------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Jumat, September 11, 2009

Jangan Beli Buku Bajakan!

Oleh: Adela Eka Putra Marza


Dari tahun ketahun, soal pembajakan selalu jadi momok bagi perkembangan kreativitas anak bangsa di negeri Indonesia ini. Tak hanya dalam industri hiburan, musik dan film, tapi juga dalam dunia penerbitan buku. Mungkin soal pembajakan buku adalah praktik pembajakan paling tua di negeri ini.


Jauh sebelum industri musik dan film mulai menyentuh perekonomian Indonesia, buku-buku bajakan mungkin telah lebih dahulu mewabah; mampu menghidupkan banyak keluarga dan bisa menciptakan orang-orang pintar dengan segudang prestasi. Jangan salah, buku-buku bajakan bisa saja punya andil dalam kehidupan mereka.


Tak heran jika banyak orang berpendapat, masalah pembajakan buku pendidikan di Indonesia tidak akan bisa diselesaikan. Hingga saat ini, praktik pembajakan buku yang sudah berlangsung lama tidak pernah dapat diberantas hingga tuntas. Bahkan kini, eksistensi buku-buku bajakan semakin merajalela sehingga membuat produsen buku semakin gerah. Maraknya buku bajakan mengancam usaha dunia penerbitan di Indonesia seiring penurunan cukup tajam penghasilan yang diperoleh.


Omzet penjualan buku bajakan sendiri bisa mencapai 10 persen dari omzet penjualan buku asli. Kalau seandainya omzet PT Gramedia Pustaka Utama (GPU) sekitar Rp 20 milyar per tahun, berarti omzet pembajak bisa mencapai Rp 2 milyar per tahun. Sungguh nilai yang begitu besar. Bagaimana para penerbit tidak akan rugi karena harus kehilangan sekitar Rp 2 milyar setiap tahun?!


Pada dasarnya, kerugian penerbit terletak pada potensi penjualan mereka yang hilang akibat adanya buku bajakan tersebut. Bayangkan saja, kamus bajakan harganya bisa sampai seperlima harga kamus asli. Buku-buku jenis kamus ini menjadi buku yang paling banyak dibajak dengan total 20 persen, dan buku teks perguruan tinggi sebanyak 10 persen.


Mahalnya Harga Buku Asli

Di Kota Medan, pusat penjualan buku-buku bekas Titi Gantung yang sekarang berada di Lapangan Merdeka, menjadi salah satu pusat bisnis buku bajakan. Berbagai jenis buku bajakan yang dijual secara bebas bisa ditemukan di sana. Jadi tak heran bila buku-buku di lokasi itu dijual dengan harga yang sangat miring. Buku sekelas Oxford Advanced Learner’s Dictionary yang harga aslinya Rp 300 ribuan bisa dijual dengan harga Rp 85 ribuan di sana.


Di Pasar Kampus Universitas Sumatera Utara yang dikenal dengan nama Pajus, juga bisa membeli buku-buku bajakan berbagai judul, terutama buku-buku perguruan tinggi dan novel. Lumayan banyak di sana. Novel best seller Laskar Pelangi karya Andrea Hirata bisa ditemukan di sana dengan harga hanya Rp 20 ribu, jauh lebih murah hampir lebih dari setengah harga buku aslinya.


Hadirnya buku-buku bajakannya ini tentu bukan tanpa alasan. Persoalan tingginya harga buku-buku asli keluaran penerbit menjadi salah satu alasan kenapa masyarakat membutuhkan buku-buku bajakan yang relatif jauh lebih murah. Apalagi di zaman krisis ekonomi global seperti ini, nilai selembar uang tentu akan sangat berharga sekali. Sedangkan kehadiran buku-buku juga sangat penting dalam mendukung kebutuhan akan pendidikan.


Tingginya harga buku-buku asli disebabkan nilai kontrak dan pembayaran royalti di muka yang harus dikeluarkan penerbit. Setelah itu, penerbit juga harus membayar pajak 10 persen dan biaya overhead 20 persen, serta biaya promosi tiga sampai lima persen. Belum lagi biaya tetek bengek lainnya.


Bagi buku-buku keluaran penerbit asing, buku tersebut harus diterjemahkan, di-lay out ulang, dan dicetak lagi. Buku-buku asing ini biasanya juga dibebani pajak yang jauh lebih tinggi. Coba bayangkan berapa modal yang harus dikeluarkan para penerbit! Tak aneh jika harga buku pun melambung tinggi.


Terlepas dari mahalnya harga buku, namun masyarakat tetap membutuhkannya demi cita-cita untuk menimba ilmu. Sehingga tawaran buku-buku bajakan yang harganya jauh lebih murah dibandingkan buku-buku asli, menjadi jalan pintas bagi masyarakat untuk kebutuhan akan buku-buku. Tak ada pilihan lain memang.


Sebagai orang awam, asli maupun palsu tak ada bedanya. Yang penting ada tulisannya, bisa dibaca dan semoga halamannya juga lengkap. Begitupun, apakah buku yang dibeli tersebut asli atau tidak, tak ambil peduli. Yang penting harganya murah dan terjangkau.


Lagi pula, budaya membaca di tengah-tengah masyarakat kita masih lemah. Bahkan sebagian besar masyarakat awam malah menganggap buku tak ada gunanya. Bagi mereka, mungkin membaca tak akan mengurangi jumlah rumput yang harus mereka siangi, atau bisa memperbanyak hasil sawah dan kebun meraka. Tidak juga membuat binatang ternak mereka lebih pintar beranak. Ekstrimnya, buku tak membuat kehidupan mereka menjadi lebih baik.


Ada Hukumnya

Bicara soal pembajakan, sebenarnya di Indonesia sudah di atur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Dijelaskan, “Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”


Bagi pelaku pembajakan ataupun penjual hasil bajakan, jika melanggar hak cipta ini bisa dijerat dengan hukum pidana. Seperti dijelaskan dalam Pasal 72 UU yang sama, pembajak bisa dikenakan hukuman pidana penjara paling lama 7 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5 milyar. Sedangkan bagi penjual hasil bajakan bisa dipidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500 juta.


Dibutuhkan lebih dari sekedar kesadaran individu untuk memikirkan kepentingan kolektif, seperti perlindungan hak cipta ini. Pada dasarnya, penegakan hukumlah yang bisa menjadi solusi jitu. Pelaksanaan UU ini harus sejalan dengan ketegasan aparat penegak hukum. Jelas-jelas memperbanyak karya orang lain untuk mengeruk keuntungan pribadi adalah pelanggaran terhadap hukum.


Anehnya, operasi pemberantasan pembajakan tidak pernah berhasil. Pasalnya, setiap kali akan ada operasi penggerebekan, si pembajak selalu dapat mengetahui lebih dulu. Jangan-jangan, ada antek-anteknya sendiri di tubuh para penegak hukum atau para penerbit yang membocorkan rencana tersebut. Jadi ketika akan digerebek, lokasi yang diduga menjadi pabrik bajakan sudah bersih, yang tinggal hanya kertas-kertas lusuh yang berserakan.


Selain itu, jalur hukum yang lebih tegas sangat diperlukan untuk membuat oknum pembajakan buku ini bisa jera. Karena selama ini, kebanyakan pihak yang dirugikan oleh praktik pembajakan buku lebih memilih penyelesaian secara persuasif. Biasanya dengan cara kekeluargaan seperti ganti rugi, dan kemudian membuat perjanjian agar si pembajak tidak mengulangi aktivitasnya sekaligus menarik barang bajakan dari pasaran.


Namun, penyelesaian dengan cara persuasif ini belum mampu membendung praktik pembajakan. Cara seperti ini sama sekali tak berefek terhadap aktivitas pembajakan, yang malah saat ini semakin banyak. Akibatnya, belum sepenuhnya mampu menghentikan aktivitas pembajakan.


Kuncinya Ada Pada Pembaca

Praktik pembajakan di negeri ini memang sulit untuk dimusnahkan, karena sepertinya sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Masyarakat lebih memilih membeli yang murah, apalagi kalau gratis, ketimbang harus mengeluarkan uang yang banyak. Apalagi jika itu bicara soal buku, yang mungkin bagi banyak orang Indonesia tidak terlalu penting dibandingkan dengan membeli baju keluaran terbaru atau telepon selular canggih model terkini.


Pemerintah juga tidak pernah punya komitmen yang jelas untuk memberantas pembajakan ini. Bahkan mungkin mereka tak pernah punya rencana kerja untuk melakukan operasi buku bajakan besar-besaran. Tak jauh beda dengan oraganisasi penerbit di Indonesia seperti Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), yang tak pernah optimal dalam mengatasi pembajakan karena selalu bergantung pada pemerintah.


Padahal, tak hanya penerbit dan penulis yang mengalami kerugian akibat praktik pembajakan yang semakin meluas ini. Pemerintah juga ikut dirugikan, karena pembajak buku dipastikan tidak membayar pajak. Hitung saja, berapa kerugian yang harus diterima setiap tahunnya akibat pembajakan buku seperti ini, jika setiap tahun ada sekitar 10 ribu judul buku baru yang terbit.


Seharusnya pemerintah sudah punya solusi untuk mengatasi permasalahan ini. Jika tak mempan dengan jalur hukum, mungkin pemerintah bisa mengusahakan jalan keluar yang lain. Pemerintah bisa saja memberikan subsidi bagi penerbit, terutama buku-buku asing, guna mengurangi beban produksi, termasuk kewajiban membayar biaya hak cipta. Dengan demikian, buku murah akan tetap tersedia di pasar bagi kepentingan masyarakat.


Selain itu, pemerintah juga bisa melakukan pembelian hak cipta buku dari penerbit, terutama buku-buku yang dibutuhkan secara besar oleh masyarakat, seperti buku-buku pendidikan. Dengan ini, buku-buku tersebut bisa diperbanyak untuk kepentingan umum, dan kemudian menjualnya dengan harga murah. Setelah itu, pemerintah juga bisa menerbitkan buku tersebut sebagai e-book di situs-situs pemerintah terkait. Jadi siapa saja bisa mengunduhnya asal dengan alasan kepentingan yang jelas.


Usaha terakhir yang bisa kita lakukan, mungkin kembali kepada masyarakat sebagai pembeli dan pembaca dari buku-buku tersebut. Sebenarnya masyarakat bisa menghentikan praktik pembajakan itu sendiri, jika bersedia untuk tidak membeli buku-buku bajakan dan ikhlas untuk mengeluarkan uang yang sedikit lebih banyak untuk membeli buku yang asli.


Saya yakin, usaha dan bisnis pembajakan akan berhenti dengan sendirinya, jika tak ada lagi masyarakat yang membeli buku-buku bajakan. Ya, setidaknya berkurang lah, jika tidak bisa berhenti secara total. Yang penting, hanya satu kalimat untuk kita bersama, jangan beli buku bajakan!


* Dimuat di Harian Analisa (Jumat, 24 April 2009)

8 komentar:

  1. malu donk ma bajakn ga bermodal? bgt ceh?

    BalasHapus
  2. setuju dengan mas ade..
    kita harus mulai belajar sadar tehadap tingkah laku kita sendiri..
    bukan hanya pemerintah yang harus bergerak,namun kita juga harus mulai untuk disiplin terhadap buku2 bajakan

    BalasHapus
  3. mantap da...
    atie prnh bli kamus bajakan n hasilx g puas j ngeliatx...
    tp bli yg asli,,kmahalan...
    tp slnjtx atie g prnh lg bli bku bajakan lg...

    st0p p'bajakan...

    BalasHapus
  4. komen......
    hahaaa
    la bg..tp tinggan komen cek bg td kan..
    la opi buek tua..
    heheee
    ancak kok bg..

    BalasHapus
  5. dilema sih menurut saya...jadi untuk bisa mengetahui tanggapan mahasiswa USU mengenai pembajakan ini, nantikan Laporan Khusus Tabloid SUARA USU edisi 72 bulan depan..Okeee!!

    BalasHapus
  6. supaya tidak bajakan, beli aja secara online di beli-buku.com

    BalasHapus