------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Sabtu, Agustus 22, 2009

Komunikasi dengan Senyum

Oleh : Adela Eka Putra Marza

Saya bahkan tak kenal sama sekali dengan bapak tua itu, ketika dia mengajak saya bicara. Tentang suatu hal, yang mungkin selama ini dianggap sepele. Saya baru menyadarinya malam itu. Hanya dari pertemuan yang tak sampai lima menit, saya bisa tersenyum ketika meninggalkannya.


Bapak tua itu menahan langkah saya ketika akan beranjak meninggalkan sebuah warung kecil. "Kita ngobrol dulu sebentarlah." Saya menangkap sebentuk lukisan cahaya di wajahnya, rasa inginnya untuk menceritakan sebuah pengalaman. Dan sepertinya dia begitu antusias ingin membaginya pada saya.

Dari awal saya memang sudah menangkap kelenturan hatinya. Dia berusaha beradaptasi secepat mungkin dengan saya melalui sebuah lelucon – yang sebenarnya tak ada yang istimewanya.

Ucapan kekagumannya dengan jurusan saya di perkuliahan, jurusan Ilmu Komunikasi, memulai dialog yang berujung dengan sebuah senyum itu. Dan dia pun mengajukan sebuah pertanyaan. "Kamu tahu alat komunikasi apa yang paling canggih di dunia?" tanyanya pada saya. "Handphone," jawab saya. "Bukan." "Televisi." "Juga bukan." "Mulut," saya kehilangan jawaban. “Sedikit lagi.” Saya mulai mati kutu.

"Bahasa," saya memberikan jawaban lagi. "Bahasa belum tentu dimengerti semua orang," dia memancing saya lagi. "Kalau kamu bicara pakai bahasa Inggris, saya belum tentu mengerti kan?" Benar juga, saya pikir dalam hati. Jadi, apa alat komunikasi yang tercanggih di dunia itu?

"Senyum. Itulah alat komunikasi yang paling canggih di dunia," ujarnya kemudian menjawab sekian tanda tanya besar di benak saya. Senyum? Dan saya pun tertawa dengan jawaban singkatnya itu. Ya, saya tertawa dengan jawabannya. Karena saya pun sempat tersenyum ketika mendapati bapak tua itu di sana.

Sebegitu jauh saya membayangkan sebuah perangkat komunikasi paling canggih di jagad raya ini, hingga saya melupakan makna sebuah senyum yang bapak itu berikan kepada saya, dari awal bicara tadi. Akibat terlalu banyak dicecoki dengan kecanggihan PDA, 3G, komputer, internet, dan teknologi komunikasi lainnya, saya sampai lupa bahwa senyum adalah alat komunikasi tercanggih di dunia.

Senyum adalah alat komunikasi yang semua orang bisa menggunakannya dan semua orang bisa mengerti. Dengan senyum, semua orang bisa merasakan kebahagiaan yang kita rasakan. Dengan senyum, semua orang bisa mengerti bahwa dia setuju dengan keputusan kita. Dengan senyum, mungkin Anda akan bisa melupakan masalah Anda dengan orang yang Anda cintai. Yah, dengan senyum, semua hal bisa disampaikan dan dimengerti.

Dan saya pun tersenyum, telah dikelabui oleh kata "canggih". Saya berpikir terlalu jauh untuk hanya mencari gambaran alat komunikasi tercanggih di dunia. Sedangkan, setiap hari entah berapa kali saya mengumbar dan menatap sebuah senyum. Dan saya dibutakan oleh kata "canggih" itu, sehingga terlupakan akan senyum yang bahkan bisa menyampaikan isi hati seseorang walaupun tak bisa diungkapkannya dengan kata-kata. "Berbahagialah kamu, maka orang lain juga akan berbahagia. Namun jika kamu bersedih, maka hanya kamu sendirilah yang akan bersedih," dia kembali bergumam, menutup kuliahnya tentang alat komunikasi tercanggih di dunia malam itu. Dan senyum itu pula yang kemudian saya berikan kepadanya, setelah pertemuan yang tak menghabiskan waktu lima menit itu.

Medan, 7 Januari 2009 (22.23 WIB)

* Dimuat di Harian Medan Bisnis (Minggu, 15 Maret 2009)

Caleg Wong Cilik Menjawab Kejenuhan Rakyat

Menjelang Pemilu Caleg 2009

Oleh : Adela Eka Putra Marza

Pemilihan Umum Calon Legislatif (Pemilu Caleg) 2009 sudah tinggal menunggu waktu. Pada tanggal 9 April nanti kita akan menggunakan hak suara kita untuk memilih para wakil rakyat yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) nantinya, baik di pusat maupun di daerah. Saatnya kita memilih partai politik, caleg untuk DPR-RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kota/Kabupaten, serta anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).


Ribuan nama terdaftar sebagai caleg, baik untuk pusat maupun di daerah. Berasal dari berbagai latar belakang; politisi, keluarga politisi, aktivis, militer, pegawai negeri, pengusaha, bahkan sampai dari kalangan selebriti. Namun yang cukup menarik dan menjadi perhatian bagi kita adalah caleg dari kalangan wong cilik alias rakyat biasa. Jangan salah, ada caleg yang merupakan petani, loper koran, penjual sate, bahkan ada yang merupakan tukang becak dan pengamen.

Seperti di Kabupaten Tasikmalaya. Sekitar 400 caleg yang akan memperebutkan 50 kursi DPRD Kabupaten Tasikmalaya dalam Pemilu 2009 nanti yang tersebar di tujuh daerah pemilihan, sekitar 30 orang di antaranya adalah petani. Mereka ini benar-benar memiliki lahan pertanian dan ikut menggarap sendiri lahannya, di samping memiliki buruh tani penggarap.

Di Bekasi juga ada caleg yang merupakan petani. H B Anton yang lebih dikenal dengan sebutan H Anton di kalangan masyarakat petani, merupakan salah satu caleg dari petani di antara sekitar 800 caleg yang memperebutkan kursi DPRD Kabupaten Bekasi. Caleg nomor urut 1 dari Partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya) ini akan bertarung di Daerah Pemilihan (Dapil) VI Bekasi, yaitu Kecamatan Cikarang Utara, Cikarang Timur dan Karang Bahagia.

Salah satu petani di Polewali Mandar, Sulawesi Barat, Muhamad Yasin juga mencalonkan dirinya sebagai caleg. Dengan keterbatasan modal, persawahan dan teman-temannya menjadi sasaran sosialisasi dan kampanye.

Dari kalangan loper koran, ada nama Suharno yang maju sebagai caleg DPRD Klaten dari Dapil II Klaten meliputi Kecamatan Gantiwarno, Prambanan, Manisrenggo, Kemalang, Karangnongko dan Kebonarum. Suharno merupakan loper koran atau suratkabar yang terbit mingguan di Klaten. Sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Pemuda Indonesia (PPI) Klaten, ia maju sebagai caleg dari partai tersebut.

Selain itu, ada juga Sri Haryanto, loper koran yang menjadi caleg dari Partai Merdeka nomor urut satu untuk Dapil IV Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Laki-laki lulusan salah satu perguruan tinggi negeri di Purwokerto ini sudah menjadi loper koran selama sepuluh tahun.

Sriati, caleg DPRD Kendal, Jawa Tengah adalah perempuan penjual sate. Ia memanfaatkan profesinya untuk kampanye, dengan mempromosikan dirinya kepada para pelanggan satenya dan memasang stiker wajahnya di gerobak sate.

Juga di Banyumas, bahkan ada pengayuh becak di sekitar pertigaan Ajibarang yang mencalonkan diri sebagai caleg DPRD Banyumas. Tukang becak tersebut adalah Karseno, yang diusung oleh Partai Matahari Bangsa. Dengan modal yang terbatas, Karseno hanya mampu mengampanyekan diri lewat stiker yang dibagikan kepada setiap penumpangnya.

Masih di Jawa Tengah, tepatnya di Wonosobo, seorang seniman jalanan alias pengamen tak ketinggalan ikut berkiprah menjadi caleg DPRD setempat. Salah satunya Sunaryo. Dari pintu ke pintu, Sunaryo memainkan gitarnya yang dibeli dengan kredit, dan kemudian mempromosikan diri kepada warga perihal pencalonannya.

Yang paling fenomenal, mungkin adalah Herdy Aswaudi atau dikenal Edi Bonetsky. Pengamen yang biasanya mencari uang di warung-warung kali lima sekitar Tangerang ini mencalonkan dirinya sebagai caleg DPR-RI. Ia tampil dengan nomor urut lima dari Partai Bulan Bintang untuk Dapil Banten.

Tentu masih banyak lagi rakyat-rakyat biasa yang mungkin selama ini menjadi kalangan minoritas dalam hal kekuasaan dan politik, saat ini muncul menyuarakan aspirasi mereka dan kalangannya dengan maju sebagai caleg. Sebuah fenomena baru sejak kran demokrasi di negeri ini dibuka lebar, termasuk dalam pencalonan caleg. Majunya orang-orang dari kalangan bawah ke panggung politik menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia sudah membuka kesempatan yang selebar-lebarnya bagi setiap warga negara.

Rakyat Sudah Jenuh
Kehadiran orang-orang "kecil" di bursa caleg bisa jadi merupakan indikasi kejenuhan rakyat terhadap para politikus yang selama ini mengaku jadi wakil rakyat. Masyarakat yang tidak tahu apa-apa ini selalu dimanfaatkan para politikus untuk mendulang suara. Di masa kampanye, janji-janji muluk ditebar oleh para caleg demi mendapatkan perhatian dari masyarakat. Tapi setelah kemudian terpilih, tidak ada realisasi dari janji-janji tersebut.

Maka tak heran, jika menjelang Pemilu 2009 ini banyak muncul caleg yang notabene tak punya apa-apa dan tak identik dengan politik. Banyak rakyat biasa yang mencalonkan dirinya sebagai caleg dengan misi untuk langsung menyampaikan aspirasi dari kalangannya yang selama ini sama sekali tidak difasilitasi oleh wakil-wakil mereka, walaupun sebelumnya pada masa kampanye sudah dijanjikan dengan kata-kata serius. Sudah hal yang lumrah jika titipan aspirasi dari rakyat kepada para caleg tidak pernah terwujud.

Selain itu, akan sangat besar kemungkinannya rakyat memilih caleg dari kalangan bawah ini, karena masyarakat sudah jenuh dengan caleg-caleg umumnya yang lebih banyak mengobral janji. Masyarakat sekarang sudah pintar dan tidak mudah lagi dibohongi dengan janji-janji muluk yang sama sekali tak ada efeknya nanti bagi mereka. Yang terjadi malah sering menambah kesengsaraan bagi masyarakat selama lima tahun ke depan.

Rakyat saat ini tidak dapat dibodohi ataupun terprovokasi oleh janji-janji para caleg lagi. Sehingga lebih cenderung apa adanya, bahwa sebuah keinginan dari anak rakyat untuk menjadi wakil rakyat, tentu tujuannya berjuang untuk rakyat. Bisa jadi rakyat akan lebih memilih mereka dibanding caleg-caleg lain pada umumnya.

Ingat, Soal Kualitas
Tidak tertutup kemungkinan, orang kecil yang maju sebagai caleg dalam pemilu tahun ini akan mendapat kursi di DPR maupun DPRD. Pertimbangannya, hal ini terkait dengan popularitas sang calon di kalangan mereka, karena caleg tersebut dekat dengan rakyat serta adanya intensitas pertemuan yang cukup tinggi di antara mereka.

Sudah seharusnya memang para wakil rakyat dekat dengan konstituen. Sehingga akan lebih mudah menampung dan memahami aspirasi dari masyarakat. Jangan hanya memanfaatkannya saja, ingat rakyat ketika butuh suara saja. Selain memang, soal popularitas dan kedekatan ini juga tak ada korelasinya dengan kinerja yang akan dituntut sebagai caleg.

Namun begitu, ada hal lain yang juga harus kita ingat sebagai pemilih nantinya, dan juga bagi para caleg yang berasal dari kalangan yang tidak punya apa-apa ini. Soal kualitas adalah catatan paling penting. Pengetahuan secara umum, terutama dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pemerintahan menjadi hal utama yang harus dimiliki oleh para caleg. Begitu juga dengan caleg wong cilik ini.

Catatan penting ini benar-benar harus diperhatikan oleh para caleg rakyat biasa ini, karena memang pada umumnya mereka berasal dari pendidikan setingkat SMA. Meski tidak juga bisa disebut caleg dari golongan ini berpendidikan rendah. Pasalnya, tidak sedikit juga dari mereka yang justru berpendidikan sarjana.

Selain itu, juga banyak di antara mereka yang memang aktif berorganisasi, baik dalam organisasi partai atau organisasi lainnya. Pengalaman berorganisasi ini secara tidak langsung akan memberikan bekal yang cukup bagi mereka untuk menjadi anggota DPRD yang terhormat. Pengalaman ini nantinya juga akan ditambah dengan pembekalan dari parpol yang mengusungnya, terkait bagaimana berpartai dan bagaimana berkiprah sebagai anggota legislatif.

Jika poin ini sama sekali tak diindahkan, bisa saja yang terjadi mereka malah dimanfaatkan oleh caleg-caleg lain yang sudah mapan dan mendominasi di parlemen nantinya. Mereka akan terlalu mudah tertipu oleh trik-trik politisi yang lebih licik dan pintar. Karena yang berpotensi menjadi lawan politik mereka bukan hanya berasal dari partai lain saja, tetapi bisa jadi juga atasan mereka sendiri atau pimpinan parpolnya, yang mungkin hanya bertujuan memperalat mereka untuk menjaring suara. Bisa saja kan?!

Mungkin kita lihat saja apa yang akan terjadi nanti, ketika para caleg wong cilik ini terpilih menjadi wakil rakyat. Kita akan memantau bersama kinerja mereka. Yang jelas, soal kualitas ini tetap jadi catatan penting yang harus kita perhatikan bersama. Dan yang paling penting lagi adalah kepedulian dan usaha mereka nanti untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jangan sampai masyarakat kehilangan kepercayaan lagi. Jika itu terjadi, pada siapa lagi kita akan menitipkannya?

* Dimuat di Harian Global (Rabu, 8 April 2009)

Jumat, Agustus 21, 2009

Mengkaji Rencana Pembentukan Bank UMKM

Oleh: Adela Eka Putra Marza

Sebuah bank yang khusus melayani sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), sedang dipersiapkan pemerintah. Berdasarkan konsepnya, unit perbankan khusus UMKM diharapkan bisa memperluas akses penyaluran kredit untuk sektor ini dalam memperkuat permodalan yang selalu menjadi masalah pelik. Apakah ini sebuah bentuk tanggapan riil atas sikap bank komersial saat ini yang selalu ogah-ogahan meladeni pengusaha kecil?

Gagasan membentuk bank UMKM sebelumnya pernah dikemukakan dalam rapat kabinet yang dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Kantor Kementerian Negara Urusan Koperasi dan UKM (Kemennegkop dan UKM) pada awal Maret 2008. Kemudian, rencana ini semakin diperkuat oleh Kemennegkop dan UKM dengan terus menggodok dan mengkaji konsep Bank UMKM bekerjasama dengan berbagai lembaga dan departemen terkait, termasuk Bank Indonesia (BI).

Secara mendasar, pemahaman bank UMKM tentu saja akan berbeda dengan pemahaman tentang bank pada umumnya. Prinsipnya, bank ini khusus menyalurkan kredit kepada para pengusaha skala mikro, kecil dan menengah, dengan cara yang berbeda untuk memudahkan masyarakat pengusaha kecil. Kalau perbankan pada umumnya pakai agunan, maka bank UMKM tidak perlu pakai agunan; yang menjadi agunan itu adalah usahanya sendiri.

Tonggak Dasar Pemikiran
Potensi pertumbuhan sektor UMKM di Indonesia memang sangat luar biasa besar. Saat ini saja, sekitar 99,99% pengusaha Indonesia bergerak di sektor tersebut. Karena itu, Kemennegkop dan UKM merasa perlu untuk mempertimbangkan pembentukan bank yang secara khusus fokus pada sektor ini. Bank UMKM yang dikonsep dapat diakses langsung oleh masyarakat, dinilai penting bagi pengusaha mikro, kecil, dan menengah melihat kondisi saat ini, di mana para pengusaha tersebut sulit mendapatkan pinjaman kredit dari bank.

Selama ini, kebijakan, dukungan dan fasilitas permodalan bagi UMKM memang masih berjalan setengah hati. Padahal seharusnya, program-program pendanaan bagi UMKM dan koperasi tidak boleh mengalami hambatan. Apalagi karena kondisi ketatnya likuiditas perbankan dewasa ini. Hambatan teknis penyaluran kredit yang sekarang terjadi sangat berpotensi mengganggu pertumbuhan UMKM.

Pemerintah melalui Kemennegkop dan UKM, sebenarnya telah mengucurkan dana bergulir untuk penguatan modal UMKM yang disalurkan melalui koperasi. Pada tahun 2008, dana bergulir yang dikucurkan sebesar Rp 403 miliar. Selain itu, ada juga kredit usaha rakyat (KUR). Sejak diluncurkan awal November 2007, jumlah penyerapan KUR mencapai Rp 10,141 triliun dengan jumlah nasabah 1,2 juta orang. Rata-rata kreditnya sebesar Rp 8,4 juta per nasabah.

Namun, implementasi KUR di lapangan menimbulkan perdebatan, terutama soal penjaminan. Masyarakat menganggap untuk mendapatkan KUR tidak perlu jaminan, tetapi masih ada bank penyalur KUR yang meminta jaminan. Perbedaan pemahaman ini tentu saja membuat penyaluran KUR tersendat, sehingga kredit yang disalurkan pemerintah belum efektif mengembangkan sektor UMKM.

Karena itu, untuk meningkatkan pelayanan kredit bagi UMKM, pemerintah merasa perlu membentuk perbankan khusus UMKM. Bank ini yang nantinya akan membantu penyaluran kredit pemerintah yang lebih luas, serta akses langsung bagi pengusaha UMKM hingga daerah terpencil.

Selain itu, kehadiran Bank UMKM dapat menggerakkan sektor riil yang layak bank (bankable), di mana bank ini nantinya akan menjadi lembaga otoritas pengembangan UMKM yang sinergis, sehingga seluruh program di pusat dan daerah tidak berjalan sendiri-sendiri.

Jika dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia, UMKM di negeri jiran itu sudah mendapatkan layanan fasilitas pembiayaan melalui bank khusus UMKM yang berada di bawah Kementrian Pembangunan Usahawan dan Koperasi. Selain itu, pembiayaan UMKM juga diikuti dengan pembinaan kewirausahaan, agar benar-benar menghasilkan usahawan yang berkualitas.

Hingga saat ini, pemerintah dalam hal ini Kemennegkop dan UKM, masih menggodok konsep Bank UMKM. Kementerian sudah mengkaji pembentukan bank ini didampingi Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) BI, serta terus membahas regulasinya. Dari pengkajian ini, akan ditemukan jawaban berdasarkan aspek-aspek yang diperlukan dalam mendirikan sebuah bank, seperti aspek perundang-undangan dan permodalan, untuk pertanyaan apakah Bank UMKM layak didirikan.

Bukan Hal yang Mudah
Namun begitu, rencana besar pemerintah ini tentu saja tak luput dari hambatan. Mendirikan sebuah bank bukanlah suatu hal yang mudah, apalagi fungsi bank ini berbeda dengan bank pada umumnya. Masih banyak hal yang perlu dipertimbangkan dalam membentuk bank UMKM. Di antaranya menyangkut masalah permodalan, regulasi, penjaminan dan ahli yang dapat mengawasi operasional bank tersebut.

Rencana tersebut sangat sulit untuk direalisasikan, baik dari sisi substansi maupun dari sisi kemampuan pemerintah untuk memberikan permodalannya. Untuk pembentukan sebuah bank saja diperlukan modal awal setor sebesar Rp 3 triliun. Jumlah ini memang tidak harus dibayar langsung, tetapi tetap saja merupakan sebuah angka yang besar.

Meskipun begitu, pemerintah tetap optimis dengan rencana ini. Menurut Menteri Negara Urusan Koperasi dan UKM Suryadharma Ali, Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) yang disiapkan sebagai cikal bakal Bank UMKM telah memiliki dana yang tersedia sebesar Rp 403 miliar. Jadi nanti akan diharapkan ada share dari departemen lain sehingga angka Rp 3 triliun dapat tercapai, dengan target Rp 1,5 triliun pada tahun pertama. Namun, tetap saja peluangnya sangat kecil untuk bank ini dapat berdiri dalam waktu 2-3 tahun ke depan.

Masalah penjaminannya juga perlu diperhatikan. Karena selama ini, masalah jaminanlah yang sering kali menyebabkan perbedaan pemahaman antara bank penyalur KUR dengan pengusaha UMKM, sehingga penyaluran KUR menjadi tersendat. Jika masalah penjaminan ini dialihkan kepada PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) dan Perum Sarana Pengembangan Usaha (SPU) sebagai penjamin, maka akan menambah beban kedua perusahaan penjamin tersebut.

Dengan arsitektur regulasi perbankan yang sudah baku, kebijakan membuat bank baru juga tidak produktif. pembentukan bank UMKM ini tentu saja nantinya akan memerlukan payung hukum yang baru. Akan cukup rumit sekali, jika harus membuat regulasi baru dan menyesuaikan lagi dengan regulasi yang lama untuk pembentukan bank UMKM ini.

Namun, terlepas dari beberapa pertimbangan di atas, BI sendiri mengaku tidak akan menghalangi pembentukan Bank UMKM tersebut. Karena risiko-risiko perbankan yang akan terjadi nantinya ke depan, sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah, tidak akan melibatkan bank-bank lainnya. Namun begitu, pemerintah tetap perlu memperhatikan aspek-aspek perbankan tersebut di atas.

Solusi untuk Bank UMKM
Seperti yang telah dijelaskan di atas, saat ini pemerintah dinilai belum perlu mendirikan bank khusus yang berfokus pada pembiayaan UMKM. Karena masih ada pertimbangan-pertimbangan yang mungkin bisa menjadi solusi untuk pemecahan masalah pembiayaan dan penyaluran kredit serta permodalan bagi UMKM.

Salah satu hal yang mungkin bisa dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi permasalahan pelik tersebut adalah, dengan cara mengoptimalkan lembaga keuangan lainnya yang sudah ada. Ini bisa diterapkan pada beberapa lembaga keuangan seperti PNM, Askrindo atau Bahana, dan lembaga nonbank lainnya. Lembaga ini bisa dioptimalkan untuk memberikan kredit kepada sektor UMKM.

Koperasi yang ikut berperan dalam pembiayaan UMKM juga bisa diikutsertakan dalam usaha pengoptimalan lembaga keuangan ini. Cara ini juga sebagai jawaban bahwasanya perbankan saat ini belum sepenuhnya dapat menjangkau permasalahan pembiayaan sektor UMKM.

Kalaupun pendirian bank UMKM tetap harus dipaksakan untuk dipenuhi, sebaiknya hanyalah berupa pemisahan salah satu cabang perbankan. Misalnya, cabang Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang khusus melayani sektor UMKM. Jadi bukan dengan mendirikan bank baru yang khusus dalam pelayanan sektor ini. Selain bisa menanggulangi masalah permodalan yang sangat besar, cara ini juga dapat menghindari penyusunan regulasi baru yang malah akan semakin rumit.

Terlepas dari dua solusi di atas, pengembangan aspek yang mendorong pertumbuhan UMKM dan lembaga keuangan mikro (LKM) tetaplah sangat penting. Namun hal ini tetap perlu dikonsolidasikan. Karena itu, payung hukum undang-undang LKM sangat diperlukan agar LKM tidak disebut sebagai bank gelap. Yang harus dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah menyelesaikan RUU LKM.

Sementara, untuk mempercepat gerakan sektor riil, pemerintah semestinya memberikan payung hukum berupa peraturan presiden (Perpres) atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu). Selanjutnya, LKM tersebut juga harus segera diakreditasi. Sedangkan Departemen Keuangan (Depkeu) harus menjadi regulator dalam hal ini, sehingga LKM tidak dicap sebagai bank gelap.

Inilah pekerjaan rumah terbesar yang harus segera diselesaikan pemerintah, untuk memperluas akses pembiayaan dan penyaluran kredit bagi UMKM di tanah air. Daripada berpolemik, mending memanfaatkan yang sudah ada kan?!

* Dimuat di Harian Medan Bisnis (Kamis, 22 Januari 2009)