------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Kamis, Juli 28, 2016

Menghadapi Kekeringan dengan Wawasan Lingkungan

Oleh: Adela Eka Putra Marza

Masalah kekeringan menjadi fenomena besar di hampir sebagian besar wilayah Indonesia dalam beberapa bulan terakhir. Pada saat ini, kekeringan memang sedang menjadi salah satu topik utama dalam permasalahan lingkungan. Hal ini bukan persoalan kecil, karena banyak sekali daerah di Indonesia mengalami kekeringan sangat parah dalam waktu bersamaan pada tahun 2015 ini.

Setidaknya, menurut data yang dilansir Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), ada delapan provinsi di Indonesia yang mengalami dampak kekeringan sejak bulan Juli 2015 lalu, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Jumlah ini semakin terus bertambah hingga saat ini. Pasalnya, masa kekeringan ini masih saja terus berlanjut.

Sejumlah daerah di beberapa provinsi tersebut, bahkan mengalami dampak kekeringan yang sangat parah. Sebut saja di Bogor, misalnya, daerah yang selama ini dikenal sebagai “Kota Hujan” malah mengalami kekeringan, sehingga warganya kesulitan dalam mendapatkan air bersih. Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB telah merilis bahwa bencana kekeringan ini mengakibatkan terjadinya krisis air dan berimbas pada lahan pertanian.

Salah satu akibatnya, 20.978 hektar lahan pertanian di Jawa Timur telah kering kerontang. Begitu pula dengan 788,8 hektar lahan pertanian di Puso, Nusa Tenggara. Selain itu, krisis air bersih akibat kekeringan juga melanda warga di 384 dusun di Yogyakarta, yang sebagian besar berada di Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Kulonprogo, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul (www.cnnindonesia.com, Selasa / 28 Juli 2015).

Memahami Penyebab Kekeringan
Masih menurut BNPB, seperti dilansir situs www.cnnindonesia.com, Indonesia mengalami ancaman bencana kekeringan akibat musim kemarau dan imbas badai El Nino di wilayah Asia Pasifik. Bencana kekeringan ini diperkirakan terjadi mulai akhir Juli hingga Oktober 2015 mendatang. Akibatnya, sejumlah daerah pun dilaporkan memerlukan penanganan segera, terutama yang berkaitan dengan air bersih dan air minum.

Ditambahkan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), beberapa musim kemarau bersifat lebih kering, karena terjadi pemanasan suhu muka laut di pasifik timur dan tengah Asia. Dampaknya, massa uap air di perairan Indonesia pun tertarik ke wilayah tersebut, sehingga menyebabkan berkurangnya curah hujan di Tanah Air. BMKG pun memprediksi bahwa puncak kemarau masih akan terjadi pada Agustus 2015 ini.

Dijelaskan oleh Ir Sri Puji Rahayu, MM dari Pusat Penyuluhan Pertanian Kementerian Pertanian, dalam situs http://cybex.deptan.go.id/, bencana kekeringan di Indonesia disebabkan faktor klimatologis dari letak geografis Indonesia di antara dua benua dan dua samudra, serta di sekitar garis khatulistiwa. Posisi ini menyebabkan Indonesia memiliki iklim monsoon tropis yang sangat sensitif terhadap anomali iklim El-Nino Southern Oscillation (ENSO).

ENSO menyebabkan terjadinya kekeringan, apabila kondisi suhu permukaan laut di Pasifik Equator bagian tengah hingga timur menghangat (El Nino). Berdasarkan analisis iklim 30 tahun terakhir, menunjukkan ada kecenderungan terbentuknya pola iklim baru yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Dampak perubahan iklim ini adalah bergesernya awal musim kemarau, hingga kemudian terjadinya kekeringan.

Secara detail, dia menjabarkan tiga penyebab kekeringan. Selain terjadi secara alami karena adanya penyimpangan iklim, kekeringan juga bisa disebabkan oleh tindakan manusia, yakni gangguan keseimbangan hidrologis, seperti alih fungsi lahan dan pendangkalan lahan cadangan air; dan kekeringan agronomis, yang terjadi akibat kebiasaan petani memaksakan menanam padi pada musim kemarau dengan ketersediaan air yang tidak mencukupi.

Gaya Hidup Berwawasan Lingkungan
Masalah kekeringan sebenarnya bisa dicegah dan dihadapi melalui gaya hidup yang berwawasan lingkungan. Secara harfiah, wawasan lingkungan bisa diartikan sebagai kesadaran dalam menggunakan dan mengelola sumber daya secara bijaksana. Dalam arti kata, gaya hidup yang berwawasan lingkungan adalah kehidupan dengan menjadikan lingkungan sebagai perhatian utama, sehingga terciptanya masyarakat yang sadar akan lingkungan.

Ir Sri Puji Rahayu, MM menyebut ada beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi kekeringan, yakni (1) gerakan masyarakat melalui penyuluhan; (2) membangun atau merehabilitasi atau memelihara jaringan irigasi; (3) membangun atau merehabilitasi atau memelihara konservasi lahan dan air; (4) memberikan bantuan sarana produksi, seperti benih dan pupuk, serta pompa spesifik lokasi; dan (5) mengembangkan budidaya hemat air.

Upaya terakhir merupakan yang paling mudah untuk dilakukan oleh siapapun. Menjalankan gaya hidup yang hemat air sangat penting, untuk menghemat cadangan air bersih pada saat musim kemarau terjadi. Menggunakan air bersih sesuai dengan kebutuhan, segera mematikan keran air saat bak sudah penuh, dan tidak membuang air minum dengan percuma, adalah beberapa contoh kecil yang bisa dilakukan untuk menghemat air.

Membangun dan memelihara jaringan irigasi, serta sumber dan lahan cadangan air juga bisa dilakukan bersama oleh kelompok petani di pedesaan dan masyarakat perkotaan. Dampak kekeringan memang baru akan terasa pada saat terjadinya musim kemarau. Oleh karena itu, gaya hidup yang berwawasan lingkungan harus mulai dilakukan dari sekarang, dan terus dibiasakan dalam setiap bagian dari kehidupan dalam bermasyarakat.

* Dimuat di Rubrik Lingkungan Harian Analisa (Minggu, 20 Maret 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar