------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Kamis, Agustus 18, 2016

Masa Depan Bulutangkis Indonesia

Oleh: Adela Eka Putra Marza

Bisa dibilang tidak ada masyarakat Indonesia yang tidak kenal dengan permainan bulutangkis. Salah satu cabang olahraga tertua di dunia ini sama istimewanya dengan olahraga sepakbola bagi masyarakat Indonesia. Jika sepakbola jadi begitu merakyat di Indonesia karena semua orang bisa mengikutinya, tidak memandang kelas ekonomi, suku dan agama, maka bulutangkis pun seperti itu. Sampai pelosok negeri pun, pasti ada yang memainkannya.


Kita bisa melihat fanatisme masyarakat Indonesia terhadap bulutangkis dari berbagai pertandingan pada kejuaraan-kejuaraan yang diikuti oleh pemain bulutangkis Indonesia. Banyak orang yang selalu menunggu siaran langsung tim bulutangkis Indonesia di televisi, atau langsung menyaksikannya di tepi lapangan bulutangkis, seperti dalam ajang Indonesia Open yang digelar di Tanah Air setiap tahun, yang baru saja digelar awal Juni lalu.

Apalagi dulu Indonesia pernah mencatatkan prestasi emas melalui raket yang dipegang pemain-pemain bulutangkis Indonesia, seperti Rudy Hartono, Liem Swie King, Alan Budikusuma, Haryanto Arbi dan Taufik Hidayat, juga Susi Susanti dan Mia Audina. Mereka pernah mengharumkan nama Indonesia dan mengibarkan bendera Merah Putih di di tingkat dunia, dalam berbagai kejuaraan baik tingkat Asia maupun di level internasional.

Bahkan fanatisme masyarakat Indonesia terhadap bulutangkis sempat pula difilmkan pada tahun 2009 lalu. Dalam film berjudul “King” yang diangkat dari nama Liem Swie King itu, diceritakan bagaimana bulutangkis menjadi olahraga favorit hingga ke pelosok kampung. Seorang anak kecil yang mengidolakan King, bertekad untuk menjadi juara bulutangkis seperti idolanya. Fanatisme terhadap bulutangkis begitu terasa dalam film tersebut.

Masa-masa Kejayaan
Periode tahun 1970-an dan 1990-an, Indonesia pernah sangat disegani dalam dunia bulutangkis tingkat internasional. Tim bulutangkis Indonesia selalu diperhitungkan dalam setiap kejuaraan dunia. Pada era tahun 1970-an, Indonesia merajai Piala Thomas dengan memborongnya selama periode tersebut, dan memenangkan satu Piala Uber pada tahun 1975. Selain itu, atlet bulutangkis Indonesia juga merajai kejuaraan All England.

Sedangkan pada periode 1990-an, Indonesia memenangkan lima Piala Thomas secara berturut-turut hingga awal 2000-an dan dua Piala Uber. Kemudian tiga gelar tunggal putra dan lima gelar ganda putra All England, serta empat gelar tunggal putrinya yang diborong Susi Susanti. Medali emas bulutangkis di Olimpiade juga pernah dirasakan tiga kali pada periode ini, oleh Alan Budikusuma, Susi Susanti dan pasangan Rexy Mainaky/Ricky Subagja.

Sayangnya, setelah itu prestasi bulutangkis Indonesia mulai menunjukkan tren menurun dsalam beberapa tahun terakhir ini. Di kejuaraan Piala Thomas dan Piala Uber, tim bulutangkis Indonesia tidak pernah lagi bisa membawanya pulang ke Tanah Air sejak periode awal tahun 2000-an. Sedangkan di Olimpiade, pada tahun 2012 lalu untuk pertama kalinya tim bulutangkis Indonesia gagal mempersembahkan medali sejak tahun 1992.

Pada gelaran Piala Thomas dan Piala Uber 2016 yang baru saja usai, tim Indonesia pun kembali gagal mempersembahkan prestasi. Di Piala Thomas, Tommy Sugiarto dan kawan-kawan takluk di tangan tim Denmark pada laga final. Kegagalan ini menjadi yang kesekian kali sejak tahun 2002. Sedangkan, tim putri Indonesia sudah tumbang di babak perempat final oleh Korea Selatan, yang kemudian masuk ke final dan kalah dari China yang menjadi juara.

Pembinaan Usia MudaPenurunan prestasi tim bulutangkis Indonesia beberapa tahun terakhir ini, seharusnya membuat Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) berkaca diri. Ada banyak program yang harus dikoreksi. Salah satunya yang perlu dikaji kembali tentu saja program pembinaan usia muda. Sejumlah kekalahan tim bulutangkis Indonesia saat ini, membuktikan bahwa PBSI gagal membina pemain-pemain muda untuk menjadi pebulutangkis tangguh.

Pebulutangkis Indonesia periode sekarang tidak sepenuhnya bisa meneruskan catatan prestasi yang telah diukir oleh pendahulu mereka. Tak banyak nama dari pebulutangkis Tanah Air saat ini yang mampu menguasai kejuaraan bulutangkis dunia. Apalagi, pebulutangkis Indonesia era 2000-an sudah banyak yang memasuki usia pensiun, termasuk Taufik Hidayat yang “gantung raket” setelah Indonesia Open 2013 yang lalu.

Untuk meningkatkan program pembinaan usia muda, PBSI harus memberikan perhatian besar terhadap bibit-bibit pebulutangkis di daerah. Ini karena mereka memiliki kesempatan yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang berada di kota-kota besar. PBSI bisa melakukannya dengan merangkul pengurus cabang di daerah. Mereka kemudian dibina dan dilatih oleh para pelatih profesional dengan program latihan yang jelas.

Bibit-bibit pebulutangkis dari daerah ini juga harus terus diasah melalui pemusatan pelatihan yang disediakan di setiap provinsi, atau sejumlah kota-kota besar di setiap pulau besar di Indonesia. Dengan itu, pembinaan usia muda tidak hanya terpusat di Jakarta, tetapi juga merata di daerah-daerah. Untuk melakukan ini, PBSI harus menyiapkan sarana dan prasarana yang memadai serta dana pembinaan yang mencukupi.

Program Jangka Panjang
Selain meningkatkan kualitas melalui pemerataan pelatihan bagi para pebulutangkis di daerah, PBSI juga harus memperbanyak kuantitas kompetisi bagi mereka. Semakin banyak turnamen yang diikuti, maka pengalaman para pebulutangkis muda tersebut akan semakin tinggi dan kualitas mereka juga akan semakin terasah. Level turnamen yang diikuti seharusnya juga terus meningkat setiap tahun, hingga ke tingkat internasional.

Saat ini, Indonesia memiliki kejuaraan bulutangkis tingkat internasional yang selalu digelar setiap tahun, yaitu Indonesia Open, dimana sekarang sudah setara dengan kejuaraan bergengsi All England. Kejuaraan ini bisa memberikan harapan besar bagi perkembangan bulutangkis di Tanah Air. Kejuaraan tingkat dunia tentu dapat meningkatkan semangat para pebulutangkis Indonesia untuk bersaing dengan pemain-pemain bulutangkis dunia lainnya.

Program-program seperti ini memang tidak bisa langsung dirasakan hasilnya. Sifatnya lebih kepada program jangka panjang. Fanatisme masyarakat Indonesia terhadap bulutangkis pun tidak akan luntur begitu saja, meski saat ini miskin prestasi. Masyarakat Indonesia akan tetap menunggu prestasi tim bulutangkis negeri ini di kejuaraan bergengsi yang jauh lebih besar. Tentu saja demi mengembalikan kejayaaan bulutangkis Tanah Air.

* Dimuat di Rubrik Opini Harian Analisa (Selasa, 24 Mei 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar