------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Sabtu, Januari 30, 2010

Tak Hanya Melek Aksara, Tapi Juga Life Skill

Oleh : Adela Eka Putra Marza

Persoalan buta aksara menjadi salah satu permasalahan yang cukup pelik di muka bumi ini. Di seluruh dunia, jumlah penduduk buta aksara masih sangat besar.

Bahkan hingga tahun 2006, masih tercatat sebanyak 771 juta orang yang mengalami buta aksara. Di antara jumlah tersebut, 72 persen diantaranya adalah perempuan (www.depdiknas.go.id). Angka jumlah buta aksara di dunia sudah cukup menjadi pengingat bagi kita betapa pentingnya budaya membaca. Sebab penyandang buta aksara akan terus tenggelam dalam kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidakberdayaan. Pada akhirnya, ini akan menghambat perkembangan peradaban dan pembangunan umat manusia.

Sisa Delapan Juta Orang

Menurut Sekretaris Jenderal Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Zaini Arony, seperti dilansir situs Depdiknas sejak awal kemerdekaan tahun 1945 sekitar 97 persen penduduk Indonesia menyandang buta aksara, terutama warga yang berusia 44 tahun ke atas. Dalam kurun waktu 59 tahun, hingga tahun 2004 angka tersebut dapat ditekan hingga menjadi 10,21 persen atau bersisa 15,4 juta penduduk.

Pada tahun 2007, angka buta aksara Indonesia kembali berkurang menjadi 8,02 persen atau sekitar 12 juta orang lagi. Sedangkan tahun lalu, sudah turun mencapai 6,21 persen. Untuk tahun 2009 ini, pemerintah menargetkan dapat menurunkannya hingga bersisa lima persen pada akhir tahun, atau hanya sekitar 7,7 juta orang lagi yang buta aksara di Indonesia.

Menjelang peringatan HAI tahun ini, Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal (Dirjen PNFI) Depdiknas Hamid Muhammad mengatakan bahwa sisa penduduk buta aksara sekitar delapan juta orang. Berarti untuk memenuhi target, tinggal 0,3 juta orang lagi yang harus dilepaskan dari buta aksara. Bisa jadi, pemerintah dapat melampaui targetnya untuk tahun ini.

Angka buta aksara bersisa lima persen yang ditargetkan pemerintah tidak akan sulit dicapai. Karena berdasarkan perhitungan sementara dari Pusat Statistik Pendidikan (PSP), diproyeksikan pada tahun 2009 ini angka persentasi buta aksara akan tersisa 5,03 persen. Namun kemungkinannya memang masih bisa berkembang, karena masih menunggu laporan resmi dari setiap provinsi, kabupaten, dan kota yang melaksanakan program pemerintah untuk mengurangi angka buta aksara tersebut.

Untuk itu, pemberantasan buta aksara tahun ini akan difokuskan di 142 kabupaten yang angka buta aksaranya di atas lima persen. Sekitar Rp 600 miliar dianggarkan untuk program pemberantasan buta aksara ini. Rinciannya masing-masing Rp 400 ribu untuk 1,2 juta sasaran.

Sumut, Lebih 200 Ribu Orang Lagi

Di Sumatera Utara sendiri, pada tahun 2008 sebanyak 274.929 orang atau 3,4 persen warga Sumut usia 15 tahun ke atas masih mengalami buta aksara. Demikian disampaikan Kasi Pemberdayaan Masyarakat Subdis Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Dinas Pendidikan (Disdik) Sumut, Saut Aritonang. Kategori buta aksara ini merupakan orang yang tidak sanggup membaca dan menulis sekurang-kurangnya tujuh kata dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, serta orang yang tidak dapat menjumlah atau mengalikan angka satu sampai 100.

Dari total angka tersebut, jumlah terbanyak berada di Kabupaten Nias, Nias Selatan, Asahan, Simalungun, Deliserdang, Tapanuli Tengah, dan Langkat. Meski begitu, jumlah ini mengalami penurunan dari tahun 2007 yang berjumlah 290.000 orang. Bahkan menurut Saut, pengentasan buta aksara yang telah mencapai 3,4 persen di Sumut tersebut telah melewati target nasional, di mana pemerintah menargetkan sisa buta aksara paling tinggi adalah lima persen pada tahun 2009.

Penuntasan buta aksara di Sumut tersebut dilakukan melalui program penumbuhan gemar membaca, meningkatkan taman bacaan masyarakat, serta pembelajaran melalui program keaksaraan fungsional. Tugas ini semua, untuk menuntaskan buta aksara, juga bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata. Pada dasarnya, peran serta dari seluruh komponen masyarakat juga berpengaruh penting dalam mendukung program pemerintah.

Pemberdayaan Masyarakat

Penduduk usia 45 tahun ke atas merupakan kelompok masyarakat Indonesia yang paling banyak mengalami buta aksara. Buktinya, seperti data dari Depdiknas, sebanyak 76 persen dari delapan juta orang yang masih buta aksara merupakan penduduk usia 45 tahun ke atas.

Menurut Direktur Pendidikan Masyarakat Direktorat Jenderal PNFI Depdiknas Ella Yulaelawati, hal ini menjadi kendala makro dalam pemberantasan penduduk buta aksara. Masalahnya, kelompok masyarakat tersebut tentu saja sudah kurang termotivasi untuk belajar, karena memang kondisi fisik sudah tidak mendukung lagi.

Untuk menghadapi masalah yang sudah menjadi kendala makro ini, tentu saja pemerintah harus melakukan strategi lain. Karena cara yang dilakukan tentu saja tidak bisa sama dengan menghadapi penduduk buta aksara kelompok usia 15-44 tahun yang masih bisa dimotivasi semangat belajarnya.

Dalam hal ini, belajar keaksaraan bukan lagi menjadi sesuatu yang paling penting. Karena jika diajarkan pun membaca dan berhitung, kondisi fisik mereka tidak memungkinkan lagi untuk menangkap dan menyimpan memori dari pelajaran tersebut. Selain itu, belajar keaksaraan juga tidak menjadi kebutuhan mereka lagi, dan belum tentu bisa merubah keadaan hidup para orang tua tersebut.

Untuk membina kelompok tersebut harus lebih ditujukan kepada pemberdayaan mereka. Bisa saja mereka diberi suatu keterampilan atau diajarkan life skill dalam kelompok belajar usaha. Sehingga mereka bisa memanfaatkan keterampilan tersebut untuk memperbaiki dan bertahan hidup, serta memberikan manfaat bagi orang lain dan lingkungan sekitar.

Indonesia sendiri sudah mulai menerapkan hal ini dengan mengadopsi program Literacy Initiative for Empowerment yang dirintis oleh UNESCO. Inti dari program ini adalah bahwa program pemberantasan buta aksara harus memberdayakan dan bisa memberikan pencerahan dan pemberdayaan kepada masyarakat. Bukan hanya sekedar melek aksara saja. Program ini oleh UNESCO ditujukan bagi negara-negara yang angka buta aksaranya tinggi. Indonesia sendiri masuk pada tahap ketiga untuk melaksanakan program ini bersama-sama dengan Cina dan beberapa negara lainnya.

Jadi pada intinya, program pemberantasan buta aksara tidak hanya sekedar belajar membaca, menulis dan hitung-menghitung saja. Tetapi diupayakan setelah melek aksara, ada upaya-upaya pemberdayaan yang arahnya adalah pemberdayaan secara ekonomi untuk kesejahteraan. Sehingga kelompok masyarakat ini bisa membawa kehidupannya ke arah yang lebih baik lagi, serta juga dapat memberikan dampak bagi masyarakat sekitarnya.

* Dimuat di Harian Analisa (Jumat, 22 Januari 2010)