------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Rabu, September 16, 2009

Kembali ke Tujuan Pendidikan yang Sebenarnya

Oleh : Adela Eka Putra Marza


Tidak berlebihan rasanya jika ada anggapan bahwa pada pendidikanlah tergantung nasib dan masa depan bangsa kita. Maklum, dunia masa depan yang dipacu dengan globalisasi merupakan dunia ilmu pengetahuan. Dan pendidikan adalah sumber bagi ilmu pengetahuan. Jika kita melalaikan pendidikan, berarti kita telah menelantarkan masa depan sendiri.


Pendidikan lahir dalam berbagai bentuk dan paham. Ada paham bahwa pendidikan merupakan wahana untuk menyalurkan ilmu pengetahuan, alat pembentukan watak, alat pelatihan keterampilan, alat mengasah otak, serta media untuk meningkatkan keterampilan kerja.


Sementara paham lainnya meyakini pendidikan sebagai media untuk menanamkan nilai-nilai moral dan ajaran keagamaan, alat pembentukan kesadaran bangsa, alat meningkatkan taraf ekonomi, alat mengurangi kemiskinan, alat mengangkat status sosial, alat menguasai teknologi, serta media untuk menguak alam raya dan manusia. Selain itu, banyak juga praktisi dan pemikir pendidikan yang menempatkan pendidikan sebagai wahana untuk menciptakan keadilan sosial, wahana untuk memanusiakan manusia, serta wahana untuk pembebasan manusia.


Salah Pemaknaan

Wajah pendidikan dewasa ini sudah banyak berubah. Wajah pendidikan yang sebelumnya mengarah kepada pembentukan watak manusia yang bermoral, kini sudah berganti arah menjadi pembentukan manusia yang manipulatif. Sehingga manusia yang “keluar” pun bukanlah manusia yang kreatif, namun sudah menjadi manusia yang bermental manipulatif, tidak mau bekerja keras, senang berhura-hura, malas, dan lain sebagainya. Padahal pada pendidikanlah kita menggantungkan masa depan bangsa ini. Apa jadinya bangsa ini ke depan jika yang dihasilkan dunia pendidikan di Indonesia saat ini hanyalah generasi yang malas, manipulatif, dan hedonistik?


Banyak orang sering mendengar dan mengucapkan kata pendidikan, namun tidak mengerti apa yang dimaksudkan dengan pendidikan itu. Sungguh miris sekali. Bahkan, para praktisi pendidikan sendiri pun banyak yang tidak memahami makna pendidikan itu sendiri.


Pintar, itulah makna pendidikan yang biasanya selalu ditekankan para orang tua dan pendidik kepada anak didik. Mereka menanamkan doktrin di benak anak didik, bahwa pendidikan merupakan sarana untuk menjadi manusia-manusia yang intelek. Padahal, untuk menjadi manusia yang benar-benar manusia, tidak hanya mengedepankan otak saja, tetapi juga harus bisa membangun sisi kemanusiaannya.


Jika ditinjau kembali ke belakang, pendidikan bisa diartikan sebagai proses yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat dalam rangka menyiapkan generasi penerusnya agar dapat bersosialisasi dan beradaptasi dalam budaya yang mereka anut. Pendidikan menjadi salah satu tradisi umat manusia sebagai bentuk usahanya dalam rangka mempertahankan keberlangsungan eksistensi kehidupan dan budayanya.


Seiring dengan perjalanan perkembangan keyakinan dan pemikiran umat manusia tentang pendidikan, telah lahir berbagai ideologi dan pandangan tentang hakikat dari pendidikan. Bagi sekelompok masyarakat pendidik, meyakini bahwa hakikat pendidikan adalah demi untuk menjaga nilai-nilai yang ada serta mempertahankan nilai dan tradisi yang sudah mereka anut. Kelompok inilah yang kemudian dikenal sebagai pendidikan aliran konservatif maupun intelektualisme.


Sementara itu, muncul pula pendirian bahwa pendidikan harus senantiasa membuat masing-masing individu manusia untuk memiliki personal behavior yang efektif, sehingga mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan sistem politik dan struktur ekonomi yang penuh dengan persaingan.

Pendirian yang lahir seiring dengan berkembangnya peradaban liberalisme abad modern ini merupakan pemikiran dan teori pendidikan dengan perspektif liberal, seperti aliran eksperimentalisme dan juga behaviorism.


Memanusiakan Manusia

Pendidikan kiranya juga harus mempersiapkan generasi muda untuk mampu menjalankan kehidupannya, bukan hanya sekedar mempersiapkan mereka untuk pekerjaan. Di sini pendidikan ditantang untuk mengerahkan anak didik ke arah hidup yang bermakna. Untuk itu, pendidikan harus mampu mengajarkan kearifan, yang tampak dalam kepiawaian anak didik untuk memilih.


Kearifan itu tidak hanya mengenai individu, tetapi juga mengenai bangsa. Maka, pendidikan juga harus bisa memberikan kearifan bangsa, yang di sini dapat menuntun anak didik untuk arif memilih dalam pembangunan bangsa ke depan.


Manusia tidak hanya terdiri dari intelektualitasnya saja. Pendidikan juga perlu memberikan pembinaan hati nurani, jati diri, rasa tanggung jawab, sikap egaliter, dan kepekaan normatif yang menyangkut makna nilai dan tata nilai.


Inilah yang menjadi hakikat dan tugas pokok pendidikan, yaitu memanusiakan manusia. Dalam kata lain, membantu anak didik untuk menjadi manusia dan mencapai identitas dirinya sesuai dengan kemampuannya. Pendidikan harus mampu membentuk watak, hati dan perasaan anak didik. Pendidikan tidak boleh tergoda untuk menekankan perkembangan sisi intelektualitas semata kepada anak didik. Pendidikan juga harus melakukan pembinaan kognitif, afektif, dan konatif terhadap cipta, rasa dan karsa anak didik secara stimultan.


Pembentukan menjadikan manusia bisa lebih dibantu, jika anak didik mengerti dan menguasai sisi humaniora. Untuk itu, pendidikan humaniora tidak boleh dikesampingkan dalam pembentukan manusia berwatak dan berkesadaran sosial, walaupun dewasa ini pendidikan begitu mengagungkan keunggulan sains dan teknik.


Dari hal inilah muncul kelompok yang mempunyai pandangan bahwa hakikat pendidikan itu adalah sebagai strategi humanisasi. Mereka percaya bahwa pendidikan merupakan proses dekonstruksi yang memproduksi wacana tanding, untuk membangkitkan kesadaran kritis kemanusiaan.


Selanjutnya, pendidikan bagi mereka ini identik dengan “proses pembebasan manusia.” Pendirian ini berangkat dari asumsi bahwa manusia dalam sistem dan struktur sosial yang ada telah mengalami proses dehumanisasi.


Bukan Hanya Guru

Mengembalikan makna pendidikan ke tujuan semual, menjadi tugas terberat saat ini. Kesalahan dalam memaknai tujuan sebenarnya dari pendidikan bisa saja membuat output dari pendidikan tersebut tidak sesuai lagi dengan yang diharapkan. Padahal dengan adanya pendidikan diharapakan dapat mengembangkan watak seseorang untuk dapat bersosialisasi dan beradpatasi dalam lingkungan masyarakat.


Harus diingat, pendidikan tidak semata hanya untuk mendapatkan intelektual pada anak didik. Namun lebih luas daripada sekadar isi otak saja, sisi humanis menjadi tujuan yang lebih penting. Sehingga menghasilkan manusis-manusia yang peka terhadap keadaan lingkungannya. Itulah tujuan yang sebenarnya dari pendidikan.


Tugas berat ini tentu saja berada di pundak para guru, yang secara langsung berinteraksi dengan anak didik di dalam ruang kelas sekolah. Guru sebagai orang pertama yang mempunyai peran besar dalam mendidik manusia-manusia dengan pendidikan, sehingga dapat mengimplementasikan nilai-nilai kebenaran di dalam hidup bermasyarakat.


Namun terlepas dari peran utama seorang guru tadi, sosok orangtua di dalam keluarga serta masyarakat di dalam lingkungannya, secara tidak langsung juga mempunyai peranan dalam membentuk watak seorang manusia. Percuma saja gurunya mati-matian membentuk sikap dan perilakunya sesuai dengan nila-nilai masyarakat, jika keluarga dan masyarakat sendiri tidak pernah memberikan contoh yang sesuai dengan nilai-nilai tersebut.


Kesimpulannya, pendidikan harus dikembalikan lagi pada tujuan yang sebenarnya, membentuk watak manusia yang berhati nurani, selain juga pentingnya sisi intelektualitas dalam menyambut perkembangan global. Dan tugas berat ini tidak hanya tanggung jawab seorang guru semata. Tetapi juga keluarga dan masyarakat yang langsung berinteraksi dalam lingkungan anak didik, harus mampu menjadi panutan yang arif.


* Dimuat di Harian Medan Bisnis (Senin, 16 Februari 2009)

Selasa, September 15, 2009

Soal Polemik Angkutan Umum

Oleh: Adela Eka Putra Marza


Kita semua pasti setuju jika angkutan atau sarana transportasi punya peranan penting dalam kehidupan, karena merupakan faktor pendukung berjalan dan berkembangnya sektor sosial budaya, politik, perekonomian, dan pemerintahan. Tanpa dukungan transportasi, kegiatan-kegiatan tak akan dapat berjalan. Bahkan kemajuan bangsa atau wilayah tak akan terwujud.


Melihat hal ini merupakan aspek yang sangat penting bagi berlangsungnya kehidupan bangsa, makanya sangat penting sekali aspek ini untuk diprioritaskan ke depannya. Namun, kondisi angkutan umum di Indonesia dewasa ini malah masih jauh dari kata kemajuan. Bahkan mungkin dari tahun ke tahun mengalami kemunduran.


Minimnya Infrastruktur

Buruknya infrastruktur di Indonesia tergambar dari pemeringkatan Indeks Daya Saing Global versi World Economic Forum (WEF) 2007-2008. Dari 131 negara yang disurvei, Indonesia hanya menduduki peringkat ke-91 berdasarkan insfrastrukturnya yang tersedia. Soal kondisi infrastruktur ini merupakan salah satu dari 12 pilar dasar yang dinilai WEF untuk pemeringkatan daya saing ekonomi.


Berkaca dari hasil ini, kita bisa simpulkan bahwa infrastruktur di Indonesia benar-benar sangat minim. Mau tak mau, ini ada kaitannya dengan soal jalur transportasi, yang ujung-ujungnya juga akan menyorot permasalahan angkutan umum dewasa ini. Kurangnya pembangunan, rehabilitasi dan penentuan standar yang tepat di sektor transportasi tentu akan sangat berpengaruh terhadap kualitas angkutan umum di negeri ini.


Jalan-jalan di daerah yang sudah banyak rusak sehingga transportasi ke daerah terhambat, sarana-sarana pendukung yang telah “uzur” dan tidak bernilai ekonomis lagi karena tidak adanya rehabilitasi, jalan-jalan yang terlalu kecil dan tidak sebanding dengan jumlah kendaraan yang lalu lalang di jalan tersebut, adalah sebagian kecil dari kurangnya infrastruktur pendukung transportasi di Indonesia.


Salah satu dampaknya adalah ketidakseimbangan antara pertumbuhan penduduk dengan fasilitas yang tersedia, perbandingan antara jumlah pemakai kendaraan dengan luas jalan yang tersedia sudah sangat jauh berbeda. Makanya tak heran jika kita seperti sudah akrab dengan kemacetan di jalanan kota yang terjadi setiap pasi, siang dan sore, yang tentunya sangat mengganggu kelancaran masyarakat untuk beraktifitas, apalagi yang naik angkutan umum.


Kerusakan jalan juga menjadi poin penting yang disorot oleh Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda). Menurut Ketua Umum DPP Organda Murphy Hutagalung, daerah yang paling banyak mengeluhkan hal ini adalah dari Pulau Sumatera (Harian Seputar Indonesia Sore, 27 Februari 2008). Situasi dan kondisi infrastruktur jalan yang kurang memadai ini menyebabkan pengusaha angkutan darat merugi hingga miliaran rupiah per hari.


Permasalahan ini merupakan hal yang paling berpengaruh terhadap angkutan umum di darat. Kerusakan spare part kendaraan menjadi salah satu efek akibat banyaknya jalan yang rusak, sehingga banyak onderdil kendaraan yang sudah tidak memenuhi standar kelayakan namun terpaksa tetap dipakai demi mengurangi pengeluaran. Bahan bakar yang digunakan juga akan lebih banyak ketika menempuh jalanan yang rusak dibandingkan dengan jalan yang lebih bagus.


Kondisi jalan yang buruk juga menyebabkan meningkatkan jumlah kecelakaan lalu lintas. Biasanya, peristiwa itu terjadi ketika angkutan umum tersebut tengah berusaha menghindari jalan rusak. Makanya tak aneh lagi jika banyak sekali terjadi kasus kecelakaan transportasi di Indonesia. Angkutan umum darat adalah yang paling sering mengalami kasus kecelakaan akibat minimnya infrastruktur pendukung transportasi seperti jalan raya ini.


Seharusnya pemerintah telah memikirkan dan menemukan solusi untuk permasalahan ini, karena transportasi merupakan tanggung jawab pemerintah sebagai penyedia layanan publik. Pemerintah harus lebih peduli dan tanggap terhadap masalah yang terjadi, serta terhadap tantangan yang harus “ditanggung” pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah daerah juga harus lebih berinisiatif untuk membangun daerahnya. Jangan hanya menunggu turun tangan dari pemerintah pusat yang tidak jelas kapan akan memperbaiki infrastruktur tersebut.


Pungli Semakin Merajalela

Maraknya pungutan liar (Pungli) terhadap angkutan umum, terutama transportasi darat juga salah satu yang dikeluhkan oleh Organda. Secara nasional, kasus Pungli bisa mencapai Rp 18 triliun per tahun, seperti juga disampaikan Murphy dalam syukuran ulang tahun Organda ke-45 di Jakarta tahun 2007.


Banyaknya Pungli yang harus diserahkan oleh pemilik angkutan umum ini tentunya akan semakin menyengsarakan mereka. Belum tentu mereka bisa mendapatkan rupiah untuk sekedar mengganti uang minyak yang telah dikeluarkan setiap hari dan untuk menghidupinya keluarganya, malah ditambah lagi dengan harus mengeluarkan uang untuk pungli oleh para preman atau “penguasa” suatu daerah di mana rute angkutan umum tersebut.


Selain itu, Pungli juga bisa menjadi penyebab kasus kecelakaan transportasi akan semakin banyak. Karena pendapatan mereka habis hanya untuk membayar Pungli, sehingga tidak bisa lagi mereparasi dan mengganti onderdil kendaraan yang sudah rusak. Para pengemudi ini terpaksa menggunakan onderdil yang sudah tidak layak pakai, dan sangat beresiko besar terhadap kemungkinan terjadinya kecelakaan.


Karena itu, Organda pernah menyampaikan akan melakukan aksi stop operasi secara nasional untuk memprotes perlakuan Pungli terhadap angkutan darat ini. Karena Pungli sungguh sangat memberatkan para pengemudi angkutan darat. Namun aksi stop operasi secara nasional tersebut tak juga bisa mematikan aksi pungli terhadap mereka.


Saat ini yang paling diharapkan tentu saja peran pemerintah, dalam hal ini kepada para petugas keamanan. Agar para petugas ini bisa menertibkan pelaku-pelaku pungli yang sangat meresahkan pengemudi angkutan darat ini. Namun cukup sulit memang berharap kepada petugas, karena mereka juga telah menerima “uang diam” dari para pelaku Pungli tersebut. Bahkan, ada juga oknum petugas ini sendiri yang menarik pungli dari pengemudi angkutan umum. Tragis memang!


Rebutan dengan “Bodong”

Kehadiran angkutan plat (nomor kendaraan) hitam juga menjadi momok bagi pengusaha angkutan umum, terutama di darat. Karena angkutan yang biasanya dikenal dengan sebutan angkutan “bodong” ini telah mengambil porsi penumpang kendaraan umum resmi yang berplat kuning. Hal ini membuat terjadinya persaingan tidak sehat antara angkutan umum resmi yang berpelat kuning dengan angkutan “bodong” yang berplat hitam.


Persaingan tidak sehat ini menyebabkan turunnya pendapatan angkutan plat kuning. Pendapatan pengusaha angkutan pelat kuning yang biasanya sekitar 70% dilihat dari sisi load factor (tingkat isian penumpang), makin hari makin turun, dan sekarang hanya sekitar 40%. Pengemudi angkutan umum plat kuning tentu merasa keberatan dan jenuh akibat persaingan yang semakin berat dengan angkutan “bodong” ini.


Pada kenyataannya, angkutan plat hitam memang lebih mudah mendapatkan penumpang. Lebih anehnya lagi, meski beroperasi secara liar, angkutan “bodong” malah tetap bisa beropreasi dengan aman dan tidak ada yang mengganggu. Bisa jadi, ini karena adanya uang keamanan alias suap atau pungli yang mereka bayarkan, mungkin kepada para petugas atau kepala preman yang berkuasa di rute operasinya.


Sehingga, sudah fenomena yang biasa jika sering kali terjadi percekcokan antara angkutan pelat kuning yang menjadi angkutan resmi dengan angkutan pelat hitam yang beroperasional secara liar. Karena memang persaingan yang terjadi sudah tidak sehat lagi. Bahkan pernah juga terjadi saling unjuk rasa dan tawuran antara angkutan pelat kuning dan pelat hitam. Ini disebabkan oleh kejenuhan yang dirasakan oleh angkutan pelat kuning akibat ulah angkutan “bodong” tersebut.


Akhirnya, kita semua tetap berharap besar pada peran dan tanggapan dari pemerintah. Semua permasalahan ini kita harapkan bisa menjadi perhatian pemerintah, untuk kemudian dicarikan solusi bersama yang saling menguntungkan, baik itu bagi pemerintah sendiri, pengusaha angkutan umum, dan masyarakat tentunya.


Tak hanya pemerintah pusat, pemerintah daerah seharusnya juga mengambil peran dalam menyelesaikan persoalan ini. Selain itu, tentu juga ada usaha dari kita, baik para pengusaha angkutan umumnya sendiri dan masyarakat sebagai pihak yang mendapatkan layanan publik ini.


* Dimuat di Harian Medan Bisnin (Kamis, 25 Juni 2009)

Nilai Tukar Nelayan dan Kesejahteraannya

Oleh : Adela Eka Putra Marza


Indonesia yang secara geografis sebagai negara kepulauan memiliki wilayah laut seluas 5,8 juta Km dengan lebih 17.500 pulau besar dan kecil, serta dikelilingi garis pantai sepanjang 81.000 Km. Garis pantai ini merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada.


Wilayah laut yang begitu luasnya ini tentu saja kaya dengan potensi kelautan yang terkandung di dalamnya. Sehingga Indonesia juga dikenal sebagai salah satu bangsa maritim terbesar di dunia. Tetapi dengan potensi yang begitu besarnya itu, masyarakat nelayannya malah hidup di bawah standar kesejahteraan.


Begitu ironisnya negara ini, kita harus menghadapi persoalan pelik mengenai masalah kemiskinan nelayan. Sungguh menyedihkan, karena bahkan kehidupan nelayan Indonesia seakan sudah identik dengan kemiskinan. Mereka sebagai pewaris budaya bahari yang sehari-hari berkutat dengan angin laut, sama sekali belum bisa menikmati hasil memuaskan dari lingkungannya sendiri.


Kemiskinan masyarakat nelayan di sepanjang pesisir pantai bersifat struktural. Hal ini ditengarai karena tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat seperti pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan infrastruktur. Kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses informasi, teknologi dan permodalan, menyebabkan posisi tawar nelayan semakin lemah. Kebijakan pemerintah juga seringkali kurang berpihak pada pemangku kepentingan di wilayah pesisir itu.


Seharusnya pemerintah mulai mengevaluasi masalah ini dengan lebih serius. Jika dicermati sejak statusnya Ditjen Perikanan di Departemen Pertanian hingga mandiri, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) belum mampu memacu kesejahteraan nelayan yang umumnya tradisional itu. Data DKP menyebutkan, poverty headcount index (PHI) pada tahun 2006 sebesar 0,3214. Berarti, sekitar 32% dari 16,42 juta masyarakat pesisir di Indonesia berada pada level di bawah garis kemiskinan.


Modal Semakin Tinggi

Harga bahan bakar minyak yang tahun lalu membumbung tinggi juga mengakibatkan kesejahteraan nelayan semakin terpuruk. Sebelum harga BBM naik saja, nelayan sudah banyak yang tak sanggup melaut karena tak mampu membeli solar. Apalagi saat harga BBM dinaikkan oleh pemerintah. Sekitar empat dari sepuluh armada perikanan tadisional tidak dapat melaut akibat kebijakan pemerintah menaikkan BBM. Selain juga, karena permasalahan keterbatasan alat tangkap, wilayah tangkapan yang semakin tercemar, dan perubahan cuaca yang tidak menentu.


Kenaikan harga BBM ini berdampak terhadap frekuensi nelayan melaut sepanjang tahun 2008. Menurut pakar kelautan M Riza Damanik dalam Evaluasi Total Indonesia 2008 di Jakarta pada akhir tahun 2008 lalu, rata-rata frekuensi melaut para nelayan hanya sekitar 180 hari dalam setahun, dengan rincian 9-15 hari dalam sebulan. Sementara sebagian hari lainnya, perahu nelayan tradisional tidak beroperasi atau hanya bersandar di pantai.


Nelayan kecil dengan kapasitas kapal di bawah 10 gross ton (GT) adalah kelompok nelayan yang paling rawan terpukul akibat kenaikan harga BBM. Berdasarkan data Dirjen Perikanan Tangkap DKP, pada 2007 rata-rata pendapatan 2,7 juta nelayan kecil di Indonesia hanya sebesar Rp 445.000 per keluarga per bulan. Pendapatan ini jauh di bawah pendapatan standar untuk hidup layak. Sementara mayoritas nelayan di Indonesia termasuk ke dalam golongan nelayan kecil.


Pada tahun 2005, nelayan masih bisa melaut dengan mengoplos solar dan minyak tanah, meski terjadi kenaikan harga BBM. Harga minyak tanah pun masih terjangkau dan cukup tersedia. Namun, sejak pemerintah kemudian juga melakukan program konversi, nelayan semakin sulit mendapatkan minyak tanah, sehingga tidak ada lagi bahan untuk mengoplos. Sementara untuk membeli solar, harganya terlalu mahal. Jangankan mau membeli solar, terkadang untuk makan pun tak ada.


Untuk menghemat bahan bakar, terkadang nelayan menyiasatinya dengan cara melaut bergantian. Rata-rata nelayan membentuk kelompok-kelompok. Dari tiap kelompok itu, biasanya diutus satu perahu untuk mencari lokasi yang banyak ikan. Setelah ditemukan lokasinya, maka para nelayan itu akan melaut bersama. Cara ini memang bisa cukup menghemat bahan bakar, karena tidak perlu banyak perahu yang berlayar mencari lokasi ikan. Namun, akan sampai kapan mereka bisa bertahan seperti ini?


Nilai Tukar Nelayan

Salah satu usaha pemerintah yang mungkin cukup membantu menyelamatkan kehidupan nelayan adalah penetapan Nilai Tukar Nelayan (NTN) yang dilakukan pemerintah pada tahun 2008 lalu. DKP bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) telah menghitung NTN per provinsi dengan perhitungan gabungan dari NTN dan Nilai Tukar Pembudidaya ikan (NTPi). Penghitungan NTPi ini juga dilakukan, karena unsur ekonomi dua kelompok perikanan ini sangat berbeda, baik biaya penerimaan, apalagi biaya pengeluaran.


Jadi, mulai saat ini kelompok masyarakat pesisir yang sering dikatagorikan sebagai segmen masyarakat mayoritas miskin ini telah memiliki ukuran nilai tukar yang lebih akurat. Dengan adanya NTN kita dapat melihat kondisi nelayan lebih jelas setiap bulan, baik dalam musim paceklik atau musim panen. Akan lebih mudah mengetahui tingkat kesejahteraan pekerja di sektor kelautan dan perikanan. Demikian juga terhadap berbagai faktor ekonomi yang mempengaruhinya.


Pada dasarnya, nilai tukar ini umumnya digunakan untuk menyatakan perbandingan antara harga barang-barang dan jasa yang diperdagangkan antara dua atau lebih negara, sektor, atau kelompok sosial ekonomi. Begitu pun NTN, digunakan untuk mempertimbangkan seluruh penerimaan (revenue) dan seluruh pengeluaran (expenditure) keluarga nelayan. Selain itu, NTN juga digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan secara relatif dan merupakan ukuran kemampuan keluarga nelayan untuk memenuhi kebutuhan subsistemnya. Dengan demikian, akan diperoleh ukuran tingkat kesejahteraan nelayan yang semakin lebih akurat dan obyektif.


Berdasarkan hasil perhitungan BPS, NTN tahun 2008 terdapat peningkatan, yaitu hingga Desember 2008 mencapai angka 103,9. Jumlah ini meningkat sebesar 1,04% dibandingkan pada awal tahun, bulan Januari 2008 yang hanya sebesar 99,7. Artinya, pada akhir tahun 2008, nelayan telah dapat menyimpan hasil pendapatan yang diperoleh dari kegiatan penangkapan ikan setelah digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Meskipun di awal tahun mengalami ketekoran biaya hidup.


Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 39 Tahun 2008, juga telah ditetapkan bahwa kontribusi PDB Perikanan (tidak termasuk pengolahan) terhadap PDB Nasional tanpa MIGAS sebesar 2,67%. Pada tahun 2007, target kontribusi PDB Perikanan tersebut telah dilampaui, karena pada tahun tersebut kontribusi PDB Perikanan mencapai 2,77%, dan pada tahun-tahun selanjutnya diperkirakan akan terus meningkat. Sedangkan perkembangan usaha perikanan dari tahun 2002-2008, menunjukkan pertumbuhan yang paling tinggi dari kelompok usaha pertanian, yakni sebesar 5,60% per tahun. Sedangkan kelompok pertanian rata-rata hanya mencapai 3,48% per tahun dan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,56%.


Seperti yang pernah dikatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada akhir 2007 lalu di Lampung, dalam peringatan Hari Pangan Sedunia, keamanan dan kesejahteraan pesisir adalah mutlak. Perlu ditekankan gerakan penyelamatan pesisir, yang mencakup keamanan dan kesejahteraan lingkungan pesisir pantai. Pemerintah juga harus lebih memperhatikan tingkat jaminan keselamatan serta kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir, dengan menerapkan kebijakan ekonomi politik yang lebih berpihak pada pemenuhan kebutuhan dasar mereka, termasuk aman dari ancaman bencana.


Kita berharap pemerintah akan lebih tanggap terhadap permasalahan para nelayan. Sehingga tak ada lagi keidentikan nelayan dengan kehidupan miskin. Kita lihat saja, apakah penetapan Nilai Tukar Nelayan tersebut dapat berjalan benar dan memberikan dampak yang nyata bagi kesejahteraan para nelayan dan masyarakat pesisir pantai. Selain itu, kita tunggu juga kebijakan selanjutnya dari pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan para pewaris budaya bahari ini.


* Dimuat di Harian Medan Bisnis (Senin, 20 April 2009)