------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Kamis, Mei 01, 2014

Makanan Pun Bisa Merusak Lingkungan

Oleh : Adela Eka Putra Marza 

Persoalan lingkungan hidup dunia semakin hari memang terus semakin mengkhawatirkan. Pengrusakan lingkungan, eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan dan gaya hidup yang tidak bersahabat dengan alam menjadi masalah utama terhadap kelestarian lingkungan hidup. Efeknya pun mulai terasa belakangan ini; pemanasan global, serta terjadinya bencana alam seperti banjir dan badai.

Ulah tangan-tangan jahil manusia menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan, selain juga sebagian kecil disebabkan oleh bencana alam. Kasus penebangan hutan secara liar, penggunaan zat-zat kimia yang sangat berlebihan oleh bidang industri, hingga gaya hidup yang konsumtif dan tidak cinta lingkungan, merupakan sebagian dari kegiatan manusia yang merusak lingkungan.

Belakangan, perilaku konsumtif dalam memenuhi bahan pangan hingga persoalan limbah makanan itu sendiri, juga mulai menjadi perhatian besar bagi para penggerak aksi penyelamatan lingkungan di dunia. Kebiasaan kita mengonsumsi makanan secara berlebihan dapat berakibat terhadap pengurangan sumber energi. Begitu pula limbah makanan tersebut yang kemudian menjadi masalah berikutnya terhadap lingkungan.

Konsumsi Pangan Berlebihan
Fakta yang ada saat ini di dunia, ternyata banyak sekali makanan yang terbuang sia-sia akibat gaya hidup yang konsumtif manusia. Padahal di satu sisi dunia, juga masih banyak warga bumi yang kekurangan pangan dan kelaparan. Makanan yang terbuang percuma itupun berdampak terhadap lingkungan hidup, karena semua sumber daya dan input dalam pembuatannya juga terbuang percuma.

Seharusnya, makanan tersebut bisa dihemat dan dimanfaatkan untuk kebutuhan makanan bagi warga yang membutuhkan. Berdasarkan data dari Badan PBB untuk Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO) menyebutkan bahwa sekitar 1,3 miliar ton makanan terbuang percuma setiap tahun. Jumlah ini sama dengan seluruh makanan yang diproduksi di wilayah Sub-Sahara Afrika.

Angka ironis lainnya dari data tersebut adalah, satu dari tujuh orang di dunia tidur dalam kondisi lapar. Sedangkan lebih dari 20.000 anak di bawah usia lima tahun, meninggal karena kelaparan. Jika kita bisa menghemat konsumsi pangan, tentu dapat menurunkan angka-angka tersebut, sekaligus secara otomatis ikut menjaga kelestarian lingkungan hidup melalui penghematan sumber daya (www.nationalgeographic.co.id, 5 Juni 2013).

Gaya hidup boros dalam mengonsumsi makanan ini berdampak pula terhadap pemborosan sumber daya alam dalam proses produksinya, seperti pemborosan penggunaan air, pemborosan bahan kimia seperti pupuk pestisida, serta pemborosan bahan bakar dalam transportasi dan pendistribusian. Pemborosan-pemborosan itulah yang kemudian mengakibatkan kerusakan lingkungan.

Persoalan Limbah Makanan
Selain soal sumber daya yang digunakan dalam pembuatannya, sisa-sisa makanan juga berdampak terhadap lingkungan melalui sampah yang dihasilkannya. Masalah limbah makanan ini adalah masalah yang terjadi di seluruh negara, baik negara maju, negara industri maupun negara berkembang, termasuk di Indonesia, terutama pada sektor industri dan perdagangan, seperti hotel, restoran dan perkantoran.

Dari data Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia (KemenLH RI), seperti dilansir oleh www.voaindonesia.com (5 Juni 2013), masyarakat Indonesia mengkonsumsi ayam mencapai 91 persen dalam kurun waktu sebulan sekali. Angka ini sedikit lebih besar dibandingkan konsumsi daging merah, 77 persen. Sementara itu, konsumsi produk yang dihasilkan daerahnya sendiri berupa umbi-umbian lokal tercatat hanya 36,4 persen.

Coba bayangkan berapa jumlah limbah makanan yang dihasilkannya dalam satu tahun. Berdasarkan data tersebut, sisa sampah organik terutama makanan hanya sekitar 2,2 persen yang dikomposkan. Sedangkan selebihnya dibuang dan menjadi beban lingkungan yang terus bertambah setiap waktu. Limbah-limbah makanan ini akan terus bertambah setiap hari dan menumpuk di lokasi pembuangan sampah.

Di Sumatera Utara, limbah makanan juga berkontribusi besar terhadap permasalahan lingkungan. Berdasarkan hasil inventory Gas Rumah Kaca (GRK) dari sektor sampah, persentase limbah padat pada komponen makanan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Namo Bintang Kota Medan sebesar 33,31 persen. Bahkan di Kabupaten Langkat mencapai 52,56 persen sampah makanan (Harian Analisa, 12 Juni 2013).

Besarnya jumlah limbah makanan ini menunjukkan besar pula pemborosan yang terjadi. Fakta ini tidak hanya berdampak secara finansial, tetapi juga berakibat buruk bagi lingkungan. Semakin banyak limbah makanan yang terbuang, maka semakin banyak pula metana yang dihasilkan dalam proses pembusukannya. Hal ini dapat meningkatkan emisi gas methan sebagai salah satu gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global.

Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan
Untuk pengelolaan sampah, Indonesia sebenarnya sudah memiliki Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Namun, sejauh ini belum ada peraturan yang secara spesifik mengatur tentang pengelolaan sampah makan di sektor industri dan perdagangan.

Soal alat hukum ini juga semestinya menjadi perhatian pemerintah, selain juga melakukan aksi penghematan konsumsi pangan bersama masyarakat. Di samping itu, masyarakat juga perlu mengetahui tentang pola konsumsi dan produksi berkelanjutan, yang telah disepakati oleh KemenLH RI bersama instansi pemerintah lainnya dalam bentuk kerangka kerja 10 tahun di Indonesia pada tahun 2013 ini.

Melalui program ini, Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menerapkan secara kongkrit prinsip-prinsip berkelanjutan dalam konsumsi dan produksi ke dalam seluruh kebijakan pembangunan. KemenLH RI sendiri saat ini sedang mengembangkan beberapa kriteria ramah lingkungan terkait dengan produksi makanan, untuk dipatuhi oleh semua industri makanan termasuk restoran dan rumah makan.

Sedangkan untuk rumah tangga, tentu saja kita juga bisa melakukan sejumlah upaya-upaya kecil dalam mendukung aksi global penyelamatan lingkungan hidup ini. Banyak hal yang bisa dilakukan mulai dari yang sederhana dan mulai dari keluarga kita. Misalnya, memilih bahan makanan dan memproduksinya dengan pendekatan ramah lingkungan. Selain itu, pola hemat dalam mengkonsumsi makanan juga perlu diterapkan dalam keluarga.

Meskipun hanya upaya-upaya kecil, tapi manfaatnya untuk lingkungan akan sangat besar sekali, apalagi jika dilakukan setiap hari. Manfaatnya juga bukan hanya untuk diri kita sendiri, tapi juga untuk orang lain bahkan hingga anak cucu kita. Persoalan ini harus mulai menjadi perhatian kita bersama, dengan meningkatkan kesadaran global akan kebutuhan untuk mengambil tindakan lingkungan yang positif.

Penerapan gaya hidup hemat dalam mengonsumsi makanan ini, selain dapat membangkitkan penghematan secara finansial, secara tidak langsung juga ikut menyelamatkan lingkungan. Mulai dari sekarang, kita harus lebih sadar akan dampak lingkungan yang diakibatkan dari pilihan jenis makanan yang dibuat ataupun dikonsumsi. Karena, makanan pun bisa merusak lingkungan, jika tidak dimanfaatkan secara tepat.


* Dimuat di Rubrik Opini, Harian Analisa (Kamis, 30 Januari 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar