------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Kamis, Juli 10, 2014

Pemilih Cerdas untuk Pemimpin yang Bernas

Oleh: Adela Eka Putra Marza

Tahun 2014 ini menjadi tahun demokrasi bagi Indonesia, dengan digelarnya pesta demokrasi terbesar di negeri ini. Tepat pada 9 April 2014 lalu rakyat Indonesia telah memilih langsung wakil rakyatnya sebanyak 20.257 orang, untuk mewakili mereka mulai di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tingkat pusat sebanyak 560 orang, 2.137 orang di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi, dan 17.560 orang di DPRD kabupaten/kota.

Masyarakat Sumatera Utara sendiri telah memilih sebanyak 1.100 wakilnya di tingkat kabupaten/kota, 100 orang di tingkat provinsi, dan 30 orang di tingkat pusat. Sementara itu, untuk DPRD Kota Medan sendiri terpilih anggota legislatif sebanyak 50 orang, yang juga dipilih langsung oleh masyarakat. Mereka semua diharapkan bisa menjadi wakil rakyat yang benar-benar akan mewakili aspirasi semua rakyat yang memilihnya.

Selanjutnya rakyat Indonesia akan memilih Presiden dan Wakil Presiden yang akan memimpin negeri ini hingga lima tahun ke depan. Berdasarkan jadwal yang dikeluarkan oleh KPU, pemilihan presiden ini akan dilaksanakan pada tanggal 9 Juli 2014 mendatang. Saat ini sudah ada beberapa nama bakal calon presiden dan wakil presiden yang muncul ke permukaan. Harapannya, tentu saja akan didapatkan pasangan pemimpin yang bernas.

Hati-hati Kepentingan Politik
Sejak era reformasi di Indonesia dan paham demokrasi dicetuskan dalam proses politik, pemilihan langsung pemimpin dan wakil rakyat oleh warganya masing-masing menjadi salah satu agenda utama dalam pemerintahan di negeri ini. Namun, ternyata proses pemilihan langsung tersebut tidak semua berjalan seperti yang diharapkan, karena tidak sedikit yang berujung sengketa, bahkan juga ada yang menyebabkan kerusuhan di sejumlah daerah.

Begitu pula Sumut, termasuk dalam daftar enam daerah yang memiliki kerawanan pada Pemilu 2014, bersama Papua, Jawa Barat, Jakarta, Sulawesi Tengah dan Jawa Tengah. Alasannya, Indonesian Police Watch (IPW) mencatat telah terjadi 10 peristiwa kekerasan dalam pelaksanaan suksesi politik di Sumut sepanjang tahun 2013, dengan 21 orang tewas, 26 luka, dan sebuah bangunan lapas dibakar (www.medanbagus.com, 5 Januari 2014).

Kasus-kasus konflik sosial seperti ini diperkirakan muncul karena adanya kepentingan politik dari kelompok tertentu, yang secara licik melakukan permainan-permainan "kotor" untuk menjatuhkan saingan politiknya. Bahkan, tak jarang politisi melakukan "kampanye hitam" (black campaign) dengan menjelek-jelekkan pasangan lain, atau melakukan "politik uang" (money politic) dengan cara "membeli" suara rakyat.

Dalam teori sosiologi, konflik memang muncul karena adanya dua atau lebih kepentingan dalam sebuah kelompok masyarakat. Menurut Ruth Wallace dan Wolf Alison (1986), ada 3 asumsi utama dalam teori konflik yang dikemukakan oleh Marx. Salah satunya, bahwa setiap orang mempunyai kepentingan, dimana mereka ingin dan mencoba mendapatkannya, dan masyarakat selalu terlibat dalam situasi yang diciptakan itu.

Berkaca dari teori tersebut, bukan tidak mungkin setiap orang yang memiliki kepentingan menghalalkan segala cara demi mewujudkan keinginannya. Termasuk juga cara-cara kotor seperti yang dijelaskan di atas. Asumsi seperti ini juga yang berlaku dalam kancah perpolitikan tanah air. Tidak heran, jika kemudian cara-cara "kotor" itu seakan sudah lazim dilakukan dalam panggung politik di Indonesia.

Harus Siap Kalah
Kecurangan-kecurangan yang terjadi dalam perpolitikan bangsa kita bukan hanya dalam bentuk black campaign atau money politic. Tetapi, bahkan juga ada yang berani "membeli" kebijakan dari oknum pejabat terkait. Kecurangan seperti ini seakan sudah terstruktur dan masif, sehingga fenomena nyata itu sudah cukup sulit dimusnahkan jika tidak memberangus mulai dari akarnya, termasuk para oknum pejabat yang terlibat.

Pada Pemilu 2014 ini saja, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima 767 perkara sengketa pemilu. Jumlah ini mengalami kenaikan sebesar 22,13 persen dibanding jumlah perkara yang masuk ke MK pada pemilu 2009 yang hanya 628 perkara. Padahal, jumlah peserta pemilu tahun ini hanya 15 partai politik, bandingkan dengan pemilu lima tahun yang lalu diikuti oleh 35 parpol (www.republika.co.id, 18 Mei 2014)

Mantan Ketua MK Mahfud MD pernah pula menyebut di media massa pada 2010 lalu, bahwa dia memprediksi sekitar 30% - 50% dari sebanyak 244 pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia pada tahun 2010 berpotensi sengketa. Faktanya memang tidak jauh dari prediksi tersebut, sebanyak 95 perkara pilkada kemudian diterima oleh MK. Hal ini disebabkan oleh ketidaknetralan para aparat terkait.

Jika ditarik ke belakang, sebenarnya ketidaksiapan setiap pihak yang ikut bertarung dalam perhelatan politik untuk menerima kekalahan menjadi alasan utama, sehingga mereka melakukan semua cara untuk jadi pemenang. Namun, ketika kemenangan itu tidak bisa juga didapatkan, cara-cara kekerasan pun jadi pilihan terakhir. Tidak adanya kesadaran elit politik dalam berdemokrasi inilah yang menjadi penyebab munculnya konflik sosial.

Mental siap kalah dan siap menang seperti yang biasanya diikrarkan oleh setiap politisi ketika akan mencalonkan diri jadi pemimpin atau wakil rakyat, ternyata tidak selalu bisa dipenuhi oleh mereka semua. Dalam banyak sengketa politik, sikap tidak bisa menerima kekalahan itu kemudian diwujudkan oleh massa pendukung dengan melakukan tindakan anarkis yang berujung pada kerusuhan.

Cermat Sebelum Memilih
Hegemoni paradigma "kalah atau menang" yang selama ini terbentuk dalam benak kita, membuat agenda politik ini tidak lagi menjadi sebuah "pesta rakyat". Baik pemilu maupun pilkada tidak benar-benar menjadi proses mencari pemimpin seperti tujuan awal, tetapi malah sebagai ajang mencari orang berduit untuk jadi pemimpin. Padahal, hakikatnya adalah sebagai proses dinamika politik yang lebih demokratis, bertanggungjawab, partisipasif dan transparan sesuai dengan nilai-nilai politik yang tumbuh dan berkembang.

Hal ini seharusnya perlu menjadi perhatian bagi setiap calon pemimpin dan wakil rakyat yang ingin bermain di ranah politik. Selain itu, rakyat sebagai konstituen utama dalam agenda politik ini tentu juga harus memahami faktor-faktor yang dapat mengakibatkan munculnya kerusuhan sosial di dalam kehidupan masyarakat. Kita harus lebih cermat dalam menggunakan hak pilih, tanpa terpengaruh oleh iming-iming apapun dari siapa saja yang berkepentingan, sehingga dapat meminimalisir kecurangan.

Lebih lanjut, kita sebagai warga negara juga harus cerdas dalam menanggapi setiap isu yang berkembang di tengah masyarakat. Dengan cara itu, kita akan mampu menyaring setiap hal yang bisa dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk menyulut kekisruhan, terutama menjelang pelaksanaan Pemilihan Presiden (Pilpres) mendatang. Sehingga, pesta demokrasi terbesar di negeri ini bisa terlaksana dengan cerdas pula, dan menghasilkan pemimpin yang bernas; "berisi" dan dapat dipercaya.

* Dimuat di Rubrik Opini, Harian Analisa (Kamis, 5 Juni 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar