------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Selasa, Mei 18, 2010

Mengurai Kasus Orang Hilang di Indonesia

Oleh: Adela Eka Putra Marza


- Refleksi Tragedi Mei 1998 -


Kasus orang hilang memang tak ada ujungnya. Bahkan hingga saat ini kasus orang hilang saat runtuhnya zaman Orde Baru (Orba) di Indonesia, belum juga menemui titik terang.


Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) sudah berkali-kali mendorong pemerintah untuk segera menyelesaikan masalah ini. Mereka terus mendesak Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk ikut mendorong penyelesaian kasus orang hilang dan melakukan penyidikan bagi kasus ini dengan melibatkan berbagai macam instansi.


Bahkan di awal pemerintahan SBY periode pertama 2004-2009, DPR RI dengan rekomendasi dari Komisi Nasional (Komnas) HAM melalui SK Komnas No 23/Komnas/X/2005, telah pula membentuk Panitia Khusus (Pansus) Penanganan Pembahasan Atas Hasil Penyelidikan Penghilangan Orang secara Paksa tahun 1997-1998. Mandatnya menuntaskan kasus orang hilang. Namun, sebagaimana tim-tim yang terkait dengan pelanggaran HAM masa silam lainnya, kerja tim ini pun juga tidak bisa maksimal.


Sebab, selalu ada kendala dalam pengusutan kasus ini. Terkadang mereka dihalangi setiap kali mau minta keterangan korban, memanggil saksi, mengumpulkan barang bukti, meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian. Kesulitan paling besar dalam penyelesaian kasus ini adalah susahnya memanggil saksi, khususnya personel TNI atau siapa pun yang dicurigai mengetahui informasi mengenai keberadaan orang yang hilang baik dalam kondisi hidup atau mati.


Kasus hilangnya sejumlah aktivis menjelang akhir-akhir pemerintahan Orba dan lengsernya Soeharto pada 1998, tentu tidak bisa dilupakan begitu saja. Menurut sejarawan Victor Laurentius, kasus orang hilang lebih parah ketimbang orang itu meninggal. Kasus orang hilang dikaitkan dengan orang hidup yang hilang tanpa bekas. Akan lebih baik, jika mereka meninggal, sehingga bisa disemayamkan jasadnya. Bayangkan saja bagaimana perasaan sanak keluarga mereka yang mencari keberadaannya hingga belasan tahun.


Bukan Persoalan Sepele

Kasus orang hilang bukanlah persoalan sepele. Apalagi, Sidang Komisi HAM PBB di Jenewa sudah mengesahkan International Convention for the Protection of all Persons from Enforced Disappearances (Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa) pada 29 Juni 2006. Konvensi itu menekankan bahwa penghilangan paksa merupakan ibu dari segala pelanggaran HAM. Sebab, dalam kasus itu, paling tidak empat hak dasar (basic human rights) dilanggar, yakni hak tidak disiksa, hak atas kebebasan dan keamanan, hak diperlakukan sama di depan hukum, dan hak hidup.


Masyarakat internasional pun sudah mendedikasikan setiap tanggal 30 Agustus sebagai Hari Orang Hilang Sedunia (International Day of the Disappeared). Ini adalah bentuk perhatian dan apresiasi masyarakat dunia terhadap kasus orang hilang yang terjadi di berbagai belahan dunia ini. Seperti yang terjadi di negara-negara Amerika Latin yang jumlah orang hilangnya sangat banyak. Bahkan di Belanda juga ada ratusan jasad korban Perang Dunia II yang masih belum ditemukan.


Kita tentu saja tak mau seperti negara-negara luar yang kasus orang hilangnya hingga mencapai ratusan orang. Namun tak bisa dipungkiri, kasus orang hilang di Indonesia juga menjadi salah satu pekerjaan rumah yang belum selesai hingga saat ini. Meski sudah sepuluh tahun lebih, hingga kini nasib Wiji Thukul, Petrus Aria Bimo, dan para aktivis prodemokrasi lain yang hilang belum diketahui.


Menurut Komnas HAM, daftar orang hilang yang masuk ke komnas ini berjumlah sembilan orang. Mereka ini adalah Mugiyanto, Aan Rusdianto, Faisol Reza, Raharjo Waluyo Jati, dan Nezar Patria yang merupakan mahasiswa Universitas Lampung (Unila), Sekjen Solidaritas Indonesia Untuk Amien dan Megawati (SIAGA) Pius Lustrilanang, Haryanto Taslam yang dikenal sebagai politisi pendukung setia Megawati Soekarnoputri, Direktur LBH Nusantara Jakarta Desmont J Mahesa dan Ketua SMID Andi Arief.


Kesembilan orang ini sudah dikembalikan dan kasusnya diproses di Mahkamah Militer, yang kemudian menghasilkan keputusan menghukum sejumlah anggota TNI dari kesatuan Tim Mawar, Kopassus. Komnas HAM sendiri merekomendasikan agar hasil penyelidikan itu ditindaklanjuti oleh Kejagung pada tahap penyidikan dan penuntutan dalam sidang di Pengadilan HAM.


Selain itu, dalam laporan hasil penyelidikan Komnas HAM setebal 1.057 halaman tersebut, juga disebutkan ada 13 orang lainnya, aktivis, seniman, mahasiswa, aktivis Islam yang hilang dan belum kembali. Mereka yang belum dikembalikan dan belum ditemukan itu adalah Yani Apri alias Rian, Sonny, Herman Hendarman, Dedy Umar Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Suyat, Petrus Aria Bimo, Widji Thukul, Ucok Munandar Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhyidin dan Abdun Naser. Mereka diduga dicokok aparat keamanan di sejumlah wilayah di Indonesia.


Sebuah pernyataan yang salah besar ketika seorang dewan penasihat sebuah partai politik besar di negeri ini, berkoar-koar di televisi swasta bahwa sudah bukan waktunya lagi bagi bangsa Indonesia untuk terus-menerus mengungkit-ungkit sejarah masa silam. Indonesia harus segera menatap ke masa depan. Ucapan tersebut jelas menunjukkan persepsi keliru dalam memahami sejarah.


Realitas kita masa lalu, masa kini, dan masa depan tidak saling terpisah. Negara Indonesia juga tidak muncul tiba-tiba dan kemudian berumur 64 tahun. Ada banyak orang yang terlibat dalam perjalanan kemerdekaan di negeri ini. Begitu juga dengan kasus hilangnya sejumlah aktivis yang ikut memperjuangkan penegakan tonggak demokrasi di negara yang katanya sedang belajar dan menjunjung tinggi demokrasi ini.


Mereka para politisi yang menguasai dan menerima hasil perjuangan reformasi di negeri ini memang hanya mampu hanya berkoar-koar lupakan masa lalu, mari membangun Indonesia ke depan. Nuansa politis kasus ini memang sangat kental. Karena orang yang hilang adalah para aktivis yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Tentu saja para politisi ini merasa tak ada untungnya menyelesaikan kasus orang hilang tersebut. Makanya dengan mudah bisa berkoar-koar untuk melupakan kasus tersebut.


Tapi coba tanyakan kepada keluarga korban yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), apa mereka bisa melupakan anak atau kerabatnya yang hilang? Seandainya para politisi itu sendiri yang mengalami peristiwa ini, keluarga mereka sendiri yang hilang tak tentu rimba seperti itu, apa yang akan mereka lakukan? Apakah mereka bisa melupakan masa lalu dengan mudah?


Tanggung Jawab Pemerintah

Ketua Masyarakat Indonesia untuk Kemanusiaan (MIK), Bonar Tigor Naipospos pernah mengatakan bahwa kondisi HAM di Indonesia terus memburuk dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Salah satu kasus terburuknya ialah kasus hilangnya sejumlah orang. Persoalan ini jelas-jelas menyentuh masalah kepercayaan masyarakat kepada pemerintah yang dinilai gagal melindungi warga negaranya.


Menurut anggota Komnas HAM, Albert Hasibuan pula, kasus orang yang hilang adalah tanggung jawab aparat keamanan. Ucapan senada juga disampaikan Ketua Dewan Pengurus YLBHI Bambang Widjojanto. Menurutnya aparat keamanan harus menjernihkan kasus ini secepat mungkin, bukannya sibuk menyatakan bahwa instansinya tidak terlibat dalam kasus hilangnya sejumlah orang itu.


Mengusut tuntas kasus orang hilang ini memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pemerintah SBY sebagai pemegang kekuasaan saat ini juga bukanlah pelaku yang harus bertanggung jawab atas hilangnya aktivis prodemokrasi tersebut. Kendati demikian, pemerintah SBY tidak bisa mengabaikan tanggung jawab untuk menuntaskan persoalan kejahatan HAM di masa silam tersebut. Kendala-kendala dalam pengusutan kasus ini pun jelas tidak bisa dijadikan alasan untuk menghindar dari tanggung jawab.


Pemerintah harus memberikan dukungan politik dan instruksi kepada setiap institusi, TNI misalnya, yang berhubungan dengan penuntasan kasus orang hilang tersebut. Pemerintah harus melibatkan berbagai macam instansi sehingga bisa menjadi kekuatan yang cukup besar untuk menyelesaikan masalah ini. Jangan ada permainan politik lagi dalam penyelesaian kasus orang hilang ini, seperti dugaan Kontras sebelumnya ketika melihat pembentukan Pansus yang bisa saja dimuati kekuatan politis dari para politisi yang berkuasa.



Dalam hal ini, kita bisa belajar dari Argentina. Di salah satu negara Amerika Latin tersebut, Presiden Raul Alfonsin membentuk Komisi Nasional untuk Orang Hilang (Comision Nacional Para La Desaparacion de Personas/Conadep) melalui dekrit presiden pada 1983, setelah mundurnya militer dari kekuasaan. Conadep menunjuk ratusan pejabat militer sebagai orang yang bertanggung jawab. Meski hanya 365 orang yang diadili pada proses pengadilan militer, namun banyak keluarga korban yang merasa cukup puas dengan kerja komisi tersebut. Sekarang, Argentina pun tidak lagi dibelenggu oleh kasus orang hilang.


Pansus Penanganan Pembahasan Atas Hasil Penyelidikan Penghilangan Orang secara Paksa tahun 1997-1998 harus bekerja keras untuk segera menuntaskan persoalan besar dalam sejarah HAM di negeri ini. Pansus harus menyelidiki kasus ini dengan seksama, dengan meminta keterangan dari pihak yang terkait kasus. Meskipun Pansus harus bergerak sesuai dengan rekomendasi dari Komnas HAM, bukan berarti Pansus bisa dipolitisi seenaknya oleh para penguasa di senat.


Tugas utama Pansus adalah agar mendapat masukan lebih komprehensif. Oleh karena itu, Pansus harus menjadwalkan untuk memanggil pihak-pihak terkait dalam kasus orang hilang ini. Diharapkan, Pansus bisa bekerja lebih keras lagi tanpa harus menunggu rekomendasi dari Komnas HAM. Yang paling penting, langkah yang diambil tidak menyalahi aturan, dan bisa menuntaskan kasus orang hilang ini secepatnya melalui penyelidikan-penyelidikan yang dilakukannya.


Hasil penyelidikan tersebut diserahkan kepada kejaksaan untuk ditindaklanjuti. Kejaksaan pun sebenarnya bisa melakukan tindaklanjut atas rekomendasi tersebut tanpa harus menunggu rekomendasi dari DPR. Penyelesaian kasus ini harus segera dituntaskan. Tak perlu lagi banyak-banyak rekomendasi dari Komnas HAM dan DPR, yang ujung-ujungnya malah semakin mempersulit menuju jalan keluar dalam kasus ini.


Kita tentu sangat berharap pemerintahan SBY-Boediono dapat menjadikan permasalahan ini sebagai salah satu prioritas mereka untuk digerekan penyelesaiannya. Jangan sampai masyarakat semakin kehilangan kepercayaan kepada pemerintah, karena pemerintah tidak mampu melindungi rakyatnya.

* Dimuat di Harian Analisa (Selasa, 18 Mei 2010)

Sumber:
http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=55226:refleksi-tragedi-mei-1998-mengurai-kasus-orang-hilang-di-indonesia&catid=78:umum&Itemid=131

Sabtu, Mei 15, 2010

Pemuda dalam Kemerdekaan Teknologi

Oleh: Adela Eka Putra Marza


- Refleksi Hari Kebangkitan Nasional (20 Mei) -


"Di manapun di negeri ini, perubahan itu datang dari orang muda." Itulah yang dikatakan seorang profesor kepada Saya beberapa waktu lalu. Jika kita melihat jauh ke belakang, perjuangan kemerdekaan Indonesia tak bisa dilepaskan dari semangat kaum mudanya. Beralihnya kekuasaan dari Orde Baru juga karena kekuatan generasi muda (mahasiswa), hingga kemudian tonggak reformasi berdiri di negara ini.


Bahkan Bung Karno, tokoh besar bangsa Indonesia pernah berkata. "Berikan Saya sepuluh pemuda, maka Saya akan mengubah dunia." Orang sekelas Bung Karno saja percaya dengan kekuatan kaum muda yang bisa membawa perubahan. Tentu saja, hal itu masih berlaku hingga saat ini, jika para generasi muda bisa mengejewantahkan semangat, optimisme, kedinamisan, dan jiwa revolusioner para kaum muda.


Di zaman yang serba berteknologi canggih sekarang, jiwa kaum muda tentu tak hanya sekedar semangat menggebu-gebu saja. Jiwa-jiwa yang penuh perubahan itu harus diselaraskan dengan penguasaan terhadap kemajuan teknologi. Karena kehidupan manusia sekarang sudah tak bisa lagi dipisahkan dari pergerakan dunia teknologi.


Information Communication Technology (ICT) atau teknologi komunikasi informasi adalah salah satu tonggak peradaban dunia saat ini. Mulai dari televisi, handphone, hingga internet sudah menjadi bagian dalam kehidupan kita. Malah teknologi mengambil satu posisi penting dalam kehidupan manusia. Alat-alat canggih tersebut sudah menjadi bagian pelengkap dalam perkembangan dunia, termasuk dalam refleksi jiwa kaum muda.


Dalam Digital Grown Up (2009), Dan Tapscott bertutur soal datangnya era konektivitas. Zaman di mana semua sendi kehidupan, dari yang substansial hingga hal remeh-temeh, terakomodasi pada medium teknologi koneksi sosial internet. Pertanyaan tentang buku baru atau harga sebuah buku, misalnya, tak lagi ditanyakan kepada teman kuliah yang baru pulang dari toko buku. Namun, cukup diketikkan kata kunci pada mesin pencari (search engine).


Menguasai Teknologi

Pemuda sebagai ujung tombak perubahan tentu harus bisa menguasai perkembangan teknologi ini. Pemuda harus mampu memanfaatkan teknologi untuk terus mengobarkan perubahan menuju kemajuan ke arah yang lebih baik bagi negeri ini. Karena perjuangan sekarang bukan lagi bergerilya di dalam hutan. Perjuangan di zaman serba canggih ini adalah peperangan dalam menguasai teknologi-teknologi serba mutakhir.


Tidak bisa kita pungkiri jika masih banyak masyarakat kita yang masih gagap dengan teknologi. Belum adanya kemerdekaan teknologi ini terutama terjadi di daerah-daerah pelosok yang pastinya belum tersentuh oleh alat-alat komunikasi dan informasi yang berbasis teknologi. Jangankan ingin memikirkan perkembangan teknologi, untuk memikirkan besok mau makan pakai apa sudah begitu banyak menyita waktu mereka.


Di sinilah kemudian muncul permasalahan jurang digital (digital divide) di tengah-tengah masyarakat kita. Banyak warga terutama di daerah-daerah di mana infrastruktur teknologi masih belum menyentuh kehidupan mereka, tentu saja tak mampu mengoperasionalkan perangkat teknologi tersebut. Kesenjangan ini nantinya tentu saja dapat merintangi laju perkembangan sosial dan ekonomi, serta meninggalkan wilayah-wilayah yang lebih miskin jauh di belakang.


Masalah digital divide semakin menyulitkan kita untuk mendapatkan kemerdekaan teknologi tersebut. Penerapan melek teknologi secara meluas di kalangan warga akan terasa lambat, karena ditambah lagi dengan sejumlah hambatan dalam aspek demografi, perilaku, budaya, fungsional, dan juga teknologi. Teknologi akhirnya menjadi penyebab jurang komunikasi yang semakin lebar di dalam masyarakat.


Pada bagian inilah kemudian tugas generasi muda bertambah satu lagi, membebaskan masyarakat Indonesia dari kebodohan akan teknologi tersebut. Kita sebagai pemuda harus ikut mendorong kebijakan untuk memasyarakatkan teknologi hingga ke seluruh pelosok Tanah Air. Kaum muda sebagai generasi pembawa perubahan, harus mampu membawa kehidupan masyarakat ke zaman teknologi canggih, tanpa membeda-bedakan golongannya. Sehingga, tak ada lagi masyarakat yang terjajah dalam perkembangan teknologi. Semua masyarakat pun bisa melanjutkan perjuangan di era digital ini.


Usaha ini memang sulit, tapi bukan berarti tidak bisa berhasil. Hanya memang membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengimplementasikannnya dan kemudian dapat melihat hasilnya. Selan itu, juga membutuhkan biaya yang lebih besar. Namun pastinya, tidak ada yang tidak bisa dilakukan. Semuanya harus dicoba. Tentu saja ini tanggung jawab yang besar bagi para generasi muda Indonesia, sebagai generasi pembawa perubahan.


Hati-hati

Kemerdekaan teknologi dalam judul di atas juga bisa bermakna ganda. Pertama, tentu saja soal penguasaan teknologi yang seharusnya dapat diaplikasikan oleh pemuda zaman sekarang dalam setiap sendi kehidupannya dan dalam bermasyarakat. Tentu juga dengan mendorong penguasaan teknologi tersebut bagi lingkungan sekitar dan mayarakat sendiri. Bagian ini sudah dibahas dalam pemaparan di atas.


Namun ada satu lagi makna yang bisa jadi muncul dalam mengartikan "kemerdekaan teknologi" tersebut. Soal siapa yang membutuhkan dan siapa yang dibutuhkan, akan teknologi dan oleh teknologi itu sendiri. Maksudnya, soal kebutuhan kita akan teknologi tersebut. Jangan sampai terjadi malah kita yang mengalami ketergantungan terhadap teknologi.


Sudah tidak heran lagi, melihat para pemuda di zaman sekarang malah dikuasai oleh teknologi itu sendiri. Semuanya ingin serba cepat dan instan, sehingga kemudian melupakan esensi proses dalam persoalan tersebut. Lihat saja dengan para pelajar yang misalnya lebih memilih melakukan copy-paste terhadap karya orang lain untuk menyelesaikan tugasnya, ketimbang membolak-balik dan membaca sebuah buku, kemudian mengetikkannya di komputer. Fenomena tersebut sudah tidak asing lagi di kalangan pelajar.


Atau, mungkin kasus terbaru soal ketergantungan terhadap teknologi adalah fenomena Facebook yang sedang mewabah ditengah-tengah generasi muda. Bayangkan saja, teknologi tak lagi untuk membangun perubahan bagi bangsa, tetapi malah membuat kaum muda berubah menjadi individualis. Semua orang sibuk ber-chatting-ria di Facebook, sehingga tak sempat lagi memikirkan apa yang akan dilakukannya untuk membangun bangsa. Bahkan budaya diskusi dan ngumpul bareng sudah mulai hilang ditelan fenomena Facebook.


Ini adalah salah satu bentuk ketergantungan kita terhadap teknologi. Pastinya hal ini terjadi karena kekurangsiapan kita untuk menerima kehadiran teknologi tersebut. Oleh karena itu, dari awal kaum muda harus sudah menyiapkan diri untuk menguasai teknologi tersebut, bukan malah sebaliknya, dikuasai oleh teknologi.


Satu hal yang harus selalu diingat, teknologi diciptakan untuk membantu pekerjaan manusia agar lebih ringan. Bukan berarti hal tersebut agar kita melupakan proses dari pekerjaan tersebut. Apalagi jika kita malah mengalami ketergantungan terhadap teknologi itu sendiri. Lebih parahnya tentu saja ketika ada pihak-pihak yang malah menyalahgunakan teknologi tersebut untuk hal-hal yang tidak berguna, bahkan untuk tindakan kriminal.


Pastinya, kita sebagai pemuda harus terbebas dari kebodohan dan cengkeraman teknologi itu sendiri. Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, revolusi internet adalah sebuah peluang dan juga sebuah ancaman. Pemuda generasi penerus bangsa harus memperhatikan itu.


* Dimuat di Harian Global (Sabtu, 15 Mei 2010)


Sumber:

http://www.harian-global.com/index.php?option=com_content&view=article&id=37053:refleksi-hari-kebangkitan-nasional-pemuda-dalam-kemerdekaan-teknologi&catid=57:gagasan&Itemid=65