------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Minggu, Desember 13, 2009

Berwisata ke Perpustakaan

Oleh: Adela Eka Putra Marza

Persoalan buta aksara menjadi salah satu permasalahan yang cukup pelik di muka bumi ini. Kehidupan penyandang buta aksara akan berjalan searah dengan kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidakberdayaan. Pada akhirnya, ini akan menghambat perkembangan peradaban dan pembangunan umat manusia. Makanya tak aneh, jika kasus buta aksara banyak terjadi di negara-negara berkembang yang pada dasarnya masih mencari-cari bentuk utama dari pembangunan peradaban mereka.

Masih Ada Buta Aksara
Di seluruh dunia, jumlah penduduk buta aksara masih sangat besar. Hingga tahun 2006, sebanyak 771 juta orang mengalami buta aksara, 72 persen diantaranya adalah perempuan. Hal ini disampaikan Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal (Dirjen PNFI) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Hamid Muhammad tahun lalu, seperti dilansir situs Depdiknas.

Di Indonesia sendiri, menurut data Depdiknas penyandang buta aksara masih sekitar delapan juta orang. Dibandingkan dengan 64 tahun yang lalu, atau pada awal kemerdekaan tahun 1945, saat itu 97 persen penduduk Indonesia menyandang buta aksara, terutama warga yang berusia 44 tahun ke atas. Tahun lalu, angka ini dapat ditekan hingga bersisa 6,21 persen.

Sampai akhir tahun 2009 ini, pemerintah menargetkan dapat menurunkannya hingga bersisa lima persen, atau hanya sekitar 7,7 juta orang lagi. Angka ini jelas tidak akan sulit dicapai, karena hanya sekitar 0,3 juta orang lagi yang harus dilepaskan dari buta aksara. Bahkan, bisa jadi pemerintah dapat melampaui target tersebut. Selain itu, berdasarkan perhitungan sementara dari Pusat Statistik Pendidikan (PSP), diproyeksikan pada tahun 2009 ini angka persentasi buta aksara akan tersisa 5,03 persen.

Sedangkan di Sumatera Utara, menurut data dari Dinas Pendidikan Sumut sebanyak 274.929 orang atau 3,4 persen warga Sumut usia 15 tahun ke atas masih mengalami buta aksara pada tahun 2008. Kategori buta aksara ini merupakan orang yang tidak sanggup membaca dan menulis sekurang-kurangnya tujuh kata dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, serta orang yang tidak dapat menjumlah atau mengalikan angka satu sampai 100.

Dari total angka tersebut, jumlah terbanyak berada di Kabupaten Nias, Nias Selatan, Asahan, Simalungun, Deliserdang, Tapanuli Tengah, dan Langkat. Meski begitu, jumlah ini mengalami penurunan dari tahun 2007 yang berjumlah 290.000 orang. Bahkan, pengentasan buta aksara yang telah mencapai 3,4 persen di Sumut tersebut telah melewati target nasional, di mana pemerintah menargetkan sisa buta aksara paling tinggi adalah lima persen pada tahun 2009.

Taman Bacaan dan Perpustakaan
Penuntasan buta aksara di Sumut dilakukan melalui program pembelajaran melalui program keaksaraan fungsional, penumbuhan gemar membaca, serta meningkatkan taman bacaan masyarakat dan perpustakaan. Program ini terus digalakkan oleh pemerintah, tentu saja dengan peran serta masyarakat dalam mendukungnya.

Perpustakaan menjadi salah satu lembaga yang punya peranan penting dalam menunjang pelaksanaan program pemberantasan buta aksara. Perpustakaan sebagai sebuah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna, hadir untuk memberikan bacaan-bacaan bagi masyarakat. Selain itu, keberadaan perpustakaan juga untuk memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi para pemustaka.

Keberadaan perpustakaan tidak dapat dipisahkan dari peradaban dan budaya umat manusia. Tinggi rendahnya peradaban manusia bisa dilihat dari kondisi perpustakaan yang dimiliki. Masyarakat mulai merekam pengetahuan untuk disebarluaskan kepada sesama kelompoknya. Rekaman pengetahuan ini yang kemudian disimpan di perpustakaan. Hingga saat ini pun, perpustakaan masih memegang peranan penting dalam menumbuhkembangkan minat baca masyarakat.

Pertumbuhan perpustakaan di Sumatera Utara terus berkembang dari waktu ke waktu. Saat ini jumlah perpustakaan yang terdata oleh Badan Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi (Baperasda) Sumut mencapai 396 perpustakaan. Sebanyak 78 perpustakaan berada di Medan dan sekitarnya.

Jumlah ini mungkin bisa lebih banyak, karena tidak semua perpustakaan di Sumut melaporkan pendiriannya. Seperti taman bacaan umum, yang mulai banyak tumbuh di tengah-tengah lingkungan masyarakat. Misalnya, taman baca di Medan Marelan yang dikelola seorang pemilik warung nasi, atau taman bacaan milik Sofyan Tan dan Usman Pelly.


Menurut Kepala Baperasda Sumut Syaiful Syafri, seperti pernah diberitakan harian Kompas, kampanye pengembangan perpustakaan di Sumut sudah dimulai sejak tahun 2007. Saat ini, Baperasda Sumut memprioritaskan pengembangan perpustakaan di pedesaan. Selama tahun 2008, Baperasda Sumut telah memediasi pendirian 318 perpustakaan desa yang tersebar di sepuluh kabupaten dan kota. Untuk tahun 2009 ini, Baperasda akan menambah pendirian 300-an perpustakaan lagi di berbagai daerah di Sumut. Targetnya, perpustakaan desa ini akan berdiri di setiap daerah.

Perpustakaan, Pusat Wisata Baca
Di perpustakaan, kita dapat membaca, menulis, meneliti, berdiskusi, melakukan peminjaman buku dan rekreasi. Singkat kata, perpustakaan adalah rumah belajar yang bermanfaat bagi masyarakat. Perpustakaan adalah universitas yang pali lengkap. Karena, sebagai sumber ilmu pengetahuan semuanya ada di sana. Di perpustakaan tersedia berbagai jenis buku yang bisa dibaca sesuai dengan kebutuhan kita.

Banyak orang tertarik dan berkunjung ke perpustakaan karena banyak kegiatan bermanfaat yang dapat dilakukan. Salah satu kegiatan yang paling dominan dilakukan di perpustakaan adalah membaca. Perpustakaan sebagai gudangnya buku akan memenuhi semua kebutuhan kita akan ilmu pengetahuan. Dengan membaca buku manusia bisa belajar dari buku tersebut. Manusia bisa mencari dan menemukan apa yang belum diketahuinya.

Syaiful Sayfri sebagai Kepala Baperasda Sumut, menginginkan perpustakaan menjadi tempat wisata baca. Inilah langkah awal untuk menciptakan masyarakat gemar membaca, yang kemudian akan manusia-manusia berkualitas. Menjadikan perpustakaan sebagai pusat wisata baca akan berkaitan dengan minat baca. Langkah ini akan mendongkrak keinginan masyarakat untuk membaca.

Dengan menjadikan perpustakaan sebagai tempat berwisata, maka secara tidak langsung akan ikut membangkitkan gairah membaca. Berkunjung ke perpustakaan seudah seharusnya menjadi bagian hidup keseharian kita sehari-hari, sebagai manusia yang butuh ilmu pengetahuan dan selalu dilingkupi rasa ingin tahu. Dengan demikian lahirlah manusia-manusia Indonesia yang mempunyai budaya baca.

Selama ini yang menjadi masalah bagi sebagian masyarakat Indonesia dalam membudayakan membaca adalah soal keterbatasan biaya dalam mendapatkan buku-buku berkualitas. Namun, dengan adanya perpustakaan permasalahan itu bisa teratasi sendiri. Semua buku bisa jadi bahan bacaan. Tidak harus buku dengan tampilan yang luks serta berharga mahal. Bahkan membaca koran dan buku-buku lama pun bisa menjadi ilmu pengetahuan baru bagi kita.

Perpustakaannya juga tidak harus dengan fasilitas mewah. Tidak harus mempunyai koleksi buku-buku mahal dan dikarang oleh penulis terkenal. Perpustakaan kecil sekali pun, meski tanpa AC tetap punya fungsi yang sama dengan perpustakaan besar dan mewah. Peranannya dalam menyediakan bacaan-bacaan bermanfaat bagi masyarakat tidak akan berkurang.

Banyak perpustakaan di sekeliling lingkungan kita. Di Medan, ada Perpustakaan Daerah Sumut (Baperasda Sumut) yang menyediakan ribuan koleksi buku cetak dan digital, ada Perpustkaan Universitas Sumatera Utara yang merupakan salah satu perpustakaan kampus dengan koleksi terbanyak di Asia, ada Perpustakaan Kota Medan yang juga punya buku-buku menarik, dan masih banyak perpustakaan lainnya.

Sekarang tinggal niat masing-masing untuk datang ke perpustakaan, dan memanfaatkan koleksi buku-bukunya untuk meraup berbagai ilmu pengetahuan. Karena untuk membaca tidak harus dengan cara membeli buku setiap hari. Tapi cukup dengan berkunjung ke perpustakaan, dan memanfaatkan buku-buku yang disediakan di sana.

Peranan perpustakaan dalam menumbuh kembangkan minat baca dan cinta buku merupakan keharusan yang tidak bisa ditawar lagi. Sebab untuk menciptakan manusia-manusia yang cerdas, ditentukan oleh membaca. Tanpa membaca, maka manusia itu tidak akan berarti apa-apa; kosong sama sekali. Oleh karena itu, perpustakaan sebagai bagian dari salah satu sarana yang penting untuk mencerdaskan anak bangsa, harus kita jadikan sebagai pusat wisata baca bagi diri kita masing-masing. Agar tidak ada beban lagi untuk datang ke perpustakaan dan mulai membaca. Dan demi memberantas “penyakit” buta aksara di muka bumi ini.

* Dimuat di Harian Medan Bisnis (Senin, 5 Oktober 2009)

2 komentar:

  1. Disinilah sangat diperlukan peran para pekerja sosial yang sudah mulai bangkit namun masih terfokus pada korban bencana alam saja namun korban pendidikan tidak terlalu dicari jalan solusinya.

    Perpustakaan memang gudang ilmu dan buku adalah kunci membuka dunia namun yang memegang kunci dan menjaga gudang itulah para pekerja sosial dan kita para melek huruf dan pintar baca :)

    BalasHapus
  2. sippp... mantap
    masalahnya sekarang, orang kita udah terdoktrin dengan keangkeran perpustakaan.
    makanya tak heran jika perpustakaan sepi, kecuali jika lagi banyak tugas. lihat aja perpustakaan kampus.

    BalasHapus