------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Minggu, Desember 16, 2012

Solusi Pencegahan Banjir di Kota Medan

Oleh: Adela Eka Putra Marza

Dalam beberapa hari belakangan, Kota Medan kembali dilanda banjir. Walaupun tidak separah banjir-banjir yang pernah terjadi sebelumnya, namun kondisi tersebut tetap saja meresahkan masyarakat. Bagaimana tidak, banyak kegiatan masyarakat yang terganggu karena luapan air yang menggenangi rumah, pemukiman hingga jalan raya. Kerugian materi pun juga harus diterima sebagian masyarakat.

Senin, Desember 10, 2012

Asa Indonesia pada KPK



Oleh: Adela Eka Putra Marza

Bangsa Indonesia lagi-lagi dikejutkan dengan hasil perkembangan penyidikan sejumlah kasus korupsi di negeri ini. Setelah sebelumnya beberapa nama ditetapkan sebagai tersangka, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menunjukkan peningkatan kinerjanya dengan menetapkan beberapa orang tersangka lainnya dalam kasus korupsi proyek Pembangunan Pusat Pelatihan dan Sarana Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang.

Parit Tersumbat, Nyamuk Semakin Kuat

Oleh: Adela Eka Putra Marza 

Belakangan perkembangan nyamuk terasa semakin banyak. Situasi ini diperparah dengan kondisi cuaca yang seringkali hujan. Dengan keadaan drainase, terutama parit di Kota Medan yang lebih banyak tersumbat, mengakibatkan munculnya genangan air. Genangan air inilah yang membantu meningkatnya pertumbuhan jentik-jentik nyamuk, seperti nyamuk Aedes Aegypty. Dampaknya, kasus penyakit demam berdarah dengue (DBD) pun ikut naik tinggi.

Bank Sampah, Cara Menyulap Sampah Jadi Uang

Oleh: Adela Eka Putra Marza 

Sebagai salah satu kota besar di Indonesia dengan luas wilayah 265,10 km2, Kota Medan memiliki populasi penduduk sebanyak 2.949. 830 jiwa dengan kepadatan mencapai 11.127,2/km2 (Wikipedia.org). Dengan jumlah tersebut, tak heran jika pola produksi dan konsumsi di Tanah Deli ini juga tinggi. Fakta ini pula yang menyebabkan produksi sampah di Kota Medan terus mengalami kenaikan setiap tahun.

Menurut Walikota Medan Rahudman Harahap dalam suatu kesempatan beberapa waktu lalu, produksi sampah di Kota Medan per hari diperkirakan mencapai 1.500 ton. Bahkan, menurut Dinas Kebersihan Kota Medan, produksi sampah tersebut bisa mencapai 1.800 ton dalam sehari di hari-hari tertentu, seperti pada malam tahun baru. Dari jumlah itu, hanya sekitar 81 persen yang bisa diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Pemerintah Kota Medan sendiri hanya memiliki dua lokasi TPA, yaitu di Desa Namo Bintang, Pancur Batu dengan luas 16 hektar yang kondisinya sudah penuh tumpukan sampah setinggi 10 hingga 15 meter seluas 10 hektar, dan TPA di Desa Terjun, Kecamatan Medan Marelan dengan luas 14 hektare yang kondisinya hanya tersisa lahan kosong seluas 4 hektar. Jika melihat jumlah produksi sampah, tentu saja kedua lokasi TPA sudah tidak memadai lagi.

Oleh karena itu, diperlukan program pengelolaan persampahan secara lebih komprehensif dan terpadu. Apalagi selama ini, pengelolaan sampah di banyak daerah belum memenuhi kriteria pengelolaan sampah seperti diatur Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21 Tahun 2006 tentang Kebijakan dan Strategi Pengembangan Sistem Pengolahan Sampah Nasional.

Bank Sampah
Dalam banyak konsep pengelolaan sampah yang diaplikasikan di sejumlah negara, secara umum menggunakan konsep hierarki sampah yang merujuk kepada teori 3M, yaitu mengurangi sampah, menggunakan kembali sampah dan daur ulang. Teori ini mengklasifikasikan strategi pengelolaan sampah kepada tujuan keuntungan maksimum dari produk-produk praktis dan menghasilkan jumlah minimum sampah (Wikipedia.org).

Salah satu terobosan besar dalam pengeloaan sampah di Indonesia adalah program bank sampah. Melalui program ini, paradigma yang terbentuk dalam pikiran masyarakat bahwa sampah adalah sesuatu yang tidak berguna dan dibuang begitu saja, diubah menjadi sesuatu yang juga memiliki nilai dan harga. Melalui bank sampah, masyarakat bisa menabung sampah, yang kemudian dalam kurun waktu tertentu bisa menghasilkan uang.

Proses dalam bank sampah ini hampir sama dengan bank konvensional pada umumnya. Bedanya, jika bisanya kita menabung uang dapatnya uang, maka melalui bank sampah kita menabung sampah dapatnya malah uang. Inilah yang dilakukan oleh Bank Sampah Gemah Ripah di Desa Badegan, Bantul, Yogyakarta, digagas oleh dosen Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Yogyakarta Bambang Suwerda pada tahun 2008.

Dalam 4 tahun, keberadaan bank sampah yang kemudian dikembangkan oleh pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup ini bertambah secara drastis menjadi sebanyak 477 unit dengan penghasilan Rp 1,7 miliar. Salah satunya ada di Kota Medan, yaitu Bank Sampah Mutiara yang berada di Jalan Pelajar Timur, Gang Kelapa, Lorong Gabe, Kelurahan Binjai, Kecamatan Medan Denai, yang diresmikan pada 12 Mei 2012 lalu.

Selain memberikan nilai ekonomis bagi masyarakat yang menabungkan sampahnya melalui bank sampah, keberadaan bank sampah ini juga diharapkan mampu mengurangi sekitar 10 persen sampah yang masuk ke TPA. Program ini bahkan bisa mengurangi setengah dari jumlah sampah yang masuk ke TPA, jika Pemko Medan jadi membantu pendirian lima bank sampah lainnya pada tahun ini.

Kurang Sosialisasi
Sayangnya, satu-satunya bank sampah di Kota Medan ini belum mampu menarik perhatian masyarakat. Entah kurangnya sosialisasi pemerintah daerah, atau mungkin karena masyarakat yang kurang membaca informasi, faktanya keberadaan bank sampah ini hanya diketahui oleh segelintir orang. Hingga saat ini, memang masih minim informasi mengenai bank sampah, sehingga warga yang menggunakannya pun tidak banyak.

Di sisi lain, jumlah bank sampah di Kota Medan juga masih sedikit. Saat ini, hanya satu bank sampah yang tersedia untuk membantu masyarakat mengeloa sampah menjadi bernilai ekonomis. Padahal, jika dilihat secara geografis luas wilayah Kota Medan, seharusnya setiap kecamatan memiliki bank sampah. Bahkan, akan sangat membantu jika di tiap kecamatan terdapat minimal ada lima bank sampah.

Bandingkan, misalnya dengan Kota Banjarmasin yang sudah memiliki 30 bank sampah, (Analisa 13/11). Melalui unit-unit bank sampah tersebut, pengelolaan sampah yang dilakukan mampu memberikan penghasilan Rp 30 juta per bulan. Bahkan, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Banjarmasin menargetkan akan menambahnya hingga berjumlah paling sedikit 250 lokasi bank sampah dalam waktu dekat.

Melihat kondisi ini, tentunya akan sangat efektif jika Pemerintah Kota Medan lebih aktif lagi dalam menyosialisasikan keberadaan dan fungsi bank sampah. Misalnya, Pemko Medan bisa melakukan sosialisasi melalui posko-posko informasi yang ditempatkan di sejumlah fasilitas umum atau di kantor-kantor kecamatan. Melalui posko tersebut, masyarakat bisa mendapatkan informasi seputar keuntungan menjadi nasabah bank sampah.

Selain itu, pengenalan bank sampah kepada murid-murid sekolah seperti yang sudah dilakukan oleh pengelola Bank Sampah Mutiara, juga cukup efektif untuk menyosialisasikan program ini kepada masyarakat. Murid-murid sekolah ini diharapkan bisa menjadi pelopor dalam masyarakat untuk memanfaatkan pengelolaan sampah melalui bank sembari mendapatkan keuntungan ekonomis.


* Pernah dimuat di Harian Analisa (Minggu, 2 Desember 2012)

Baca juga di http://www.analisadaily.com/news/read/2012/12/02/91340/bank_sampah_cara_menyulap_sampah_jadi_uang/ 

Sabtu, Desember 01, 2012

Mencari Solusi BBM Bersubsidi

Oleh: Adela Eka Putra Marza

Persoalan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi masih saja menjadi polemik di negeri ini. Seminggu terakhir, habisnya stok BBM di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Kota Medan membuat heboh masyarakat. Seperti diberitakan Harian Analisa terbitan Selasa, 27 November 2012, kehabisan BBM tersebut disebabkan karena kurangnya jatah BBM bersubsidi dari Pertamina.

Pernyataan dari pihak PT Pertamina Sumatera Bagian Utara, mereka melakukan pengendalian harian (kitir harian) dalam menyalurkan kuota BBM bersubsidi hingga 31 Desember 2012, untuk mengantisipasi kekurangan BBM pascaoverkuota. Kondisi ini yang menyebabkan terjadinya kekosongan di sejumlah SPBU, karena adanya upaya penyusunan jadwal pengiriman BBM bersubsidi secara ketat dan teratur.

Namun, pihak Pertamina tetap berharap masyarakat tidak melakukan panic buying, apalagi dengan munculnya isu kenaikan BBM pada akhir tahun 2012. Karena hingga saat ini, isu kenaikan BBM tersebut belum terbukti. Oleh karena itu, masyarakat harus tetap membeli BBM bersubsidi sesuai kewajaran, melakukan penghematan, dan jangan melakukan penimbunan dalam jumlah banyak.

Over Kuota
Untuk tahun 2012, DPR telah menetapkan kuota BBM bersubsidi sebesar 40,4 juta kl, terdiri atas premium 24,41 juta kl, minyak tanah 1,7 juta kl, dan solar 13,89 juta kl. Pada bulan September 2012, pemerintah mengajukan tambahan kuota sebesar 4 juta kl lagi. Namun, kuota yang telah ditetapkan tersebut masih saja kurang. PT Pertamina (Persero) memperkirakan akan terjadi over kuota mencapai 1,227 juta kl di akhir tahun 2012.

Berdasarkan data Pertamina, realisasi penyaluran premium secara nasional hingga 24 November 2012 sudah mencapai 25,2 juta kl (Harian Analisa, 26 November 2012). Wajar saja jika Pertamina melakukan pemotongan pasokan BBM bersubsidi per SPBU sebesar 10 persen mulai 19 November 2012 lalu. Selain itu, Pertamina juga terpaksa menyiapkan dana sekitar Rp 6 trilun untuk penambahan kuota.

Sementara itu, di Sumatera Utara hingga 21 November 2012, premium bersubsidi yang tersisa hanya 12 persen lagi, dimana 1,4 juta kiloliter (kl) sudah disalurkan. Diperkirakan juga akan terjadi over kuota premium sekitar 1-2 persen (Harian Analisa, 27 November 2012). Bahkan, pada April 2012 lalu, penyaluran premium mencapai 512 ribu, melebihi kuota hingga April 2012 yang hanya 433 ribu kl.

Hari Tanpa BBM Bersubsidi
Untuk tahun 2013, telah ditetapkan kuota BBM bersubsidi sebanyak 46 juta kl, naik 2 juta kl dari kuota tahun 2012. Namun, kuota tersebut bisa saja tetap mengalami kekurangan, jika konsumsinya tidak dibatasi. Apalagi jika melihat tingkat pertumbuhan kendaraan bermotor, terutama kendaraan pribadi yang terus meningkat setiap tahun. Untuk itu, pemerintah harus menelurkan sejumlah kebijakan dalam mengerem konsumsi BBM.

Salah satu program yang dicanangkan pemerintah adalah Gerakan Nasional Hari Tanpa BBM Bersubsidi yang akan dilaksanakan pada 2 Desember 2012. Rencananya, semua SPBU yang beroperasi di Jawa-Bali dan 5 kota besar lainnya di luar Jawa, yaitu Medan, Batam, Palembang, Balikpapan dan Makassar tidak akan melayani penjualan premium bersubsidi selama pukul 06.00 hingga 18.00 WIB.

Sebagai gantinya, Pertamina menyiapkan alternatif bensin non subsidi, yaitu Pertamax dan Pertamax Plus. Melalui gerakan ini, Pertamina berharap dapat menghemat konsumsi premium bersubsidi hingga 15 ribu kl dengan nilai mencapai Rp 75 miliar (Harian Kompas, 26 November 2012). Diharapkan, semua masyarakat bisa mendukung gerekan nasional ini, demi menjaga ketercukupan kuota BBM bersubsidi hingga akhir tahun.

Memberlakukan 2 Harga
Selama ini, rencana untuk menaikkan harga BBM bersubsidi terus menjadi perbincangan hangat di Gedung DPR. Meski begitu, rencana tersebut belum terelisasi hingga saat ini, dengan pertimbangan bahwa negera seharusnya bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan rakyat atas bahan bakar minyak. Dalam hal ini, pemerintah harus tetap memberikan subsidi, meskipun hal tersebut mengakibatkan defisit keuangan negara.

Sebenarnya, menaikkan harga BBM bersubsidi boleh saja dilakukan, asal dengan perencanaan yang matang tanpa ditunggangi upaya politisasi oleh pihak-pihak tertentu. Misalnya, memberlakukan kebijakan dua harga (dual price), yaitu Rp6.000/liter untuk mobil pribadi sesuai usulan RAPBN-P 2012, sedangkan kendaraan umum, angkutan pedesaan, kendaraan barang/usaha kecil menengah, dan motor tetap Rp4.500/liter.

Dengan kebijakan seperti ini, kemungkinan defisit keuangan negara bisa ditekan hingga menjadi 2,5 persen. Angka ini sendiri masih di bawah ambang batas yang diizinkan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam artian, konsumsi BBM bersubsidi setiap tahun bisa dikurangi walaupun tidak banyak. Namun, kebijakan ini tentu tetap akan berpengaruh terhadap keuangan negara, selain juga dapat mengatur distribusi subsidi.

Solusi Bersama
Sejauh ini, pemerintah memang sudah melakukan sejumlah solusi untuk membatasi penggunaan BBM bersubsidi. Salah satunya, upaya menjaga tingkat pertumbuhan kendaraan bermotor dengan cara menaikkan nilai DP (down payment) untuk kredit sepeda motor sebesar 25 persen dari harga jual, dan minimal 30 persen untuk mobil. Dengan peraturan ini, diharapkan penjualan kendaraan bermotor mengalami penurunan hingga 25 persen.

Selain itu, pemerintah juga bisa menerapkan teknologi dengan sistem terintegrasi, seperti penggunaan kartu elektronik BBM (e-BBM) yang diusulkan Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan, atau penggunaan sistem teknologi pencatat pengguna BBM oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) pada 2013. Dengan sistem ini, misalnya bisa diberlakukan batas maksimum penggunaan BBM bersubsidi per hari.

Meski begitu, solusi bersama dari semua pihak tetap menjadi hal terpenting dalam menyelesaikan persoalan BBM bersubsidi ini. Dalam kasus ini, jangan hanya masyarakat saja yang diminta untuk melakukan penghematan melalui sejumlah kebijakan dari pemerintah. Namun, pihak pemerintah juga harus ikut melakukan penghematan, terutama para pejabat negara yang masih banyak menggunakan BBM bersubsidi.


* Dimuat di Harian Analisa (Jumat, 30 November 2012)

Sumber: http://www.analisadaily.com/news/read/2012/11/30/90871/mencari_solusi_bbm_bersubsidi/

Rakyat Makin Beringas, Salah Siapa?

Oleh : Adela Eka Putra Marza

Selama beberapa hari terakhir, di tengah-tengah peringatan Hari Sumpah Pemuda, kita malah disuguhkan dengan berita-berita nasional seputar bentrok antar warga di sejumlah daerah. Kerusuhan sosial yang terjadi melibatkan ratusan bahkan ribuan warga antar daerah. "Hebatnya" lagi, bentrokan tersebut menyebabkan sejumlah orang meninggal dunia, rumah masyarakat yang hancur dilempar batu, dan kendaraan bermotor dibakar warga yang bentrok. Selain itu, ribuan warga terpaksa mengungsi dan anak-anak yang mengalami trauma akan kekerasan.

Mulai dari rusuh di Lampung Selatan, Bandar Lampung, antara warga Desa Agom Kecamatan Kalianda dengan warga Desa Balinuraga Kecamatan Way Panji. Sejak Minggu, 28 Oktober 2012 lalu, hingga saat ini, sudah belasan orang yang meninggal dunia dalam kerusuhan tersebut. Padahal, penyebabnya hanyalah masalah sepele. Namun, menjadi besar karena disusupi isu SARA, ditambah emosi yang meledak-ledak antara warga Desa Agom yang didominasi etnis Lampung ke Desa Bali Nuraga yang didominasi etnis Bali tersebut.

Beberapa bulan sebelumnya, tepatnya di pertengahan 2012, Lampung juga heboh karena konflik Mesuji, Ogan Komering Ilir. Sejumlah warga terpaksa kehilangan nyawanya. Penyebabnya adalah saling ejek antar dua kelompok warga yang berujung dengan kerusuhan. Selain itu, pada April 2011 dan penghujung tahun yang sama juga terjadi bentrok antar warga. Jika ditotal sudah menyebabkan belasan orang pula yang meninggal dunia. Belum lagi, akibat dari konflik antara perusahaan perkebunan sawit PT Silva Inhutani dengan warga setempat yang terjadi sejak 2003.

Kemudian bentrok antar warga yang terjadi di Palu, Sulawesi Tengah, di waktu yang bersamaan dengan kerusuhan di Lampung Selatan. Hingga saat ini, beberapa warga meninggal akibat bentrok, dan suasana masih "panas". Sebelumnya, pada April 2012 juga terjadi bentrok antar warga di Palu. Bentrokan ini malah hanya disebabkan oleh perkelahian kecil sejak tahun 1996 yang masih menyisakan dendam hingga saat ini. Berulang kali bentrok terjadi, meskipun sebenarnya kedua belah pihak yang berbeda desa tersebut masih memiliki hubungan keluarga.

Kebebasan Tanpa Kepastian Hukum
Jika melihat lebih jauh ke belakang, tentu kita juga akan ingat dengan sejumlah konflik di beberapa daerah, seperti konflik SARA di Poso (Sulawesi Tengah) dan Ambon, atau konflik separatis di Aceh dan Maluku Utara beberapa tahun silam. Belum lagi tawuran antar pelajar yang semakin marak terjadi, bahkan seakan jadi tren baru dalam kehidupan sosial pelajar. Semua konflik sosial ini malah terjadi ketika kita sudah lepas dari rezim "diktator" Orde Baru dan "keran" kebebasan dibuka selebar-lebarnya oleh pemerintah.

Satu hal yang perlu kita perhatikan dalam kasus ini adalah poin kebebasan. Kebebasan yang selama ini terkungkung akibat pemerintahan ala diktator yang dijalankan oleh elit politik Orde Baru, tiba-tiba saja didapatkan oleh semua rakyat ketika reformasi bergelora di Tanah Air. Sejak saat itu, semua orang bisa bebas bersuara, bebas mengeluarkan pendapat, dan bebas menunjukkan ekpresi dirinya. Apalagi ketika azas hak asasi manusia (HAM) semaki menguat dan menjadi kepemilikian utuh bagi siapa saja dengan perlindungan hukum oleh negara.

Bahkan, belakangan HAM selalu dijadikan tameng bagi setiap orang untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak salah, meskipun perbuatannya sebenarnya telah melanggar norma-norma sosial dan bertentangan dengan hukum. Tak heran jika banyak orang yang berani melakukan apa saja demi mendapatkan keinginannya, dengan alasan hal tersebut dilakukan atas hak asasinya sebagai seorang manusia. Seperti misalnya, warga yang menunjukkan ekspresi kemarahannya akibat (mungkin) harga dirinya dilecehkan orang lain.

Selain itu, menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang juga Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof. Jimly Asshiddiqie, dalam sebuah pertemuan di Bandung beberapa bulan yang lalu, kebebasan yang terjadi di Indonesia saat ini hanya dinikmati oleh sebagian orang saja. Hal ini kemudian justru menimbulkan kesenjangan yang berujung pada konflik di berbagai daerah. Apalagi kebebasan tersebut tidak disertai dengan prinsip keadilan dan tanggung jawab, sehingga akhirnya menimbulkan banyak masalah.

Kembalikan Kepercayaan Rakyat
Kesalahpahaman dalam mengartikan kebebasan dan hak asasi ini pun semakin menjadi-jadi, ketika hukum di negeri kita tidak dijalankan dengan benar oleh para penegak hukum. Rakyat tidak lagi yakin bisa mendapatkan keadilan dan kepastian hukum, meskipun dia adalah korban. Buktinya banyak pelanggar hukum bisa lepas dari jeratan tuntutan, hanya karena dia bisa "membeli" hukum tersebut. Bahkan ironisnya, ada kasus yang terjadi, malah pihak korban yang dihukum. Bukan tidak mungkin alasan-alasan seperti ini yang menyebabkan rakyat semakin beringas.

Keadilan dan kepastian hukum itu seperti oase yang sangat ditunggu untuk dapat menghapus dahaga rakyat saat ini. Namun masalahnya, alat-alat kekuasaan negara gagal memproduksi kepastian dan keadilan tersebut untuk semua rakyat. Dan lagi-lagi, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menikmati kepastian dan keadilan hukum tersebut, yang seharusnya menjadi hak bagi semua orang. Hanya elit saja yang bisa mendapatkannya, sedangkan rakyat biasa terpaksa harus menderita karena ketidakjelasan keadilan dan kepastian hukum tersebut.

Inilah yang kemudian melahirkan rasa ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah. Banyak persoalan yang sesungguhnya sepele akhirnya menjadi persoalan besar, karena semua orang merasa lebih baik mengambil tindakan sendiri daripada menyerahkan penyelesaiannya kepada penegak hukum. Apa yang dikatakan Ketua DPD RI Irman Gusman dalam Sidang Paripurna DPD Peringatan Hari Ulang Tahun Ke-8 DPD RI awal Oktober lalu, bahwasanya ketiadaan keadilan hukum berpotensi melahirkan berbagai gejolak dan konflik, ternyata sangat benar adanya.

Dalam hal ini, pemerintah mempunyai tanggung jawab berat untuk mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap pelaksanaan hukum di negeri ini. Pemerintah harus mampu meyakinkan kembali semua rakyat Indonesia, bahwa mereka juga mendapat perlindungan hukum yang sama tanpa adanya pembedaan, tanpa adanya transaksi jual beli hukum tersebut. Dengan itu, hukum yang selama ini hanya menjadi seonggok peraturan tanpa roh, bisa dirasakan keberadaannya sebagai sebuah kebenaran oleh semua orang tanpa kecuali.

Selain itu, pemerintah juga harus bertanggung jawab untuk menghidupkan kembali nilai-nilai kebebasan yang bertanggung jawab dalam kehidupan rakyat saat ini. Pendidikan harus mampu mengajarkan wawasan kebangsaan dan nilai-nilai pluralistik sejak dini. Sehingga, ketika anak-anak sudah menjadi bagian dari masyarakat, pemahaman tersebut bisa ikut tertanam di dalam kehidupan masyarakat. Kemudian, prinsip solidaritas dan sikap toleransi juga harus dihidupkan kembali dalam hidup bermasyarakat. Agar pemahaman tentang "perbedaan itu adalah kodrat" bisa dimaknai secara bersama, yang secara perlahan-lahan akan melunakkan kembali rakyat yang mulai beringas.


* Dimuat di Harian Analisa (Senin, 5 November 2012)

Sumber: http://www.analisadaily.com/news/read/2012/11/05/85538/rakyat_makin_beringas_salah_siapa/

Tayangan TV Mengancam Anak Kita

Oleh : Adela Eka Putra Marza

Sejatinya, televisi berfungsi sebagai media komunikasi, informasi, dan dengan sendirinya juga sebagai media pendidikan. Tentu saja tidak ada yang kontroversial dengan fungsi tersebut. Namun dalam perkembangannya belakangan ini, pengusaha media televisi ternyata lebih mengutamakan sisi bisnis dalam menjalankan media tersebut. Silang pendapat pun muncul karena persepsi, perspektif, dan kepentingannya kemudian bisa menjadi berbeda-beda.

Biasanya persoalan rating menjadi alasan utama ketika pengusaha televisi lebih memilih untuk menayangkan sinteron dengan cerita bertele-tele atau film televisi (FTV) tentang cinta, ketimbang menyajikan tayangan bermuatan pendidikan. Bahkan, belakangan tayangan reality show yang kebanyakan sudah diatur alur ceritanya juga ikut meramaikan dunia pertelevisian dalam negeri.

Tak heran jika kemudian muncul pendapat bahwa siaran televisi dianggap sebagai salah satu penyumbang terbesar terhadap kerusakan moral anak-anak. Penilaian banyak kalangan bahwa banyak tayangan televisi yang tidak memberikan nilai positif terhadap anak-anak menjadi pertimbangan penting. Malah banyak isi tayangan televisi yang tidak layak dikonsumsi anak-anak.

Ideologi Televisi
Seperti dikatakan Garin Nugroho, "Ia seperti Dewa Janus, penyelamat sekaligus penghancur. Televisi adalah meta-medium, instrumen yang tidak hanya mengarahkan pengetahuan tentang dunia, tetapi mengarahkan kita bagaimana mendapatkan pengetahuan" (Kompas, 10 September 1996). Televisi menawarkan ideologinya sendiri yang khas.

Seringkali televisi mencampuradukkan berbagai realitas pengalaman kita yang berlainan, karena tak adanya batasan yang jelas dan riil dalam setiap tayangan televisi. Kesulitan mengidentifikasi pengalaman pribadi yang sebenarnya; antara khayalan dan kenyataan, menjadi persoalan besar yang (malah) sering terlupakan. "Sebagai akibatnya, masyarakat kita bingung, gagap, tak berdaya, mengalami konflik, dan gegar budaya," tambah Dedy Mulyana dalam Jurnal Sosioteknologi Edisi 15 Tahun 7, Desember 2008.

Ungkapan Taufik Abdullah bahwa budaya televisi adalah "budaya pop" yang melarutkan identitas kita dalam keseragaman yang dangkal sehingga kita kehilangan kemampuan untuk mendefinisikan jati diri bangsa kita (Kompas, 14 April 1997), ternyata juga relevan dalam persoalan ini. Ini menjadi kenyataan, saat melihat banyak hilangnya jati diri dari generasi muda bangsa ini.

Televisi pada hakikatnya melakukan penetrasi yang lebih besar terhadap kehidupan kita dari pada ideologi-ideologi konvensional yang kita kenal selama ini. Hanya saja caranya begitu halus sehingga sulit terdeteksi. Ketika pesan-pesan yang disampaikan oleh televisi mulai menyimpang dari ideologi masyarakat Indonesia pada umumnya, tentu ini harus dipersoalkan. Apalagi, jika terjadi eksploitasi yang berlebihan dalam kehidupan seseorang yang ditayangkan; hanya karena pertimbangan bisnis.

Ketika media massa seperti televisi tunduk kepada kepentingan modal, kepentingan moral untuk masyarakat bisa menjadi ambivalen. Bahkan, media massa bisa tidak mempunyai kepekaan atas perasaan masyarakat. Media massa bisa kehilangan imajinasi dan fantasinya tentang masyarakat. Yang ia lihat, masyarakat adalah sederetan angka penting. Semakin tergantung masyarakat padanya, media massa itu akan semakin merasa sukses.

Ancaman Tersembunyi
Masalahnya sekarang, televisi tidak hanya memberikan ruang diplomasi virtual, tetapi juga menciptakan kesadaran baru. Media ini memberikan proses learning social norms yang lebih intensif daripada lainnya. Tentu saja dampaknya bisa baik, dan bisa buruk. Namun jika televisi dihadapi dengan ketidakkritisan, ia lebih cenderung berakibat buruk.

Itulah yang terjadi saat ini di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Kita belum punya kemampuan yang besar untuk menyaring setiap "godaan" yang diperlihatkan dalam tayangan-tayangan televisi. Apalagi jiga dengan mempertimbangkan daya ekonomi dan daya tawar masyarakat kita yang tidak merata. Hal ini pula yang kemudian mengancam anak-anak dengan yang setiap hari tidak bisa dari tayangan televisi.

American Academy of Pediatrics (AAP) dalam publikasi di jurnal ilmiahnya, "Pediatrics", pernah membuat pernyataan tentang pengaruh televisi terjadap anak; yang kemudian menimbulkan reaksi pro dan kontra. "…bahwa 2 tahun pertama seorang bayi adalah masa yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan otak, dan dalam masa itu anak membutuhkan interaksi dengan anak atau orang lain. Terlalu banyak menonton TV akan memberi pengaruh negatif pada perkembangan otak. Hal ini benar, terutama bagi usia yang masih awal, di mana bermain dan bicara sangatlah penting…"

Lebih lanjut, AAP mengeluarkan pernyataan tidak merekomendasikan anak di bawah 2 tahun untuk menonton TV. Sedangkan untuk anak yang berusia lebih tua, AAP merekomendasikan batasan menonton TV hanya satu atau dua jam saja, dan yang ditonton adalah acara yang edukatif dan tidak menampilkan kekerasan. Sebuah penelitian yang melibatkan lebih dari 3.000 anak usia 3 tahun, juga menemukan bahwa anak-anak yang terlalu sering menonton TV, secara langsung atau pun tidak, akan berisiko untuk memamerkan perilaku agresif (Kompas, 11 Juli 2011).

Pada kenyataannya, perilaku yang ditirukan anak-anak memang tidak sekadar bersifat fisik dan verbal, melainkan juga malah turut mempraktikkan nilai-nilai yang dianut tokoh-tokoh yang dilukiskan dalam setiap tayangan televisi yang ditontonnya. Pengaruh televisi memang tidak langsung terlihat, namun terpaan yang berulang-ulang pada akhirnya dapat mempengaruhi sikap dan tindakan penonton; dalam artian efeknya baru akan terasa setelah waktu yang lama.

Matikan TV!
Seharusnya para pengusaha media televisi sendiri bisa memikirkan bagaimana membuat program-program yang bermutu, menarik dan memberdayakan masyarakat, selain secara finansial menguntungkan. Jangan hanya sekedar menghitung, berapa keuntungan yang harus didapatkan dari program-program sinetron ataupun reality show yang tak jelas juntrungan dan manfaatnya.

Kita lupa bahwa mayoritas masyarakat kita tidak mendapatkan pendidikan yang maksimal, dan karenanya kurang kritis. Kita juga lupa bahwa sebagian besar dari pemirsa adalah anak-anak yang cenderung meniru apa yang mereka lihat dari televisi. Karenanya, keberadaan benda ini sangat besar pengaruhnya dalam proses pembentukan pola pikir dan karakter perilaku suatu masyarakat. Sehingga keberadaannya sangat penting dalam melakukan propaganda untuk kepentingan-kepentingan tertentu.

Semua ini memang tak bisa juga hanya menyalahkan para pengelola televisi. Kita juga harus melihat tingkat kesanggupan masyarakat kita untuk menerima semua konten tayangan televisi. Setiap individu, keluarga dan masyarakat memiliki tugas masing-masing untuk senantiasa membentengi dan mengingatkan diri sendiri, keluarga dan masyarakat dari berbagai pengaruh asing yang datang dan menggerogoti melalui televisi.

Seiring itu pula muncul seruan kampanye hari tanpa televisi pada Minggu, 25 Juli 2010 lalu, bersamaan dengan peringatan Hari Anak Nasional 23 Juli. Dengan kampanye ini, orangtua harus lebih memperhatikan pola kebiasaan anak menonton televisi; dengan tidak menghidupkan televisi selama satu hari. Harapannya, ketergantungan anak-anak akan siaran televisi bisa dikurangi.

Kita harus berani mengambil sikap tegas dalam membentengi diri kita sendiri dan terutama keluarga untuk menghindari nilai-nilai negatif dari televisi. Bahasa gampangnya, kita harus berani mematikan televisi ketika acara yang ditayangkan sama sekali tidak bermanfaat dan tidak mendidik. Seperti yang ditulis Sunardian Wirodono (2006) dalam bukunya tentang dampak negatif televisi; "Bunuh saja, TV-mu!"


* Dimuat di Harian Analisa (Sabtu, 28 Juli 2012)

Sumber: http://www.analisadaily.com/news/read/2012/07/28/65553/tayangan_tv_mengancam_anak_kita/