------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Kamis, Maret 18, 2010

Kejaksaan Indonesia: Saatnya Pembenahan Moral dan Mental

Oleh: Adela Eka Putra Marza

Salah satu bentuk kejahatan hukum yang paling fatal sehingga merugikan orang banyak adalah korupsi. Anehnya, korupsi malah tumbuh subur di negeri ini. Bahkan sudah begitu mengakar hingga menjelma menjadi gurita yang gigantis dalam struktur politik di Indonesia.

Dalam peta politik kita, banyak sekali zona-zona yang menjadi lahan tumbuh suburnya budaya korupsi. Di sini banyak dijumpai para mafia dan penjahat negara yang berkongkalikong, menyusun konspirasi jahat dan menciptakan kesepakatan-kesepakatan gelap untuk menilap uang negara.

Anda mungkin setuju, jika lembaga kejaksaan merupakan salah satu zona tersebut. Sebagai bagian dari aparat penegak hukum yang semestinya ikut memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya, yang terjadi malah konspirasi para jaksa dengan penjahat-penjahat negara. Lembaga kejaksaan malah menjadi salah satu wilayah basah bagi tumbuh suburnya korupsi dan manipulasi. Saya sendiri sepertinya tak perlu lagi menuliskan contoh kasusnya di sini, karena hampir setiap hari televisi menyajikan beragam cerita korupsi dan manipulasi yang melibatkan sejumlah orang dari lembaga yang satu ini.

Krisis Kredibilitas

Selama ini, kinerja kejaksaan memang di bawah harapan masyarakat. Banyak kasus-kasus hukum yang tidak terungkap ke permukaan. Kalaupun muncul pengaduan masyarakat, dilakukan aksi unjuk rasa oleh sebagian masyarakat, namun kasusnya tidak juga terungkap hingga sidang pengadilan.

Atur-mengatur pasal pun acapkali terdengar dan sering kali terjadi dalam beberapa kasus di kejaksaan. Ini citra buruk kejaksaan. Dan citra buruk ini malah semakin diperparah oleh ulah para jaksa nakal yang bermain-main dengan hukum, membantu para penjahat negara untuk lebih leluasa melakukan aksinya.

Ulah oknum yang menyimpang tersebut menjadi tamparan keras dan telah mencoreng citra kejaksaan. Lembaga yang aktif memerangi tindak pidana korupsi ini malah harus menelan pil pahit ketika salah satu jaksanya terlibat kasus suap dalam menangani kasus korupsi besar. Ulah oknum tersebut seolah-olah telah menghapus apa yang telah dilakukan kejaksaan selama ini.

Inilah masa di mana lembaga kejaksaan telah mengalami krisis kredibilitas. Dalam sejarah kejaksaan, ini merupakan lembaran paling hitam sekaligus ironi yang menyakitkan. Wujud kedewasaan dan kematangan dari umurnya yang hampir mencapai setengah abad, ternyata tidak mensyaratkan kejaksaan benar-benar telah sempurna secara mental dan psikologis. Citra kejaksaan yang sudah tercoreng dan semakin carut-marut.

Antara para jaksa dengan pihak pelanggar hukum malah terjalin sebuah relasi yang sedemikian "intim". Jauh berbeda dari yang seharusnya terjadi, di mana seharusnya para jaksa ini menghindari hubungan "akrab" dengan para penjahat yang akan mereka adili. Kesalahan ini akhirnya merubah pola hubungan di antara mereka.

Relasi yang terbangun dalam sebuah institusi seperti kejaksaan seharusnya relasi yang tersimbolkan antara "kucing" dengan "tikus", antara penangkap dan yang ditangkap. Seharusnya si kucing mencerminkan wajah garangnya yang menangkap si tikus. Tapi anehnya, yang terjadi malah sang kucing justru bersekutu dengan si tikus. Akhirnya semuanya menjadi tikus.

Ternyata banyak aparat kejaksaan yang terbukti korup dan tidak jujur. Kejaksaan kini justru berubah menjadi sarang mafia peradilan. Mereka dengan cara sembunyi-sembunyi melakukan suap menyuap dengan para "aktor" yang sedang tersandung masalah hukum. Kejaksaan yang seharusnya profesional sebagai garda depan keadilan, sekarang malah menjadi simbol budaya korup di negeri ini. 

Dan semuanya itu menjadi jelas setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beraksi. Setelah KPK aktif menangkapi para pelaku korupsi dari pusat hingga ke daerah-daerah, pihak kejaksaan mulai "mati kutu", karena sejumlah kasus yang mengendap di kejaksaan akhirnya terangkat oleh KPK.

Tentunya hal tersebut membuat citra kejaksaan semakin anjlok di mata hukum. Tak pelak, masyarakat pun sudah tak percaya lagi dengan kinerja kejaksaan. Tak ada yang bisa diharapkan lagi dari para aparat kejaksaan ini, begitulah pikiran masyarakat Indonesia saat ini.

Masalahnya adalah soal mentalitas para jaksa yang sudah bobrok. Mental mereka bukan lagi sebagai penegak hukum, tapi hanya mental-mental yang bisa dibeli dengan uang demi kebebasan dari hukum di negeri ini. Malah para jaksa yang membantu penjahat untuk merasa aman dalam aksinya melawan hukum.

Membangun Moral

Perubahan mendasar dalam kejaksaan terkait tertib moral menjadi poin utama dalam memperbaiki citra kejaksaan ke depannya. Pembenahan mentalitas aparat kejaksaan harus menjadi yang terpenting untuk diprogramkan, karena mereka merupakan ujung tombak dan garda depan bangsa ini dalam upaya menciptakan negara yang bebas dari korupsi.

Kehilangan citra, kehormatan, dan harga diri tidaklah cukup hanya disesali, tetapi harus diperbaiki secara berani oleh kejaksaan sendiri. Pimpinan kejaksaan harus bisa bersikap tidak akan segan-segan menindak pelanggaran yang dilakukan para aparatnya yang dapat menjatuhkan nama institusi. Jangan ada dalam penyelidikan saksi yang menjadi tersangka atau tersangka yang menjadi saksi.

Sistem reward and punishment di kejaksaan, sepertinya patut untuk dijalankan. Jika ini dapat diwujudkan dan berjalan lancar, bukan tidak mungkin banyak sekali jaksa nakal yang bakal terkena hukuman. Namun hal ini terpulang pada kemauan, kejujuran dan ketegasan puncak pimpinannya, yakni Jaksa Agung.

Hancurnya kinerja kejaksaan juga terkait erat dengan lemahnya sistem rekruitmen di lembaga ini. Para aparat yang diterima kurang berkualitas dan tidak mencerminkan "marwah" kejaksaan sebagai penegak hukum. Hal ini perlu direformasi agar ke depannya SDM kejaksaan dari pusat hingga daerah benar-benar menjadi aparat yang andal.

Mengembalikan moral kejaksaan serta dukungan masyarakat hanya dapat berhasil dengan menampilkan pejabat baru yang benar-benar dapat dipercaya serta memunculkan kejutan-kejutan spektakuler berupa prestasi kerja. Kejaksaan bisa mencontoh gebrakan yang dilakukan KPK, bukan malah menambah pekerjaan mereka dengan mendaftarkan kasus korupsi lainnya.

KPK yang semakin aktif menangkap para pejabat yang bermain-main atau menjual hukum, memberikan dampak positif bagi seluruh lembaga tinggi negara di pusat hingga daerah. Seharusnya, gebrakan KPK ini diikuti oleh lembaga penegak hukum lainnya, khususnya kejaksaan. Karena kewajiban mereka adalah menangkap "tikus-tikus berdasi" di lembaga-lembaga tinggi di negeri ini.

Yang namanya mafia peradilan harus dijadikan musuh bersama oleh aparat penegak hukum. Karena selama ini, mafia peradilan sudah merusak sistem peradilan di negeri kita, serta membuat bangsa ini menjadi rusak dan carut-marut akibat tangan-tangan kotor mereka. Jangan sampai para jaksa menambah daftar geng mafia peradilan ini.

Sudah selayaknyalah kejaksaan menunjukkan komitmennya untuk sungguh-sungguh melakukan perbaikan citra institusi sekaligus kinerja demi bangsa Indonesia, jika kita memang benar-benar menghendaki keadilan hukum menjadi realitas kehidupan di bumi nusantara ini. Sudah saatnya jajaran kejaksaan melakukan introspeksi diri, melihat kembali perjalanan sejarah dan kinerjanya selama ini.

Lakukan evaluasi yang benar-benar fair, sehingga diperoleh nilai sebenarnya. Kalau memang jelek, apa salahnya menerima dengan lapang dada sehingga dapat dilakukan perbaikan. Untuk apa memberi nilai yang tinggi, kalau kenyataannya kinerja kejaksaan di bawah harapan masyarakat. Jika dengan usaha ini tak memberikan hasil yang lebih baik juga, mungkin sudah tak pantas lagi Kejaksaan Agung Republik Indonesia menyandang gelar "agung."

* Dimuat di Harian Analisa (Rabu, 17 Maret 2010)

2 komentar:

  1. salam bang mirza.
    saya mau menantang abang untuk jadi pembicara untuk pembenahan moral dan mental sebagai mahasiswa di kampus saya.

    BalasHapus
  2. rekan saya Roma.
    terima kasih untuk tantangan. tapi kayaknya lebih banyak pakar yang lebih tepat untuk tampil sebagai pembicara seperti yang saudara/i harapkan.
    kalau boleh tahu, saudara/i mahasiswa di kampus mana?

    BalasHapus