------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Senin, September 20, 2010

Mengurai Konflik Tanah Adat

Oleh: Adela Eka Putra Marza

Persoalan tanah adat atau tanah ulayat seringkali bermasalah dalam penentuan tata ruang wilayah di suatu daerah. Begitu juga di Sumatera Utara. Sehingga pada akhirnya, konflik pun bermunculan karena adanya ketidakjelasan dalam menetapkan bagian tanah adat dalam tata ruang wilayah suatu daerah. Seperti yang terjadi pada lahan hutan kemenyan di Kabupaten Toba Samosir. Ini terjadi karena keterwakilan masyarakat adat belum diikutsertakan.

Padahal PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) sendiri mengakui hak-hak masyarakat adat termasuk kawasan tanah adat. Ini tertuang dalam Deklarasi PBB Tentang Hak-Hak Masyarakat Adat yang menjadi tonggak sejarah bagi masyarakat adat di seluruh penjuru dunia, sebagai momentum yang efektif dalam membangun konsolidasi gerakan masyarakat adat. Namun hingga saat ini, masih saja ada persoalan dalam penentuan hak-hak masyarakat adat tersebut.


Terbentur Tata Ruang

Permasalahan utama dalam penentuan tanah adat terjadi saat penetapan tata ruang suatu wilayah. Selama ini, draft tata ruang lebih banyak membicarakan tentang infrastruktur, dalam artian lebih kepada kawasan industri yang bussines oriented. Sangat sedikit sekali memperhatikan mengenai keselamatan warga, bagaimana akses warga dan wilayah pengelolaan masyarakat terhadap kawasan hutan.

Makanya sudah menjadi fenomena yang tidak aneh lagi jika konflik akibat pengelolaan tata ruang terus semakin meningkat setiap tahunnya. Padahal, dengan adanya pengaturan yang jelas mengenai ketataruangan suatu daerah seharusnya mampu meminimalisir konflik yang selama ini terjadi antara masyarakat setempat dengan pihak swasta yang melakukan pengolahan di daerah tersebut.

Adanya kepentingan dari sejumlah pihak juga menjadi penyebab munculnya konflik-konflik tersebut. Pada suatu wilayah, ada pihak yang menyatakan bahwa wilayah tersebut termasuk kawasan hutan. Tapi ternyata, fakta di lapangan wilayah tersebut telah menjadi perkebunan. Oleh karena itu juga, maka penyusunan draft tata ruang itu sendiri tidak juga selesai hingga saat ini.

Oleh karena itu, seharusnya masyarakat adat sendiri mendapatkan porsi yang sesuai untuk menyampaikan aspirasi kelompoknya dalam penyusunan draft tata ruang. Karena, sudah secara otomatis mereka memiliki peranan penting, karena merekalah yang lebih mengetahui bagaimana kondisi kawasan di lingkungan mereka, termasuk soal kawasan tanah adat.


Ekspansi Pihak Swasta

Konflik tanah adat antara masyarakat setempat dengan pihak swasta yang ingin membuka lahan memang juga menjadi persoalan yang sangat mengkhawatirkan dewasa ini di wilayah Sumut. Konflik tanah adat di Sumut memang tak juga kunjung reda, malah makin bertambah. Inilah potret akibat nasionalisasi perusahaan asing puluhan tahun silam.

Padahal dulu di masa penjajahan Belanda, masyarakat adat bisa tetap mengelola lahan kendati lahan tersebut sudah ditanami tembakau oleh perusahaan Belanda, dimana saat itu disebut tanah jaluran. Namun, praktek tersebut berakhir setelah Indonesia merdeka, terutama setelah pemerintah melakukan nasionalisasi perusahaan Belanda pada 1958.

Setelah Indonesia merdeka, jumlah tanah masyarakat adat pun berkurang drastis. Semula luas tanah adat di Sumut tak kurang dari 325 ribu hektare. Namun, jumlah itu merosot sampai 125 ribu hektare setelah ada kekacauan politik pada 1960-an. Luas itu terus menyurut hingga menjadi sekitar 50 sampai 60 ribu hektare pada tahun 1970-an.

Pada tahun 1980-an, pemerintah sempat mengeluarkan kebijakan untuk membagikan sekitar 10 ribu hektare tanah, termasuk kepada masyarakat adat. Namun kenyataannya, masyarakat adat tak mendapat jatah sedikit pun.

Oleh karena itu, belakangan ini banyak pihak yang terus memperjuangkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Masyarakat Adat agar segera dapat disahkan. Karena, dengan adanya undang-undang tersebut maka masyarakat sendiri akan merasa mendapatkan jaminan hukum atas tanah ulayat yang mereka miliki sebagai suatu warisan dari nenek moyang mereka.


Perlindungan Undang-Undang

Hingga saat ini, dalam undang-undang di Indonesia belum satupun yang mengakui kepemilikan masyarakat adat, termasuk tanah adat atau tanah ulayat. Seharusnya proteksi terhadap kepemilikan masyarakat adat diatur juga di dalam undang-undang atau minimal peraturan daerah. Selama ini, pemerintah hanya mengakui wilayah kelola terhadap suatu tanah adat oleh masyarakat setempat, namun sama sekali tidak diakui kepemilikannya.

Hutan adat sendiri sebenarnya memang masuk dalam kawasan hutan yang dimiliki oleh negara, sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Dengan begitu, hak pengelolaan dan kepemilikannya juga berada di tangan pemerintah. Namun, hutan adat baru bisa menjadi tanah negara jika tidak ada alas hak dari tanah tersebut.

Sedangkan tanah adat sendiri menurut hukum adat merupakan hak-hak perorangan atas tanah yang menjadi hak pribadi, akan tetapi didalamnya mengandung unsur kebersamaan, yang dalam istilah modern disebut "fungsi sosial". Hukum adat juga merupakan sumber utama hukum undang-undang pokok agrarian atau hukum pertanahan Indonesia. Oleh karena itu, dalam persoalan ini juga perlu dipertimbangkan.

Jalan keluar bagi permasalahan ini sebenarnya berada di tangan pemerintah sendiri. Pemerintah harus memberi kesempatan bagi masyarakat adat untuk mengurus hak kepemilikan tanahnya. Selain itu, juga dilakukan harmonisasi semua peraturan perundangan yang bersentuhan dengan pertanahan. Selama ini tak dibenahi, maka konflik tanah adat akan terus muncul.

Pemerintah juga harus mengatur pembatasan terhadap pihak swasta yang ingin membuka lahan baru, sehingga tidak main caplok hingga menyerobot kawasan tanah adat. Pemerintah perlu mengatur semua peruntukan terhadap kawasan hutan, sehingga bisa dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap rencana ekspansi pihak swasta tersebut. Karena, pihak swasta ini akan terus melakukan ekspansi jika ada kesempatan. Jangan sampai, suatu saat nanti seluruh kawasan Sumut sudah menjadi lahan sawit.


* Dimuat di Harian Analisa (Selasa, 7 September 2010)


Sumber:

http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=68108:mengurai-konflik-tanah-adat&catid=764:07-september-2010&Itemid=220