------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Sabtu, Desember 18, 2010

Satu Orang Satu Pohon, Berani?

Oleh: Adela Eka Putra Marza

Jangan aneh lagi jika seringkali cuaca begitu panas dan udara terasa sangat menyengat, seperti beberapa kali terjadi di Kota Medan. Bisa saja suhu cuaca mencapai maksimum 35 derajat celsius pada siang hari. Kemudian, tiba-tiba pada malam hari, hujan deras mengguyur kota. Bahkan tak jarang mengakibatkan banjir di sejumlah kawasan.

Anomali cuaca seperti ini terjadi akibat pengaruh pemanasan global. Akibatnya, secara umum, musim hujan menjadi mundur. Bahkan tak jarang, musim penghujan tersebut tidak bisa diprediksi lagi. Jika dulu, setiap bulan yang berakhiran –ber, seperti September hingga Desember, sudah dipastikan musim penghujan. Tetapi, sekarang hal itu tidak akan berlaku lagi.

Isu global warming alias pemanasan global memang menjadi topik terhangat sejak beberapa tahun belakangan ini. Emisi karbondioksida yang terus meningkat membuat lapisan ozon pun semakin rusak. Begitu pun pemakaian energi dan teknologi yang tidak ramah lingkungan, juga berakibat fatal terhadap lingkungan. Bahkan, limbah rumah tangga juga ikut menyumbangkan peranannya merusak bumi.

Sejak 40 Tahun Lalu
Kondisi cuaca yang sudah “tidak bersahabat” lagi belakangan ini, salah satu pertanda dari pemanasan global itu sendiri. Jika kerusakan terhadap bumi ini terus berlangsung, tidak bisa dibayangkan bagaimana kutub selatan dan kutub utara akhirnya mencair. Pastinya, bumi akan tenggelam karena telah dipenuhi oleh air. Oleh karena itu, muncullah sebuah gerakan kepedulian terhadap lingkungan sekitar tahun 1970-an.

Peringatan ini diprakarsai oleh seorang senator Amerika Serikat, Gaylord Nelson. Saat itu, ia melakukan protes secara nasional terhadap kalangan politik terkait permasalahan lingkungan. Gaylord mendesak agar isu lingkungan dimasukkan dalam agenda nasional. Perjuangan itu telah dimulai sekitar lebih dari 7 tahun sebelum Hari Bumi se Dunia.

Gaylord bahkan turut melakukan kampanye ke beberapa negara bagian di Amerika Serikat. Dan ternyata, penurunan kualitas lingkungan memang sudah terjadi di mana-mana. Semua orang menyadarinya, kecuali kalangan politik. Akhirnya, pada 30 November 1969, New York Times melaporkan terjadinya peningkatan aktivitas kepedulian terhadap lingkungan di seluruh negeri. Kemudian, itu ditandai dengan diperingatinya Hari Bumi se Dunia setiap tanggal 22 April.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan sebagai salah seorang “warga bumi” untuk ikut melanjutkan perjuangan Gaylord itu? Pastinya, kita harus mulai bersikap “santun” terhadap alam, serta merawatnya dengan cara memberi “nutrisi” pada bumi yang kita tempati ini. Berbagai cara bisa dilakukan; penggunaan energi yang bersih dan ramah lingkungan, mengurangi polusi, mengurangi limbah, serta melakukan penghematan energi.

Hari Penanaman Pohon
Sejak 2008, Pemerintah Indonesia sudah mengkampanyekan penanaman pohon secara nasional. Bahkan, tanggal 28 November telah ditetapkan sebagai Hari Penanaman Pohon Indonesia dan bulan Desember sebagai Bulan Penanaman Pohon Nasional, melalui Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2008.

Pada peringatannya ketiga di tahun 2010 ini, pemerintah pun mencanangkan “penanaman satu miliar pohon Indonesia untuk dunia.” Targetnya, sekurang-kurangnya sebanyak satu miliar pohon ditanam di seluruh Indonesia. Tak heran jika harapan untuk meningkatkan kepedulian terhadap penanaman dan pemeliharaan pohon secara berkelanjutan begitu nyata dalam kegiatan ini.

Inipun juga demi tujuan untuk mengurangi pemanasan global dan bersih dari berbagai polusi. Bahkan, pemerintah menargetkan dapat menekan emisi karbon sebanyak 26% pada tahun 2020. Angka ini bisa mencapai 41% jika negara-negara lain juga ikut berpartisipasi dengan menanam pohon.

Selain itu, yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Garut pada tahun lalu ini mungkin juga bisa menjadi salah satu contoh yang perlu diterapkan di daerah-daerah lain. Pada Maret 2009, Bupati Garut mengharuskan setiap pasangan yang menikah di daerahnya agar menanam pohon. Tak tanggung-tanggung, setiap pasangan yang menikah di salah satu kabupaten Provinsi Jawa Barat itu melakukan penanaman pohon minimal sepuluh pohon.

Sepuluh batang pohon tersebut ditanam oleh setiap pasangan di tanah milik orang tuanya, kerabatnya, atau pun tanah keluarga lainnya. Pohon-pohon tersebut terdiri dari jenis tanaman kayu-kayuan, misalnya pohon mahoni atau pohon jati, serta tanaman buah-buahan dan tanaman perkebunan. Dengan berbagai variasi tanaman ini, dalam waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan diperkirakan akan sudah menghasilkan.

Wajib Tanam Pohon
Pemkab Garut sudah melakukan terobosan. Penanaman pohon oleh setiap pengantin baru itu dilakukan pada acara terakhir dalam ritual pernikahan mereka. Bahkan, tidak tanggung-tanggung, penanaman itu juga dilakukan sendiri oleh pasangan tersebut. Sedangkan, biaya pembelian pohon itu juga dari keluarga pengantin sendiri.

Pemerintah daerah hanya sekadar menganjurkan, kemudian pengantin yang menyediakan dan menanam bibitnya sendiri di lahan miliknya sendiri. Pada akhirnya, hasilnya juga untuk keluarga itu sendiri. Secara tidak langsung, itu juga akan memberikan semacam investasi hijau kepada keluarga yang baru dibentuk tersebut.

Kewajiban penanaman pohon ini ternyata juga tidak hanya berlaku bagi kalangan yang menikah. Pasangan yang bercerai pun wajib menanam pohon, bahkan lebih banyak jumlahnya. Mereka dianjurkan menanam minimal 50 batang pohon. Pohon-pohon tersebut nantinya tentu bisa menghidupi anak-anak dari keluarga yang bercerai tersebut, di samping untuk pelestarian lingkungan.

Langkah seperti ini tentu saja juga bisa dilakukan oleh Pemerintah Kota Medan. Sebuah cara yang sangat bagus sekali untuk memasyarakatkan penanaman pohon tersebut kepada warga yang baru membentuk sebuah keluarga. Tidak perlu banyak. Setidaknya setiap orang menanam satu pohon.

Harapannya, tentu saja penanaman pohon itu menjadi sebuah tradisi bagi setiap keluarga di Medan. Hingga akhirnya, tradisi ini terus menurun ke anak cucu, untuk menjaga lingkungan di sekitar kita, demi kelestarian bumi tempat kita hidup. Mudah-mudahan saja juga bisa diikuti oleh keluarga-keluarga lainnya di Indonesia.

* Dimuat di Harian Medan Bisnis (Jumat, 17 Desember 2010)


Sumber:
http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2010/12/17/11442/satu_orang_satu_pohon_berani/

Rabu, November 10, 2010

Hati-hati! Internet Bisa Rusak Anak Anda

Oleh: Adela Eka Putra Marza

Permasalahan remaja semakin hari semakin mengkhawatirkan dan semakin kompleks dengan semakin pesatnya kemajuan teknologi. Remaja saat ini mendapatkan kemudahan dengan bebas untuk menggunakan dan menikmati perkembangan teknologi itu. Tidak ada lagi sekat antara kebutuhan informasi dan teknologi dengan dampak dan pengaruhnya.

Lihat saja, rental-rental internet yang menjamur di mana-mana. Sudah tidak ada lagi batas dan aturan apalagi saringan akan isi internet tersebut. Film-film yang ditayangkan oleh berbagai media elektronik, cenderung menonjolkan perilaku-perilaku seksualitas yang dapat menyesatkan perilaku para remaja.

Demam Internet
Keberadaan warung internet (warnet) memang semakin menjamur belakangan ini. Hampir di setiap daerah di Kota Medan ini tersedia warnet untuk mengakses layanan teknologi informasi tersebut. Bahkan komputer dengan koneksi internet yang disediakan di setiap warnet pun tidak hanya satu-dua, tapi lebih dari jumlah jari tangan manusia.

Saking menjamur dan banyaknya warnet yang menyediakan akses untuk koneksi internet tersebut, sudah tidak susah lagi untuk menemukannya. Dengan fasilitas teknologi canggih tersebut, mengetahui dunia lain pun hanya seperti membalik telapak tangan. Dengan sekali klik, Anda sudah bisa melihat Menara Big Ben di London (Inggris) dan mengetahui sejarahnya, atau melongok daerah lainnya di belahan dunia lain.

Kecanggihan teknologi internet memang sangat memanjakan kita dengan segala fasilitasnya. Semua ilmu pengetahuan dan berita-berita terkini di setiap dunia tersedia di layar komputer ketika sudah terkoneksi dengan internet. Apalagi dengan layanan Google atau Yahoo yang dapat menghadirkan semua kebutuhan manusia akan ilmu pengetahuan. Semuanya bisa didapatkan dengan sekali klik ketika kita sedang browsing di internet.

Plus-Plus
Namun sayangnya, fungsi internet dewasa ini sudah mulai berubah, terutama di kalangan remaja. Keberadaan warnet yang menyediakan banyak film porno menjadi "penyakit" baru di tengah-tengah dunia remaja. Ini dapat meracuni pikirannya, bahkan bisa merusak sikap dan mental para remaja.

Informasi-informasi yang diperoleh remaja saat ini akan merangsang kematangan dan kegiatan seksualitas mereka menjadi lebih cepat dan bervariatif. Namun, jika itu didapat ketika mentalnya belum siap untuk menerima, maka akan membuahkan hal-hal negatif terhadap diri remaja.

Banyak warnet yang memang sudah kebablasan. Warnet yang biasanya disebut dengan istilah "warnet plus-plus" ini memang tidak hadir secara terbuka. Namun, mereka menyediakan film-film porno tersebut secara tersembunyi bagi para pelanggannya. Sehingga, sulit untuk dideteksi keberadaannya.

Namun biasanya, warnet-warnet seperti ini banyak beroperasi di sekitar kampus di Kota Medan. Bahkan, beberapa waktu lalu, pihak kepolisian pernah melakukan razia terhadap sejumlah warnet yang diduga melakukan praktik seperti itu. Beberapa warnet akhirnya dibongkar dan dilarang beroperasi.

Selain menyediakan film-film porno, ada juga warnet yang mengkhususkan ruangannya dalam bilik-bilik tertutup. Sehingga, seringkali juga para remaja melakukan hal-hal yang tidak senonoh dengan pasangannya di dalam bilik-bilik warnet tersebut. Meskipun sempit, ternyata mereka masih bisa melakukan hal-hal yang tidak pantas dilakukan oleh remaja seperti mereka.

Peran Penting Keluarga
Menghadapi perkembangan teknologi yang semakin pesat ini, bimbingan dari orangtua sangat dibutuhkan untuk para remaja. Karena apapun namanya, orangtua tetaplah menjadi orang pertama yang paling dekat dengan seorang remaja. Orangtua memiliki peranan yang sangat besar dalam menentukan hidup seorang remaja.

Survei menemukan, ketika remaja diminta melaporkan siapa yang paling berpengaruh dalam memutuskan sesuatu dalam hidupnya, jawabannya adalah orangtua. Keputusan yang lebih dipengaruhi orangtua adalah keputusan yang berdampak besar terhadap remaja menjadi orang seperti apa mereka nantinya. Remaja dipengaruhi teman-temannya dalam soal tertentu saja, namun pengaruh orangtua tetap yang utama.

Setiap keluarga harus mengkomunikasikan ini dalam menjalin hubungan dengan yang lain. Masalah timbul bila cara mengkomunikasikan sesuatu itu salah, apalagi yang diberikan kepada remaja adalah komentar negatif. Makanya jangan segan untuk membumbui proses komunikasi yang baik dengan berbagai hal sesuai dengan keinginan dan cara berpikir remaja.

Orangtua yang proaktif perlu mengadakan forum keluarga, misalnya melalui acara makan malam bersama di meja makan, sambil mengakui kepada anak remajanya bahwa ia kini sudah remaja dan ingin diberi kebebasan dan tanggung jawab yang lebih besar. Alangkah bahagianya kalau hal itu bisa terjadi dengan mulus dalam keluarga.

Dengan cara demikian akan terwujud keluarga yang komunikatif dan harmonis, di mana ia dimulai dengan membiasakan keterbukaan dalam komunikasi keluarga, sehingga bisa diwujudkan saling pengertian serta penerapan peran dan fungsi masing-masing anggota keluarga. Semuanya dengan maksud agar tercipta keluarga yang bahagia.

Dengan demikian, institusi keluarga akan bisa mengoptimalkan peran dan fungsi anggota keluarga, mulai dari bapak, ibu dan anak. Dalam kondisi begitulah akan bisa dilakukan peningkatan ketahanan keluarga, terutama terkait dengan permasalahan para remaja kita yang merupakan generasi penerus keluarga dan bangsa. Maka permasalahan remaja saat ini pun akan bisa diatasi.

* Dimuat di Harian Analisa (Selasa, 9 November 2010)

Sumber:
http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=75167%3Ahati-hati-internet-bisa-rusak-anak-anda&catid=823%3A09-november-2010&Itemid=222

Senin, Oktober 25, 2010

Penilaian Kinerja Pemerintahan SBY-Boediono

Oleh : Adela Eka Putra Marza


Tanggal 20 Oktober 2010, tepat setahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono. SBY-Boediono dilantik pada 20 Oktober 2009, setelah memenangkan Pemilu Presiden (Pilpres) 2009 dengan 73.874.562 suara (60,80 persen).


Pasangan ini mengalahkan pasangan Megawati-Prabowo dengan 32.548.105 (26,79 persen), dan Jusuf Kalla-Wiranto sebanyak 177. 195.786 suara (12,41 persen). Suara pemilih sah sendiri sebanyak 121.504.481 suara.


Mengantongi dukungan suara 60,80 persen pada Pilpres 2009, ternyata tidak lantas membuat pemerintahan SBY-Boediono bisa dengan sepenuhnya leluasa melaksanakan program-program yang telah dicanangkan pada masa kampanye. Berbagai masalah datang bertubi-tubi, tidak hanya di internal bangsa ini, tetapi juga dari bangsa luar.


Di saat usia pemerintahan yang masih muda dan bangunan konsolidasi masih belum terkondisikan dengan kukuh, deretan persoalan serius membutuhkan penyelesaian segera. Rakyat menanti perwujudan janji. Bagi rakyat, ketika memutuskan untuk memilih siapa sekaligus pula menanamkan harapan bahwa pemimpin yang dipilihnya nanti mampu mengurai masalah yang dihadapi bangsa


Dinilai Gagal

Kasus Bibit Samad Rianto-Chandra M Hamzah (pimpinan KPK) menjadi pembuka catatan masa kepemimpinan SBY pada periode kedua ini. Kasus ini menjadi yang paling membebani dan menyedot perhatian publik. Kasus ini membuat pemerintahan SBY-Boediono berjalan tertatih-tatih. Bahkan kasus ini lebih mendapat perhatian publik dibandingkan dengan program National Summit yang digelar di awal pemerintahan SBY-Boediono.


Kasus Bibit-Chandra seperti membuka tabir gelap dunia hukum. Munculnya nama Anggodo Widjaja dalam catatan hukum nasional menyebabkan luka bangsa, bahwa dunia hukum Indonesia begitu mudah diintervensi oleh kekuatan personal maupun jaringan mafia.


Menyadari adanya praktik-praktik mafia hukum itu, pemerintah bergegas membentuk satgas pemberantasan mafia hukum. Dalam gebrakannya. Satgas berhasil membongkar ketidakadilan dalam penanganan narapidana, seperti ditunjukkan pada kamar tahanan mewah Artalyta Suryani (terpidana kasus suap) maupun Aling (terpidana kasus narkoba).


Setelah kasus Bibit-Chandra mereda, kasus Bank Century pun menanti. Kejanggalan pengucuran dana talangan kepada Bank Century yang menyedot uang negara Rp 6,7 triliun, diduga melibatkan pejabat negara yang saat ini berada di lingkaran kekuasaan. Nama Wapres Boediono dan mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani disebut-sebut. Pansus Century pun dibentuk.


Persoalan "markus" alias makelar kasus ternyata tidak juga berakhir. Kasus Gayus Tambunan dan Susno Duadji turut muncul kepermukaan. Lambat laun, kasus ini semakin bergulir panas, sehingga sejumlah jaksa ikut terkena getahnya. Keinginan melaju cepat pada periode kedua kepemimpinan Presiden SBY tersendat. Energi dikuras untuk menemukan titik terang dan sekaligus mendorong reformasi di lembaga-lembaga penegak hukum.


Tidak hanya persoalan internal, hubungan antara Indonesia dengan Malaysia juga ikut memanas. Sejak masalah pencaplokan budaya hingga persoalan TKI yang banyak mengalami kekerasan, dan semakin diperpanas dengan kasus penahanan terhadap tiga pegawai Departemen Kelautan dan Perikanan RI.


SBY dinilai terlalu lembek dan lebih memilih bersikap kooperatif dengan Malaysia dalam permasalahan ini. SBY sama sekali tidak keras dalam menghadapi Malaysia yang sebenarnya sudah mempermalukan Indonesia. Citra pemerintahan SBY-Boediono pun ikut pula semakin luntur di mata rakyat.


Kepercayaan Rakyat

SBY-Boediono tampil sebagai pemimpin karena dukungan dari suara rakyat. Suara rakyat adalah mandat kepercayaan. Dari mandat itulah pemimpin dituntut sesegera mungkin untuk memenuhi kewajibannya mewujudkan harapan menjadi kenyataan. Semakin berlama-lama menghadirkan perwujudan harapan, semakin pula menjauhkan kepercayaan pemberi mandat.


Dalam kondisi ini, ruang tunggu sejarah tidak menginginkan adanya tumpukan kekecewaan. Sekali saja kekecewaan dimunculkan, sama artinya membuka pintu ketidakpercayaan. Fakta inilah yang terjadi sekarang, dimana sepertinya SBY "sudah lengser" dari hati rakyat yang dulu memilihnya sebagai Presiden Indonesia.


Dalam realitas politik seperti ini, pemerintahan SBY-Boediono akan berhadapan dengan opini publik. Media massa setiap saat mengulik perjalanan periode kepemimpinan mereka. Bahkan, pada satu tahun pemerintahan SBY-Boediono ini, media massa juga kembali menyorot berbagai persoalan yang dianggap tidak terselesaikan sampai saat ini.


Saat berhadapan dengan opini publik tersebut, kinerja politik sering dipandang berdasarkan urban political legend seperti pernah disebut Matthew Dawd (Yudi Latif, 2004). Jika sesuatu terus-menerus dikatakan, dimuat secara ekstensif dan intensif oleh media massa, dan dinyatakan oleh para analis dan pengamat, lama-lama publik utamanya masyarakat perkotaan yang memiliki kepekaan informasi politik akan mempercayainya.


Menurut Kousoulas (1979), opini publik dapat menjadi salah satu faktor politik jika dalam banyak hal ia berpengaruh terhadap proses pengambilan dan pelaksanaan suatu keputusan oleh para penyelenggara negara maupun politisi lainnya. Opini publik merupakan penjelmaan suara rakyat. Mengabaikan opini publik sama artinya memberikan momentum penurunan kepercayaan pada pemerintahan SBY-Boediono.


Itulah yang terjadi saat ini. Seperti isu demo besar-besaran yang akan dilakukan oleh masyarakat dari berbagai kelompok massa, seakan-akan menunjukkan seperti apa sikap rakyat saat ini terhadap pemerintahan SBY-Boediono. Memang terlalu cepat jika hanya menilai kepemimpinan mereka dalam setahun ini. Namun, waktu 365 hari itu pastinya juga akan sangat menentukan untuk hari-hari berikutnya.


* Dimuat di Harian Analisa (Senin, 25 Oktober 2010)


Source:

http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=73375:penilaian-kinerja-pemerintahan-sby-boediono&catid=78:umum&Itemid=131

Senin, September 20, 2010

Mengurai Konflik Tanah Adat

Oleh: Adela Eka Putra Marza

Persoalan tanah adat atau tanah ulayat seringkali bermasalah dalam penentuan tata ruang wilayah di suatu daerah. Begitu juga di Sumatera Utara. Sehingga pada akhirnya, konflik pun bermunculan karena adanya ketidakjelasan dalam menetapkan bagian tanah adat dalam tata ruang wilayah suatu daerah. Seperti yang terjadi pada lahan hutan kemenyan di Kabupaten Toba Samosir. Ini terjadi karena keterwakilan masyarakat adat belum diikutsertakan.

Padahal PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) sendiri mengakui hak-hak masyarakat adat termasuk kawasan tanah adat. Ini tertuang dalam Deklarasi PBB Tentang Hak-Hak Masyarakat Adat yang menjadi tonggak sejarah bagi masyarakat adat di seluruh penjuru dunia, sebagai momentum yang efektif dalam membangun konsolidasi gerakan masyarakat adat. Namun hingga saat ini, masih saja ada persoalan dalam penentuan hak-hak masyarakat adat tersebut.


Terbentur Tata Ruang

Permasalahan utama dalam penentuan tanah adat terjadi saat penetapan tata ruang suatu wilayah. Selama ini, draft tata ruang lebih banyak membicarakan tentang infrastruktur, dalam artian lebih kepada kawasan industri yang bussines oriented. Sangat sedikit sekali memperhatikan mengenai keselamatan warga, bagaimana akses warga dan wilayah pengelolaan masyarakat terhadap kawasan hutan.

Makanya sudah menjadi fenomena yang tidak aneh lagi jika konflik akibat pengelolaan tata ruang terus semakin meningkat setiap tahunnya. Padahal, dengan adanya pengaturan yang jelas mengenai ketataruangan suatu daerah seharusnya mampu meminimalisir konflik yang selama ini terjadi antara masyarakat setempat dengan pihak swasta yang melakukan pengolahan di daerah tersebut.

Adanya kepentingan dari sejumlah pihak juga menjadi penyebab munculnya konflik-konflik tersebut. Pada suatu wilayah, ada pihak yang menyatakan bahwa wilayah tersebut termasuk kawasan hutan. Tapi ternyata, fakta di lapangan wilayah tersebut telah menjadi perkebunan. Oleh karena itu juga, maka penyusunan draft tata ruang itu sendiri tidak juga selesai hingga saat ini.

Oleh karena itu, seharusnya masyarakat adat sendiri mendapatkan porsi yang sesuai untuk menyampaikan aspirasi kelompoknya dalam penyusunan draft tata ruang. Karena, sudah secara otomatis mereka memiliki peranan penting, karena merekalah yang lebih mengetahui bagaimana kondisi kawasan di lingkungan mereka, termasuk soal kawasan tanah adat.


Ekspansi Pihak Swasta

Konflik tanah adat antara masyarakat setempat dengan pihak swasta yang ingin membuka lahan memang juga menjadi persoalan yang sangat mengkhawatirkan dewasa ini di wilayah Sumut. Konflik tanah adat di Sumut memang tak juga kunjung reda, malah makin bertambah. Inilah potret akibat nasionalisasi perusahaan asing puluhan tahun silam.

Padahal dulu di masa penjajahan Belanda, masyarakat adat bisa tetap mengelola lahan kendati lahan tersebut sudah ditanami tembakau oleh perusahaan Belanda, dimana saat itu disebut tanah jaluran. Namun, praktek tersebut berakhir setelah Indonesia merdeka, terutama setelah pemerintah melakukan nasionalisasi perusahaan Belanda pada 1958.

Setelah Indonesia merdeka, jumlah tanah masyarakat adat pun berkurang drastis. Semula luas tanah adat di Sumut tak kurang dari 325 ribu hektare. Namun, jumlah itu merosot sampai 125 ribu hektare setelah ada kekacauan politik pada 1960-an. Luas itu terus menyurut hingga menjadi sekitar 50 sampai 60 ribu hektare pada tahun 1970-an.

Pada tahun 1980-an, pemerintah sempat mengeluarkan kebijakan untuk membagikan sekitar 10 ribu hektare tanah, termasuk kepada masyarakat adat. Namun kenyataannya, masyarakat adat tak mendapat jatah sedikit pun.

Oleh karena itu, belakangan ini banyak pihak yang terus memperjuangkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Masyarakat Adat agar segera dapat disahkan. Karena, dengan adanya undang-undang tersebut maka masyarakat sendiri akan merasa mendapatkan jaminan hukum atas tanah ulayat yang mereka miliki sebagai suatu warisan dari nenek moyang mereka.


Perlindungan Undang-Undang

Hingga saat ini, dalam undang-undang di Indonesia belum satupun yang mengakui kepemilikan masyarakat adat, termasuk tanah adat atau tanah ulayat. Seharusnya proteksi terhadap kepemilikan masyarakat adat diatur juga di dalam undang-undang atau minimal peraturan daerah. Selama ini, pemerintah hanya mengakui wilayah kelola terhadap suatu tanah adat oleh masyarakat setempat, namun sama sekali tidak diakui kepemilikannya.

Hutan adat sendiri sebenarnya memang masuk dalam kawasan hutan yang dimiliki oleh negara, sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Dengan begitu, hak pengelolaan dan kepemilikannya juga berada di tangan pemerintah. Namun, hutan adat baru bisa menjadi tanah negara jika tidak ada alas hak dari tanah tersebut.

Sedangkan tanah adat sendiri menurut hukum adat merupakan hak-hak perorangan atas tanah yang menjadi hak pribadi, akan tetapi didalamnya mengandung unsur kebersamaan, yang dalam istilah modern disebut "fungsi sosial". Hukum adat juga merupakan sumber utama hukum undang-undang pokok agrarian atau hukum pertanahan Indonesia. Oleh karena itu, dalam persoalan ini juga perlu dipertimbangkan.

Jalan keluar bagi permasalahan ini sebenarnya berada di tangan pemerintah sendiri. Pemerintah harus memberi kesempatan bagi masyarakat adat untuk mengurus hak kepemilikan tanahnya. Selain itu, juga dilakukan harmonisasi semua peraturan perundangan yang bersentuhan dengan pertanahan. Selama ini tak dibenahi, maka konflik tanah adat akan terus muncul.

Pemerintah juga harus mengatur pembatasan terhadap pihak swasta yang ingin membuka lahan baru, sehingga tidak main caplok hingga menyerobot kawasan tanah adat. Pemerintah perlu mengatur semua peruntukan terhadap kawasan hutan, sehingga bisa dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap rencana ekspansi pihak swasta tersebut. Karena, pihak swasta ini akan terus melakukan ekspansi jika ada kesempatan. Jangan sampai, suatu saat nanti seluruh kawasan Sumut sudah menjadi lahan sawit.


* Dimuat di Harian Analisa (Selasa, 7 September 2010)


Sumber:

http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=68108:mengurai-konflik-tanah-adat&catid=764:07-september-2010&Itemid=220

Kamis, Agustus 12, 2010

Kriminalisasi Wartawan dan Kebebasan Pers

- Refleksi Hari Ulang Tahun AJI (7 Agustus) -

Oleh: Adela Eka Putra Marza

Keran kebebasan pers di Indonesia mulai terbuka lebar sejak jatuhnya rezim Orde Baru tahun 1998. Sejak itu, berbagai media massa, mulai cetak, televisi dan radio hingga media online tumbuh bak jamur di musim hujan, seiring semakin tertancapnya kuku-kuku demokrasi di negeri ini.

Lihat saja, berbagai koran, tabloid, majalah, hingga televisi, radio dan portal berita online lahir menyemarakkan dunia jurnalistik di Tanah Air.


Setidaknya, fenomena ini bisa sedikit mengobati sakitnya terbelenggu oleh kekuasaan tunggal rezim Orde Baru hampir selama 32 tahun. Meski kebebasan pers belakangan ini di Indonesia juga sepertinya malah kebablasan. Tapi yang jelas, ini sudah menjadi sebuah pembelajaran menuju cita-cita pers yang sebenarnya; sebagai pengabar masyarakat, sebuah tugas yang begitu mulia.


Namun, kebebasan dalam arti jaminan dalam menjalankan tugas-tugas dan fungsinya sebagai pengabar informasi kepada masyarakat umum, ternyata masih ada segelintir pihak dan oknum-oknum tertentu yang begitu tega menciderai kebebasan pers tersebut. Terbukti kasus pelanggaran terhadap tugas-tugas wartawan di Indonesia, belakangan ini terus meningkat. Ada wartawan yang diancam, disekap, dianiaya, bahkan hingga dibunuh.


Posisi 100 dari 175
Sebuah lembaga dunia, Reporters Without Borders (RSF) pernah merilis Indeks Kebebasan Pers 2009 pada tahun lalu. Menurut hasil penelitian tersebut, Indonesia menempati posisi 100 dari 175 negara di dunia. Ternyata, kebebasan pers di negeri ini masih ketinggalan dibandingkan negara-negara lain di dunia.


Angka ini tentu saja dapat membuka pemikiran kita tentang kebebasan pers di Indonesia. Ternyata secara umum, dibandingkan negara-negara lain, kebebasan pers di Nusantara masih jauh di bawah standar. Apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara Barat, tentu saja kebebasan pers di Indonesia belum ada apa-apanya. Belum lagi, jika kita bicara soal kesejahteraan para kuli tinta tersebut.


Meski begitu, Indonesia masih lebih baik dari negara-negara lainnya di Asia Tenggara. Myanmar misalnya, yang dikuasai pemerintahan junta militer, menempati rangking yang nyaris paling bawah, yakni 171 dari 175 negara. Oleh RSF, Myanmar dideskripsikan sebagai “surganya sensor”, salah satu di antara sedikit negara di dunia yang semua publikasinya diharuskan melewati mekanisme sensor.


Kemudian, Vietnam menempati rangking 166 dari 175 negara. Menurut deskripsi RSF, Vietnam disebut tidak memiliki media yang independen. Pers, baik koran, majalah, televisi, dan radio, semua di bawah kontrol Hanoi. Sementara itu, Laos menempati posisi 169, kemudian Filipina pada posisi 122, Thailand 130, Singapura 133, dan Malaysia, yang juga dikenal mengontrol ketat persnya, menempati rangking 131.


Sumut, Setali Tiga Uang
Di Sumatera Utara pun tak ada bedanya; kekerasan terhadap wartawan malah juga sering terjadi di daerah ini. Bahkan belakangan ini, angka
tindak kekerasan terhadap wartawan Sumut semakin meningkat. Setidaknya, di awal tahun 2010 ini tercatat ada tiga kasus penganiayaan dan kriminalisasi terhadap wartawan di Sumut.

Catatan pertama, kasus penyekapan dan tindak kekerasan terhadap lima wartawan yang dilakukan oleh oknum dokter dan satpam RSUP Haji Adam Malik Medan pada 6 Februari lalu. Mereka mendapat perlakuan tersebut saat melakukan peliputan terhadap bayi yang diduga korban malpraktik dengan dikunci dalam salah satu ruangan rawat inap selama 10 menit. Selain disekap, mereka juga dipaksa untuk menghapus gambar bayi tersebut, dan harus berjanji untuk tidak memberitakannya.


Kemudian kasus penodongan dengan pistol yang dilakukan oleh Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Kota Binjai Darmanto terhadap tiga wartawan di Binjai pada 3 Maret lalu. Para wartawan yang berinisial IP, BR dan JT tersebut ditodong saat hendak mewawancarai dan meminta konfirmasi dari pejabat tersebut terkait kasus dugaan perbuatan cabul yang dilakukannya. Namun, tanpa basa basi pelaku malah mengambil senjata api dari pinggangnya dan mengacung-acungkannya ke arah wartawan.


Yang terakhir adalah kasus penganiayaan terhadap Dedek Mohan Basri Hasibuan (26) yang bekerja untuk Harian Metro 24. Wartawan yang akrab disapa Abay ini dianiaya oleh preman yang dikenal korban sebagai Ucok Kibo, 6 Maret lalu. Akibat penganiayaan tersebut, Abay mengalami sejumlah luka serius dan terpaksa dirawat di rumah sakit. Kepala dan leher kanannya mengalami cidera serius, serta salah satu daun telinganya nyaris putus karena dipukul oleh pelaku dengan botol minuman keras.


Penganiayaan ini sendiri merupakan yang ketiga kalinya yang dialami oleh Abay; pertama pada Agustus 2008 dan yang kedua pada Januari 2009, tapi pelaku tak kunjung ditangkap polisi. Kasus pertama dilaporkan ke Polsekta Patumbak, sementara kasus kedua dilaporkan ke Poltabes Medan. Namun tidak ada pengusutan kasus dan pelaku tetap bebas berkeliaran. Motif penganiayaan ini diduga terkait berbagai pemberitaan mengenai premanisme di Kota Medan yang ditulis korban pada Agustus 2008 lalu.


Buat Apa UU Pers?
Ketiga kasus diatas hanya segelintir dari kasus-kasus lainnya yang menimpa wartawan di Sumut. Masih banyak kasus kriminalisasi terhadap wartawan di Sumut yang hingga saat ini belum juga terungkap.
Padahal seharusnya mereka mendapatkan perlindungan dalam menjalankan tugasnya sebagai pengabar berita kepada khalayak. Sehingga tetap bisa kritis dan objektif dalam setiap pemberitaannya.

Selain itu,
selama ini seringkali aparat kepolisian mengusut kasus kriminalisasi terhadap wartawan tanpa memperhatikan aturan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Bahkan, banyak aparat kepolisian yang sama sekali tidak mengetahui UU Pers tersebut. Kepolisian biasanya hanya menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana saja dalam pengusutan kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan tersebut.

Lalu untuk apa UU Pers tersebut ada, jika pada praktiknya malah tidak dilaksanakan oleh para penegak hukum. Padahal persoalan menyangkut profesi wartawan seharusnya diselesaikan dengan mengacu kepada UU Pers. Aparat keamanan seharusnya juga turut melindungi tugas-tugas wartawan dan memproses hingga tuntas setiap pelanggaran hukum yang dilakukan terhadap wartawan.


Seperti dimuat laman Asianewsnet pada akhir 2009 lalu, negara-negara Asia Tenggara harus waspada. Sebab, dalam beberapa tahun ke depan indeks kebebasan pers berpotensi besar melorot tajam. Kita semua harus bertanya, apakah musti mengorbankan demokrasi dan kebebasan demi keamanan dan stabilitas sesaat? Jangan sampai kebebasan pers yang selama ini diagung-agungkan di negeri ini hanya sekadar wacana semata.

* Dimuat di Harian Medan Bisnis (Rabu, 11 Agustus 2010)