------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Kamis, April 21, 2016

Emansipasi Bukan Hanya Soal Persamaan Hak

Oleh: Adela Eka Putra Marza

Emansipasi perempuan, perjuangan itulah yang kemudian diusung oleh para aktivis perempuan dalam melanjutkan ide dan gagasan RA Kartini. Emansipasi dalam semua bidang; pendidikan, ekonomi, hingga di panggung politik. Soal yang satu ini memang tak pernah berhenti diperbincangkan, meski waktu terus berganti. Namun ada hal yang sering terlupakan soal ide ini, soal makna dari emansipasi perempuan itu sendiri. Tentang ini pula yang Saya pikir perlu kita kaji lagi di sini, karena dewasa ini kita sudah terlalu jauh melenceng dari makna yang sebenarnya dari perjuangan tokoh pejuang perempuan Indonesia ini.


Emansipasi perempuan kerap disalahartikan oleh sebagian kita. Banyak perempuan di negeri ini yang mengartikan emansipasi perempuan dengan mengejar karir setinggi langit, kesetaraan gender yang kebablasan, bahkan dengan mengorbankan kodratnya sebagai perempuan. Padahal bukan itulah makna sebenarnya yang diinginkan oleh RA Kartini ketika memperjuangkan nasib kaumnya lebih dari 100 tahun yang lalu.

Sesungguhnya, apa yang diperoleh dari pemaknaan emansipasi perempuan seperti itu, terlebih dengan mengorbankan kodratnya sebagai perempuan, adalah kekalahan paling telak bagi kaum perempuan. Bagaimana tidak! Dengan pemahaman seperti itu, perempuan malah tak bisa merasakan kebahagiaan sebenarnya dari kodratnya sebagai seorang perempuan. Lupakan dulu pandangan sinis kita ketika melihat perlakuan tak adil terhadap perempuan yang dilakukan oleh sebagian kecil oknum laki-laki yang tak bertanggung jawab!

Kodrat perempuan yang lazim kita kenal adalah bahwa setelah seorang perempuan menikah, kemudian akan mengurus keperluan suaminya, melahirkan anak dan menjaganya hingga dewasa. Bentuk kehidupan seperti itu bagi sebagian perempuan adalah bentuk kebahagiaan yang paling alami. Namun bagi sebagian yang lain, merupakan pengekangan di mana wanita tidak bebas bergerak dalam menentukan hidupnya sebagaimana laki-laki.

Salah Pemahaman
Perbedaan dalam memahami makna sebenarnya dari kesetaraan gender, itulah yang menjadi pokok masalah di sini. Tak ada yang salah dengan budaya patriarkhi yang selama ini dianggap sebagai poin utama penyebab lahirnya ketidakadilan terhadap perempuan. Bukan juga masalah ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan yang dipandang telah meletakkan posisi kaum perempuan di bawah laki-laki.

Persepsi publik paling popular saat ini menganggap bahwa makna emansipasi perempuan sebagai perjuangan kaum perempuan demi memperoleh persamaan hak dengan kaum laki-laki. Namun persepsi ini keliru dalam pelaksanaannya, dan malah dipertahankan. Bahkan banyak aktivis perempuan yang kemudian lebih menyuarakan soal kesetaraan gender dengan menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki ini.

Makna emansipasi perempuan sebenarnya bukanlah seperti itu. Apabila hak kaum perempuan disamakan dengan laki-laki, malah akan merugikan pihak perempuan sendiri secara kodrati. Sebaliknya, hak kaum laki-laki juga mustahil disamakan dengan perempuan. Kenapa? Karena realitanya, kewajiban masing-masing jenis kelamin dengan latar belakang biologis kodrati yang berbeda ini jelas tidak mungkin sama.

Secara kodrati, meski dipaksakan dengan cara apa pun, kaum laki-laki tidak mungkin melakukan perilaku kodrati perempuan, seperti menstruasi, pregnasi, laktasi (datang bulan, mengandung plus melahirkan, dan menyusui). Dengan latar belakang kodrati yang berbeda ini, perempuan justru memiliki kelebihan hak ketimbang laki-laki. Di dunia tenaga kerja di Indonesia, misalnya. Kaum perempuan mendapatkan cuti yang lebih banyak dari pada laki-laki; cuti hamil sekaligus melahirkan.

Secara kultural, jika hak perempuan disamakan dengan laki-laki, juga malah hanya akan merugikan perempuan sendiri. Karena dengan persamaan hak, kaum perempuan yang sedang hamil akan kehilangan hak kultural untuk dilindungi. Selain itu, perempuan juga tidak akan mendapatkan prioritas kemudahan di saat-saat khusus, seperti hak memperoleh tempat duduk yang layak di kendaraan umum.

Masih banyak hak otomatis lainnya yang akan diterima perempuan, seperti hak untuk terlebih dahulu diselamatkan di saat bencana atau kecelakaan. Lainnya, hak untuk memperoleh prioritas kehormatan seperti dibukakan pintu mobil, dipayungi di saat hujan, dan aneka adat istiadat tata kesopanan yang menguntungkan kaum wanita lainnya.

Hak dan Tanggung Jawab
Pada akhirnya, soal emansipasi perempuan ini bukanlah bicara soal kesetaraan gender atau persamaan hak antara perempuan dengan laki-laki. Sebenarnya tidak ada masalah dalam kedudukan antara kaum adam dan kaum hawa. Juga tak ada persoalan antara posisi laki-laki dan posisi perempuan, dalam bidang apapun itu. Karena masing-masing sudah punya hak dan tanggung jawab, serta fungsi dan peranan yang harus dijalankan.

Emansipasi yang disuarakan oleh RA Kartini, sebenarnya lebih menekankan pada tuntutan agar perempuan saat itu memperoleh pendidikan yang memadai, menaikkan derajat perempuan yang kurang dihargai, serta kebebasan dalam berpendapat dan mengeluarkan perkiraan. Pada masa itu, tuntutan tersebut adalah lompatan besar bagi perempuan yang disuarakan oleh perempuan, khususnya pada masyarakat Jawa.

Makna emansipasi perempuan yang benar adalah perjuangan kaum perempuan demi memperoleh hak memilih dan menentukan nasib sendiri. Sampai saat ini, mayoritas perempuan Indonesia, terutama di daerah pedesaan dan sektor informal belum sadar atas hak memilih dan menentukan nasib mereka sendiri, apalagi memilikinya.

Hal ini disebabkan oleh aturan-aturan normatif yang membelenggu persepsi etika, moral, dan hukum genderisme lingkungan sosio-kultural kita yang serba keliru. Belenggu budaya ini pulalah yang kemudian menciptakan salah pemahaman dalam memandang posisi antara perempuan dan laki-laki. Pada akhirnya, budaya kuno inilah yang seharusnya kita dobrak melalui gerakan perjuangan emansipasi perempuan yang dulu disuarakan oleh RA Kartini, demi memperoleh hak asasi untuk memilih dan menentukan nasib sendiri.

Namun, tetap harus diingat, emansipasi perempuan di sini bukanlah dengan tindakan yang kebablasan seperti yang terjadi saat ini. Dalam memperjuangkannya tetap tanpa melupakan kodrat sebagai perempuan. Sekarang tinggal bagaimana memahami hak dan tanggung jawab masing-masing, baik perempuan maupun laki-laki. Sehingga tak ada lagi kesenjangan kedudukan di antara keduanya.


* Dimuat di Rubrik Opini Harian Analisa (Kamis, 21 April 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar