------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Rabu, September 16, 2009

Kembali ke Tujuan Pendidikan yang Sebenarnya

Oleh : Adela Eka Putra Marza


Tidak berlebihan rasanya jika ada anggapan bahwa pada pendidikanlah tergantung nasib dan masa depan bangsa kita. Maklum, dunia masa depan yang dipacu dengan globalisasi merupakan dunia ilmu pengetahuan. Dan pendidikan adalah sumber bagi ilmu pengetahuan. Jika kita melalaikan pendidikan, berarti kita telah menelantarkan masa depan sendiri.


Pendidikan lahir dalam berbagai bentuk dan paham. Ada paham bahwa pendidikan merupakan wahana untuk menyalurkan ilmu pengetahuan, alat pembentukan watak, alat pelatihan keterampilan, alat mengasah otak, serta media untuk meningkatkan keterampilan kerja.


Sementara paham lainnya meyakini pendidikan sebagai media untuk menanamkan nilai-nilai moral dan ajaran keagamaan, alat pembentukan kesadaran bangsa, alat meningkatkan taraf ekonomi, alat mengurangi kemiskinan, alat mengangkat status sosial, alat menguasai teknologi, serta media untuk menguak alam raya dan manusia. Selain itu, banyak juga praktisi dan pemikir pendidikan yang menempatkan pendidikan sebagai wahana untuk menciptakan keadilan sosial, wahana untuk memanusiakan manusia, serta wahana untuk pembebasan manusia.


Salah Pemaknaan

Wajah pendidikan dewasa ini sudah banyak berubah. Wajah pendidikan yang sebelumnya mengarah kepada pembentukan watak manusia yang bermoral, kini sudah berganti arah menjadi pembentukan manusia yang manipulatif. Sehingga manusia yang “keluar” pun bukanlah manusia yang kreatif, namun sudah menjadi manusia yang bermental manipulatif, tidak mau bekerja keras, senang berhura-hura, malas, dan lain sebagainya. Padahal pada pendidikanlah kita menggantungkan masa depan bangsa ini. Apa jadinya bangsa ini ke depan jika yang dihasilkan dunia pendidikan di Indonesia saat ini hanyalah generasi yang malas, manipulatif, dan hedonistik?


Banyak orang sering mendengar dan mengucapkan kata pendidikan, namun tidak mengerti apa yang dimaksudkan dengan pendidikan itu. Sungguh miris sekali. Bahkan, para praktisi pendidikan sendiri pun banyak yang tidak memahami makna pendidikan itu sendiri.


Pintar, itulah makna pendidikan yang biasanya selalu ditekankan para orang tua dan pendidik kepada anak didik. Mereka menanamkan doktrin di benak anak didik, bahwa pendidikan merupakan sarana untuk menjadi manusia-manusia yang intelek. Padahal, untuk menjadi manusia yang benar-benar manusia, tidak hanya mengedepankan otak saja, tetapi juga harus bisa membangun sisi kemanusiaannya.


Jika ditinjau kembali ke belakang, pendidikan bisa diartikan sebagai proses yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat dalam rangka menyiapkan generasi penerusnya agar dapat bersosialisasi dan beradaptasi dalam budaya yang mereka anut. Pendidikan menjadi salah satu tradisi umat manusia sebagai bentuk usahanya dalam rangka mempertahankan keberlangsungan eksistensi kehidupan dan budayanya.


Seiring dengan perjalanan perkembangan keyakinan dan pemikiran umat manusia tentang pendidikan, telah lahir berbagai ideologi dan pandangan tentang hakikat dari pendidikan. Bagi sekelompok masyarakat pendidik, meyakini bahwa hakikat pendidikan adalah demi untuk menjaga nilai-nilai yang ada serta mempertahankan nilai dan tradisi yang sudah mereka anut. Kelompok inilah yang kemudian dikenal sebagai pendidikan aliran konservatif maupun intelektualisme.


Sementara itu, muncul pula pendirian bahwa pendidikan harus senantiasa membuat masing-masing individu manusia untuk memiliki personal behavior yang efektif, sehingga mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan sistem politik dan struktur ekonomi yang penuh dengan persaingan.

Pendirian yang lahir seiring dengan berkembangnya peradaban liberalisme abad modern ini merupakan pemikiran dan teori pendidikan dengan perspektif liberal, seperti aliran eksperimentalisme dan juga behaviorism.


Memanusiakan Manusia

Pendidikan kiranya juga harus mempersiapkan generasi muda untuk mampu menjalankan kehidupannya, bukan hanya sekedar mempersiapkan mereka untuk pekerjaan. Di sini pendidikan ditantang untuk mengerahkan anak didik ke arah hidup yang bermakna. Untuk itu, pendidikan harus mampu mengajarkan kearifan, yang tampak dalam kepiawaian anak didik untuk memilih.


Kearifan itu tidak hanya mengenai individu, tetapi juga mengenai bangsa. Maka, pendidikan juga harus bisa memberikan kearifan bangsa, yang di sini dapat menuntun anak didik untuk arif memilih dalam pembangunan bangsa ke depan.


Manusia tidak hanya terdiri dari intelektualitasnya saja. Pendidikan juga perlu memberikan pembinaan hati nurani, jati diri, rasa tanggung jawab, sikap egaliter, dan kepekaan normatif yang menyangkut makna nilai dan tata nilai.


Inilah yang menjadi hakikat dan tugas pokok pendidikan, yaitu memanusiakan manusia. Dalam kata lain, membantu anak didik untuk menjadi manusia dan mencapai identitas dirinya sesuai dengan kemampuannya. Pendidikan harus mampu membentuk watak, hati dan perasaan anak didik. Pendidikan tidak boleh tergoda untuk menekankan perkembangan sisi intelektualitas semata kepada anak didik. Pendidikan juga harus melakukan pembinaan kognitif, afektif, dan konatif terhadap cipta, rasa dan karsa anak didik secara stimultan.


Pembentukan menjadikan manusia bisa lebih dibantu, jika anak didik mengerti dan menguasai sisi humaniora. Untuk itu, pendidikan humaniora tidak boleh dikesampingkan dalam pembentukan manusia berwatak dan berkesadaran sosial, walaupun dewasa ini pendidikan begitu mengagungkan keunggulan sains dan teknik.


Dari hal inilah muncul kelompok yang mempunyai pandangan bahwa hakikat pendidikan itu adalah sebagai strategi humanisasi. Mereka percaya bahwa pendidikan merupakan proses dekonstruksi yang memproduksi wacana tanding, untuk membangkitkan kesadaran kritis kemanusiaan.


Selanjutnya, pendidikan bagi mereka ini identik dengan “proses pembebasan manusia.” Pendirian ini berangkat dari asumsi bahwa manusia dalam sistem dan struktur sosial yang ada telah mengalami proses dehumanisasi.


Bukan Hanya Guru

Mengembalikan makna pendidikan ke tujuan semual, menjadi tugas terberat saat ini. Kesalahan dalam memaknai tujuan sebenarnya dari pendidikan bisa saja membuat output dari pendidikan tersebut tidak sesuai lagi dengan yang diharapkan. Padahal dengan adanya pendidikan diharapakan dapat mengembangkan watak seseorang untuk dapat bersosialisasi dan beradpatasi dalam lingkungan masyarakat.


Harus diingat, pendidikan tidak semata hanya untuk mendapatkan intelektual pada anak didik. Namun lebih luas daripada sekadar isi otak saja, sisi humanis menjadi tujuan yang lebih penting. Sehingga menghasilkan manusis-manusia yang peka terhadap keadaan lingkungannya. Itulah tujuan yang sebenarnya dari pendidikan.


Tugas berat ini tentu saja berada di pundak para guru, yang secara langsung berinteraksi dengan anak didik di dalam ruang kelas sekolah. Guru sebagai orang pertama yang mempunyai peran besar dalam mendidik manusia-manusia dengan pendidikan, sehingga dapat mengimplementasikan nilai-nilai kebenaran di dalam hidup bermasyarakat.


Namun terlepas dari peran utama seorang guru tadi, sosok orangtua di dalam keluarga serta masyarakat di dalam lingkungannya, secara tidak langsung juga mempunyai peranan dalam membentuk watak seorang manusia. Percuma saja gurunya mati-matian membentuk sikap dan perilakunya sesuai dengan nila-nilai masyarakat, jika keluarga dan masyarakat sendiri tidak pernah memberikan contoh yang sesuai dengan nilai-nilai tersebut.


Kesimpulannya, pendidikan harus dikembalikan lagi pada tujuan yang sebenarnya, membentuk watak manusia yang berhati nurani, selain juga pentingnya sisi intelektualitas dalam menyambut perkembangan global. Dan tugas berat ini tidak hanya tanggung jawab seorang guru semata. Tetapi juga keluarga dan masyarakat yang langsung berinteraksi dalam lingkungan anak didik, harus mampu menjadi panutan yang arif.


* Dimuat di Harian Medan Bisnis (Senin, 16 Februari 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar