------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Sabtu, November 07, 2009

Menuju e-Government: Pengurusan KTP via Internet

Oleh : Adela Eka Putra Marza

Permasalahan dalam pembuatan dan pembaharuan Kartu Tanda Penduduk (KTP) masih menjadi "pekerjaan rumah" bagi Pemerintah Kota (Pemko) Medan hingga saat ini, ketika usianya sudah berada pada angka 419 tahun.


Prosedurnya yang berbelit-belit, dan bahkan sering sekali harus berbuntut "uang pelicin" yang bersifat "paksaan" hingga ratusan ribu rupiah dalam pembuatan KTP, selalu dikeluhkan oleh masyarakat di penjuru Kota Medan.

Padahal Pemko Medan sejak pemerintahan Abdillah hingga kemudian digantikan oleh Afifuddin Lubis selaku pejabat sementara (Pjs) sudah memberlakukan gratis untuk pengurusan KTP, baik untuk pembuatan maupun pembaharuan. Namun yang terjadi di lapangan, masih saja ada oknum di kantor kecamatan, bahkan beberapa kepala lingkungan (kepling) yang memungut biaya dari masyarakat yang ingin mengurus KTP.

Salah satunya adalah seperti yang dialami oleh warga Jalan Pertahanan Medan yang melaporkan kejadian tersebut ke salah satu surat kabar lokal, Juli 2009 silam. Warga tersebut diharuskan untuk membayar sejumlah uang ketika mengurus KTP kepada kepling di daerahnya. Oknum kepling yang baru beberapa minggu terpilih tersebut memungut biaya pembuatan KTP Rp 35 ribu per lembar. Bahkan, kepling sebelumnya malah meminta biaya hingga Rp 250 ribu per lembar.

Bahkan salah seorang mahasiswa di daerah tempat Saya tinggal, juga pernah mengalami prosedur yang berbelit-belit ketika dia ingin mengurus KTP di kantor kelurahan. Oknum di kelurahan tersebut memang tak serta merta meminta sejumlah uang untuk "memperlicin" pengurusan KTP tersebut. Tetapi pembicaraan yang terjadi di antara mereka sudah jelas mengarah ke sana, "uang pelicin."

Padahal Pemko Medan sudah mengingatkan para aparatur negara yang melakukan pungutan liar (pungli) seperti ini akan ditindak tegas sesuai dengan peraturan. Karena untuk pengurusan KTP dan Kartu Keluarga (KK) sudah dibebaskan dari biaya apa pun. Oknum kepling, lurah atau pegawai yang menyalahi aturan bisa saja dicopot dari jabatannya. Namun meski begitu, pungli tetap saja terjadi dalam pengurusan KTP dan KK di Medan.

Kasus lain, soal lambannya kinerja pegawai pemerintahan dalam pengurusan KTP. Sehingga ada berkas pengurusan KTP yang bisa tertahan di kantor kecamatan hingga berbulan-bulan. Berbagai alasan biasanya dijadikan dalih oleh para oknum pegawai tersebut untuk lari dari kesalahan. Padahal, itu tak semestinya terjadi jika mereka bisa meningkatkan kinerja sebagai abdi negara yang harus melayani kebutuhan masyarakat.

Berbagai kasus yang sudah menjadi rahasia umum di tengah-tengah masyarakat yang ingin mengurus KTP, tentu saja mendatangkan kekecewaan bagi masyarakat. Karena tindakan seperti ini sudah memberatkan warga, dan bukan lagi mencerminkan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Makanya tak heran jika berkali-kali persoalan ini menjadi sorotan utama masyarakat dan media massa.

Era e-Government
Sudah saatnya pemerintah mulai menerapkan sistem teknologi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah harus bergerak menuju sebuah birokrasi digital di mana semua servis pemerintah berjalan secara online. Semua teknologi akan memungkinkan berjalannya servis ini, seperti yang telah bekerja pada perusahaan dengan e-bussiness-nya. Ini tidaklah mengejutkan karena teknologi internet bagi e-bussiness telah berkembang dengan baik. Teknologi ini hanya memerlukan sedikit adaptasi untuk penggunaan di sektor-sektor publik.

Menurut Hermawan Kartajaya dan Yuswohady dalam bukunya Attracting Tourists Traders Investors (2005) pada bagian e-government, internet akan meredefinisi praktik pengelolaan pemerintahan di mana pun di seluruh dunia. Ini terjadi karena internet akan memungkinkan pemerintah menemukan kembali (reinvent) cara mereka beroperasi seperti penyediaan layanan umum dan transaksi melalui internet. Internet memberikan saluran baru bagi pemerintah dalam berinteraksi dengan dunia bisnis dan masyarakat konstituennya.

Jika selama ini, hampir di setiap kantor pemerintah orang-orang antre untuk memperbarui KTP atau membayar pajak, namun prosedurnya bertele-tele dan lama sampai membuat mereka frustasi. Maka mulai sekarang, internet akan mengubahnya. Di Arizona, sejak tahun 1996, tidak ada lagi antrean seperti itu. Masyarakat di sana telah terhubungkan dengan internet dan memperbaharui registrasi mereka dalam 24 jam sehari, tujuh hari seminggu, dalam sebuah transaksi yang hanya memakan waktu rata-rata dua menit. Lebih lanjut, Service Arizona – proyek rintisan Negara Bagian Arizona untuk e-government – tidak membebani para pembayar pajak sama sekali dalam pendiriannya, dan jasa yang diberikan gratis.

Di Denpasar Bali, masyarakat tak perlu lagi repot-repot mengurus surat pengantar dari ketua rukun tetangga, rukun warga, dan kelurahan untuk memperpanjang masa berlaku KTP. Sebab, mereka tinggal mengisi formulir (template) perpanjangan KTP, meng-
attach foto diri sesuai ukuran KTP, dan meng-upload scan tanda tangan melalui akses ke situs pemerintah.

Inilah prosedur perpanjangan KTP secara online melalui internet yang mulai diberlakukan di Denpasar sejak tahun 2008. Paling lambat, dalam dua minggu, KTP akan dikirimkan langsung oleh pemerintah ke alamat pemohon. Dengan metode seperti ini, pemohon tidak perlu repot-repot menempuh prosedur birokrasi pengurusan KTP. Namun, sistem ini belum berlaku untuk pembuatan KTP, dimana masih digunakan cara manual.

Lain lagi di Batam. Pemko Batam baru saja meluncurkan situs layanan informasi pemeriksaan status KTP atau KK pada awal tahun ini. Layanan ini diberikan untuk memudahkan pengecekan status KTP atau KK secara online melalui internet, tanpa perlu datang langsung ke kecamatan. Dengan layanan ini, tidak akan ada lagi KTP menumpuk atau tidak selesai dalam waktu lama.

Tak hanya mengecek sampai di mana status pengurusan KTP atau KK, warga juga akan mendapat informasi berapa lama permohonan mereka diproses. Selain itu, layanan ini juga dapat digunakan untuk mengetahui kekurangan atau masalah dalam dokumen yang diajukan pemohon. Dengan sistem yang sudah tertata sedemikian rupa ini, situs diperintah untuk mempublikasi proses, sehingga tidak ada lagi kebohongan atau jawaban yang tidak pasti dan mengecewakan dari operator.

Dengan adanya layanan secara online melalui internet ini, tentu saja permasalahan dalam pengurusan KTP tidak akan ditemukan lagi. Jika selama ini, permasalahan kompleksitas yang luar biasa menjadi masalah utama saat seorang warga sedang berurusan dengan pemerintah. Hanya untuk menemui siapa orang yang tepat untuk tugas tertentu saja sudah sangat sulit. Ini terjadi karena departemen-departemen diorganisasi secara vertikal, sehingga banyak servis yang harus mereka berikan membutuhkan kolaborasi yang kompleks antara para karyawan lintas-departemen.

Kehadiran internet menawarkan solusi untuk permasalahan ini. Pemerintah dapat membangun portal internet yang dapat memberikan one-stop services bagi semua kebutuhan warga. Karena semua sendi kehidupan di zaman sekarang sudah terakomodasi pada medium teknologi koneksi sosial internet, dari yang substansial hingga remeh-temeh. Dan Tapscott telah menuturkan soal datangnya era konektivitas ini dalam Digital Grown Up (2009).

Kesiapan Pemerintah Kita
Selama ini, sebagian besar situs pemerintah hanya memberikan informasi tentang diri mereka sendiri bagi kepentingan warga dan para mitra bisnis. Tidak ada yang salah dengan servis seperti ini. Tetapi, karena warga memiliki ekspektasi yang lebih tinggi, cara ini tidak lagi mencukupi. Situs pemerintah tersebut harus bergerak menuju tingkat selanjutnya sebagai alat untuk komunikasi dua arah, memberikan servis-servis formal seperti memperbaharui KTP, dan akhirnya menyediakan sebuah portal yang mengintegrasikan cakupan yang komplet dari servis-servis pemerintah.

Saat ini, kebanyakan aktivitas
e-government di Indonesia masih berada pada tahap embrional (embryonic stage). Karena pemerintah masih belum membuat situs web-nya untuk memberikan pelayanan secara online. Masih sedikit daerah di Indonesia yang menerapkan aplikasi internet untuk pelayanan publik, seperti untuk pengurusan KTP (Hermawan Kartajaya, 2005).

Ketika kita akan menerapkan sistem e-government di negeri ini, fakta bahwa sumber daya manusia atau pemerintahan kita belum siap untuk menghadapi e-government, baik dalam hal yang bersifat teknis operasional maupun yang bersifat strategis-konseptual, akan muncul menjadi persoalan utama. Pengimplementasian e-government secara teknis bersifat kompleks dan tidak hanya membutuhkan visi, tetapi juga sebuah political will yang kuat. Fenomena umum adalah bahwa sektor publik kurang efisien dibanding sektor swasta ikut menjadi persoalan besar.

Selain itu, masalah kesenjangan jurang digital (digital divide) di tengah-tengah masyarakat kita juga akan menjadi hambatan yang cukup berarti dalam melaksanakan e-government. Banyak warga terutama di daerah-daerah di mana infrastruktur teknologi internet masih belum menyentuh kehidupan mereka, tentu saja tak mampu mengoperasionalkan perangkat teknologi tersebut. Maka
e-government juga tidak akan berjalan dengan lancar untuk membantu kinerja pemerintah dalam memberikan pelayanan terbaik dengan cepat kepada masyarakat.

Masalah digital divide sebuah sistem e-government jauh lebih sulit dalam konteks aplikasi secara nasional. Penerapan e-government secara meluas di kalangan warga akan terasa lambat karena sejumlah hambatan dalam aspek demografi, perilaku, budaya, fungsional, dan juga teknologi. Internet bahkan dapat menjadi penyebab jurang komunikasi yang semakin lebar di dalam masyarakat. Kesenjangan yang dapat merintangi laju perkembangan sosial dan ekonomi, serta meninggalkan wilayah-wilayah yang lebih miskin jauh di belakang. Pastinya, bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, revolusi internet adalah sebuah peluang dan juga sebuah ancaman.

Namun, ini tidak berarti bahwa proyek-proyek e-government tidak berguna. Hanya, proyek-proyek tersebut memerlukan waktu yang lebih lama untuk diimplementasikan, biaya yang lebih besar dan tidak memberikan hasil sebanyak yang direncanakan. Pastinya, kita harus menyiapkan diri untuk masuk kedalam era e-government, menuju sebuah masyarakat cyber. Dengan ini, keluhan-keluhan seperti pungli, keterlambatan dan blangko KTP habis, secara perlahan tapi pasti akan mulai tak terdengar lagi.


Dimuat di Harian Analisa (Selasa, 13 Oktober 2009)

Selasa, November 03, 2009

Setelah Batik, Lalu Ulos?

Oleh : Adela Eka Putra Marza


Batik kini sudah menjadi hak milik Indonesia. United Nations Educational, Scientific and Culture Organization (UNESCO), salah satu lembaga dari organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membawahi bidang pendidikan dan kebudayaan, akhirnya mengakui batik sebagai warisan karya asli bangsa Indonesia.


Pengakuan dan peresmian atas pengakuan batik Indonesia tersebut telah dilaksanakan 28 September lalu. Sedangkan penghargaan dan pemberian sertifikatnya sendiri diserahkan pada 2 Oktober 2009 di Abu Dhabi.


Batik diakui menjadi warisan budaya dunia (world heritage), sebagai salah satu warisan budaya tak benda kemanusiaan dari UNESCO (UNESCO representative list of intangible cultural heritage of humanity). Katagori ini merupakan satu dari tiga daftar yang dibuat di bawah Konvensi UNESCO 2003 mengenai Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda untuk Kemanusiaan. Indonesia sendiri telah menjadi negara pihak di dalam konvensi tersebut terhitung 15 Januari 2008, dengan meratifikasinya melalui PP Nomor 78 Tahun 2007.


Warisan budaya sendiri, menurut UNESCO terbagi atas katagori warisan budaya benda dan budaya tak benda. Budaya benda terdiri atas monumen, candi, pemandangan alam dan sebagainya. Sementara budaya tak benda atau populer disebut budaya hidup, terdiri atas budaya lisan, seperti cerita dan bahasa, seni pentas, tari, wayang, adat-istiadat kebudayaan masyarakat, kerajinan tradisional dan semua benda-benda yang terkait dengan alam tersebut.


Dari penilaian UNESCO, batik dianggap sebagai ikon budaya bangsa, sebuah karya adiluhung yang lahir dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Batik memiliki keunikan serta filosofi yang mendalam. Sebagai kain tradisional, batik kaya akan nilai budaya sebagai kerajinan tradisional yang diwarisi secara turun temurun sejak ribuan tahun lalu.


Upaya mengusulkan batik agar diakui sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO, melalui proses yang panjang dan rumit karena harus memenuhi persyaratan dari badan dunia tersebut. Syarat-syarat itu antara lain harus menyiapkan naskah akademik tentang batik, memiliki masyarakat pecinta batik dan pemerintah mendukung usulan tersebut.


Rumitnya, persyaratan seperti naskah akademik tentang batik serta dukungan dari pemerintah harus disiapkan dengan baik. Karena, pengusulan batik ini bukan berdasarkan motifnya, melainkan nilai estetikanya yang sampai saat ini masih dipegang teguh oleh sebagian masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa. Sejak tahun 2008, pemerintah telah melakukan penelitian lapangan dan melibatkan komunitas serta ahli batik di 19 provinsi di Indonesia untuk menominasikan batik.


Pernah Diklaim Malaysia

Jika UNESCO sudah menetapkan batik sebagai warisan budaya dunia, maka pemerintah dan masyarakat Indonesia-lah yang kemudian harus bertanggungjawab untuk menjaga pelestarian dan keaslian karya budaya tersebut. Tidak hanya sekadar mensyukuri dan mengagumi keindahannya, tapi juga melestarikan dan mengembangkannya sehingga batik akan tetap lestari dan dinikmati generasi mendatang. Namun, sebaliknya jika masyarakat tidak bertanggungjawab, maka UNESCO dapat mencabut ketetapan itu.


Sebelumnya, pada tahun 2007 negara tetangga Malayasia pernah mengklaim batik sebagai salah satu budaya mereka. Pemerintah Malaysia menggunakan batik dalam promosi pariwisatanya di dunia internasional. Namun dengan adanya pengakuan dari UNESCO ini, maka secara tidak langsung akan menepis dan mematahkan klaim yang dilakukan Malaysia terhadap batik Indonesia. Di sisi lain, pengakuan UNESCO akan menjadi pagar hukum terhadap pihak-pihak luar yang akan memanfaatkan batik untuk kepentingan ekonomis.


Bahkan sebelumnya, menurut Forum Kebudayaan Indonesia lebih dari 20 budaya Indonesia diduga telah “dicuri”, dipatenkan, diklaim, dan atau dieksploitasi secara komersial oleh Malaysia. Bahkan yang terakhir soal pengklaiman Tari Pendet Bali, hingga saat ini masih segar dalam ingatan kita. Malaysia menggunakan Tari Pendet dalam mempromosikan pariwisata mereka di salah satu jaringan televisi internasional. Tarian ini dijadikan sebagai salah satu penarik kunjungan pariwisata ke negeri Jiran itu. Belum lagi dengan kasus-kasus yang lain.


Ulos Tidak Jelas

Penetapan batik oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia akan melengkapi tujuh penetapan warisan dunia lain milik Indonesia. Ketujuh warisan dunia yang sudah ditetapkan UNESCO tersebut antara lain Komodo, Hutan Tropis, Situs Purbakala Sangiran, Candi Borobudur dan Prambanan, Keris dan Wayang. Ke depannya, pemerintah akan tetap berusaha mengajukan usulan karya monumental milik bangsa Indonesia lainnya sehingga diakui dunia, salah satunya adalah angklung.


Dari Sumatera Utara sendiri, sebenarnya kita juga memiliki salah satu warisan budaya, yaitu ulos. Sebagai kain tenunnya orang Batak, ulos mempunyai nilai filosofis dan menjadi cerminan karakter orang Batak. Sama seperti batik, kain ulos juga sudah banyak dikenal orang sebagai warisan budaya Batak. Namun yang menjadi masalah sekarang, tak banyak masyarakat kita yang menjaga kelestariannya. Bahkan, ulos sudah mulai jarang dipakai orang Batak sendiri.


Bahkan menurut informasi dari sebuah blog pada pertengahan 2008 lalu, http://lidyanata.blogspot.com/2008/05/sejak-kapan-orang-malaysia-pake-ulos.html (pernah juga dimuat di blog www.tanobatak.wordpress.com), kain ulos tersebut juga pernah diklaim Malaysia, sama seperti kasus pengklaiman terhadap batik. Kain ulos digunakan oleh Malaysia untuk mewakili kebudayan negeri-negeri bagian Malaysia dalam sebuah acara di Kuala Lumpur.


Para perwakilan salah satu negeri bagian di Malaysia tersebut menampilkan sebuah tarian dengan pakaian dari kain ulos ragi hotang. Bahkan tarian yang ditampilkan pun mirip dengan tari tortor. Bedanya, mereka tidak melakukan gerakan ‘manyomba’ di depan dada. Namun mereka menarikan tangannya di samping paha kiri dan kanan dan kakinya seperti ‘manyerser’ (serser).


Dengan bangganya mereka menampilkan tarian itu sebagai budaya mereka. Bahkan ada undangan yang hadir dalam acara tersebut yang malah tahu kalau pakaian dan terian tersebut merupakan kebudayaan orang Batak.


Apakah kejadian pengklaiman terhadap batik akan terulang pada ulos kita? Hingga saat ini, belum jelas entah kapan ulos bisa diakui oleh UNESCO sebagai salah satu warisan budaya dunia seperti halnya batik. Lalu, apakah kita akan membiarkan begitu saja ulos diklaim oleh Malaysia sebagai bagian kebudayaan mereka?


Pada tanggal 2 Oktober lalu, seluruh masyarakat Indonesia beramai-ramai menggunakan batik, termasuk masyarakat Sumatera Utara. Presiden SBY sendiri mengajak seluruh rakyat di negeri ini untuk menggunakan batik pada hari itu. Bahkan kemudian Presiden menetapkan tanggal 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional. Lalu, kapan ulos akan seperti itu? Kapan kita dan seluruh rakyat Indonesia akan menggunakan ulos sebagai pakaian sehari-hari? Apakah harus menunggu dulu, hingga ulos diklaim lagi oleh Malaysia? Mungkin, kita masing-masing sudah punya jawabannya. Tidak perlu menunggu UNESCO untuk turun tangan.


* Dimuat di Harian Medan Bisnis (Senin, 26 Oktober 2009)