------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Senin, Desember 14, 2009

Dari Wartawan untuk Calon Wartawan

Oleh : Adela Eka Putra Marza

Tulisan ini berawal dari obrolan ringan dengan Wakil Ketua Dewan Pers, Sabam Leo Batubara beberapa waktu lalu. Saat itu, Saya menjemput beliau dari salah satu hotel di Medan tempat beliau menginap. Mantan Ketua Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat ini baru datang dari Jakarta, untuk mengisi Seminar Nasional bertajuk Media Massa Membidik Figur Calon Independen yang digelar Pers Mahasiswa SUARA USU akhir tahun lalu.


Di mobil, kami mengobrol ringan tentang perkembangan pers Indonesia dewasa ini, termasuk soal pekerja persnya alias para wartawan. Bicara tentang wartawan saat ini yang tak lagi menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan main yang tercantum dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) atau Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). Banyak wartawan yang malah mencederai “kitab”-nya sendiri, yang seharusnya menjadi pedomannya itu.

Mungkin sudah menjadi hal yang biasa jika melihat wartawan menerima amplop dari pejabat atau pengusaha yang diwawancarai. Istilah wartawan amplop, wartawan bodrek, atau entah apalagi panggilannya, seakan sudah lumrah di telinga kita. Tak ada yang tak lazim dengan fenomena itu. Mungkin Anda akan membenarkannya juga.

Bahkan ada jargon yang mulai populer saat ini di kalangan kuli tinta ini. “Dilarang terima amplop, tapi ambil duitnya saja.” Secara gamblang diartikan, menerima amplop memang dilarang dan sangat diharamkan, tapi tidak boleh menerima uang dari narasumber tak pernah diwanti-wanti oleh pimpinan redaksi ataupun pimpinan suratkabarnya. Singkat kata, uang dari narasumber silahkan dikantongi, tapi amplopnya harus dikembalikan lagi. Tak jauh beda.

Yang lebih fresh adalah wartawan rekening. Wartawan amplop model baru yang lebih modern, dengan cara via transfer bank. Biasanya si wartawan menyodorkan kertas berisi nomor rekeningnya kepada pejabat atau pengusaha setelah diwawancarai. Cara yang lebih halus memang, tapi sama bejatnya dengan wartawan amplop.

Atau berhadapan dengan wartawan yang malah menjual halaman di suratkabarnya untuk pemberitaan yang dinginkan oleh pemilik modal; alias menjual surat kabar pada satu orang untuk kemudian dibagi-bagikan gratis kepada masyarakat. Sudah bukan fenomena asing lagi di mata kita. Sangat banyak dijumpai dalam dunia pers Indonesia saat ini. Tapi memang tak pernah terjadi terang-terangan. Istilahnya “off the record”, tulis salah seorang jurnalis senior dalam bukunya tentang pers Indonesia – istilah yang juga jadi judul bukunya tersebut. 

Belajar dari Negara Tetangga
Fenomena itu juga yang kemudian mengantarkan obrolan Saya dan Pak Sabam Leo pada pengalamannya berdiskudi dengan beberapa petinggi dan pengajar sekolah jurnalistik dan ilmu komunikasi di Australia, beberapa waktu sebelumnya. Ia pun menceritakan pengalamannya itu sebagai catatan untuk refleksi terhadap fenomena wartawan Indonesia saat ini. Catatan untuk para pelaku dunia pendidikan di Indonesia, yang nantinya akan memproduksi wartawan-wartawan Indonesia di masa depan.

Di negara tetangga kita tersebut, para calon wartawan dididik langsung oleh tenaga-tenaga akademis yang benar-benar punya kompetensi di bidang tersebut. Para dosen, bahkan pemimpin jurusan jurnalistik di sekolah dan universitas di Australia, adalah orang-orang yang berkecimpung langsung dalam dunia kewartawanan.

Mereka yang menjadi pengajar jurnalistik di sana merupakan orang-orang yang secara praktik juga melakukan tugas-tugas kewartawanan di lapangan secara langsung. Mereka adalah praktisi dari dunia jurnalistik yang juga menjadi akademisi di universitas masing-masing. Artinya, dosen-dosen yang mengajar mahasiswa jurnalistik di Australia adalah wartawan sendiri.

Jadi, yang mendidik dan mengajar calon-calon wartawan tersebut adalah orang yang benar-benar teruji secara praktik sebagai wartawan, bukan hanya sekedar pintar dalam teori saja. Sehingga “produk” yang dihasilkan pun nantinya sudah siap ketika harus turun ke lapangan dan harus menjalankan tugas-tugas wartawan tersebut.

Secara tidak langsung, calon wartawan ini sudah dididik dari awal sebagai wartawan yang sesuai dan berpedoman dengan aturan main seorang wartawan. Dari dini mereka sudah dibekali bagaimana menghadapi dunia jurnalistik dan kewartawanan yang realistis seperti adanya, yang akan mereka temui nanti.

Sudah pasti, tidak akan ada istilah wartawan amplop atau wartawan rekening dalam kamus wartawan di Australia sana. Karena dari bangku kuliah mereka sudah tahu bahwa itu sangat tidak sesuai dengan nilai-nilai mulia dari tugas seorang wartawan. Tentu, orang-orang yang mengajari mereka juga tak pernah melakukan perbuatan sehina itu – menjual dan mengobral harga diri sendiri.

Soal dosen jurnalistik di Australia yang merupakan praktisi langsung dari dunia kewartawanan, Saya sendiri pernah menemukannya langsung. Dua tahun yang lalu Saya pernah mengikuti Journalism Workshop yang diadakan oleh Australian Education International di Medan. Gelaran diskusi ini menghadirkan pembicara langsung dari Australia, yaitu Curtin University of Technology.

Saya sudah lupa nama beliau, namun masih jelas dalam ingatan Saya, bahwa pria paruh baya tersebut merupakan pimpinan jurusan jurnalistik di universitas itu yang juga adalah wartawan dari sebuah suratkabar di Australia. Ia merupakan akademisi yang dalam tugas-tugasnya di kampus untuk mendidik para mahasiswa dengan teori-teori secara akademis, dan dengan pengalaman praktiknya sebagai wartawan di lapangan.

Wartawan Jadi Dosen
Sepertinya tak ada salahnya juga kita belajar dari negara tetangga tersebut. Mendesain sistem pengajaran jurnalistik di Indonesia ini dengan memberdayakan para wartawan sebagai tenaga pengajar alias dosen bagi para mahasiswa jurnalistik. Sebuah sistem yang Saya pikir akan lebih mampu memproduksi wartawan-wartawan handal nantinya, tidak hanya dalam skill tetapi juga dalam etika dan moralnya.

Baiklah, jika yang menjadi masalah kemudian, banyak wartawan kita yang mungkin secara akademik tak siap untuk jadi pengajar. Karena memang kebanyakan wartawan kita bukan berasal dari bidang pendidikan jurnalistik. Tapi mungkin persoalan ini bisa diakali dengan menawarkan kesempatan untuk memberikan kuliah umum kepada para wartawan ini. Dalam kuliah umum ini nantinya, mereka bisa berbagi ilmu dan pengalaman dengan mahasiswa.

Jadi secara akademis, mereka tidak terikat dalam sistem pendidikan yang memang menuntut pengetahuan secara ilmiah. Namun, bisa kita lihat, di sini juga letak kekurangan wartawan kita. Mereka secara teori ternyata tak punya pengetahuan apa-apa tentang ilmu jurnalistik. Wartawan Indonesia saat ini, sebagian besar dan pada umumnya beranjak dari latar belakang pendidikan yang sama sekali tak ada hubungannya dengan jurnalistik.

Walaupun secara praktik ada juga yang bagus, mungkin dalam penulisan, namun tetap ada kekurangan dalam sosok wartawan dengan latar belakang di luar jurnalistik, terutama dalam hal pengetahuan jurnalistiknya secara teori. Terkadang ini bisa mempengaruhinya nanti dalam pelaksanaan tugas-tugas kewartawanannya.

Oleh karena itu, dari sekarang kita harus mulai mempersiapkan calon-calon wartawan yang nantinya benar-benar teruji secara akademik dan praktik. Ya, salah satunya dengan memberi mereka pengetahuan dari pengalaman-pengalaman wartawannya langsung. Bukan hanya dari dosen-dosen yang secara akademik memang pintar, tapi secara praktik Saya yakin masih banyak yang meragukannya.

Para wartawan ini bisa dimaksimalkan untuk jadi dosen lepas di setiap kelas-kelas jurnalistik. Sehingga apa yang didapatkan oleh mahasiswa jurnalistiknya sendiri tidak hanya soal teori saja, tapi juga mereka tahu bagaimana sikap di lapangan nantinya ketika sudah harus menyandang “gelar” wartawan. Yang ada sekarang, mahasiswa-mahasiswa jurnalistik yang merupakan calon-calon wartawan kita nantinya hanya dibekali dengan teori-teori saja tanpa mengerti bagaimana sikap realitanya nanti. 

Terlepas bahwa soal kesejahteraan hidup yang diberikan oleh perusahaan pers di Indonesia juga mempengaruhi kinerja wartawannya – hingga saat ini, perusahaan pers Indonesia masih membayar wartawannya dengan harga yang rendah –, namun tidak ada salahnya juga kita mulai berpikir untuk membentuk watak-watak wartawan yang sesuai dengan kode etik wartawan sendiri sedari dini, ketika mereka masih di bangku pendidikan. Salah satunya, ya itu tadi, mentransfer ilmu-ilmu dari wartawan untuk calon wartawan.


* Dimuat di Harian Analisa

9 komentar:

  1. Dilematis memang....saat posisi wartawan dituntut untuk profesional, dilain tempat ia harus tetap memenuhi kebutuhan jasmaninya, yang tidak bisa terlalu diharapkan dari 'pekerjaannya' itu.

    Sebelum hal itu terjadi... seorang wartawan harusnya tahu tugas 'sucinya'.
    kalau ingin jadi hartawan jadilah pengusaha sukses, kalau ingin dieluk-elukan jadilah pembalap, namun untuk menjadi seorang history maker jadilah wartawan.

    BalasHapus
  2. Dilematis memang ya bang..saat posisi wartawan dituntut untuk profesional, dilain tempat ia harus tetap memenuhi kebutuhan jasmaninya, yang tidak bisa terlalu diharapkan dari 'pekerjaannya' itu.

    Sebelum hal itu terjadi, seorang wartawan seharunya tahu tugas 'sucinya'.
    Kalau ingin menjadi hartawan jadilah pengusaha sukses, kalau ingin dieluk-elukan jadilah pembalap, namun untuk menjadi seorang history maker jadilah WARTAWAN.

    Lalu sepengetahuan abang apakah penyakit itu terjangkit juga pada persma Indonesia??

    BalasHapus
  3. yaelah! apa nggak bisa jadi wartawan yg makmur, ya? dendam bener aku ini! tapi ga tau aku mau dendam ke siapa! hehehe! ke kau ajalah, de!

    BalasHapus
  4. pro tin2 zalkh:
    sebenarnya, salah satu cara untuk membentuk watak2 idealis para wartawan adalah melalui gemblengan dari pers mahasiswa.
    namun memang tak bisa disangkal juga, setelah memasuki dunia nyata, tak sedikit jebolan pers mahasiswa yang kemudian "terpaksa" mengikuti alur dunia kewartawanan yang mereka jumpai di setiap press room kantor instansi pemerintahan.
    logikanya, siapa yang tak mau menolak uang, apalagi dalam kehidupan yang serba seret ini.
    cuman, tetaplah ingat, pers mahasiswa telah membentuk kita sesuci tugas pengabar informasi yang dirimu bilang di atas. dan gunakanlah otak yang telah dipupuk di pers mahasiswa itu, untuk mencari segenap peluang demi memakmurkan diri melalui cara-cara yang halal. toh, buktinya banyak juga wartawan yang bisa hidup enak tanpa harus menerima amplop.
    gimana???

    BalasHapus
  5. pro: stone molotovsky

    yaelah! kok malah dendam ke aku.
    dendamnya itu sama bos di kantor aja. napa dia gak ngasih gaji yang gede? kalo gak punya duit, ngapain nekat bikin koran coba?!
    haha...
    (ingat yg dirimu bilang di RK beberapa hari yg lalu)
    :D

    BalasHapus
  6. blogwalking bang,
    perkenalkan saya anggota muda SUARA USU.
    Saya sendiri saya terpengaruh konsep jurnalis wartawan yang bersih dari para jurnalis The New York Times. Bagaimana pendapat abang?

    BalasHapus
  7. pro: frankiology
    yuhu... salam kenal... yg mana ini ya?
    bagus... bagus...
    kenal jurnalis The New York Times?
    ada juga alumni kita d sana

    BalasHapus
  8. haha, saya presidium rua yg masih belajar kemarin bang.

    Ada alumni yg disana?
    Maksudnya kontributor dari Indonesia atau emang kerja di NY?

    Great! Mudah2an bisa jadi d better next .

    BalasHapus
  9. SILA LAYARI http://ads4bucks-baizura1989.blogspot.com UNTUK KETAHUI CARA MENJANA PENDAPATAN SECARA REAL TIME!

    BalasHapus