------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Selasa, Mei 14, 2013

Suhu Bumi Semakin Panas, Tanya Kenapa!

Oleh: Adela Eka Putra Marza 

Beberapa tahun terakhir, suhu bumi tidak lagi menentu. Kondisi cuaca bisa berubah-ubah secara drastis. Kedatangan musim hujan dan musim kemarau di Indonesia tidak bisa lagi diprediksi dengan tepat. Jika dulu, setiap bulan yang berakhiran “ber” (September hingga Desember) identik dengan musim hujan. Namun, sekarang hal tersebut tidak berlaku lagi, karena musim hujan dan musim kemarau bisa datang kapan saja.

Kondisi yang sama juga terjadi di Kota Medan. Beberapa bulan terakhir, musim hujan dan dan musim kemarau datang silih berganti, tidak sesuai dengan siklusnya. Bahkan, beberapa hari ini, suhu udara begitu sangat tinggi, bisa mencapai 35 derajat celcius pada bulan Maret 2013 lalu. Padahal, beberapa tahun sebelumnya, suhu udara yang sangat tinggi itu tidak pernah terjadi sama sekali.

Seperti diberitakan Harian Analisa pada Selasa, 9 April 2013 lalu, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) wilayah Sumatera Utara mencatat suhu Kota Medan mencapai 34 derajat celcius pada Senin, 8 April 2013. Kondisi ini semakin diperparah dengan efek pemanasan perkotaan, karena permukaan kota yang banyak tertutup oleh bangunan beton dan aspal.

Menurut BMKG Sumut, tingginya suhu ini juga dipicu oleh pola angin yang terjadi di sekitar wilayah Sumatera bagian utara selama bulan April lalu. Pola angin yang terbentuk pada ketinggian lebih kurang 3 ribu kaki merupakan pola angin menyebar (divergence). Dalam kondisi tersebut, awan sulit terbentuk, sehingga matahari menyinari permukaaan bumi tanpa terhalang oleh awan.

Peningkatan CO2
Sebenarnya bumi hanya mengandung 0,03% CO2 (karbon dioksida) di atmosfer, sehingga memiliki suhu rata-rata 15 derajat celcius. Coba bandingkan dengan Planet Venus yang mengandung 96,5% CO2 di atmosfernya dengan suhu rata-rata 420 derajat celcius. Sebaliknya, Planet Mars dengan atmosfer yang sangat tipis dan hampir semua CO2-nya berada di permukaan, memiliki suhu rata-rata kurang dari 50% (www.planetescapes.com).

Namun, menurut Arctic Climate Impact Assessment/ACIA (2004), konsentrasi CO2 yang ada di atmosfer bumi terus meningkat tajam selama 250 tahun terakhir, sehingga meningkatkan suhu rata-rata bumi. Tidak heran jika persoalan pemanasan global ini menjadi isu penting di tingkat dunia, sehingga perlu dibahas secara khusus seperti dalam diskusi iklim di Bonn, Jerman, yang dibuka pada Senin, 29 April 2013 lalu.

Dalam pertemuan tersebut, Sekretaris Eksekutif dari Sekretariat Iklim PBB Christiana Figueres menyampaikan bahwa kadar CO2 di bumi telah menyentuh rekor baru pada angka 399,72 parts per million (ppm). Pernyataan tersebut berdasarkan hasil penelitian dari Observatorim Mauna Loa di Hawaii, seperti dilansir www.nationalgeographic.co.id, 30 April 2013.

Ditambahkan oleh Scripps Institution of Oceanography, konsentrasi CO2 di bumi malah akan menembus angka 400 ppm pada Mei 2013 ini. Hal Ini merupakan pertama kalinya dalam sejarah manusia. Terakhir kali level C02 di atmosfer menyentuh angka 400 ppm adalah pada masa Pliosen, sekitar 1,8 juta hingga 5,3 juta tahun lalu. Sebelum Revolusi Industri (sekitar tahun 1760-an), level C02 di bumi masih pada kisaran 280 ppm.

Sedangkan, menurut para pakar iklim yang tergabung dalam The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), konsentrasi CO2 haruslah di bawah 350 ppm. Karena, batas tersebut bisa mempertahankan kenaikan suhu global pada angka dua derajat celsius. Jika kita masih tetap tidak bisa menjaga kelestarian lingkungan hidup, bisa saja konsentrasi CO2 di bumi akan terus meningkat hingga 450 ppm dalam beberapa dekade.

Emisi dari Industri

Sumber utama peningkatan emisi CO2 sendiri berasal dari pembakaran bahan bakar fosil dan konversi hutan. Sebanyak 80% sumber energi untuk aktifitas manusia memang berasal dari bahan bakar fosil, terutama penggunaan bahan bakar minyak. Sumber energi ini menjadi penggerak utama sektor industri di negara manapun di dunia ini, selain juga untuk menghidupi kebutuhan dasar manusia, seperti listrik.

Saat ini, pembangkit listrik menjadi sumber utama penghasil CO2, dengan menyumbang 37% emisi CO2 secara global. Angka ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun, terutama di negara-negara berkembang. Fakta di Indonesia, pemakaian listrik naik hampir 1% setiap tahun. Diperkirakan dalam 20 tahun, negara-negara berkembang akan menyumbang 44% dari pembuangan total CO2 ke atmosfer bumi.

Industri manufaktur juga menyumbang emisi CO2 dalam jumlah besar, melalui alat-alat yang berujung pada kasus pemborosan, seperti kendaraan bermotor. Sebagian besar reaksi kimia pembakaran bensin pada kendaraan bermotor bukan diubah untuk menggerakkan piston, tapi dibuang sia-sia sebagai panas. Tidak heran jika kemacatan di kota-kota besar ikut menyumbangkan pembuangan CO2 dalam kadar tinggi.

Peningkatan konsentrasi CO2 sebagai salah satu “gas rumah kaca” dominan, menimbulkan “efek rumah kaca” yang berakibat terjadinya pemanasan global (global warming). Hasilnya suhu bumi terus meningkat semakin panas. Rasakan saja, misalnya di Sibolangit atau di Berastagi yang dulu terkenal sebagai daerah perbukitan yang dingin di Sumut. Sekarang, berada di daerah itu pun juga bisa terasa gerah karena suhu udara panas.

Meski tidak termasuk dalam daftar 10 besar negara pengemisi CO2 (www.wikipedia.org), Indonesia tetap berperan besar menyumbangkan emisi CO2 pada bumi, dengan berada pada peringkat ke-19 dunia. Malah diprediksi, sumbangan emisi CO2 yang dihasilkan Indonesia akan meningkat drastis mencapai 860 juta ton pada tahun 2020. Tidak heran jika bumi kita semakin panas dalam beberapa tahun terakhir.

Perubahan Iklim 

Dampak pemanasan global kemudian berlanjut pada perubahan iklim. Di beberapa negara, termasuk Indonesia, intensitas hujan meningkat namun periode waktunya semakin pendek. Akibatnya, musim kemarau jauh lebih lama daripada biasanya. Cuaca juga tidak bisa lagi diprediksi dengan tepat, karena memang tidak lagi berjalan sesuai dengan siklusnya. Perubahan iklim telah mengubah cuaca menjadi ekstrim.

Seperti disebutkan oleh penasehat ilmiah Pemerintah Inggris Profesor Sir John Beddington, dikutip dari Harian Republika, 29 Maret 2013, efek perubahan iklim juga terasa dengan terjadinya sejumlah badai. Angin dan badai bertiup dengan skala yang semakin besar. Efek lain, terjadi sejumlah bencana seperti banjir, longsor, kekeringan, kebakaran lahan, gagal panen dan merebaknya penyakit akibat perubahan iklim.

Keadaan ini diperparah dengan fakta terus terjadinya peningkatan jumlah penduduk dunia mencapai satu miliar orang dalam 12 tahun terakhir. Seiring dengan itu, manusia akan menghadapi isu keamanan pangan, air, dan energi. Ini terjadi karena ulah manusia sendiri, akibat dari penggunaan bahan bakar fosil dan pembukaan lahan hijau secara besar-besaran, yang mengakibatkan terganggunya keseimbangan alam.

Dengan kondisi yang seperti ini, sudah ada banyak alasan untuk mengatakan perlunya aksi darurat dalam menangkal pemanasan global dan perubahan iklim ini. Banyak hal yang sebenarnya bisa kita lakukan. Meskipun hanya dalam skala kecil, namun setidaknya kita telah ikut membantu menahan laju peningkatan konsentrasi CO2 di bumi dan mengurangi efek dari pemanasan global dan perubahan iklim.

Salah satu upaya sederhana yang bisa kita lakukan, misalnya mengurangi pemakaian listrik di rumah atau di kantor, terutama penggunaan barang-barang elektronik yang sebenarnya tidak bermanfaat pada saat-saat tertentu. Selain itu, kebiasaan menggunakan sepeda atau angkutan umum sebagai pengganti kendaraan bermotor secara pribadi, juga dapat membantu menjaga keberlangsungan hidup bumi kita.

* Dimuat di Harian Analisa (Minggu, 12 Mei 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar