------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Senin, Desember 14, 2009

Dari Wartawan untuk Calon Wartawan

Oleh : Adela Eka Putra Marza

Tulisan ini berawal dari obrolan ringan dengan Wakil Ketua Dewan Pers, Sabam Leo Batubara beberapa waktu lalu. Saat itu, Saya menjemput beliau dari salah satu hotel di Medan tempat beliau menginap. Mantan Ketua Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat ini baru datang dari Jakarta, untuk mengisi Seminar Nasional bertajuk Media Massa Membidik Figur Calon Independen yang digelar Pers Mahasiswa SUARA USU akhir tahun lalu.


Di mobil, kami mengobrol ringan tentang perkembangan pers Indonesia dewasa ini, termasuk soal pekerja persnya alias para wartawan. Bicara tentang wartawan saat ini yang tak lagi menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan main yang tercantum dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) atau Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). Banyak wartawan yang malah mencederai “kitab”-nya sendiri, yang seharusnya menjadi pedomannya itu.

Mungkin sudah menjadi hal yang biasa jika melihat wartawan menerima amplop dari pejabat atau pengusaha yang diwawancarai. Istilah wartawan amplop, wartawan bodrek, atau entah apalagi panggilannya, seakan sudah lumrah di telinga kita. Tak ada yang tak lazim dengan fenomena itu. Mungkin Anda akan membenarkannya juga.

Bahkan ada jargon yang mulai populer saat ini di kalangan kuli tinta ini. “Dilarang terima amplop, tapi ambil duitnya saja.” Secara gamblang diartikan, menerima amplop memang dilarang dan sangat diharamkan, tapi tidak boleh menerima uang dari narasumber tak pernah diwanti-wanti oleh pimpinan redaksi ataupun pimpinan suratkabarnya. Singkat kata, uang dari narasumber silahkan dikantongi, tapi amplopnya harus dikembalikan lagi. Tak jauh beda.

Yang lebih fresh adalah wartawan rekening. Wartawan amplop model baru yang lebih modern, dengan cara via transfer bank. Biasanya si wartawan menyodorkan kertas berisi nomor rekeningnya kepada pejabat atau pengusaha setelah diwawancarai. Cara yang lebih halus memang, tapi sama bejatnya dengan wartawan amplop.

Atau berhadapan dengan wartawan yang malah menjual halaman di suratkabarnya untuk pemberitaan yang dinginkan oleh pemilik modal; alias menjual surat kabar pada satu orang untuk kemudian dibagi-bagikan gratis kepada masyarakat. Sudah bukan fenomena asing lagi di mata kita. Sangat banyak dijumpai dalam dunia pers Indonesia saat ini. Tapi memang tak pernah terjadi terang-terangan. Istilahnya “off the record”, tulis salah seorang jurnalis senior dalam bukunya tentang pers Indonesia – istilah yang juga jadi judul bukunya tersebut. 

Belajar dari Negara Tetangga
Fenomena itu juga yang kemudian mengantarkan obrolan Saya dan Pak Sabam Leo pada pengalamannya berdiskudi dengan beberapa petinggi dan pengajar sekolah jurnalistik dan ilmu komunikasi di Australia, beberapa waktu sebelumnya. Ia pun menceritakan pengalamannya itu sebagai catatan untuk refleksi terhadap fenomena wartawan Indonesia saat ini. Catatan untuk para pelaku dunia pendidikan di Indonesia, yang nantinya akan memproduksi wartawan-wartawan Indonesia di masa depan.

Di negara tetangga kita tersebut, para calon wartawan dididik langsung oleh tenaga-tenaga akademis yang benar-benar punya kompetensi di bidang tersebut. Para dosen, bahkan pemimpin jurusan jurnalistik di sekolah dan universitas di Australia, adalah orang-orang yang berkecimpung langsung dalam dunia kewartawanan.

Mereka yang menjadi pengajar jurnalistik di sana merupakan orang-orang yang secara praktik juga melakukan tugas-tugas kewartawanan di lapangan secara langsung. Mereka adalah praktisi dari dunia jurnalistik yang juga menjadi akademisi di universitas masing-masing. Artinya, dosen-dosen yang mengajar mahasiswa jurnalistik di Australia adalah wartawan sendiri.

Jadi, yang mendidik dan mengajar calon-calon wartawan tersebut adalah orang yang benar-benar teruji secara praktik sebagai wartawan, bukan hanya sekedar pintar dalam teori saja. Sehingga “produk” yang dihasilkan pun nantinya sudah siap ketika harus turun ke lapangan dan harus menjalankan tugas-tugas wartawan tersebut.

Secara tidak langsung, calon wartawan ini sudah dididik dari awal sebagai wartawan yang sesuai dan berpedoman dengan aturan main seorang wartawan. Dari dini mereka sudah dibekali bagaimana menghadapi dunia jurnalistik dan kewartawanan yang realistis seperti adanya, yang akan mereka temui nanti.

Sudah pasti, tidak akan ada istilah wartawan amplop atau wartawan rekening dalam kamus wartawan di Australia sana. Karena dari bangku kuliah mereka sudah tahu bahwa itu sangat tidak sesuai dengan nilai-nilai mulia dari tugas seorang wartawan. Tentu, orang-orang yang mengajari mereka juga tak pernah melakukan perbuatan sehina itu – menjual dan mengobral harga diri sendiri.

Soal dosen jurnalistik di Australia yang merupakan praktisi langsung dari dunia kewartawanan, Saya sendiri pernah menemukannya langsung. Dua tahun yang lalu Saya pernah mengikuti Journalism Workshop yang diadakan oleh Australian Education International di Medan. Gelaran diskusi ini menghadirkan pembicara langsung dari Australia, yaitu Curtin University of Technology.

Saya sudah lupa nama beliau, namun masih jelas dalam ingatan Saya, bahwa pria paruh baya tersebut merupakan pimpinan jurusan jurnalistik di universitas itu yang juga adalah wartawan dari sebuah suratkabar di Australia. Ia merupakan akademisi yang dalam tugas-tugasnya di kampus untuk mendidik para mahasiswa dengan teori-teori secara akademis, dan dengan pengalaman praktiknya sebagai wartawan di lapangan.

Wartawan Jadi Dosen
Sepertinya tak ada salahnya juga kita belajar dari negara tetangga tersebut. Mendesain sistem pengajaran jurnalistik di Indonesia ini dengan memberdayakan para wartawan sebagai tenaga pengajar alias dosen bagi para mahasiswa jurnalistik. Sebuah sistem yang Saya pikir akan lebih mampu memproduksi wartawan-wartawan handal nantinya, tidak hanya dalam skill tetapi juga dalam etika dan moralnya.

Baiklah, jika yang menjadi masalah kemudian, banyak wartawan kita yang mungkin secara akademik tak siap untuk jadi pengajar. Karena memang kebanyakan wartawan kita bukan berasal dari bidang pendidikan jurnalistik. Tapi mungkin persoalan ini bisa diakali dengan menawarkan kesempatan untuk memberikan kuliah umum kepada para wartawan ini. Dalam kuliah umum ini nantinya, mereka bisa berbagi ilmu dan pengalaman dengan mahasiswa.

Jadi secara akademis, mereka tidak terikat dalam sistem pendidikan yang memang menuntut pengetahuan secara ilmiah. Namun, bisa kita lihat, di sini juga letak kekurangan wartawan kita. Mereka secara teori ternyata tak punya pengetahuan apa-apa tentang ilmu jurnalistik. Wartawan Indonesia saat ini, sebagian besar dan pada umumnya beranjak dari latar belakang pendidikan yang sama sekali tak ada hubungannya dengan jurnalistik.

Walaupun secara praktik ada juga yang bagus, mungkin dalam penulisan, namun tetap ada kekurangan dalam sosok wartawan dengan latar belakang di luar jurnalistik, terutama dalam hal pengetahuan jurnalistiknya secara teori. Terkadang ini bisa mempengaruhinya nanti dalam pelaksanaan tugas-tugas kewartawanannya.

Oleh karena itu, dari sekarang kita harus mulai mempersiapkan calon-calon wartawan yang nantinya benar-benar teruji secara akademik dan praktik. Ya, salah satunya dengan memberi mereka pengetahuan dari pengalaman-pengalaman wartawannya langsung. Bukan hanya dari dosen-dosen yang secara akademik memang pintar, tapi secara praktik Saya yakin masih banyak yang meragukannya.

Para wartawan ini bisa dimaksimalkan untuk jadi dosen lepas di setiap kelas-kelas jurnalistik. Sehingga apa yang didapatkan oleh mahasiswa jurnalistiknya sendiri tidak hanya soal teori saja, tapi juga mereka tahu bagaimana sikap di lapangan nantinya ketika sudah harus menyandang “gelar” wartawan. Yang ada sekarang, mahasiswa-mahasiswa jurnalistik yang merupakan calon-calon wartawan kita nantinya hanya dibekali dengan teori-teori saja tanpa mengerti bagaimana sikap realitanya nanti. 

Terlepas bahwa soal kesejahteraan hidup yang diberikan oleh perusahaan pers di Indonesia juga mempengaruhi kinerja wartawannya – hingga saat ini, perusahaan pers Indonesia masih membayar wartawannya dengan harga yang rendah –, namun tidak ada salahnya juga kita mulai berpikir untuk membentuk watak-watak wartawan yang sesuai dengan kode etik wartawan sendiri sedari dini, ketika mereka masih di bangku pendidikan. Salah satunya, ya itu tadi, mentransfer ilmu-ilmu dari wartawan untuk calon wartawan.


* Dimuat di Harian Analisa

Minggu, Desember 13, 2009

Berwisata ke Perpustakaan

Oleh: Adela Eka Putra Marza

Persoalan buta aksara menjadi salah satu permasalahan yang cukup pelik di muka bumi ini. Kehidupan penyandang buta aksara akan berjalan searah dengan kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidakberdayaan. Pada akhirnya, ini akan menghambat perkembangan peradaban dan pembangunan umat manusia. Makanya tak aneh, jika kasus buta aksara banyak terjadi di negara-negara berkembang yang pada dasarnya masih mencari-cari bentuk utama dari pembangunan peradaban mereka.

Masih Ada Buta Aksara
Di seluruh dunia, jumlah penduduk buta aksara masih sangat besar. Hingga tahun 2006, sebanyak 771 juta orang mengalami buta aksara, 72 persen diantaranya adalah perempuan. Hal ini disampaikan Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal (Dirjen PNFI) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Hamid Muhammad tahun lalu, seperti dilansir situs Depdiknas.

Di Indonesia sendiri, menurut data Depdiknas penyandang buta aksara masih sekitar delapan juta orang. Dibandingkan dengan 64 tahun yang lalu, atau pada awal kemerdekaan tahun 1945, saat itu 97 persen penduduk Indonesia menyandang buta aksara, terutama warga yang berusia 44 tahun ke atas. Tahun lalu, angka ini dapat ditekan hingga bersisa 6,21 persen.

Sampai akhir tahun 2009 ini, pemerintah menargetkan dapat menurunkannya hingga bersisa lima persen, atau hanya sekitar 7,7 juta orang lagi. Angka ini jelas tidak akan sulit dicapai, karena hanya sekitar 0,3 juta orang lagi yang harus dilepaskan dari buta aksara. Bahkan, bisa jadi pemerintah dapat melampaui target tersebut. Selain itu, berdasarkan perhitungan sementara dari Pusat Statistik Pendidikan (PSP), diproyeksikan pada tahun 2009 ini angka persentasi buta aksara akan tersisa 5,03 persen.

Sedangkan di Sumatera Utara, menurut data dari Dinas Pendidikan Sumut sebanyak 274.929 orang atau 3,4 persen warga Sumut usia 15 tahun ke atas masih mengalami buta aksara pada tahun 2008. Kategori buta aksara ini merupakan orang yang tidak sanggup membaca dan menulis sekurang-kurangnya tujuh kata dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, serta orang yang tidak dapat menjumlah atau mengalikan angka satu sampai 100.

Dari total angka tersebut, jumlah terbanyak berada di Kabupaten Nias, Nias Selatan, Asahan, Simalungun, Deliserdang, Tapanuli Tengah, dan Langkat. Meski begitu, jumlah ini mengalami penurunan dari tahun 2007 yang berjumlah 290.000 orang. Bahkan, pengentasan buta aksara yang telah mencapai 3,4 persen di Sumut tersebut telah melewati target nasional, di mana pemerintah menargetkan sisa buta aksara paling tinggi adalah lima persen pada tahun 2009.

Taman Bacaan dan Perpustakaan
Penuntasan buta aksara di Sumut dilakukan melalui program pembelajaran melalui program keaksaraan fungsional, penumbuhan gemar membaca, serta meningkatkan taman bacaan masyarakat dan perpustakaan. Program ini terus digalakkan oleh pemerintah, tentu saja dengan peran serta masyarakat dalam mendukungnya.

Perpustakaan menjadi salah satu lembaga yang punya peranan penting dalam menunjang pelaksanaan program pemberantasan buta aksara. Perpustakaan sebagai sebuah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna, hadir untuk memberikan bacaan-bacaan bagi masyarakat. Selain itu, keberadaan perpustakaan juga untuk memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi para pemustaka.

Keberadaan perpustakaan tidak dapat dipisahkan dari peradaban dan budaya umat manusia. Tinggi rendahnya peradaban manusia bisa dilihat dari kondisi perpustakaan yang dimiliki. Masyarakat mulai merekam pengetahuan untuk disebarluaskan kepada sesama kelompoknya. Rekaman pengetahuan ini yang kemudian disimpan di perpustakaan. Hingga saat ini pun, perpustakaan masih memegang peranan penting dalam menumbuhkembangkan minat baca masyarakat.

Pertumbuhan perpustakaan di Sumatera Utara terus berkembang dari waktu ke waktu. Saat ini jumlah perpustakaan yang terdata oleh Badan Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi (Baperasda) Sumut mencapai 396 perpustakaan. Sebanyak 78 perpustakaan berada di Medan dan sekitarnya.

Jumlah ini mungkin bisa lebih banyak, karena tidak semua perpustakaan di Sumut melaporkan pendiriannya. Seperti taman bacaan umum, yang mulai banyak tumbuh di tengah-tengah lingkungan masyarakat. Misalnya, taman baca di Medan Marelan yang dikelola seorang pemilik warung nasi, atau taman bacaan milik Sofyan Tan dan Usman Pelly.


Menurut Kepala Baperasda Sumut Syaiful Syafri, seperti pernah diberitakan harian Kompas, kampanye pengembangan perpustakaan di Sumut sudah dimulai sejak tahun 2007. Saat ini, Baperasda Sumut memprioritaskan pengembangan perpustakaan di pedesaan. Selama tahun 2008, Baperasda Sumut telah memediasi pendirian 318 perpustakaan desa yang tersebar di sepuluh kabupaten dan kota. Untuk tahun 2009 ini, Baperasda akan menambah pendirian 300-an perpustakaan lagi di berbagai daerah di Sumut. Targetnya, perpustakaan desa ini akan berdiri di setiap daerah.

Perpustakaan, Pusat Wisata Baca
Di perpustakaan, kita dapat membaca, menulis, meneliti, berdiskusi, melakukan peminjaman buku dan rekreasi. Singkat kata, perpustakaan adalah rumah belajar yang bermanfaat bagi masyarakat. Perpustakaan adalah universitas yang pali lengkap. Karena, sebagai sumber ilmu pengetahuan semuanya ada di sana. Di perpustakaan tersedia berbagai jenis buku yang bisa dibaca sesuai dengan kebutuhan kita.

Banyak orang tertarik dan berkunjung ke perpustakaan karena banyak kegiatan bermanfaat yang dapat dilakukan. Salah satu kegiatan yang paling dominan dilakukan di perpustakaan adalah membaca. Perpustakaan sebagai gudangnya buku akan memenuhi semua kebutuhan kita akan ilmu pengetahuan. Dengan membaca buku manusia bisa belajar dari buku tersebut. Manusia bisa mencari dan menemukan apa yang belum diketahuinya.

Syaiful Sayfri sebagai Kepala Baperasda Sumut, menginginkan perpustakaan menjadi tempat wisata baca. Inilah langkah awal untuk menciptakan masyarakat gemar membaca, yang kemudian akan manusia-manusia berkualitas. Menjadikan perpustakaan sebagai pusat wisata baca akan berkaitan dengan minat baca. Langkah ini akan mendongkrak keinginan masyarakat untuk membaca.

Dengan menjadikan perpustakaan sebagai tempat berwisata, maka secara tidak langsung akan ikut membangkitkan gairah membaca. Berkunjung ke perpustakaan seudah seharusnya menjadi bagian hidup keseharian kita sehari-hari, sebagai manusia yang butuh ilmu pengetahuan dan selalu dilingkupi rasa ingin tahu. Dengan demikian lahirlah manusia-manusia Indonesia yang mempunyai budaya baca.

Selama ini yang menjadi masalah bagi sebagian masyarakat Indonesia dalam membudayakan membaca adalah soal keterbatasan biaya dalam mendapatkan buku-buku berkualitas. Namun, dengan adanya perpustakaan permasalahan itu bisa teratasi sendiri. Semua buku bisa jadi bahan bacaan. Tidak harus buku dengan tampilan yang luks serta berharga mahal. Bahkan membaca koran dan buku-buku lama pun bisa menjadi ilmu pengetahuan baru bagi kita.

Perpustakaannya juga tidak harus dengan fasilitas mewah. Tidak harus mempunyai koleksi buku-buku mahal dan dikarang oleh penulis terkenal. Perpustakaan kecil sekali pun, meski tanpa AC tetap punya fungsi yang sama dengan perpustakaan besar dan mewah. Peranannya dalam menyediakan bacaan-bacaan bermanfaat bagi masyarakat tidak akan berkurang.

Banyak perpustakaan di sekeliling lingkungan kita. Di Medan, ada Perpustakaan Daerah Sumut (Baperasda Sumut) yang menyediakan ribuan koleksi buku cetak dan digital, ada Perpustkaan Universitas Sumatera Utara yang merupakan salah satu perpustakaan kampus dengan koleksi terbanyak di Asia, ada Perpustakaan Kota Medan yang juga punya buku-buku menarik, dan masih banyak perpustakaan lainnya.

Sekarang tinggal niat masing-masing untuk datang ke perpustakaan, dan memanfaatkan koleksi buku-bukunya untuk meraup berbagai ilmu pengetahuan. Karena untuk membaca tidak harus dengan cara membeli buku setiap hari. Tapi cukup dengan berkunjung ke perpustakaan, dan memanfaatkan buku-buku yang disediakan di sana.

Peranan perpustakaan dalam menumbuh kembangkan minat baca dan cinta buku merupakan keharusan yang tidak bisa ditawar lagi. Sebab untuk menciptakan manusia-manusia yang cerdas, ditentukan oleh membaca. Tanpa membaca, maka manusia itu tidak akan berarti apa-apa; kosong sama sekali. Oleh karena itu, perpustakaan sebagai bagian dari salah satu sarana yang penting untuk mencerdaskan anak bangsa, harus kita jadikan sebagai pusat wisata baca bagi diri kita masing-masing. Agar tidak ada beban lagi untuk datang ke perpustakaan dan mulai membaca. Dan demi memberantas “penyakit” buta aksara di muka bumi ini.

* Dimuat di Harian Medan Bisnis (Senin, 5 Oktober 2009)

Jumat, Desember 11, 2009

Jadi Blogger: Bisa Kaya, Bisa Masuk Penjara

Oleh : Adela Eka Putra Marza

Blog merupakan sebuah media untuk menuangkan hasil karya tulisan atau coretan apapun itu yang dihasilkan oleh seseorang.

Bisa berupa opini, hasil penelitian ilmiah, catatan pribadi, cerita kehidupan, hingga banyolan humor sekalipun. Tapi memang tidak bisa dihindari juga bahwa terkadang blog malah dijadikan ajang adu mulut, hinaan, bahkan pemuatan konten ilegal. Perkembangan blog memang bisa bermuara ke arah positif dan negatif.

Namun tidak bisa juga semua blog dianggap tidak bisa dipercaya keabsahan isinya seperti sering diwacanakan selama ini. Toh, tidak sedikit para akademisi, jurnalis, politikus, bahkan berbagai individu lainnya yang teruji secara ilmiah, juga memanfaatkan blog sebagai tempat untuk mem-publish catatan-catatannya. Siapa yang bisa meragukan opini-opini mereka, karena pada dasarnya setiap yang disampaikan mereka tentu saja berdasarkan hasil pertimbangan yang matang.

Bicara soal perkembangan blogger di Indonesia, tonggak mulai berdiri tegaknya blog di negeri ini berawal dari Pesta Blogger Indonesia yang dihelat pada tahun 2007 lalu. Sekitar 500 blogger dari seluruh penjuru nusantara hadir dalam acara bertajuk "Suara Baru Indonesia" yang digelar di Hard Rock Cafe Jakarta, pada 27 Oktober 2007 tersebut. Acara ini menjadi wadah pertemuan dan diskusi bagi para blogger untuk bersama-sama menciptakan iklim nge-blog yang positif di Indonesia. Pada saat itu juga dideklarasikannya Hari Blogger Nasional oleh pemerintah Indonesia, yang kemudian selalu diperingati setiap tanggal 27 Oktober.

Tahun ini adalah tahun ketiga Hari Blogger Nasional. Juga tahun ketiga dalam pelaksanaan Pesta Blogger Indonesia. Sekitar 1.500 orang hadir dalam pertemuan para blogger se-Indonesia tersebut. Perkembangan yang begitu pesat, juga tahun 2008 yang dihadiri sebanyak 1.000 blogger. Tak hanya blogger Indonesia, blogger dari negara luar juga turut menyemarakkan acara tahunan ini, seperti dari Malaysia, Amerika Serikat dan negara lainnya. Pesta Blogger Indonesia sudah menjadi ajang nasional yang begitu bergengsi bagi para blogger sendiri.

Bisa Jadi Profesi
Blog yang saat ini sudah menjadi fenomena baru, mulai beranjak menuju tingkat yang lebih profesional. Jika dulu blog hanya merupakan sebuah media personal yang sifatnya catatan pribadi dari seorang individu, saat ini blog sudah mulai beralih ke ranah profesi. Blog yang pada awal perkembangannya hanya untuk berbagi pengalaman dan bertukar informasi dengan sesama blogger dan pengunjung internet, sekarang mulai dilirik untuk menjadi sebuah media yang bisa menghasilkan uang.

Pada perkembangannya dewasa ini, blog sudah menjadi salah satu pilihan profesi bagi banyak blogger. Para blogger bisa menghasilkan pendapatan dari blog-nya masing-masing. Melalui blog-nya, blogger dapat menerima iklan dari pengiklan yang ingin memasarkan produknya kepada para pengunjung internet. Pemasang iklan memanfaatkan blog untuk mengenalkan produk mereka. Sang pemilik blog akan memasang iklan tersebut di blog-nya, dan mendapatkan pembayaran atas ruang yang disediakan untuk iklan yang telah ditampilkan.

Pertumbuhan jejaring blog yang sangat pesat belakangan ini, bisa menjadikan seorang blogger yang sudah dapat nama dilirik pemasang iklan. Para pengiklan menyadari pentingnya untuk mengenalkan dan memasarkan brand name produk mereka di tengah komunitas yang terdidik dalam komunitas para blogger tersebut. Sang pemilik blog pun dapat memetik keuntungan dari si pengiklan atas jasa iklan yang telah diberikan dalam blog-nya.

Banyak perusahaan media online yang menyediakan aktivasi beriklan seperti ini untuk para blogger. Salah satu contoh adalah Google AdSense. Dengan bergabung di perusahaan tersebut, para blogger bisa memanfaatkan blog-nya untuk meraup pundi-pundi dollar dengan mengiklankan produk-produk dari berbagai perusahaan. Google sendiri akan menyodorkan iklan dari beberapa perusahaan yang tertarik untuk beriklan di blog tersebut. Kemudian, setiap pengunjung blog yang melakukan klik pada banner atau logo iklan tersebut, maka pemilik blog akan dibayar sekian dollar sesuai dengan kesepakatan.

Berniaga melalui blog juga dapat dicoba oleh para blogger sebagai salah satu profesi. Amazon, situs e-market yang menyediakan berbagai barang untuk konsumsi masyarakat banyak, membuka kesempatan bagi para blogger untuk menjadi marketing perusahaan online tersebut. Melalui blog-nya, blogger bisa mengiklankan dan menjual barang-barang Amazon. Setiap barang yang terjual, situs tersebut akan memberikan bayaran atas jasa yang diterimanya dari para blogger yang telah terdaftar sebagai anggota.

Tidak hanya itu. Banyak juga freelance writer (penulis lepas) yang memanfaatkan blog sebagai media untuk menjual hasil karya-karya tulisannya. Bisanya mereka akan mempromosikan karyanya yang bernilai informasi tinggi tersebut di masing-masing blog mereka. Kemudian media massa, terutama media luar negeri akan menawar untuk mendapatkan hak cipta dari karya tersebut. Jika kesepakatan didapatkan, si pemilik blog yang juga merangkap sebagai penulis lepas akan menerima bayaran atas karyanya tersebut.

Bekerja sebagai penulis lepas di blog pribadi merupakan sesuatu yang menyenangkan. Karya tulisan kita dibaca banyak orang, dan kemudian juga dihargai oleh berbagai media massa yang tertarik membeli hak cipta dari tulisan tersebut. Blogger akan mendapatkan honor dari tulisan yang dirilis di blog pribadinya itu. Bayarannya dalam dollar dan nilai riil yang diperoleh oleh penulis blogger bahkan bisa sangat besar dan melebihi penghasilan profesi lainnya.

Memang sudah trennya saat ini, orang mulai melirik blog sebagai sumber penghasilan. Untuk sampai pada tahap menjadikan blog sebagai sumber penghasilan memang perlu waktu banyak, kemauan yang kuat dan wawasan yang luas. Mencoba memahami segmentasi pembaca dan memproduksi tulisan yang disenangi oleh pembaca, juga harus diperhatikan agar blog banyak dikunjungi. Kedepan, sejalan dengan makin banyaknya komunitas blogger, bisa saja banyak orang yang muncul dan beralih profesi sebagai blogger, blogger sebagai sebuah profesi layaknya profesi lain yang dikenal luas oleh masyarakat.

Hati-hati Seperti Prita
Jadi blogger pun ternyata punya resiko besar, bisa berbahaya bagi diri sendiri. Apa pasal? Kasus Prita Mulyasari adalah salah satu contoh. Prita Mulyasari adalah salah satu konsumen RS Omni International yang menjadi pasien di rumah sakit internasional tersebut. Namun karena tidak merasa puas dengan layanan yang diterimanya, bahkan ia malah merasa telah ditipu oleh pihak rumah sakit, Prita pun melayangkan protes. Namun pihak rumah sakit terkesan bertele-tele dalam menjawab protes dari Prita. Pada akhirnya, ia pun menceritakan pengalaman buruknya berobat di rumah sakit tersebut dalam surat elektronik (e-mail) dan menyebarkannya kepada beberapa orang teman. Namun pada akhirnya, e-mail tersebut beredar luas di kalangan pengguna dunia maya.

Pihak RS Omni International yang menjadi salah satu pemeran dalam surat tersebut, tidak terima karena merasa nama baiknya telah dicemari oleh Prita. Pihak rumah sakit menuduh Prita melakukan pencemaran nama baik di media internet dan menyebarkannya kepada publik. Mereka pun menuntut Prita ke pengadilan, secara pidana dan perdata. Di sinilah masalah besar kemudian muncul, dan sempat membuat geger dunia blogger di tanah air, karena hal ini terkait soal kebebasan berpendapat dalam dunia maya yang selama ini menjadi keutamaan dalam blog.

Prita pun dijerat Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam aturan tersebut tertulis bahwa, "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik." Bagi yang melanggar pasal tersebut akan menerima sanksi denda hingga Rp 1 miliar dan penjara hingga enam tahun. Akhirnya Prita pun terpaksa "menginap" di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang sejak tanggal 13 Mei 2009.

Kasus inilah yang menjadi tanda peringatan bagi para blogger di Indonesia. Ternyata kebebasan berpendapat di blog pun bisa menjadi ancaman dan dikenai hukuman berdasarkan UU ITE jika terbukti bersalah. Penerapan UU ITE akhirnya memakan "korban." Banyak pihak yang kemudian menyayangkan penahanan Prita dan menganggap pasal tidak kuat, karena telah mengancam kebebasan berekspresi. Mereka menilai rumusan pasal tersebut bersifat karet dan multi intrepretasi. Kasus ini juga telah membawa preseden buruk dan membuat masyarakat takut menyampaikan pendapat atau komentarnya di ranah dunia maya.

Meski begitu, bukan berarti para blogger akan surut dan meninggalkan dunia maya. Tidak ada alasan untuk itu. Namun yang jelas, para blogger harus mulai berhati-hati dalam menyampaikan opininya di dunia maya. Dalam bentuk apapun, yang namanya pencemaran nama baik tetap merupakan suatu pelanggaran. Penegakan kebebasan berekspresi seharusnya juga tidak boleh disalahartikan hingga kemudian merugikan pihak lain. Oleh karena itu, jangan juga sekali-kali menulis blog hanya untuk sekadar mencari perhatian atau sensasi agar trafik kunjungannya meningkat, apalagi jika tulisan tersebut tanpa didukung data dan fakta. Apapun yang kita posting di internet, pikirkanlah baik-baik implikasinya di kemudian hari, karena setiap orang dapat mengakses dan menyebarkannya. Bahkan penulis sendiri pun agak gentar dan sempat pikir panjang juga untuk menyampaikan opini ini. Akhir kata, selamat nge-blog!

* Dimuat di Harian Analisa (Jumat, 11 Desember 2009)