------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Selasa, April 07, 2009

Media Massa sebagai Public Sphere

Oleh : Adela Eka Putra Marza

Public sphere (ruang publik) pertama kali dibahas oleh Juergen Habermas, generasi ketiga dari Frankfurt School.

Menurutnya, public sphere merupakan suatu arena atau ruang di mana terdapat kebebasan dari intervensi, dan orang-orang yang ada di dalamnya terbebas dari ikatan atau pengaruh luar, terutama dari negara dan pemerintah. Habermas melakukan penelitian di berbagai tempat yang memang memiliki ruang publik, seperti di kafe-kafe di Jerman.

Ide Habermas ini kemudian dibahas oleh pakar-pakar komunikasi. Sehingga muncul pertanyaan, “mungkinkah media massa berperan sebagai public sphere?” Salah satunya adalah William Gamson dan Andrew Madigliani yang mengembangkan ide tentang media massa sebagai public sphere. Menurut Gamson dan Madigliani, selama ini media massa dijadikan oleh berbagai kelompok kepentingan untuk tempat konflik, bahwa pendapat atau gagasan suatu kelompok tertentu lebih baik dari kelompok lainnya.

Misalnya, tentang Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) di Indonesia. Berbagai komentar dari banyak kalangan yang merasa memiliki kepentingan dalam hal ini, menganggap pendapatnya atau kelompoknya yang paling benar. Semua pendapat itu muncul di media massa, sehingga semakin membingungkan masyarakat awam.

Oleh karena itu, media massa harus mampu menjadi public sphere (ruang publik), di mana masyarakat mendapatkan porsi yang serupa dalam memberikan komentarnya langsung terhadap suatu permasalahan dalam pemberitaan media massa. Sebuah media massa harus mewujudkan fungsi public sphere ini, demi terjaminnya nilai-nilai kebebasan dan netralitas dalam berpendapat di muka umum.

Idealnya Public Sphere
Sesuai dengan kaidah universal, media massa dituntut untuk tidak berpihak (impartiality) dalam menyampaikan pemberitaan. Prinsip ini bertolak dari asumsi mengenai fakta yang menjadi materi jurnalisme, bahwa setiap fakta sosial selamanya mengandung pihak-pihak yang berinteraksi.

Sementara pada sisi lain, fakta dilihat dari sudut pandang sebagai sesuatu yang bersifat makro, sehingga dipandang terlepas dari konteks struktural. Oleh karena itu, sering kali jurnalis hanya berkepentingan untuk menangkap fakta interaksi ini tanpa perlu mempersoalkan kualitas dari interaksi tersebut.

Sebagai pelaku profesi yang memproses wacana yang mengisi ruang publik (public sphere), maka jurnalis adalah seorang intelektual yang memiliki ruang otonomi dan independensi yang mempribadi. Dia mungkin saja menjadi bagian dari manajemen sebagai pekerja, buruh atau kuli tinta, tetapi tidak harus kehilangan otonomi dan independensinya sebagai pekerja kultural yang menyampaikan informasi kepada masyarakat. Sebagaimana seorang dokter medis yang menjadi karyawan rumah sakit sebagai institusi bisnis, tetapi dia tidak boleh kehilangan otonomi dan independensinya sebagai pengabdi kemanusiaan.

Dalam ruang publik, media massa seharusnya menjadi katalisator dalam menyelesaikan masalah atau pertikaian dalam masyarakat. Sayangnya, media bukanlah saluran yang bebas. Media merupakan subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya.

Di samping itu, dalam pandangan kritis, media dipandang sebagai wujud dari pertarungan ideologi antar kelompok. Hanya kelompok berideologi dominanlah yang akan tampil dalam pemberitaan dan menguasai media. Di sini distorsi, mis-representasi, mis-komunikasi dan mis-interpretasi dalam pemberitaan tidak terhindarkan; termasuk pemberitaan yang dinilai merusak citra suatu kelompok tertentu.

Oleh karena adanya keberpihakan suatu kelompok inilah, independensi media sebagai sebuah media massa di dalam publik dipertanyakan. Pemberitaan dalam sebuah media massa pun pantas untuk diragukan, karena media tersebut atau mungkin bigboss dari media tersebut mendukung suatu kelompok, demi untuk mempertahankan citra kelompok tersebut. Hal ini tak pelak berimbas pada kinerja dari jurnalisnya sendiri.

Mungkin contoh di lapangan yang bisa kita lihat adalah posisi suatu media terhadap negara atau pemerintah. Dalam situasi ini, sebuah media memiliki posisi sebagai regulator dan advertisor – media sebagai humasnya pemerintah. Kalau pemberitaan negara banyak muncul di media massa, maka pejabat pemerintahan tersebut dapat meminta budget yang lebih tinggi lagi untuk kegiatan-kegiatan yang akan mereka laksanakan. Berarti pemberitaan di media tersebut dapat dijadikan sebagai ukuran keberhasilan dari kepemerintahan tersebut.

Atau, media yang selalu memberitakan kinerja positif pemerintahan, tanpa adanya kerberimbangan dengan pemberitaan seperti kesalahan kebijakan. Sehingga kesan yang dibangun media tersebut adalah pembentukan citra positif dari pemerintahan. Kesan ini mungkin saja muncul karena kedekatan hubungan pemilik medianya dengan pemerintah. Namun secara tidak langsung, ini sudah membentuk opini masyarakat untuk pro pemerintah.

Pada posisi ini, keberadaan media massa dapat disikapi dengan dua cara, seperti ditawarkan Ashadi Siregar. Pertama, media dipandang sebagai pembentuk (moulder) masyarakat; atau kedua, sebagai cermin (mirror) yang memantulkan keadaaan masyarakat.

Yang pertama, berlandaskan pada paradigma yang menempatkan media sebagai suatu instrumen yang memiliki daya kuat dalam mempengaruhi alam pikiran masyarakat. Posisi ini melihat keberadaan media massa sebagai faktor penting yang bisa mempengaruhi sasarannya. Sejumlah ahli bahkan merumuskan bahwa setiap komunikasi dengan media massa pada dasarnya berpretensi untuk mengubah sasaran agar sesuai kehendak komunikator.

Paradigma ini menempatkan komunikan sebagai obyek pasif, yang dapat diubah dan dibentuk oleh pihak komunikator. Media massa dimaksudkan untuk mewujudkan kepentingan komunikator. Seperti halnya pola komunikasi pembangunan di negara berkembang, akan menempatkan gagasan-gagasan dari atas sebagai pesan yang perlu dimasukkan ke alam pikiran sasaran dan mengubah perilakunya (Oepen, 1988). Namun dalam konteks paradigma inilah sering kali media massa diharapkan dapat bersikap objektif dan faktual.

Dengan cara pandang ini maka lahir paradigma lainnya, yaitu dengan melihat motivasi khalayak menentukan fungsional tidaknya suatu media dan pesan (Blumler, Katz, 1974). Dengan begitu, kecenderungan khalayak menjadi titik perhatian dalam merancang setiap pesan. Implementasi dalam pola media massa adalah orientasi dalam proses komunikasi yang menempatkan khalayak sasaran sebagai ukuran dalam media.

Ini analogi dengan pola dalam dunia industrial yang berorientasi kepada pasar (market). Kriteria dalam rancangan produk adalah kesesuaian dengan pangsa pasar (market share) yang diantisipasi akan menerima produk. Produk hanya akan dibuat jika dapat diproyeksikan pasar dan konsumen yang akan menerimanya.

Paradigma keberadaan media massa, baik berfokus pada komunikator maupun sasaran, keduanya bersifat pragmatis. Media dilihat secara fungsional bagi produsen maupun pengguna media. Dengan paradigma semacam ini, yang menjadi perhatian adalah kaidah bersifat teknis dalam pengelolaan media massa umumnya dan media jurnalisme khususnya.

Opini dan Surat Pembaca
Public sphere adalah keharusan media melayani masyarakat secara menyeluruh dalam proses produksinya. Seperti jelasnya, secara filosofis media massa berfungsi sebagai public services. Jadi media massa sebagai public sphere harus melayani masyarakat akan informasi yang benar dan faktual.

Seperti dijelaskan di atas, bentuk ideal media massa sebagai public sphere adalah tidak imparsial dalam pemberitaannya. Melainkan harus berimbang, meskipun ada kepentingan-kepentingan pemilik modal atau pemerintah di sana. Jadi pada dasarnya, semua ruang di media massa merupakan bentuk public sphere.

Namun faktanya di lapangan berbeda dengan bentuk ideal yang seharusnya diwujudkan media massa sebagai public sphere. Kepentingan pemilik modal atau pemerintah terkadang turut ikut campur dalam mempengaruhi pemberitaan sebuah media. Sehingga suara rakyat seperti kurang terfasilitasi dalam hal ini.

Sebagai sebuah solusi, akhirnya dibentuk ruang khusus yang menjadi ruang bagi publik dalam menyuarakan komentarnya terhadap sebuah permasalahan atau suatu kebijakan pemerintah. Bentuk nyata dari public sphere ini dalam media massa adalah seperti rubrik opini, dan suara pembaca atau surat pembaca. Dalam rubrik inilah biasanya suara masyarakat difasilitasi untuk mendapatkan jawaban dari pihak terkait.

Selain itu, akhir-akhir ini juga muncul istilah citizen journalism (jurnalisme warga). Di mana, masyarakat dapat memberitakan sendiri sebuah peristiwa yang diketahui, yang mungkin saja dalam sudut pandang pribadinya. Setidaknya, bentuk citizen journalism ini juga cukup mampu menyuarakan aspirasi dan pendapat khalayak terhadap permasalahan terkait atau kebijakan pemerintah.

Terlepas dari solusi untuk bentuk nyata dari public sphere dalam media massa, pada dasarnya media massa mampu berperan sebagai public sphere. Karena cukup banyak bukti nyata media massa yang masih konsisten dengan idealismenya mengopinikan suara rakyat. Masih ada media massa yang tetap bertahan dalam kepahitannya sebagai cermin kehidupan masyarakat. Meskipun juga tidak bisa dipungkiri realita, bahwa masih banyak pula media massa yang tidak tertutup dari intervensi suatu pihak. Bahkan, ada juga tindakan-tindakan dari berbagai pihak yang mencoreng peran media massa sebagai public sphere dengan membunuh idealisme seorang jurnalis. ***

* Dimuat di Harian Global (Rabu, 1 April 2009) dan Harian Analisa (Kamis, 2 April 2009)

4 komentar:

  1. terima kasih untuk artikelnya.. bagus dan mendalam.. kebetulan saya lagi ada tugas untuk mencari peran media dan pengaruhnya terhadap masyarakat

    BalasHapus
  2. om, ijin co-pas buat bahan tugas kuliah ttg public sphere habermas yah. nuhun. :D

    BalasHapus
  3. @ Kuki_Furuya: silahkan bro.. semoga bermanfaat :)

    BalasHapus