------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Selasa, November 03, 2009

Setelah Batik, Lalu Ulos?

Oleh : Adela Eka Putra Marza


Batik kini sudah menjadi hak milik Indonesia. United Nations Educational, Scientific and Culture Organization (UNESCO), salah satu lembaga dari organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membawahi bidang pendidikan dan kebudayaan, akhirnya mengakui batik sebagai warisan karya asli bangsa Indonesia.


Pengakuan dan peresmian atas pengakuan batik Indonesia tersebut telah dilaksanakan 28 September lalu. Sedangkan penghargaan dan pemberian sertifikatnya sendiri diserahkan pada 2 Oktober 2009 di Abu Dhabi.


Batik diakui menjadi warisan budaya dunia (world heritage), sebagai salah satu warisan budaya tak benda kemanusiaan dari UNESCO (UNESCO representative list of intangible cultural heritage of humanity). Katagori ini merupakan satu dari tiga daftar yang dibuat di bawah Konvensi UNESCO 2003 mengenai Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda untuk Kemanusiaan. Indonesia sendiri telah menjadi negara pihak di dalam konvensi tersebut terhitung 15 Januari 2008, dengan meratifikasinya melalui PP Nomor 78 Tahun 2007.


Warisan budaya sendiri, menurut UNESCO terbagi atas katagori warisan budaya benda dan budaya tak benda. Budaya benda terdiri atas monumen, candi, pemandangan alam dan sebagainya. Sementara budaya tak benda atau populer disebut budaya hidup, terdiri atas budaya lisan, seperti cerita dan bahasa, seni pentas, tari, wayang, adat-istiadat kebudayaan masyarakat, kerajinan tradisional dan semua benda-benda yang terkait dengan alam tersebut.


Dari penilaian UNESCO, batik dianggap sebagai ikon budaya bangsa, sebuah karya adiluhung yang lahir dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Batik memiliki keunikan serta filosofi yang mendalam. Sebagai kain tradisional, batik kaya akan nilai budaya sebagai kerajinan tradisional yang diwarisi secara turun temurun sejak ribuan tahun lalu.


Upaya mengusulkan batik agar diakui sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO, melalui proses yang panjang dan rumit karena harus memenuhi persyaratan dari badan dunia tersebut. Syarat-syarat itu antara lain harus menyiapkan naskah akademik tentang batik, memiliki masyarakat pecinta batik dan pemerintah mendukung usulan tersebut.


Rumitnya, persyaratan seperti naskah akademik tentang batik serta dukungan dari pemerintah harus disiapkan dengan baik. Karena, pengusulan batik ini bukan berdasarkan motifnya, melainkan nilai estetikanya yang sampai saat ini masih dipegang teguh oleh sebagian masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa. Sejak tahun 2008, pemerintah telah melakukan penelitian lapangan dan melibatkan komunitas serta ahli batik di 19 provinsi di Indonesia untuk menominasikan batik.


Pernah Diklaim Malaysia

Jika UNESCO sudah menetapkan batik sebagai warisan budaya dunia, maka pemerintah dan masyarakat Indonesia-lah yang kemudian harus bertanggungjawab untuk menjaga pelestarian dan keaslian karya budaya tersebut. Tidak hanya sekadar mensyukuri dan mengagumi keindahannya, tapi juga melestarikan dan mengembangkannya sehingga batik akan tetap lestari dan dinikmati generasi mendatang. Namun, sebaliknya jika masyarakat tidak bertanggungjawab, maka UNESCO dapat mencabut ketetapan itu.


Sebelumnya, pada tahun 2007 negara tetangga Malayasia pernah mengklaim batik sebagai salah satu budaya mereka. Pemerintah Malaysia menggunakan batik dalam promosi pariwisatanya di dunia internasional. Namun dengan adanya pengakuan dari UNESCO ini, maka secara tidak langsung akan menepis dan mematahkan klaim yang dilakukan Malaysia terhadap batik Indonesia. Di sisi lain, pengakuan UNESCO akan menjadi pagar hukum terhadap pihak-pihak luar yang akan memanfaatkan batik untuk kepentingan ekonomis.


Bahkan sebelumnya, menurut Forum Kebudayaan Indonesia lebih dari 20 budaya Indonesia diduga telah “dicuri”, dipatenkan, diklaim, dan atau dieksploitasi secara komersial oleh Malaysia. Bahkan yang terakhir soal pengklaiman Tari Pendet Bali, hingga saat ini masih segar dalam ingatan kita. Malaysia menggunakan Tari Pendet dalam mempromosikan pariwisata mereka di salah satu jaringan televisi internasional. Tarian ini dijadikan sebagai salah satu penarik kunjungan pariwisata ke negeri Jiran itu. Belum lagi dengan kasus-kasus yang lain.


Ulos Tidak Jelas

Penetapan batik oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia akan melengkapi tujuh penetapan warisan dunia lain milik Indonesia. Ketujuh warisan dunia yang sudah ditetapkan UNESCO tersebut antara lain Komodo, Hutan Tropis, Situs Purbakala Sangiran, Candi Borobudur dan Prambanan, Keris dan Wayang. Ke depannya, pemerintah akan tetap berusaha mengajukan usulan karya monumental milik bangsa Indonesia lainnya sehingga diakui dunia, salah satunya adalah angklung.


Dari Sumatera Utara sendiri, sebenarnya kita juga memiliki salah satu warisan budaya, yaitu ulos. Sebagai kain tenunnya orang Batak, ulos mempunyai nilai filosofis dan menjadi cerminan karakter orang Batak. Sama seperti batik, kain ulos juga sudah banyak dikenal orang sebagai warisan budaya Batak. Namun yang menjadi masalah sekarang, tak banyak masyarakat kita yang menjaga kelestariannya. Bahkan, ulos sudah mulai jarang dipakai orang Batak sendiri.


Bahkan menurut informasi dari sebuah blog pada pertengahan 2008 lalu, http://lidyanata.blogspot.com/2008/05/sejak-kapan-orang-malaysia-pake-ulos.html (pernah juga dimuat di blog www.tanobatak.wordpress.com), kain ulos tersebut juga pernah diklaim Malaysia, sama seperti kasus pengklaiman terhadap batik. Kain ulos digunakan oleh Malaysia untuk mewakili kebudayan negeri-negeri bagian Malaysia dalam sebuah acara di Kuala Lumpur.


Para perwakilan salah satu negeri bagian di Malaysia tersebut menampilkan sebuah tarian dengan pakaian dari kain ulos ragi hotang. Bahkan tarian yang ditampilkan pun mirip dengan tari tortor. Bedanya, mereka tidak melakukan gerakan ‘manyomba’ di depan dada. Namun mereka menarikan tangannya di samping paha kiri dan kanan dan kakinya seperti ‘manyerser’ (serser).


Dengan bangganya mereka menampilkan tarian itu sebagai budaya mereka. Bahkan ada undangan yang hadir dalam acara tersebut yang malah tahu kalau pakaian dan terian tersebut merupakan kebudayaan orang Batak.


Apakah kejadian pengklaiman terhadap batik akan terulang pada ulos kita? Hingga saat ini, belum jelas entah kapan ulos bisa diakui oleh UNESCO sebagai salah satu warisan budaya dunia seperti halnya batik. Lalu, apakah kita akan membiarkan begitu saja ulos diklaim oleh Malaysia sebagai bagian kebudayaan mereka?


Pada tanggal 2 Oktober lalu, seluruh masyarakat Indonesia beramai-ramai menggunakan batik, termasuk masyarakat Sumatera Utara. Presiden SBY sendiri mengajak seluruh rakyat di negeri ini untuk menggunakan batik pada hari itu. Bahkan kemudian Presiden menetapkan tanggal 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional. Lalu, kapan ulos akan seperti itu? Kapan kita dan seluruh rakyat Indonesia akan menggunakan ulos sebagai pakaian sehari-hari? Apakah harus menunggu dulu, hingga ulos diklaim lagi oleh Malaysia? Mungkin, kita masing-masing sudah punya jawabannya. Tidak perlu menunggu UNESCO untuk turun tangan.


* Dimuat di Harian Medan Bisnis (Senin, 26 Oktober 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar