------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Selasa, September 15, 2009

Nilai Tukar Nelayan dan Kesejahteraannya

Oleh : Adela Eka Putra Marza


Indonesia yang secara geografis sebagai negara kepulauan memiliki wilayah laut seluas 5,8 juta Km dengan lebih 17.500 pulau besar dan kecil, serta dikelilingi garis pantai sepanjang 81.000 Km. Garis pantai ini merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada.


Wilayah laut yang begitu luasnya ini tentu saja kaya dengan potensi kelautan yang terkandung di dalamnya. Sehingga Indonesia juga dikenal sebagai salah satu bangsa maritim terbesar di dunia. Tetapi dengan potensi yang begitu besarnya itu, masyarakat nelayannya malah hidup di bawah standar kesejahteraan.


Begitu ironisnya negara ini, kita harus menghadapi persoalan pelik mengenai masalah kemiskinan nelayan. Sungguh menyedihkan, karena bahkan kehidupan nelayan Indonesia seakan sudah identik dengan kemiskinan. Mereka sebagai pewaris budaya bahari yang sehari-hari berkutat dengan angin laut, sama sekali belum bisa menikmati hasil memuaskan dari lingkungannya sendiri.


Kemiskinan masyarakat nelayan di sepanjang pesisir pantai bersifat struktural. Hal ini ditengarai karena tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat seperti pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan infrastruktur. Kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses informasi, teknologi dan permodalan, menyebabkan posisi tawar nelayan semakin lemah. Kebijakan pemerintah juga seringkali kurang berpihak pada pemangku kepentingan di wilayah pesisir itu.


Seharusnya pemerintah mulai mengevaluasi masalah ini dengan lebih serius. Jika dicermati sejak statusnya Ditjen Perikanan di Departemen Pertanian hingga mandiri, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) belum mampu memacu kesejahteraan nelayan yang umumnya tradisional itu. Data DKP menyebutkan, poverty headcount index (PHI) pada tahun 2006 sebesar 0,3214. Berarti, sekitar 32% dari 16,42 juta masyarakat pesisir di Indonesia berada pada level di bawah garis kemiskinan.


Modal Semakin Tinggi

Harga bahan bakar minyak yang tahun lalu membumbung tinggi juga mengakibatkan kesejahteraan nelayan semakin terpuruk. Sebelum harga BBM naik saja, nelayan sudah banyak yang tak sanggup melaut karena tak mampu membeli solar. Apalagi saat harga BBM dinaikkan oleh pemerintah. Sekitar empat dari sepuluh armada perikanan tadisional tidak dapat melaut akibat kebijakan pemerintah menaikkan BBM. Selain juga, karena permasalahan keterbatasan alat tangkap, wilayah tangkapan yang semakin tercemar, dan perubahan cuaca yang tidak menentu.


Kenaikan harga BBM ini berdampak terhadap frekuensi nelayan melaut sepanjang tahun 2008. Menurut pakar kelautan M Riza Damanik dalam Evaluasi Total Indonesia 2008 di Jakarta pada akhir tahun 2008 lalu, rata-rata frekuensi melaut para nelayan hanya sekitar 180 hari dalam setahun, dengan rincian 9-15 hari dalam sebulan. Sementara sebagian hari lainnya, perahu nelayan tradisional tidak beroperasi atau hanya bersandar di pantai.


Nelayan kecil dengan kapasitas kapal di bawah 10 gross ton (GT) adalah kelompok nelayan yang paling rawan terpukul akibat kenaikan harga BBM. Berdasarkan data Dirjen Perikanan Tangkap DKP, pada 2007 rata-rata pendapatan 2,7 juta nelayan kecil di Indonesia hanya sebesar Rp 445.000 per keluarga per bulan. Pendapatan ini jauh di bawah pendapatan standar untuk hidup layak. Sementara mayoritas nelayan di Indonesia termasuk ke dalam golongan nelayan kecil.


Pada tahun 2005, nelayan masih bisa melaut dengan mengoplos solar dan minyak tanah, meski terjadi kenaikan harga BBM. Harga minyak tanah pun masih terjangkau dan cukup tersedia. Namun, sejak pemerintah kemudian juga melakukan program konversi, nelayan semakin sulit mendapatkan minyak tanah, sehingga tidak ada lagi bahan untuk mengoplos. Sementara untuk membeli solar, harganya terlalu mahal. Jangankan mau membeli solar, terkadang untuk makan pun tak ada.


Untuk menghemat bahan bakar, terkadang nelayan menyiasatinya dengan cara melaut bergantian. Rata-rata nelayan membentuk kelompok-kelompok. Dari tiap kelompok itu, biasanya diutus satu perahu untuk mencari lokasi yang banyak ikan. Setelah ditemukan lokasinya, maka para nelayan itu akan melaut bersama. Cara ini memang bisa cukup menghemat bahan bakar, karena tidak perlu banyak perahu yang berlayar mencari lokasi ikan. Namun, akan sampai kapan mereka bisa bertahan seperti ini?


Nilai Tukar Nelayan

Salah satu usaha pemerintah yang mungkin cukup membantu menyelamatkan kehidupan nelayan adalah penetapan Nilai Tukar Nelayan (NTN) yang dilakukan pemerintah pada tahun 2008 lalu. DKP bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) telah menghitung NTN per provinsi dengan perhitungan gabungan dari NTN dan Nilai Tukar Pembudidaya ikan (NTPi). Penghitungan NTPi ini juga dilakukan, karena unsur ekonomi dua kelompok perikanan ini sangat berbeda, baik biaya penerimaan, apalagi biaya pengeluaran.


Jadi, mulai saat ini kelompok masyarakat pesisir yang sering dikatagorikan sebagai segmen masyarakat mayoritas miskin ini telah memiliki ukuran nilai tukar yang lebih akurat. Dengan adanya NTN kita dapat melihat kondisi nelayan lebih jelas setiap bulan, baik dalam musim paceklik atau musim panen. Akan lebih mudah mengetahui tingkat kesejahteraan pekerja di sektor kelautan dan perikanan. Demikian juga terhadap berbagai faktor ekonomi yang mempengaruhinya.


Pada dasarnya, nilai tukar ini umumnya digunakan untuk menyatakan perbandingan antara harga barang-barang dan jasa yang diperdagangkan antara dua atau lebih negara, sektor, atau kelompok sosial ekonomi. Begitu pun NTN, digunakan untuk mempertimbangkan seluruh penerimaan (revenue) dan seluruh pengeluaran (expenditure) keluarga nelayan. Selain itu, NTN juga digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan secara relatif dan merupakan ukuran kemampuan keluarga nelayan untuk memenuhi kebutuhan subsistemnya. Dengan demikian, akan diperoleh ukuran tingkat kesejahteraan nelayan yang semakin lebih akurat dan obyektif.


Berdasarkan hasil perhitungan BPS, NTN tahun 2008 terdapat peningkatan, yaitu hingga Desember 2008 mencapai angka 103,9. Jumlah ini meningkat sebesar 1,04% dibandingkan pada awal tahun, bulan Januari 2008 yang hanya sebesar 99,7. Artinya, pada akhir tahun 2008, nelayan telah dapat menyimpan hasil pendapatan yang diperoleh dari kegiatan penangkapan ikan setelah digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Meskipun di awal tahun mengalami ketekoran biaya hidup.


Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 39 Tahun 2008, juga telah ditetapkan bahwa kontribusi PDB Perikanan (tidak termasuk pengolahan) terhadap PDB Nasional tanpa MIGAS sebesar 2,67%. Pada tahun 2007, target kontribusi PDB Perikanan tersebut telah dilampaui, karena pada tahun tersebut kontribusi PDB Perikanan mencapai 2,77%, dan pada tahun-tahun selanjutnya diperkirakan akan terus meningkat. Sedangkan perkembangan usaha perikanan dari tahun 2002-2008, menunjukkan pertumbuhan yang paling tinggi dari kelompok usaha pertanian, yakni sebesar 5,60% per tahun. Sedangkan kelompok pertanian rata-rata hanya mencapai 3,48% per tahun dan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,56%.


Seperti yang pernah dikatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada akhir 2007 lalu di Lampung, dalam peringatan Hari Pangan Sedunia, keamanan dan kesejahteraan pesisir adalah mutlak. Perlu ditekankan gerakan penyelamatan pesisir, yang mencakup keamanan dan kesejahteraan lingkungan pesisir pantai. Pemerintah juga harus lebih memperhatikan tingkat jaminan keselamatan serta kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir, dengan menerapkan kebijakan ekonomi politik yang lebih berpihak pada pemenuhan kebutuhan dasar mereka, termasuk aman dari ancaman bencana.


Kita berharap pemerintah akan lebih tanggap terhadap permasalahan para nelayan. Sehingga tak ada lagi keidentikan nelayan dengan kehidupan miskin. Kita lihat saja, apakah penetapan Nilai Tukar Nelayan tersebut dapat berjalan benar dan memberikan dampak yang nyata bagi kesejahteraan para nelayan dan masyarakat pesisir pantai. Selain itu, kita tunggu juga kebijakan selanjutnya dari pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan para pewaris budaya bahari ini.


* Dimuat di Harian Medan Bisnis (Senin, 20 April 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar