tersisihnya Danau Toba sebagai salah satu daerah kunjungan wisata nasional dalam Visit Indonesia 2008, dengan alasannya danau ini mulai dilupakan oleh wisatawan.

Namun, dalam beberapa tahun belakangan, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara mulai kembali menata Danau Toba untuk pariwisata. Salah satu agenda penting yang setiap tahun digelar adalah Pesta Danau Toba, seperti yang dihelat pada 27-30 Desember 2011. Even ini sendiri pastinya bertujuan untuk mempromosikan kembali Danau Toba ke mata dunia, sembari menggaet angka kunjungan wisatawan.

Keramba Jaring Apung
Tak hanya di bidang pariwisata, sebenarnya masih banyak potensi lainnya dari Danau Toba. Misalnya, potensi air Danau Toba bisa dimanfaatkan untuk bisnis keramba jaring apung (KJA) yang saat ini menjadi tren di tengah-tengah masyarakat di sekitar Danau Toba, sejak sekitar 10 tahun yang lalu. KJA ini ternyata juga mampu memberikan hasil yang lebih dari cukup bagi masyarakat sekitar, bahkan dapat menopang kehidupan mereka.

Saat ini, sekitar 7.000 petani keramba tersebar di beberapa daerah di sekitar Danau Toba, seperti Haranggaol, Pangururan, Tomok dan Balige. Bahkan, menurut data Asosiasi Perikanan, Pertanian, Lingkungan Hidup dan Budaya (APPLHB) Dearma Haranggaol pada 2010, setidaknya 70 persen masyarakat di daerah tersebut menggantungkan hidupnya dari hasil keramba.

Belum lagi keramba milik PT Aquafarm Nusantara, yang merupakan perusahaan keramba ikan nila terbesar di Indonesia. Perusahaan asal Swiss tersebut memiliki sekitar 1200 keramba yang dapat menghasilkan 75 hingga 80 ton ikan nila perharinya. Keramba ini berada di lahan yang masih sekitar 7 hektar dari 30 hektar yang diizinkan untuk pengembangan keramba di Danau Toba.

Keberadaan Aquafarm memang begitu fenomenal. Perusahaan asing tersebut telah menampung ratusan tenaga kerja. Bisnis ini pun begitu menjanjikan. Dengan modal hanya 10 juta, pemilik keramba dapat meraup keuntungan hingga 600 ribu perhari. Tapi keberadaannya pun turut memberi andil besar pada pencemaran Danau Toba. Pakan ikan yang terbuat dari campuran berbagai zat kimia secara tidak langsung merusak kebersihan air danau.

Sumber Air "Abadi"
Jika diperhatikan air Danau Toba merupakan sumber air yang tak pernah kering. Danau ini memiliki luas 1265 km2 dengan panjang 90 km dan lebar 30 km. Kedalaman danau mencapai rata-rata 450 m dari ketinggian 950 m di atas permukaan laut. Sedangkan volume air Danau Toba diperkirakan 1,18 triliun meter kubik dengan daerah tangkapan air 3698 km2. Sebanyak 142 sungai dari Pulau Sumatera dan 63 sungai dari Pulau Samosir bermuara ke danau ini.

Salah satu yang unik dari potensi air di Danau Toba adalah siklus pergantian airnya yang mencapai 110-280 tahun. Danau-danau lainnya di dunia biasanya hanya memiliki siklus perputaran air rata-rata sekitar 17 tahun. Ditambah lagi dengan adanya 19 subdaerah aliran sungai (DAS) di sekitar kawasan danau Toba, tentunya bisa dibayangkan betapa besarnya potensi air Danau Toba.

Di tengah krisis air minum sebagai salah satu dampak perubahan iklim, sumber daya air tawar Danau Toba sangat potensial untuk dimanfaatkan bagi kebutuhan rumah tangga dan industri. Air danau pastinya tidak akan pernah habis meski dipakai sebanyak apapun. Jika ini bisa dimanfaatkan, tentunya musim kemarau di Sumatera Utara tidak perlu lagi diwarnai dengan kekeringan dimana-mana.

Dari sisi ekonominya, potensi air tawar di Danau Toba ini bisa menghasilkan angka yang fantastis. Rata-rata dalam setahun, Danau Toba mampu mengalirkan air mencapai 3,2 miliar kubik. Jika debit pelepasan air tersebut dinilai dalam rupiah sesuai dengan tarif air minum untuk pelanggan rumah tangga di Medan sebesar Rp 575 per meter kubik, maka potensi nilai ekonomi sumber daya air minum dari Danau Toba mencapai Rp 1,8 triliun per tahun.

Mengalirkan Listrik
Potensi air Danau Toba ini juga bisa menjadi potensi energi yang sangat besar bagi penyediaan listrik, dengan menghasilkan tenaga listrik melalui pembangkit listrik tenaga air. Sejak bertahun-tahun ternyata danau ini telah menyumbangkan banyak pendapatan daerah kepada negara melalui pajak yang diterima negara dari proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Asahan.

Danau Toba memiliki potensi daya listrik sekitar 1000 hingga 1100 megawatt (MW). Hingga saat ini, daya bangkit yang telah terpakai sekitar 450 MW pada PLTA Asahan, 82 MW pada PLTA Lae Renun dan 180 MW pada PLTA Asahan I di Porsea, Kabupaten Toba Samosir. Energi listrik ini digunakan untuk operasional PT Inalum yang merupakan perusahaan kerja sama antara Indonesia dan Jepang sejak 1975, dan untuk PLN.

Potensi ekonomi dari tenaga pembangkit listrik ini bisa saja menjadi potensi ekonomi yang sangat besar lagi jika PLTA Asahan II dan III sudah mulai beroperasi nantinya.

Dengan itu, pasokan listrik di Sumatera Utara nantinya juga bisa tercukupi. Apalagi, selama ini banyak industri di Sumatera Utara yang kekurangan pasokan listrik untuk operasional perusahaan dan pabrik. Harapannya, tentu saja kasus pemadaman bergilir bisa dihentikan.

Bahkan, bukannya tak mungkin jika potensi tenaga pembangkit listrik dari Danau Toba bisa mengatasi permasalahan krisis listrik di Indonesia. Apalagi, beberapa ahli pernah menyebutkan bahwa air Danau Toba dapat disedot ke atas sebagai penggerak kincir untuk pembangkit listrik seperti di Negara Belanda. Sayangnya, kita belum cukup "daya" untuk merealisasikan ini.

Jika melihat potensi Danau Toba ini, tak salah jika masyarakat Batak patut berucap syukur kepada Tuhan. Anugerah akan Danau Toba dengan alamnya indah, ternyata juga mampu memberikan nafkah. Sejak dulu, Danau Toba telah menopang hidup masyarakat yang tinggal di kawasan ini. Apa yang telah kita dapatkan tidak hanya lebih dari cukup, bahkan melimpah.

* Dimuat di Harian Analisa (Sabtu, 28 Januari 2012)

Baca juga di:
http://www.analisadaily.com/news/read/2012/01/28/32382/ada_tambang_emas_di_danau_toba/

Minggu, Januari 15, 2012

PSMS Medan: Mau Dibawa Kemana Ayam Kinantan?

Oleh : Adela Eka Putra Marza

Sejarah PSMS Medan yang begitu mengkilap di masa lalu, sepertinya sudah tinggal kenangan. Menatap musim ini pun sepertinya juga masih berat. Apalagi dengan munculnya dualisme PSMS di awal kompetisi; satu di ISL, satu lagi di IPL. Lalu, mau dibawa kemana Ayam Kinantan?

Gonjang-ganjing keikutsertaan klub sepakbola kebanggaan warga Medan, PSMS Medan di Liga Indonesia musim ini memang sudah berujung. PSMS Medan sudah memastikan diri untuk ikut Indonesian Super League (ISL) yang digelar PT Liga Indonesia, selain satu tim lagi yang berpartisipasi di Indonesia Premier League (IPL), kompetisi resmi PSSI.

Sebelumnya, masyarakat pecinta sepakbola Medan memang sempat dibuat bingung oleh ketidakpastian di mana tim berjuluk Ayam Kinantan ini akan berlaga. Setelah mendapat tiket gratis untuk bermain di IPL, perwakilan PSMS tiba-tiba diketahui hadir dalam pertemuan klub peserta Divisi Utama PT Liga Indonesia di Surabaya pada pertengahan November lalu.

Tidak cukup sampai di situ, PSMS juga mengirimkan wakilnya dalam pertemuan klub-klub peserta ISL, masih di bulan yang sama. Padahal, seperti telah diketahui sebelumnya, ISL sendiri sudah tidak diakui lagi sebagai kompetisi resmi oleh PSSI. Meski begitu, manajemen PSMS tetap saja menggantung harapan besar untuk dapat bermain di ISL.

Harapan itu akhirnya memang bisa terwujud. Sebagai salah satu tim yang lolos ke 8 besar Divisi Utama PT Liga Indonesia musim lalu, PSMS diberi kesempatan naik kasta ke ISL untuk memenuhi kuota peserta kompetisi, menggantikan beberapa tim yang memilih bermain di IPL.

Dualisme Fanatisme

Namun, ternyata masalahnya tidak begitu saja selesai. Satu tim PSMS lagi ternyata juga bermain di IPL. Tak pelak hal ini memunculkan dualisme di tengah-tengah fanatisme masyarakat terhadap klub kebanggaan para pecinta sepakbola di Medan.

Lucunya, di beberapa sudut jalan di Kota Medan, beberapa kali saya melihat spanduk bertuliskan, "PSMS Asli yang Ada Markus". Ya, salah satu punggawa PSMS yang membawa tim ini masuk ke final Liga Indonesia 2007 lalu itu kembali pulang kampung, setelah melanglang buana di beberapa tim Liga Indonesia selama hampir 4 tahun.

Dari fenomena ini, kita bisa melihat bagaimana kesenjangan antara dua tim PSMS di musim ini. Masyarakat pecinta sepakbola Medan sepertinya memang lebih memilih PSMS yang berlaga di ISL, ketimbang PSMS versi IPL. Apalagi, prestasi keduanya di awal musim ini sungguh jauh berbanding terbalik 180 derajat; yang satu ikut bersaing di papan atas klasemen ISL, satu lagi setia menghuni dasar klasemen IPL.

Sedihnya lagi, selain tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat, PSMS IPL juga sempat luntang-lantung di awal musim. Homebase dan lapangan tempat mereka berlatih sama sekali tak jelas. PSSI sebagai penyelenggara IPL dan telah mengklaim kompetisi tersebut sebagai kompetisi resmi juga seakan-akan terlupa dengan PSMS IPL, setelah sebelumnya memberikan banyak janji.

Sejarah yang Tersisa

Padahal, di era 1980-an PSMS pernah mencatatkan diri sebagai salah satu kiblat persepakbolaan nasional. Saat itu, dengan diperkuat pemain legendaris seperti Ronny Paslah, Ipong Silalahi dan Tumpak Sihite, PSMS berhasil menjuarai Kompetisi Perserikatan selama tiga kali berturut-turut, yakni musim 1966-1967, 1967-1969 dan 1969-1971.

Ditambah dengan dua gelar sama di musim yang berbeda, PSMS berhasil membukukan prestasi sebagai juara sebanyak lima kali. Ini menyamai rekor yang dimiliki oleh Persib Bandung dan PSM Makassar. Selain itu, PSMS Medan juga pernah tiga kali tampil sebagai juara 2 dalam kompetisi sepak bola pertama di Indonesia itu.

Tidak sampai di situ saja, PSMS juga sempat mewakili Indonesia di Piala Champions Asia musim 1970. Tim yang diperkuat oleh mantan pemain Tim Nasional Indonesia Iswadi Idris, serta Soetjipto Soentoro dan Anwar Ujang itu berhasil menduduki peringkat ke-4 setelah ditekuk wakil Iran di semifinal dan kalah oleh wakil Syria di perebutan juara 3.

Memasuki era Liga Indonesia (Ligina), PSMS sempat masuk 8 besar selama tiga musim berturut sejak 1998 hingga 2001. Puncaknya, sejumlah pemain muda lokal seperti Legimin Raharjo, Mahyadi Panggabean, Saktiawan Sinaga, dan Markus Horison berhasil membawa PSMS ke final Ligina 2007. Sayangnya, mereka melempem di gelaran pertama ISL pada 2008, hingga kemudian terdegradasi ke Divisi Utama.

Haus Prestasi

Musim ini, setelah reformasi terjadi di tubuh PSSI, PSMS membelah diri jadi dua seperti "amoeba". Satu berstatus legal dengan bermain di IPL, namun dengan prestasi yang masih seret. Sedangkan satu lagi bermain di ISL yang tidak diakui PSSI dan FIFA, meski cukup membanggakan masyarakat pecinta sepakbola Medan di awal musim.

Meski begitu, yang masyarakat inginkan saat ini adalah prestasi, terlepas jelas atau tidak jelasnya status kompetisi yang diikuti. Jika permainan yang disuguhkan PSMS cantik, maka masyarakat akan datang berbondong-bondong ke stadion. Selama tim ini memberikan kemenangan, maka Stadion Teladan akan selalu penuh.

Sekarang, pertanyaan "Mau dibawa kemana Ayam Kinantan?", sudah jelas apa jawabannya. Prestasi, itulah yang ditunggu masyarakat pecinta sepakbola Medan selama ini. Maka, fanatisme warga Medan terhadap sepakbola akan bergairah kembali. Tergantung bagaimana pengurus klub melakukannya.

* Dimuat di Harian Analisa - Medan (Sabtu, 7 Januari 2012)


Bisa juga dibaca di:

http://www.analisadaily.com/news/read/2012/01/07/29414/mau_dibawa_kemana_ayam_kinantan/