------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Senin, Desember 14, 2009

Dari Wartawan untuk Calon Wartawan

Oleh : Adela Eka Putra Marza

Tulisan ini berawal dari obrolan ringan dengan Wakil Ketua Dewan Pers, Sabam Leo Batubara beberapa waktu lalu. Saat itu, Saya menjemput beliau dari salah satu hotel di Medan tempat beliau menginap. Mantan Ketua Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat ini baru datang dari Jakarta, untuk mengisi Seminar Nasional bertajuk Media Massa Membidik Figur Calon Independen yang digelar Pers Mahasiswa SUARA USU akhir tahun lalu.


Di mobil, kami mengobrol ringan tentang perkembangan pers Indonesia dewasa ini, termasuk soal pekerja persnya alias para wartawan. Bicara tentang wartawan saat ini yang tak lagi menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan main yang tercantum dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) atau Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). Banyak wartawan yang malah mencederai “kitab”-nya sendiri, yang seharusnya menjadi pedomannya itu.

Mungkin sudah menjadi hal yang biasa jika melihat wartawan menerima amplop dari pejabat atau pengusaha yang diwawancarai. Istilah wartawan amplop, wartawan bodrek, atau entah apalagi panggilannya, seakan sudah lumrah di telinga kita. Tak ada yang tak lazim dengan fenomena itu. Mungkin Anda akan membenarkannya juga.

Bahkan ada jargon yang mulai populer saat ini di kalangan kuli tinta ini. “Dilarang terima amplop, tapi ambil duitnya saja.” Secara gamblang diartikan, menerima amplop memang dilarang dan sangat diharamkan, tapi tidak boleh menerima uang dari narasumber tak pernah diwanti-wanti oleh pimpinan redaksi ataupun pimpinan suratkabarnya. Singkat kata, uang dari narasumber silahkan dikantongi, tapi amplopnya harus dikembalikan lagi. Tak jauh beda.

Yang lebih fresh adalah wartawan rekening. Wartawan amplop model baru yang lebih modern, dengan cara via transfer bank. Biasanya si wartawan menyodorkan kertas berisi nomor rekeningnya kepada pejabat atau pengusaha setelah diwawancarai. Cara yang lebih halus memang, tapi sama bejatnya dengan wartawan amplop.

Atau berhadapan dengan wartawan yang malah menjual halaman di suratkabarnya untuk pemberitaan yang dinginkan oleh pemilik modal; alias menjual surat kabar pada satu orang untuk kemudian dibagi-bagikan gratis kepada masyarakat. Sudah bukan fenomena asing lagi di mata kita. Sangat banyak dijumpai dalam dunia pers Indonesia saat ini. Tapi memang tak pernah terjadi terang-terangan. Istilahnya “off the record”, tulis salah seorang jurnalis senior dalam bukunya tentang pers Indonesia – istilah yang juga jadi judul bukunya tersebut. 

Belajar dari Negara Tetangga
Fenomena itu juga yang kemudian mengantarkan obrolan Saya dan Pak Sabam Leo pada pengalamannya berdiskudi dengan beberapa petinggi dan pengajar sekolah jurnalistik dan ilmu komunikasi di Australia, beberapa waktu sebelumnya. Ia pun menceritakan pengalamannya itu sebagai catatan untuk refleksi terhadap fenomena wartawan Indonesia saat ini. Catatan untuk para pelaku dunia pendidikan di Indonesia, yang nantinya akan memproduksi wartawan-wartawan Indonesia di masa depan.

Di negara tetangga kita tersebut, para calon wartawan dididik langsung oleh tenaga-tenaga akademis yang benar-benar punya kompetensi di bidang tersebut. Para dosen, bahkan pemimpin jurusan jurnalistik di sekolah dan universitas di Australia, adalah orang-orang yang berkecimpung langsung dalam dunia kewartawanan.

Mereka yang menjadi pengajar jurnalistik di sana merupakan orang-orang yang secara praktik juga melakukan tugas-tugas kewartawanan di lapangan secara langsung. Mereka adalah praktisi dari dunia jurnalistik yang juga menjadi akademisi di universitas masing-masing. Artinya, dosen-dosen yang mengajar mahasiswa jurnalistik di Australia adalah wartawan sendiri.

Jadi, yang mendidik dan mengajar calon-calon wartawan tersebut adalah orang yang benar-benar teruji secara praktik sebagai wartawan, bukan hanya sekedar pintar dalam teori saja. Sehingga “produk” yang dihasilkan pun nantinya sudah siap ketika harus turun ke lapangan dan harus menjalankan tugas-tugas wartawan tersebut.

Secara tidak langsung, calon wartawan ini sudah dididik dari awal sebagai wartawan yang sesuai dan berpedoman dengan aturan main seorang wartawan. Dari dini mereka sudah dibekali bagaimana menghadapi dunia jurnalistik dan kewartawanan yang realistis seperti adanya, yang akan mereka temui nanti.

Sudah pasti, tidak akan ada istilah wartawan amplop atau wartawan rekening dalam kamus wartawan di Australia sana. Karena dari bangku kuliah mereka sudah tahu bahwa itu sangat tidak sesuai dengan nilai-nilai mulia dari tugas seorang wartawan. Tentu, orang-orang yang mengajari mereka juga tak pernah melakukan perbuatan sehina itu – menjual dan mengobral harga diri sendiri.

Soal dosen jurnalistik di Australia yang merupakan praktisi langsung dari dunia kewartawanan, Saya sendiri pernah menemukannya langsung. Dua tahun yang lalu Saya pernah mengikuti Journalism Workshop yang diadakan oleh Australian Education International di Medan. Gelaran diskusi ini menghadirkan pembicara langsung dari Australia, yaitu Curtin University of Technology.

Saya sudah lupa nama beliau, namun masih jelas dalam ingatan Saya, bahwa pria paruh baya tersebut merupakan pimpinan jurusan jurnalistik di universitas itu yang juga adalah wartawan dari sebuah suratkabar di Australia. Ia merupakan akademisi yang dalam tugas-tugasnya di kampus untuk mendidik para mahasiswa dengan teori-teori secara akademis, dan dengan pengalaman praktiknya sebagai wartawan di lapangan.

Wartawan Jadi Dosen
Sepertinya tak ada salahnya juga kita belajar dari negara tetangga tersebut. Mendesain sistem pengajaran jurnalistik di Indonesia ini dengan memberdayakan para wartawan sebagai tenaga pengajar alias dosen bagi para mahasiswa jurnalistik. Sebuah sistem yang Saya pikir akan lebih mampu memproduksi wartawan-wartawan handal nantinya, tidak hanya dalam skill tetapi juga dalam etika dan moralnya.

Baiklah, jika yang menjadi masalah kemudian, banyak wartawan kita yang mungkin secara akademik tak siap untuk jadi pengajar. Karena memang kebanyakan wartawan kita bukan berasal dari bidang pendidikan jurnalistik. Tapi mungkin persoalan ini bisa diakali dengan menawarkan kesempatan untuk memberikan kuliah umum kepada para wartawan ini. Dalam kuliah umum ini nantinya, mereka bisa berbagi ilmu dan pengalaman dengan mahasiswa.

Jadi secara akademis, mereka tidak terikat dalam sistem pendidikan yang memang menuntut pengetahuan secara ilmiah. Namun, bisa kita lihat, di sini juga letak kekurangan wartawan kita. Mereka secara teori ternyata tak punya pengetahuan apa-apa tentang ilmu jurnalistik. Wartawan Indonesia saat ini, sebagian besar dan pada umumnya beranjak dari latar belakang pendidikan yang sama sekali tak ada hubungannya dengan jurnalistik.

Walaupun secara praktik ada juga yang bagus, mungkin dalam penulisan, namun tetap ada kekurangan dalam sosok wartawan dengan latar belakang di luar jurnalistik, terutama dalam hal pengetahuan jurnalistiknya secara teori. Terkadang ini bisa mempengaruhinya nanti dalam pelaksanaan tugas-tugas kewartawanannya.

Oleh karena itu, dari sekarang kita harus mulai mempersiapkan calon-calon wartawan yang nantinya benar-benar teruji secara akademik dan praktik. Ya, salah satunya dengan memberi mereka pengetahuan dari pengalaman-pengalaman wartawannya langsung. Bukan hanya dari dosen-dosen yang secara akademik memang pintar, tapi secara praktik Saya yakin masih banyak yang meragukannya.

Para wartawan ini bisa dimaksimalkan untuk jadi dosen lepas di setiap kelas-kelas jurnalistik. Sehingga apa yang didapatkan oleh mahasiswa jurnalistiknya sendiri tidak hanya soal teori saja, tapi juga mereka tahu bagaimana sikap di lapangan nantinya ketika sudah harus menyandang “gelar” wartawan. Yang ada sekarang, mahasiswa-mahasiswa jurnalistik yang merupakan calon-calon wartawan kita nantinya hanya dibekali dengan teori-teori saja tanpa mengerti bagaimana sikap realitanya nanti. 

Terlepas bahwa soal kesejahteraan hidup yang diberikan oleh perusahaan pers di Indonesia juga mempengaruhi kinerja wartawannya – hingga saat ini, perusahaan pers Indonesia masih membayar wartawannya dengan harga yang rendah –, namun tidak ada salahnya juga kita mulai berpikir untuk membentuk watak-watak wartawan yang sesuai dengan kode etik wartawan sendiri sedari dini, ketika mereka masih di bangku pendidikan. Salah satunya, ya itu tadi, mentransfer ilmu-ilmu dari wartawan untuk calon wartawan.


* Dimuat di Harian Analisa

Minggu, Desember 13, 2009

Berwisata ke Perpustakaan

Oleh: Adela Eka Putra Marza

Persoalan buta aksara menjadi salah satu permasalahan yang cukup pelik di muka bumi ini. Kehidupan penyandang buta aksara akan berjalan searah dengan kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidakberdayaan. Pada akhirnya, ini akan menghambat perkembangan peradaban dan pembangunan umat manusia. Makanya tak aneh, jika kasus buta aksara banyak terjadi di negara-negara berkembang yang pada dasarnya masih mencari-cari bentuk utama dari pembangunan peradaban mereka.

Masih Ada Buta Aksara
Di seluruh dunia, jumlah penduduk buta aksara masih sangat besar. Hingga tahun 2006, sebanyak 771 juta orang mengalami buta aksara, 72 persen diantaranya adalah perempuan. Hal ini disampaikan Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal (Dirjen PNFI) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Hamid Muhammad tahun lalu, seperti dilansir situs Depdiknas.

Di Indonesia sendiri, menurut data Depdiknas penyandang buta aksara masih sekitar delapan juta orang. Dibandingkan dengan 64 tahun yang lalu, atau pada awal kemerdekaan tahun 1945, saat itu 97 persen penduduk Indonesia menyandang buta aksara, terutama warga yang berusia 44 tahun ke atas. Tahun lalu, angka ini dapat ditekan hingga bersisa 6,21 persen.

Sampai akhir tahun 2009 ini, pemerintah menargetkan dapat menurunkannya hingga bersisa lima persen, atau hanya sekitar 7,7 juta orang lagi. Angka ini jelas tidak akan sulit dicapai, karena hanya sekitar 0,3 juta orang lagi yang harus dilepaskan dari buta aksara. Bahkan, bisa jadi pemerintah dapat melampaui target tersebut. Selain itu, berdasarkan perhitungan sementara dari Pusat Statistik Pendidikan (PSP), diproyeksikan pada tahun 2009 ini angka persentasi buta aksara akan tersisa 5,03 persen.

Sedangkan di Sumatera Utara, menurut data dari Dinas Pendidikan Sumut sebanyak 274.929 orang atau 3,4 persen warga Sumut usia 15 tahun ke atas masih mengalami buta aksara pada tahun 2008. Kategori buta aksara ini merupakan orang yang tidak sanggup membaca dan menulis sekurang-kurangnya tujuh kata dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, serta orang yang tidak dapat menjumlah atau mengalikan angka satu sampai 100.

Dari total angka tersebut, jumlah terbanyak berada di Kabupaten Nias, Nias Selatan, Asahan, Simalungun, Deliserdang, Tapanuli Tengah, dan Langkat. Meski begitu, jumlah ini mengalami penurunan dari tahun 2007 yang berjumlah 290.000 orang. Bahkan, pengentasan buta aksara yang telah mencapai 3,4 persen di Sumut tersebut telah melewati target nasional, di mana pemerintah menargetkan sisa buta aksara paling tinggi adalah lima persen pada tahun 2009.

Taman Bacaan dan Perpustakaan
Penuntasan buta aksara di Sumut dilakukan melalui program pembelajaran melalui program keaksaraan fungsional, penumbuhan gemar membaca, serta meningkatkan taman bacaan masyarakat dan perpustakaan. Program ini terus digalakkan oleh pemerintah, tentu saja dengan peran serta masyarakat dalam mendukungnya.

Perpustakaan menjadi salah satu lembaga yang punya peranan penting dalam menunjang pelaksanaan program pemberantasan buta aksara. Perpustakaan sebagai sebuah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna, hadir untuk memberikan bacaan-bacaan bagi masyarakat. Selain itu, keberadaan perpustakaan juga untuk memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi para pemustaka.

Keberadaan perpustakaan tidak dapat dipisahkan dari peradaban dan budaya umat manusia. Tinggi rendahnya peradaban manusia bisa dilihat dari kondisi perpustakaan yang dimiliki. Masyarakat mulai merekam pengetahuan untuk disebarluaskan kepada sesama kelompoknya. Rekaman pengetahuan ini yang kemudian disimpan di perpustakaan. Hingga saat ini pun, perpustakaan masih memegang peranan penting dalam menumbuhkembangkan minat baca masyarakat.

Pertumbuhan perpustakaan di Sumatera Utara terus berkembang dari waktu ke waktu. Saat ini jumlah perpustakaan yang terdata oleh Badan Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi (Baperasda) Sumut mencapai 396 perpustakaan. Sebanyak 78 perpustakaan berada di Medan dan sekitarnya.

Jumlah ini mungkin bisa lebih banyak, karena tidak semua perpustakaan di Sumut melaporkan pendiriannya. Seperti taman bacaan umum, yang mulai banyak tumbuh di tengah-tengah lingkungan masyarakat. Misalnya, taman baca di Medan Marelan yang dikelola seorang pemilik warung nasi, atau taman bacaan milik Sofyan Tan dan Usman Pelly.


Menurut Kepala Baperasda Sumut Syaiful Syafri, seperti pernah diberitakan harian Kompas, kampanye pengembangan perpustakaan di Sumut sudah dimulai sejak tahun 2007. Saat ini, Baperasda Sumut memprioritaskan pengembangan perpustakaan di pedesaan. Selama tahun 2008, Baperasda Sumut telah memediasi pendirian 318 perpustakaan desa yang tersebar di sepuluh kabupaten dan kota. Untuk tahun 2009 ini, Baperasda akan menambah pendirian 300-an perpustakaan lagi di berbagai daerah di Sumut. Targetnya, perpustakaan desa ini akan berdiri di setiap daerah.

Perpustakaan, Pusat Wisata Baca
Di perpustakaan, kita dapat membaca, menulis, meneliti, berdiskusi, melakukan peminjaman buku dan rekreasi. Singkat kata, perpustakaan adalah rumah belajar yang bermanfaat bagi masyarakat. Perpustakaan adalah universitas yang pali lengkap. Karena, sebagai sumber ilmu pengetahuan semuanya ada di sana. Di perpustakaan tersedia berbagai jenis buku yang bisa dibaca sesuai dengan kebutuhan kita.

Banyak orang tertarik dan berkunjung ke perpustakaan karena banyak kegiatan bermanfaat yang dapat dilakukan. Salah satu kegiatan yang paling dominan dilakukan di perpustakaan adalah membaca. Perpustakaan sebagai gudangnya buku akan memenuhi semua kebutuhan kita akan ilmu pengetahuan. Dengan membaca buku manusia bisa belajar dari buku tersebut. Manusia bisa mencari dan menemukan apa yang belum diketahuinya.

Syaiful Sayfri sebagai Kepala Baperasda Sumut, menginginkan perpustakaan menjadi tempat wisata baca. Inilah langkah awal untuk menciptakan masyarakat gemar membaca, yang kemudian akan manusia-manusia berkualitas. Menjadikan perpustakaan sebagai pusat wisata baca akan berkaitan dengan minat baca. Langkah ini akan mendongkrak keinginan masyarakat untuk membaca.

Dengan menjadikan perpustakaan sebagai tempat berwisata, maka secara tidak langsung akan ikut membangkitkan gairah membaca. Berkunjung ke perpustakaan seudah seharusnya menjadi bagian hidup keseharian kita sehari-hari, sebagai manusia yang butuh ilmu pengetahuan dan selalu dilingkupi rasa ingin tahu. Dengan demikian lahirlah manusia-manusia Indonesia yang mempunyai budaya baca.

Selama ini yang menjadi masalah bagi sebagian masyarakat Indonesia dalam membudayakan membaca adalah soal keterbatasan biaya dalam mendapatkan buku-buku berkualitas. Namun, dengan adanya perpustakaan permasalahan itu bisa teratasi sendiri. Semua buku bisa jadi bahan bacaan. Tidak harus buku dengan tampilan yang luks serta berharga mahal. Bahkan membaca koran dan buku-buku lama pun bisa menjadi ilmu pengetahuan baru bagi kita.

Perpustakaannya juga tidak harus dengan fasilitas mewah. Tidak harus mempunyai koleksi buku-buku mahal dan dikarang oleh penulis terkenal. Perpustakaan kecil sekali pun, meski tanpa AC tetap punya fungsi yang sama dengan perpustakaan besar dan mewah. Peranannya dalam menyediakan bacaan-bacaan bermanfaat bagi masyarakat tidak akan berkurang.

Banyak perpustakaan di sekeliling lingkungan kita. Di Medan, ada Perpustakaan Daerah Sumut (Baperasda Sumut) yang menyediakan ribuan koleksi buku cetak dan digital, ada Perpustkaan Universitas Sumatera Utara yang merupakan salah satu perpustakaan kampus dengan koleksi terbanyak di Asia, ada Perpustakaan Kota Medan yang juga punya buku-buku menarik, dan masih banyak perpustakaan lainnya.

Sekarang tinggal niat masing-masing untuk datang ke perpustakaan, dan memanfaatkan koleksi buku-bukunya untuk meraup berbagai ilmu pengetahuan. Karena untuk membaca tidak harus dengan cara membeli buku setiap hari. Tapi cukup dengan berkunjung ke perpustakaan, dan memanfaatkan buku-buku yang disediakan di sana.

Peranan perpustakaan dalam menumbuh kembangkan minat baca dan cinta buku merupakan keharusan yang tidak bisa ditawar lagi. Sebab untuk menciptakan manusia-manusia yang cerdas, ditentukan oleh membaca. Tanpa membaca, maka manusia itu tidak akan berarti apa-apa; kosong sama sekali. Oleh karena itu, perpustakaan sebagai bagian dari salah satu sarana yang penting untuk mencerdaskan anak bangsa, harus kita jadikan sebagai pusat wisata baca bagi diri kita masing-masing. Agar tidak ada beban lagi untuk datang ke perpustakaan dan mulai membaca. Dan demi memberantas “penyakit” buta aksara di muka bumi ini.

* Dimuat di Harian Medan Bisnis (Senin, 5 Oktober 2009)

Jumat, Desember 11, 2009

Jadi Blogger: Bisa Kaya, Bisa Masuk Penjara

Oleh : Adela Eka Putra Marza

Blog merupakan sebuah media untuk menuangkan hasil karya tulisan atau coretan apapun itu yang dihasilkan oleh seseorang.

Bisa berupa opini, hasil penelitian ilmiah, catatan pribadi, cerita kehidupan, hingga banyolan humor sekalipun. Tapi memang tidak bisa dihindari juga bahwa terkadang blog malah dijadikan ajang adu mulut, hinaan, bahkan pemuatan konten ilegal. Perkembangan blog memang bisa bermuara ke arah positif dan negatif.

Namun tidak bisa juga semua blog dianggap tidak bisa dipercaya keabsahan isinya seperti sering diwacanakan selama ini. Toh, tidak sedikit para akademisi, jurnalis, politikus, bahkan berbagai individu lainnya yang teruji secara ilmiah, juga memanfaatkan blog sebagai tempat untuk mem-publish catatan-catatannya. Siapa yang bisa meragukan opini-opini mereka, karena pada dasarnya setiap yang disampaikan mereka tentu saja berdasarkan hasil pertimbangan yang matang.

Bicara soal perkembangan blogger di Indonesia, tonggak mulai berdiri tegaknya blog di negeri ini berawal dari Pesta Blogger Indonesia yang dihelat pada tahun 2007 lalu. Sekitar 500 blogger dari seluruh penjuru nusantara hadir dalam acara bertajuk "Suara Baru Indonesia" yang digelar di Hard Rock Cafe Jakarta, pada 27 Oktober 2007 tersebut. Acara ini menjadi wadah pertemuan dan diskusi bagi para blogger untuk bersama-sama menciptakan iklim nge-blog yang positif di Indonesia. Pada saat itu juga dideklarasikannya Hari Blogger Nasional oleh pemerintah Indonesia, yang kemudian selalu diperingati setiap tanggal 27 Oktober.

Tahun ini adalah tahun ketiga Hari Blogger Nasional. Juga tahun ketiga dalam pelaksanaan Pesta Blogger Indonesia. Sekitar 1.500 orang hadir dalam pertemuan para blogger se-Indonesia tersebut. Perkembangan yang begitu pesat, juga tahun 2008 yang dihadiri sebanyak 1.000 blogger. Tak hanya blogger Indonesia, blogger dari negara luar juga turut menyemarakkan acara tahunan ini, seperti dari Malaysia, Amerika Serikat dan negara lainnya. Pesta Blogger Indonesia sudah menjadi ajang nasional yang begitu bergengsi bagi para blogger sendiri.

Bisa Jadi Profesi
Blog yang saat ini sudah menjadi fenomena baru, mulai beranjak menuju tingkat yang lebih profesional. Jika dulu blog hanya merupakan sebuah media personal yang sifatnya catatan pribadi dari seorang individu, saat ini blog sudah mulai beralih ke ranah profesi. Blog yang pada awal perkembangannya hanya untuk berbagi pengalaman dan bertukar informasi dengan sesama blogger dan pengunjung internet, sekarang mulai dilirik untuk menjadi sebuah media yang bisa menghasilkan uang.

Pada perkembangannya dewasa ini, blog sudah menjadi salah satu pilihan profesi bagi banyak blogger. Para blogger bisa menghasilkan pendapatan dari blog-nya masing-masing. Melalui blog-nya, blogger dapat menerima iklan dari pengiklan yang ingin memasarkan produknya kepada para pengunjung internet. Pemasang iklan memanfaatkan blog untuk mengenalkan produk mereka. Sang pemilik blog akan memasang iklan tersebut di blog-nya, dan mendapatkan pembayaran atas ruang yang disediakan untuk iklan yang telah ditampilkan.

Pertumbuhan jejaring blog yang sangat pesat belakangan ini, bisa menjadikan seorang blogger yang sudah dapat nama dilirik pemasang iklan. Para pengiklan menyadari pentingnya untuk mengenalkan dan memasarkan brand name produk mereka di tengah komunitas yang terdidik dalam komunitas para blogger tersebut. Sang pemilik blog pun dapat memetik keuntungan dari si pengiklan atas jasa iklan yang telah diberikan dalam blog-nya.

Banyak perusahaan media online yang menyediakan aktivasi beriklan seperti ini untuk para blogger. Salah satu contoh adalah Google AdSense. Dengan bergabung di perusahaan tersebut, para blogger bisa memanfaatkan blog-nya untuk meraup pundi-pundi dollar dengan mengiklankan produk-produk dari berbagai perusahaan. Google sendiri akan menyodorkan iklan dari beberapa perusahaan yang tertarik untuk beriklan di blog tersebut. Kemudian, setiap pengunjung blog yang melakukan klik pada banner atau logo iklan tersebut, maka pemilik blog akan dibayar sekian dollar sesuai dengan kesepakatan.

Berniaga melalui blog juga dapat dicoba oleh para blogger sebagai salah satu profesi. Amazon, situs e-market yang menyediakan berbagai barang untuk konsumsi masyarakat banyak, membuka kesempatan bagi para blogger untuk menjadi marketing perusahaan online tersebut. Melalui blog-nya, blogger bisa mengiklankan dan menjual barang-barang Amazon. Setiap barang yang terjual, situs tersebut akan memberikan bayaran atas jasa yang diterimanya dari para blogger yang telah terdaftar sebagai anggota.

Tidak hanya itu. Banyak juga freelance writer (penulis lepas) yang memanfaatkan blog sebagai media untuk menjual hasil karya-karya tulisannya. Bisanya mereka akan mempromosikan karyanya yang bernilai informasi tinggi tersebut di masing-masing blog mereka. Kemudian media massa, terutama media luar negeri akan menawar untuk mendapatkan hak cipta dari karya tersebut. Jika kesepakatan didapatkan, si pemilik blog yang juga merangkap sebagai penulis lepas akan menerima bayaran atas karyanya tersebut.

Bekerja sebagai penulis lepas di blog pribadi merupakan sesuatu yang menyenangkan. Karya tulisan kita dibaca banyak orang, dan kemudian juga dihargai oleh berbagai media massa yang tertarik membeli hak cipta dari tulisan tersebut. Blogger akan mendapatkan honor dari tulisan yang dirilis di blog pribadinya itu. Bayarannya dalam dollar dan nilai riil yang diperoleh oleh penulis blogger bahkan bisa sangat besar dan melebihi penghasilan profesi lainnya.

Memang sudah trennya saat ini, orang mulai melirik blog sebagai sumber penghasilan. Untuk sampai pada tahap menjadikan blog sebagai sumber penghasilan memang perlu waktu banyak, kemauan yang kuat dan wawasan yang luas. Mencoba memahami segmentasi pembaca dan memproduksi tulisan yang disenangi oleh pembaca, juga harus diperhatikan agar blog banyak dikunjungi. Kedepan, sejalan dengan makin banyaknya komunitas blogger, bisa saja banyak orang yang muncul dan beralih profesi sebagai blogger, blogger sebagai sebuah profesi layaknya profesi lain yang dikenal luas oleh masyarakat.

Hati-hati Seperti Prita
Jadi blogger pun ternyata punya resiko besar, bisa berbahaya bagi diri sendiri. Apa pasal? Kasus Prita Mulyasari adalah salah satu contoh. Prita Mulyasari adalah salah satu konsumen RS Omni International yang menjadi pasien di rumah sakit internasional tersebut. Namun karena tidak merasa puas dengan layanan yang diterimanya, bahkan ia malah merasa telah ditipu oleh pihak rumah sakit, Prita pun melayangkan protes. Namun pihak rumah sakit terkesan bertele-tele dalam menjawab protes dari Prita. Pada akhirnya, ia pun menceritakan pengalaman buruknya berobat di rumah sakit tersebut dalam surat elektronik (e-mail) dan menyebarkannya kepada beberapa orang teman. Namun pada akhirnya, e-mail tersebut beredar luas di kalangan pengguna dunia maya.

Pihak RS Omni International yang menjadi salah satu pemeran dalam surat tersebut, tidak terima karena merasa nama baiknya telah dicemari oleh Prita. Pihak rumah sakit menuduh Prita melakukan pencemaran nama baik di media internet dan menyebarkannya kepada publik. Mereka pun menuntut Prita ke pengadilan, secara pidana dan perdata. Di sinilah masalah besar kemudian muncul, dan sempat membuat geger dunia blogger di tanah air, karena hal ini terkait soal kebebasan berpendapat dalam dunia maya yang selama ini menjadi keutamaan dalam blog.

Prita pun dijerat Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam aturan tersebut tertulis bahwa, "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik." Bagi yang melanggar pasal tersebut akan menerima sanksi denda hingga Rp 1 miliar dan penjara hingga enam tahun. Akhirnya Prita pun terpaksa "menginap" di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang sejak tanggal 13 Mei 2009.

Kasus inilah yang menjadi tanda peringatan bagi para blogger di Indonesia. Ternyata kebebasan berpendapat di blog pun bisa menjadi ancaman dan dikenai hukuman berdasarkan UU ITE jika terbukti bersalah. Penerapan UU ITE akhirnya memakan "korban." Banyak pihak yang kemudian menyayangkan penahanan Prita dan menganggap pasal tidak kuat, karena telah mengancam kebebasan berekspresi. Mereka menilai rumusan pasal tersebut bersifat karet dan multi intrepretasi. Kasus ini juga telah membawa preseden buruk dan membuat masyarakat takut menyampaikan pendapat atau komentarnya di ranah dunia maya.

Meski begitu, bukan berarti para blogger akan surut dan meninggalkan dunia maya. Tidak ada alasan untuk itu. Namun yang jelas, para blogger harus mulai berhati-hati dalam menyampaikan opininya di dunia maya. Dalam bentuk apapun, yang namanya pencemaran nama baik tetap merupakan suatu pelanggaran. Penegakan kebebasan berekspresi seharusnya juga tidak boleh disalahartikan hingga kemudian merugikan pihak lain. Oleh karena itu, jangan juga sekali-kali menulis blog hanya untuk sekadar mencari perhatian atau sensasi agar trafik kunjungannya meningkat, apalagi jika tulisan tersebut tanpa didukung data dan fakta. Apapun yang kita posting di internet, pikirkanlah baik-baik implikasinya di kemudian hari, karena setiap orang dapat mengakses dan menyebarkannya. Bahkan penulis sendiri pun agak gentar dan sempat pikir panjang juga untuk menyampaikan opini ini. Akhir kata, selamat nge-blog!

* Dimuat di Harian Analisa (Jumat, 11 Desember 2009)

Sabtu, November 07, 2009

Menuju e-Government: Pengurusan KTP via Internet

Oleh : Adela Eka Putra Marza

Permasalahan dalam pembuatan dan pembaharuan Kartu Tanda Penduduk (KTP) masih menjadi "pekerjaan rumah" bagi Pemerintah Kota (Pemko) Medan hingga saat ini, ketika usianya sudah berada pada angka 419 tahun.


Prosedurnya yang berbelit-belit, dan bahkan sering sekali harus berbuntut "uang pelicin" yang bersifat "paksaan" hingga ratusan ribu rupiah dalam pembuatan KTP, selalu dikeluhkan oleh masyarakat di penjuru Kota Medan.

Padahal Pemko Medan sejak pemerintahan Abdillah hingga kemudian digantikan oleh Afifuddin Lubis selaku pejabat sementara (Pjs) sudah memberlakukan gratis untuk pengurusan KTP, baik untuk pembuatan maupun pembaharuan. Namun yang terjadi di lapangan, masih saja ada oknum di kantor kecamatan, bahkan beberapa kepala lingkungan (kepling) yang memungut biaya dari masyarakat yang ingin mengurus KTP.

Salah satunya adalah seperti yang dialami oleh warga Jalan Pertahanan Medan yang melaporkan kejadian tersebut ke salah satu surat kabar lokal, Juli 2009 silam. Warga tersebut diharuskan untuk membayar sejumlah uang ketika mengurus KTP kepada kepling di daerahnya. Oknum kepling yang baru beberapa minggu terpilih tersebut memungut biaya pembuatan KTP Rp 35 ribu per lembar. Bahkan, kepling sebelumnya malah meminta biaya hingga Rp 250 ribu per lembar.

Bahkan salah seorang mahasiswa di daerah tempat Saya tinggal, juga pernah mengalami prosedur yang berbelit-belit ketika dia ingin mengurus KTP di kantor kelurahan. Oknum di kelurahan tersebut memang tak serta merta meminta sejumlah uang untuk "memperlicin" pengurusan KTP tersebut. Tetapi pembicaraan yang terjadi di antara mereka sudah jelas mengarah ke sana, "uang pelicin."

Padahal Pemko Medan sudah mengingatkan para aparatur negara yang melakukan pungutan liar (pungli) seperti ini akan ditindak tegas sesuai dengan peraturan. Karena untuk pengurusan KTP dan Kartu Keluarga (KK) sudah dibebaskan dari biaya apa pun. Oknum kepling, lurah atau pegawai yang menyalahi aturan bisa saja dicopot dari jabatannya. Namun meski begitu, pungli tetap saja terjadi dalam pengurusan KTP dan KK di Medan.

Kasus lain, soal lambannya kinerja pegawai pemerintahan dalam pengurusan KTP. Sehingga ada berkas pengurusan KTP yang bisa tertahan di kantor kecamatan hingga berbulan-bulan. Berbagai alasan biasanya dijadikan dalih oleh para oknum pegawai tersebut untuk lari dari kesalahan. Padahal, itu tak semestinya terjadi jika mereka bisa meningkatkan kinerja sebagai abdi negara yang harus melayani kebutuhan masyarakat.

Berbagai kasus yang sudah menjadi rahasia umum di tengah-tengah masyarakat yang ingin mengurus KTP, tentu saja mendatangkan kekecewaan bagi masyarakat. Karena tindakan seperti ini sudah memberatkan warga, dan bukan lagi mencerminkan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Makanya tak heran jika berkali-kali persoalan ini menjadi sorotan utama masyarakat dan media massa.

Era e-Government
Sudah saatnya pemerintah mulai menerapkan sistem teknologi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah harus bergerak menuju sebuah birokrasi digital di mana semua servis pemerintah berjalan secara online. Semua teknologi akan memungkinkan berjalannya servis ini, seperti yang telah bekerja pada perusahaan dengan e-bussiness-nya. Ini tidaklah mengejutkan karena teknologi internet bagi e-bussiness telah berkembang dengan baik. Teknologi ini hanya memerlukan sedikit adaptasi untuk penggunaan di sektor-sektor publik.

Menurut Hermawan Kartajaya dan Yuswohady dalam bukunya Attracting Tourists Traders Investors (2005) pada bagian e-government, internet akan meredefinisi praktik pengelolaan pemerintahan di mana pun di seluruh dunia. Ini terjadi karena internet akan memungkinkan pemerintah menemukan kembali (reinvent) cara mereka beroperasi seperti penyediaan layanan umum dan transaksi melalui internet. Internet memberikan saluran baru bagi pemerintah dalam berinteraksi dengan dunia bisnis dan masyarakat konstituennya.

Jika selama ini, hampir di setiap kantor pemerintah orang-orang antre untuk memperbarui KTP atau membayar pajak, namun prosedurnya bertele-tele dan lama sampai membuat mereka frustasi. Maka mulai sekarang, internet akan mengubahnya. Di Arizona, sejak tahun 1996, tidak ada lagi antrean seperti itu. Masyarakat di sana telah terhubungkan dengan internet dan memperbaharui registrasi mereka dalam 24 jam sehari, tujuh hari seminggu, dalam sebuah transaksi yang hanya memakan waktu rata-rata dua menit. Lebih lanjut, Service Arizona – proyek rintisan Negara Bagian Arizona untuk e-government – tidak membebani para pembayar pajak sama sekali dalam pendiriannya, dan jasa yang diberikan gratis.

Di Denpasar Bali, masyarakat tak perlu lagi repot-repot mengurus surat pengantar dari ketua rukun tetangga, rukun warga, dan kelurahan untuk memperpanjang masa berlaku KTP. Sebab, mereka tinggal mengisi formulir (template) perpanjangan KTP, meng-
attach foto diri sesuai ukuran KTP, dan meng-upload scan tanda tangan melalui akses ke situs pemerintah.

Inilah prosedur perpanjangan KTP secara online melalui internet yang mulai diberlakukan di Denpasar sejak tahun 2008. Paling lambat, dalam dua minggu, KTP akan dikirimkan langsung oleh pemerintah ke alamat pemohon. Dengan metode seperti ini, pemohon tidak perlu repot-repot menempuh prosedur birokrasi pengurusan KTP. Namun, sistem ini belum berlaku untuk pembuatan KTP, dimana masih digunakan cara manual.

Lain lagi di Batam. Pemko Batam baru saja meluncurkan situs layanan informasi pemeriksaan status KTP atau KK pada awal tahun ini. Layanan ini diberikan untuk memudahkan pengecekan status KTP atau KK secara online melalui internet, tanpa perlu datang langsung ke kecamatan. Dengan layanan ini, tidak akan ada lagi KTP menumpuk atau tidak selesai dalam waktu lama.

Tak hanya mengecek sampai di mana status pengurusan KTP atau KK, warga juga akan mendapat informasi berapa lama permohonan mereka diproses. Selain itu, layanan ini juga dapat digunakan untuk mengetahui kekurangan atau masalah dalam dokumen yang diajukan pemohon. Dengan sistem yang sudah tertata sedemikian rupa ini, situs diperintah untuk mempublikasi proses, sehingga tidak ada lagi kebohongan atau jawaban yang tidak pasti dan mengecewakan dari operator.

Dengan adanya layanan secara online melalui internet ini, tentu saja permasalahan dalam pengurusan KTP tidak akan ditemukan lagi. Jika selama ini, permasalahan kompleksitas yang luar biasa menjadi masalah utama saat seorang warga sedang berurusan dengan pemerintah. Hanya untuk menemui siapa orang yang tepat untuk tugas tertentu saja sudah sangat sulit. Ini terjadi karena departemen-departemen diorganisasi secara vertikal, sehingga banyak servis yang harus mereka berikan membutuhkan kolaborasi yang kompleks antara para karyawan lintas-departemen.

Kehadiran internet menawarkan solusi untuk permasalahan ini. Pemerintah dapat membangun portal internet yang dapat memberikan one-stop services bagi semua kebutuhan warga. Karena semua sendi kehidupan di zaman sekarang sudah terakomodasi pada medium teknologi koneksi sosial internet, dari yang substansial hingga remeh-temeh. Dan Tapscott telah menuturkan soal datangnya era konektivitas ini dalam Digital Grown Up (2009).

Kesiapan Pemerintah Kita
Selama ini, sebagian besar situs pemerintah hanya memberikan informasi tentang diri mereka sendiri bagi kepentingan warga dan para mitra bisnis. Tidak ada yang salah dengan servis seperti ini. Tetapi, karena warga memiliki ekspektasi yang lebih tinggi, cara ini tidak lagi mencukupi. Situs pemerintah tersebut harus bergerak menuju tingkat selanjutnya sebagai alat untuk komunikasi dua arah, memberikan servis-servis formal seperti memperbaharui KTP, dan akhirnya menyediakan sebuah portal yang mengintegrasikan cakupan yang komplet dari servis-servis pemerintah.

Saat ini, kebanyakan aktivitas
e-government di Indonesia masih berada pada tahap embrional (embryonic stage). Karena pemerintah masih belum membuat situs web-nya untuk memberikan pelayanan secara online. Masih sedikit daerah di Indonesia yang menerapkan aplikasi internet untuk pelayanan publik, seperti untuk pengurusan KTP (Hermawan Kartajaya, 2005).

Ketika kita akan menerapkan sistem e-government di negeri ini, fakta bahwa sumber daya manusia atau pemerintahan kita belum siap untuk menghadapi e-government, baik dalam hal yang bersifat teknis operasional maupun yang bersifat strategis-konseptual, akan muncul menjadi persoalan utama. Pengimplementasian e-government secara teknis bersifat kompleks dan tidak hanya membutuhkan visi, tetapi juga sebuah political will yang kuat. Fenomena umum adalah bahwa sektor publik kurang efisien dibanding sektor swasta ikut menjadi persoalan besar.

Selain itu, masalah kesenjangan jurang digital (digital divide) di tengah-tengah masyarakat kita juga akan menjadi hambatan yang cukup berarti dalam melaksanakan e-government. Banyak warga terutama di daerah-daerah di mana infrastruktur teknologi internet masih belum menyentuh kehidupan mereka, tentu saja tak mampu mengoperasionalkan perangkat teknologi tersebut. Maka
e-government juga tidak akan berjalan dengan lancar untuk membantu kinerja pemerintah dalam memberikan pelayanan terbaik dengan cepat kepada masyarakat.

Masalah digital divide sebuah sistem e-government jauh lebih sulit dalam konteks aplikasi secara nasional. Penerapan e-government secara meluas di kalangan warga akan terasa lambat karena sejumlah hambatan dalam aspek demografi, perilaku, budaya, fungsional, dan juga teknologi. Internet bahkan dapat menjadi penyebab jurang komunikasi yang semakin lebar di dalam masyarakat. Kesenjangan yang dapat merintangi laju perkembangan sosial dan ekonomi, serta meninggalkan wilayah-wilayah yang lebih miskin jauh di belakang. Pastinya, bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, revolusi internet adalah sebuah peluang dan juga sebuah ancaman.

Namun, ini tidak berarti bahwa proyek-proyek e-government tidak berguna. Hanya, proyek-proyek tersebut memerlukan waktu yang lebih lama untuk diimplementasikan, biaya yang lebih besar dan tidak memberikan hasil sebanyak yang direncanakan. Pastinya, kita harus menyiapkan diri untuk masuk kedalam era e-government, menuju sebuah masyarakat cyber. Dengan ini, keluhan-keluhan seperti pungli, keterlambatan dan blangko KTP habis, secara perlahan tapi pasti akan mulai tak terdengar lagi.


Dimuat di Harian Analisa (Selasa, 13 Oktober 2009)

Selasa, November 03, 2009

Setelah Batik, Lalu Ulos?

Oleh : Adela Eka Putra Marza


Batik kini sudah menjadi hak milik Indonesia. United Nations Educational, Scientific and Culture Organization (UNESCO), salah satu lembaga dari organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membawahi bidang pendidikan dan kebudayaan, akhirnya mengakui batik sebagai warisan karya asli bangsa Indonesia.


Pengakuan dan peresmian atas pengakuan batik Indonesia tersebut telah dilaksanakan 28 September lalu. Sedangkan penghargaan dan pemberian sertifikatnya sendiri diserahkan pada 2 Oktober 2009 di Abu Dhabi.


Batik diakui menjadi warisan budaya dunia (world heritage), sebagai salah satu warisan budaya tak benda kemanusiaan dari UNESCO (UNESCO representative list of intangible cultural heritage of humanity). Katagori ini merupakan satu dari tiga daftar yang dibuat di bawah Konvensi UNESCO 2003 mengenai Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda untuk Kemanusiaan. Indonesia sendiri telah menjadi negara pihak di dalam konvensi tersebut terhitung 15 Januari 2008, dengan meratifikasinya melalui PP Nomor 78 Tahun 2007.


Warisan budaya sendiri, menurut UNESCO terbagi atas katagori warisan budaya benda dan budaya tak benda. Budaya benda terdiri atas monumen, candi, pemandangan alam dan sebagainya. Sementara budaya tak benda atau populer disebut budaya hidup, terdiri atas budaya lisan, seperti cerita dan bahasa, seni pentas, tari, wayang, adat-istiadat kebudayaan masyarakat, kerajinan tradisional dan semua benda-benda yang terkait dengan alam tersebut.


Dari penilaian UNESCO, batik dianggap sebagai ikon budaya bangsa, sebuah karya adiluhung yang lahir dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Batik memiliki keunikan serta filosofi yang mendalam. Sebagai kain tradisional, batik kaya akan nilai budaya sebagai kerajinan tradisional yang diwarisi secara turun temurun sejak ribuan tahun lalu.


Upaya mengusulkan batik agar diakui sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO, melalui proses yang panjang dan rumit karena harus memenuhi persyaratan dari badan dunia tersebut. Syarat-syarat itu antara lain harus menyiapkan naskah akademik tentang batik, memiliki masyarakat pecinta batik dan pemerintah mendukung usulan tersebut.


Rumitnya, persyaratan seperti naskah akademik tentang batik serta dukungan dari pemerintah harus disiapkan dengan baik. Karena, pengusulan batik ini bukan berdasarkan motifnya, melainkan nilai estetikanya yang sampai saat ini masih dipegang teguh oleh sebagian masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa. Sejak tahun 2008, pemerintah telah melakukan penelitian lapangan dan melibatkan komunitas serta ahli batik di 19 provinsi di Indonesia untuk menominasikan batik.


Pernah Diklaim Malaysia

Jika UNESCO sudah menetapkan batik sebagai warisan budaya dunia, maka pemerintah dan masyarakat Indonesia-lah yang kemudian harus bertanggungjawab untuk menjaga pelestarian dan keaslian karya budaya tersebut. Tidak hanya sekadar mensyukuri dan mengagumi keindahannya, tapi juga melestarikan dan mengembangkannya sehingga batik akan tetap lestari dan dinikmati generasi mendatang. Namun, sebaliknya jika masyarakat tidak bertanggungjawab, maka UNESCO dapat mencabut ketetapan itu.


Sebelumnya, pada tahun 2007 negara tetangga Malayasia pernah mengklaim batik sebagai salah satu budaya mereka. Pemerintah Malaysia menggunakan batik dalam promosi pariwisatanya di dunia internasional. Namun dengan adanya pengakuan dari UNESCO ini, maka secara tidak langsung akan menepis dan mematahkan klaim yang dilakukan Malaysia terhadap batik Indonesia. Di sisi lain, pengakuan UNESCO akan menjadi pagar hukum terhadap pihak-pihak luar yang akan memanfaatkan batik untuk kepentingan ekonomis.


Bahkan sebelumnya, menurut Forum Kebudayaan Indonesia lebih dari 20 budaya Indonesia diduga telah “dicuri”, dipatenkan, diklaim, dan atau dieksploitasi secara komersial oleh Malaysia. Bahkan yang terakhir soal pengklaiman Tari Pendet Bali, hingga saat ini masih segar dalam ingatan kita. Malaysia menggunakan Tari Pendet dalam mempromosikan pariwisata mereka di salah satu jaringan televisi internasional. Tarian ini dijadikan sebagai salah satu penarik kunjungan pariwisata ke negeri Jiran itu. Belum lagi dengan kasus-kasus yang lain.


Ulos Tidak Jelas

Penetapan batik oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia akan melengkapi tujuh penetapan warisan dunia lain milik Indonesia. Ketujuh warisan dunia yang sudah ditetapkan UNESCO tersebut antara lain Komodo, Hutan Tropis, Situs Purbakala Sangiran, Candi Borobudur dan Prambanan, Keris dan Wayang. Ke depannya, pemerintah akan tetap berusaha mengajukan usulan karya monumental milik bangsa Indonesia lainnya sehingga diakui dunia, salah satunya adalah angklung.


Dari Sumatera Utara sendiri, sebenarnya kita juga memiliki salah satu warisan budaya, yaitu ulos. Sebagai kain tenunnya orang Batak, ulos mempunyai nilai filosofis dan menjadi cerminan karakter orang Batak. Sama seperti batik, kain ulos juga sudah banyak dikenal orang sebagai warisan budaya Batak. Namun yang menjadi masalah sekarang, tak banyak masyarakat kita yang menjaga kelestariannya. Bahkan, ulos sudah mulai jarang dipakai orang Batak sendiri.


Bahkan menurut informasi dari sebuah blog pada pertengahan 2008 lalu, http://lidyanata.blogspot.com/2008/05/sejak-kapan-orang-malaysia-pake-ulos.html (pernah juga dimuat di blog www.tanobatak.wordpress.com), kain ulos tersebut juga pernah diklaim Malaysia, sama seperti kasus pengklaiman terhadap batik. Kain ulos digunakan oleh Malaysia untuk mewakili kebudayan negeri-negeri bagian Malaysia dalam sebuah acara di Kuala Lumpur.


Para perwakilan salah satu negeri bagian di Malaysia tersebut menampilkan sebuah tarian dengan pakaian dari kain ulos ragi hotang. Bahkan tarian yang ditampilkan pun mirip dengan tari tortor. Bedanya, mereka tidak melakukan gerakan ‘manyomba’ di depan dada. Namun mereka menarikan tangannya di samping paha kiri dan kanan dan kakinya seperti ‘manyerser’ (serser).


Dengan bangganya mereka menampilkan tarian itu sebagai budaya mereka. Bahkan ada undangan yang hadir dalam acara tersebut yang malah tahu kalau pakaian dan terian tersebut merupakan kebudayaan orang Batak.


Apakah kejadian pengklaiman terhadap batik akan terulang pada ulos kita? Hingga saat ini, belum jelas entah kapan ulos bisa diakui oleh UNESCO sebagai salah satu warisan budaya dunia seperti halnya batik. Lalu, apakah kita akan membiarkan begitu saja ulos diklaim oleh Malaysia sebagai bagian kebudayaan mereka?


Pada tanggal 2 Oktober lalu, seluruh masyarakat Indonesia beramai-ramai menggunakan batik, termasuk masyarakat Sumatera Utara. Presiden SBY sendiri mengajak seluruh rakyat di negeri ini untuk menggunakan batik pada hari itu. Bahkan kemudian Presiden menetapkan tanggal 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional. Lalu, kapan ulos akan seperti itu? Kapan kita dan seluruh rakyat Indonesia akan menggunakan ulos sebagai pakaian sehari-hari? Apakah harus menunggu dulu, hingga ulos diklaim lagi oleh Malaysia? Mungkin, kita masing-masing sudah punya jawabannya. Tidak perlu menunggu UNESCO untuk turun tangan.


* Dimuat di Harian Medan Bisnis (Senin, 26 Oktober 2009)

Kamis, Oktober 22, 2009

“Kerajaan Baru” Demokrasi Indonesia

Oleh : Adela Eka Putra Marza


Presiden dan Wakil Presiden Indonesia terpilih, Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono sudah resmi dilantik oleh Majelis Perwakilan Rakyat di Jakarta. Upacara pelantikan yang berlangsung sederhana tersebut cukup ramai dihadiri oleh para undangan, tidak hanya dari dalam negeri tetapi juga dihadiri oleh beberapa para pemimpin negara sahabat. Jusuf Kalla yang selama lima tahun terakhir mendampingi kerja-kerja SBY pun resmi menyandang gelar sebagai mantan Wakil Presiden Indonesia.


Kelengkapan kabinet pun sudah dibentuk. Para calon menteri yang akan mengisi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II sudah menjalani fit and proper test dalam tiga hari terakhir sebelum pelantikan SBY-Boediono. Melalui serangkaian tes interview dan tes kesehatan, para calon menteri itu ibarat sedang mengikuti audisi untuk terpilih sebagai menteri-menteri SBY. Sebanyak 34 orang calon menteri telah muncul namanya masing-masing sebelum SBY-Boediono dilantik - kecuali Kuntoro Mangkusubroto yang akan di-"audisi" setelah pelantikan SBY-Boediono.


Beberapa setelah pelantikan SBY-Boediono, para menteri ini dilantik langsung oleh Presiden SBY di Istana Negara. Mereka masing-masing akan mulai melaksanakan tugas-tugasanya sebagai "pembantu" SBY-Boediono hingga lima tahun ke depan. Mereka telah mendapatkan arahan sesuai pos masing-masing dalam tes interview sebelumnya. Kontrak kerja dan fakta integritas masing-masing menteri pun telah disepakati. Kesehatan fisik dan jiwa mereka juga telah diuji. Tak ada yang kurang lagi dengan para menteri tersebut. Mereka siap menjalankan tugas.


Namun terlepas dari itu semua, soal "audisi" calon menteri yang banyak dibilang pengamat terlalu show on, soal beberapa menteri yang tidak tepat dengan pos-posnya, hingga pelantikan SBY yang begitu meriah meskipun dihelat sederhana, masih ada satu persoalan yang mungkin terlupa oleh kita. Soal partai koalisi dan kepentingan mereka dalam koalisi bersama SBY dan Partai Demokrat tersebut. Hampir semua partai "kuda hitam" dalam Pemilu Presiden lalu menjadi koalisi Partai Demokrat. Belakangan, Partai Golkar di bawah kepemimpinan baru Aburizal Bakrie pun menelan ludah kembali dengan ikut berkoalisi bersama Partai Demokrat. Ada apa dengan ini semua?


Kabinet yang Kuat

Tidak ada yang mengira betapa besarnya kekuatan koalisi Partai Demokrat. Mulai dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan 19 partai politik lainnya berada dalam koalisi bersama Partai Demokrat. Apalagi ketika Partai Golkar pun kemudian ikut bergabung dalam koalisi tersebut.


Pastinya SBY tentu harus mempertimbangkan keinginan para pendukungnya dalam pilpres yang lalu, alias jatah partai koalisi tentu juga harus dipikirkannya. Parpol-parpol tersebut juga punya kepentingan politik masing-masing. Sehingga mereka meminta jatahnya untuk mengisi beberapa pos menteri dalam KIB II. Kewajiban SBY-lah untuk mengakomodir para tokoh dari parpol tersebut untuk masuk dalam kabinetnya, seperti yang telah disepakati dalam perjanjian koalisi sebelum pelaksanaan Pilpres.


Beberapa nama tokoh partai koalisi tersebut sudah dipanggil untuk audisi dan interview di Cikeas. Di antaranya adalah Tifatul Sembiring (Presiden PKS), Muhaimin Iskandar (PKB), Surya Dharma Ali (PPP), dan Patrialis Akbar (PAN) adalah beberapa nama dari partai koalisi. Fadel Muhammad dari Partai Golkar juga mendapat tempat. Masing-masing partai koalisi tersebut hampir mendapat jatah dua hingga empat pos menteri. Bahkan Partai Golkar yang terkahir kali bergabung menjelang pembentukan kabinet pun mendapat jatah tiga pos menteri.


Bersatunya partai koalisi tersebut dalam kabinet menteri SBY untuk periode lima tahun mendatang, mengisyaratkan pembentukan sebuah kabinet presidensial yang kuat. Bahkan bisa jadi SBY ingin membentuk kabinet yang super kuat, karena partai oposisi dibujuk untuk bergabung, dan yang sudah mulai mulai merapat. Jika ini terjadi, pemerintahan SBY pada periode keduanya ini benar-benar akan memiliki kekuasaan penuh dalam menjalankan kepentingan politiknya, setidaknya di tingkat eksekutif.


Partai Golkar yang sebelumnya merupakan pesaing Partai Demokrat dalam Pilpers, di mana dalam hal ini Partai Golkar adalah salah satu partai oposisi, jelas-jelas sudah bergabung dalam koalisi SBY. Hanya beberapa partai saja yang masih setia dan memegang prinsipnya sebagai parati oposisi. Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-Perjuangan) yang berkoalisi dengan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) sedikit pun tak termakan oleh bujuk rayuan partai Demokrat untuk ikut bergabung dalam kabinet SBY. Mega tetap bersikukuh dalam idealismenya sebagai partai oposisi yang akan mengawas penuh kinerja pemerintahan SBY nantinya. Begitu juga dengan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) yang awalnya adalah koalisi Partai Golkar dalam Pilpers lalu.


Kekuasaan Penuh

Jika koalisi besar ini terwujud, sebuah kabinet kabinet presidensial yang sangat kuat benar-benar akan menjadi nyata. Karena partai oposisi pun telah menjadi koalisi bagi partai pemenang Pemilu. Hampir semua partai besar dalam pilpres yang lalu, termasuk Partai Golkar telah bergabung bersama SBY. Mereka pastinya akan menguasai di tingkat eksekutif dalam menjalankan pemerintahan lima tahun ke depan.


Kekuasaan penuh ini tentu saja tidak menutup kemungkinan akan terjadi di tingkat legislatif. Para legislator di DPR dari partai koalisi bisa jadi juga akan memberikan dukungan yang besar bagi pemerintahan SBY. Bila manuver partai koalisi dalam KIB II tadi sukses, bersama partai-partai yang menjadi koalisinya pada pemilu legislatif lalu, setidaknya SBY akan menguasai hampir 90% suara di DPR. Dukungan penuh kepada kabinet seperti ini sama sekali belum pernah tercipta dalam era demokrasi di negeri ini.


Akan tetapi, bila keinginan itu tercapai, di sini pulalah akan muncul peluang terciptanya oligarki kekuasaan. Kalaupun ada oposisi, sangatlah tidak berarti karena suaranya di DPR amat kecil. Membangun kabinet presidensial yang kuat memang menjadi harapan dan impian. Namun, dukungan yang sangat kuat sampai meniadakan oposisi di parlemen, akan melahirkan pemerintahan yang otoriter. Jika ini terjadi, sudah pasti kekuasaan penuh dalam menjalankan pemerintahan akan berada di tangan SBY dan partai-partai koalisinya.


Kekuasaan seperti ini cenderung korup dalam makna pelaksanaan kekuasaan itu sendiri. Oleh karena itu, pengawasan terhadap kekuasaan perlu dan harus dilakukan. Dan, pengawasan itu sejatinya lahir dari oposisi yang juga kuat. Keberadaan koalisi yang kuat dan memegang kekuasaan yang diimbangi dengan oposisi yang juga kuat justru akan menyehatkan dan menguatkan proses demokrasi. Namun itu bisa saja tidak terjadi, karena peran oposisi semakin menghilang ditelah oleh kehadiran para partai koalisi tersebut.


Kekuasaan hanya menjadi milik segelintir orang, inilah oligarki kekuasaan yang bisa muncul dalam praktik koalisi yang dilakukan SBY. Siapa yang bisa menjamin jika kekuasaan penuh oleh segelintir orang tersebut tidak akan terjadi di tingkat eksekutif dan legislatif. Semuanya bisa terjadi, apalagi ketika para parpol anggota koalisi tersebut semakin memanfaatkannya untuk bisa menjadi penguasa utama. Tanpa disadari, oligarki kekuasaan tersebut telah tumbuh dalam demokrasi yang sejak awal menjadi cita-cita murni dalam pergerakan reformasi tahun 1998 dulu.


Jika ini terus terjadi dan kekuasaan tersebut semakin menguat, juga tidak tertutup kemungkinan akan muncul "kerajaan baru" dalam sejarah demokrasi di negeri ini yang masih berusia muda. Memang tidak ada orang yang bisa memastikan era pemerintahan Orde Baru akan kembali ke Indonesia. Tapi itu bisa saja terjadi melihat kekuatan Partai Demokrat yang semakin kuat dari tahun ke tahun. Saat ini memang masih karena juga didukung kuat oleh para partai koalisi. Tapi bisa jadi beberapa tahun ke depan, Partai Demokrat sudah yakin tak membutuhkan koalisi lagi.


Ini memang hanya sebatas dugaan dan prediksi awal setelah melihat hasil koalisi Partai Demokrat sejak terbentuknya DPR dan kabinet baru pemerintahan SBY untuk periode kedua ini. Tentu saja prediksi ini belum bisa dipastikan dan tidak ada jaminan akan pasti terjadi. Tapi yang jelas, kemungkinan itu ada. Lambat laun, pastinya sejarah akan mencatat, apakah demokrasi di Indonesia melahirkan kontradiksi yang parah dengan menciptakan oligarki kekuasaan, atau sebaliknya.


Kita tentu berharap itu tidak akan tumbuh "kerajaan" dalam demokrasi di negeri ini yang masih berusia belia, sembari tetap berharap para legislator di DPR tetap berpihak kepada rakyat dan setia memegang janji-janjinya. Memang rakyatlah yang memilih mereka. Tapi kita tetap saja tak punya kekuatan apa-apa, ketika para wali amanah tersebut telah berkeinginan melakukan apa yang mereka inginkan. Terlepas itu untuk kepentingan rakyat, atau malah untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya saja. Pastinya kita akan menunggu dan sejarah akan mencatat.


* Dimuat di Harian Global (Rabu, 21 Oktober 2009)