------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Senin, Mei 23, 2011

Solusi Kemacetan; Menggagas Busway untuk Kota Medan

Oleh: Adela Eka Putra Marza

Kemacetan di Kota Medan belakangan ini sepertinya sudah menjadi pemandangan yang lumrah setiap hari. Setiap pagi, jam istirahat makan siang dan pulang sekolah, serta sore harinya saat jam pulang kerja, jalanan di salah satu kota terbesar di Indonesia ini selalu saja diwarnai kemacetan.

Ratusan mobil dan sepeda motor terpaksa berinsut-insut di sejumlah jalan protokol. Sebut saja, seperti di Jalan Setia Budi, Jalan S Parman, Jalan Gajah Mada, Jalan Maulana Lubis, dan Jalan Juanda. Bahkan, keberadaan petugas kepolisian yang mengatur lalu lintas di kawasan itu pun tak bisa berbuat banyak.

Kondisi seperti ini tentu saja sangat mengganggu, terutama bagi para pekerja dan pelajar saat berangkat menuju kantor dan sekolah. Tidak hanya menyebabkan keterlambatan, emosi dan kesehatan pun bisa terganggu, karena mengalami depresi serta gangguan saluran pernapasan akibat asap kendaraan bermotor.

Salah satu faktor utama penyebab kemacetan ini ditengarai karena angka pertumbuhan kendaraan bermotor di Medan yang terus mengalami peningkatan setiap tahun. Bayangkan saja, dalam dua tahun selama 2007-2009, sebanyak 214.597 unit sepeda motor bertambah di Medan.

Angka ini berdasarkan data dari Dinas Perhubungan Kota Medan, dimana sebanyak 2. 318.623 unit sepeda motor tercatat dimiliki oleh warga Medan hingga 2009. Padahal, pada 2007 hanya berjumlah 2.104.026 unit. Dipastikan, angka ini terus bertambah hingga 2011 ini.

Pertumbuhan pesat ini diyakini disebabkan mudahnya akses masyarakat untuk memiliki sepeda motor. Dewasa ini, dengan hanya mengeluarkan uang sekitar Rp 1 juta, masyarakat sudah bisa membeli sepeda motor dengan cara kredit. Selain itu, dealer-dealer sepeda motor juga memberikan cicilan yang rendah kepada konsumennya.

Makanya tak heran, jika semua sepeda motor milik warga Medan ini dikumpulkan, maka jalanan di kota ini akan penuh sesak. Buktinya, sudah bisa kita lihat saat ini, yakni kemacetan yang semakin kompleks. Selain itu, kemacetan ini juga disebabkan oleh jumlah mobil pribadi dan angkutan umum.

Masih berdasarkan catatan Dinas Perhubungan Kota Medan, jumlah mobil penumpang di Medan pada 2009 mencapai 222.891 unit. Sedangkan, bus berjumlah 22.123 unit. Belum lagi, kebanyakan angkutan umum ini sering kali ugal-ugalan dalam menggunakan jalan raya. Hal ini tentunya juga dapat membahayakan keselamatan.

Pertumbuhan kendaraan bermotor ini memang semakin tidak terkendali belakangan ini. Pihak kepolisian yang mengurusi izin operasional kendaraan bermotor, seharusnya bertanggung jawab atas permasalahan ini. Karena, selama ini sama sekali tidak pasal yang mengatur kepemilikan kendaran bermotor ini.

Akibatnya, masyarakat bisa dengan mudah membeli sepeda motor, hingga jumlahnya terus membengkak setiap tahun. Seharusnya, jumlah sepeda motor ini dibatasi kepemilikannya. Begitu juga dengan mobil pribadi dan angkutan umum, yang jumlah juga ikut-ikutan bertambah.

Dengan adanya aturan mengenai kepemilikan kendaraan bermotor ini, pertumbuhannya bisa dikontrol, sesuai dengan kapasitas lalu lintas yang tersedia. Apalagi, selama ini sarana jalan raya yang tersedia di Medan sama sekali tidak mengalami pertambahan, atau setidaknya perbaikan agar layak digunakan.

Selain itu, Dinas Perhubungan juga harus melakukan pengawasan terhadap lokasi parkir. Selama ini, sering kali badan jalan disulap menjadi lokasi parkir liar. Padahal, sudah jelas rambu-rambunya bahwa tidak dibenarkan parkir di pinggir jalan raya. Penindakan terhadap parkir yang menyalah ini sama sekali tidak terlihat.

Akibatnya, keberadaan parkir liar itu semakin menambah kemacetan, karena menghambat arus lalu lintas. Belum lagi, perubahan arus yang dilakukan di sejumlah ruas jalan protocol di Medan, pada akhir tahun lalu. Ini semakin menambah kompleks permasalahan kemacetan di kota ini.

Selain mengatur pembatasan kepemilikan kendaraan bermotor dan parkir liar, pihak Dinas Perhubungan, kepolisian dan Pemerintah Kota Medan juga harus mulai mencari solusi lain untuk mengatasi, atau setidaknya mengurangi kemacetan ini. Ini musti dilakukan demi menghadirkan kenyamanan bagi masyarakat pengguna jalan.

Salah satu solusi lain yang perlu dipikirkan adalah menyediakan transportasi massal bagi masyarakat umum. Membangun Bus Rapid Transit, atau yang biasa dikenal dengan busway, sepertinya sudah perlu dilakukan di Medan, untuk mengatasi kemacetan di kota ini.

Seperti di Jakarta, transportasi massal ini bisa mengangkut masyarakat dalam jumlah besar dengan sekali jalan. Setidaknya, keberadaan transportasi massal ini bisa mengurangi jumlah kendaraan bermotor yang menggunakan jalan raya, sehingga dapat mengurangi kepadatan lalu lintas.

Selain itu, sebenarnya Kota Medan juga sudah memiliki kereta api kota untuk jarak dekat, yakni Kereta Rel Diesel Indonesia (KRDI) Sri Lelawangsa. Hanya saja, kereta api ini belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai transportasi umum. Kereta api ini harus lebih dipromosikan lagi kepada masyarakat.

Solusi ini seharusnya bisa ditanggapi dengan serius oleh semua pihak terkait, terutama oleh Pemerintah Kota Medan. Apalagi, wacana ini sebelumnya sudah sempat diangkat oleh Dinas Perhubungan Medan. Tinggal menunggu perhatian dari pemerintah dan action untuk sesegera mungkin diwujudkan. ***

* Dimuat di Harian Analisa, Medan (Senin, 23 Mei 2011)


Baca juga di:

http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=96341:solusi-kemacetan--menggagas-busway-untuk-kota-medan&catid=78:umum&Itemid=131

Sabtu, Mei 14, 2011

Ketika Pembaca Lebih Memilih Berita "Orang Biasa"

Oleh: Adela Eka Putra Marza

Dalam esai pendek Kehidupan Sastra di Dalam Pikiran yang dimuat dalam bukunya Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (1997), Seno Gumira Ajidarma menulis, "Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Karena bila jurnalisme bicara dengan fakta, sastra bicara dengan kebenaran."

Tak salah yang diopinikan Seno Gumira Ajidarma tersebut. Sastra harus bisa menjadi alternatif, ketika jurnalisme tak mampu lagi menjalankan perannya untuk menyampaikan kebenaran kepada semua orang. Ketika jurnalisme saat ini sudah kehilangan kepercayaan dari masyarakat akibat permainan politik para kapitalis pemiliknya, perannya dapat diselamatkan oleh sastra.

Lalu bagaimana jika jurnalisme dan sastra dikawinkan? Sebuah pertanyaan yang cukup menarik. Paham jurnalistik yang mengedepankan fakta dipadukan dengan sastra yang identik dengan fiksi. Sebuah genre jurnalisme baru yang kemudian diperkenalkan oleh Tom Wolfe kepada dunia. New journalism itu adalah literary journalism alias jurnalisme sastra.

Kelahiran Jurnalisme Sastra

Istilah jurnalisme sastra mulai dibicarakan secara meluas pada awal dekade 1980-an, ketika jurnalisme model baru ini didiskusikan oleh para penulis dan pembaca, dan diajarkan di kelas-kelas sekolah menengah. Tom Wolfe dikenal sebagai jurnalis yang mengembangkan genre baru ini pada tahun 1973 di New York.

Namun jauh sebelumnya, Joseph Mitchell (The New Yorker) sudah mulai menulis genre ini pada tahun 1930-an. Bahkan, para pendatang baru seperti Ted Conover, Susan Orlean, dan Adrian Nicole LeBlanc, juga mengembangkan bentuk penulisan seperti ini yang sudah dirintis oleh Daniel Defoe melalui tulisan-tulisannya di awal tahun 1700-an (Septiawan Santana Kurnia, 2002).

Menurut Nieman Reports, jurnalisme sastra mulai menguasai media cetak di Amerika pada tahun 1980-an. Sejak saat itu, suratkabar-suratkabar di Negara Paman Sam tersebut banyak memakai jurnalisme yang identik dengan laporan mendalam ini, ketika kecepatan televisi tidak tertandingi lagi.

Di Indonesia, majalah Tempo dikenal sebagai yang pertama kali memperkenalkan gaya penulisan sastra dalam pemberitaan pada tahun 1970-an (Septiawan Santana Kurnia, 2002). Gaya penyajiannya yang saat itu masih langka dan unik karena menggabungkan kaidah pers dan sastra, memberikan kesegaran dalam gaya penulisan berita di Indonesia.

Namun begitu, hingga awal 1980-an, pelaporan jurnalisme baru ini masih belum mungkin dilakukan secara sempurna di Indonesia. Menurut Atmakusumah (1981), keuangan pers Indonesia belum mampu mengakomodasi wartawannya untuk liputan hingga berbulan-bulan. Soal penggunaan bahasa Indonesia, penyusunan tulisan, kesulitan mencari fakta yang benar-benar obyektif dan jelas juga menjadi permasalahan.

Dekade 1990-an, masalah ini mulai teratasi. Walaupun masih ada kekurangan di sana-sini, terutama masalah kebebasan pers yang merupakan faktor penghambat terbesar. Dalam perkembangan selanjutnya, banyak media cetak yang kemudian mengikuti gaya ini. Ekspresi sastra untuk penulisan jurnalistik pun berkembang menjadi semacam trendsetter.

Liputan Mendalam nan Memikat

Di awal perkembangan jurnalisme sastra, Wolfe mengawinkan disiplin keras dalam jurnalisme dengan daya pikat sastra. Ibarat sebuah novel, tapi menyampaikan isu faktual. Jurnalisme ini mensyaratkan liputan dalam, namun memikat. Penulis jurnalisme sastra lebih banyak memperhatikan soal kehidupan sehari-hari ketimbang tokoh publik atau selebritis.

Laporan mereka banyak yang menampilkan kisah-kisah tersembunyi dari komunitas yang tak tersentuh media, dengan kekuatan narasi yang sama menggugahnya dengan kisah-kisah spektakuler di headline koran. Kisah-kisah spektakuler juga tetap disentuh dengan gaya tutur genre klasik yang menangkap perasaan dan pengalaman, sebagai layaknya orang biasa di balik kementerengan dan kegemerlapan sang tokoh (Septiawan Santana Kurnia, 2002).

Penulis jurnalisme sastra, menurut Norman Sims dalam The Art of Literary Journalism, mengaku menggunakan teknik yang sama dengan teknik yang digunakan penulis fiksi. Para penulis berusaha menampilkan profil karakter-karakter dan mengungkapkan pengalaman-pengalaman mereka dengan lebih mendalam.

Dalam perjalanannya, jurnalisme sastra berkembang menjadi genre yang menarik dan kreatif, yang memungkinkan para penulis untuk masuk ke bidang-bidang yang selama ini dijauhi. Dalam format yang lebih jauh dari bentuk tradisional, karya jurnalisme sastra diarahkan menjadi medium untuk menancapkan penulisnya di antara teks-teks laporan perjalanan atau memoar mereka.

Sebagai Alternatif Berita

"Tapi mengapa sastra?" tulis Septiawan sebagai sub judul dalam bukunya Jurnalisme Sastra (2002). Seperti Seno yang memberikan judul Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (1997) untuk salah satu bukunya, mungkin itu juga yang diinginkan Wolfe ketika pertama kali bergelut dengan jurnalisme sastra.

Karena sastra mampu menyampaikan kebenaran yang masih belum tersentuh secara menyeluruh oleh jurnalistik. Karena sastra dapat bicara banyak tentang realitas sosial, politik, budaya, dan lainnya yang tak bisa diangkat pers. Sastra membawa tawaran alternatif medium watchdog terhadap dominasi kekuatan politik yang selama ini mencekoki masyarakat.

Ketika jurnalisme diaduk dengan sastra, inilah yang menjadi ramuan ajaib yang begitu ditunggu-tunggu oleh pembaca, untuk menyegarkan pemikiran pers di dunia ini, begitu pun di Indonesia. Masyarakat saat ini sudah bosan dengan sajian berita-berita yang terlalu sering dipelintir oleh pemilik modal. Tak lagi murni kebenaran, melainkan "kebenaran" menurut masing-masing para kapitalis media tersebut.

Di tengah-tengah kondisi inilah jurnalisme sastra hadir dengan penyajian berita yang lebih segar. Para jurnalis sastra mengembangkan teknik pelaporan yang tidak berjarak dengan pembaca, untuk menampilkan realitas seutuhnya, untuk lebih menuruti kehendak masyarakat, dan untuk melihat fakta secara lebih tegas. Mereka malah menjauhi koridor-koridor kekuasaan dan memilih meriwayatkan "keluhuran orang-orang biasa".

Belakangan, sejumlah media cetak lokal juga mulai memperhatikan berita-berita dengan gaya seperti ini, termasuk Harian Analisa dengan tulisan khas dari Rizal Surya. Cerita ringan yang berisi drama, emosi, dan kompleksitas kehidupan orang biasa ini memang jauh lebih ’berharga’, di tengah kecepatan laju perkembangan media online saat ini. ***

* Dimuat di Harian Analisa, Medan (Jumat 13 Mei 2011)


Baca juga di:

http://analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=95416:ketika-pembaca-lebih-memilih-berita-qorang-biasaq&catid=78:umum&Itemid=131