------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Minggu, Juni 30, 2013

Menanti Realisasi Kawasan Tanpa Rokok di Medan

Oleh: Adela Eka Putra Marza 

Ketika beberapa daerah di Indonesia sudah sejak lama memberlakukan peraturan daerah yang mengatur kawasan tanpa rokok di daerahnya masing-masing, maka sejumlah pemangku kekuasaan di Kota Medan hingga saat ini masih saja sibuk beradu argumen mengenai penerapan kawasan tanpa rokok tersebut. Padahal sudah sangat jelas dan banyak penelitian yang mengungkapkan tentang bahaya dan kerugian akibat merokok.

Pemerintah Kota Medan sebenarnya sudah punya Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR), dan sudah pula disosialisasikan sejak tahun 2010 lalu. Namun hingga saat ini, Ranperda KTR yang sudah diajukan Pemko Medan kepada DPRD Medan tersebut masih juga belum disahkan. Ranperda KTR tersebut masih dalam pembahasan DPRD Medan selama beberapa tahun terakhir ini.

Padahal secara hukum, pemberlakukan kawasan tanpa rokok sudah diamanatkan melalui Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam Pasal 115 Ayat (1) dijelaskan bahwa kawasan tanpa rokok meliputi fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, serta tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.

Selain itu, dalam Pasal 115 Ayat (2) juga ditegaskan bahwa “Pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya.” Peraturan ini kemudian didukung dengan Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 188/Menkes/PB/I/2011 dan Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

Dalam Peraturan Bersama Menkes dan Mendagri itu, pada Pasal 6 Ayat (1) disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai kawasan tanpa rokok di provinsi dan kabupaten/kota diatur dengan perda provinsi dan perda kabupaten/kota, yang diantaranya memuat pengaturan tentang kawasan tanpa rokok, larangan dan kewajiban, serta sanksi. Dengan itu, sudah sangat jelas kewajiban tentang penerapan kawasan tanpa rokok tersebut.

Perokok Meningkat

Seperti diberitakan Harian Analisa pada Selasa, 14 Mei 2013 yang lalu, ternyata jumlah perokok aktif di Indonesia sebanyak 58,5 juta jiwa, berdasarkan data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010. Dari jumlah tersebut, kelompok umur 15-19 tahun yang merokok aktif dan kadang-kadang mencapai 3,8 juta jiwa. Sementara itu, kelompok umur 20-24 tahun mencapai 5,7 juta jiwa.

Sebelumnya, pada 27 Juli 2011 lalu Kantor Berita Antara pernah memberitakan bahwa jumlah perokok di Indonesia terus meroket dari tahun ke tahun. Berdasarkan data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional dan Riset Kesehatan Dasar, jumlah perokok di Indonesia yang terdata pada tahun 1995 hanya sebanyak 34,7 juta perokok. Angka tersebut kemudian melonjak drastis pada tahun 2007, menjadi 65 juta perokok

Selain itu, masih berdasarkan data tersebut, pravelansi merokok pada usia remaja juga sangat mengkhawatirkan. Jika pada tahun 1995 hanya 7 persen remaja merokok, lalu 12 tahun kemudian meningkat menjadi 19 persen. Data tersebut membuktikan betapa lemahnya upaya pemerintah dalam melindungi remaja dari rokok dan efektifnya strategi promosi dan pemasaran yang dilakukan oleh industri rokok.

Kemudian, pada 2012 lalu Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi juga mengatakan bahwa sekitar 67 persen laki-laki di Indonesia saat ini adalah perokok. Jika melihat jumlah penduduk Indonesia, maka diperkirakan lebih dari 60 juta pria di Indonesia adalah perokok. Jumlah perokok aktif bukan tidak mungkin akan terus bertambah setiap tahun, jika pemerintah tidak berperan aktif untuk segera mengesahkan sejumlah peraturan untuk mengendalikannya.

Fenomena lonjakan jumlah perokok aktif di Indonesia ini diyakini banyak peneliti disebabkan oleh lemahnya peraturan tentang pengendalian konsumsi rokok di Indonesia dan belum efektifnya kawasan tanpa rokok. Selain itu, juga karena tingginya pertumbuhan penduduk dan tingginya pertumbuhan ekonomi, sehingga daya beli terhadap rokok juga semakin kuat.

Efek Negatif
Selama ini, banyaknya pihak yang kontra terhadap peraturan bebas rokok memberikan alasan bahwa pabrik rokok sebagai produsen menjadi salah satu penyumbang pajak terbesar di Indonesia, dimana kemudian dana pajak tersebut digunakan untuk pembangunan. Selain itu, nasib para petani tembakau yang merupakan bahan utama untuk produksi rokok juga sering dijadikan alasan untuk menolak peraturan bebas rokok.

Padahal, sebenarnya dampak negatif rokok jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan hasil yang diberikan bagi pendapatan pajak negara. Rokok tidak hanya dapat merusak kesehatan orang yang mengisap tembakaunya saja, tapi juga dapat mengganggu kesehatan orang yang menghisap asapnya. Dalam artian, tidak hanya satu orang yang akan merugi akibat sebatang rokok, tapi juga akan merugikan orang-orang lain yang berada di sekitarnya.

Dengan masih tingginya jumlah perokok di Indonesia, prevalensi penderita tuberkulosis per 100.000 penduduk di Indonesia pun saat ini masih belum bisa turun sesuai dengan Target Pembangunan Milenium (MDGs). Saat ini, prevalensi tersebut diperkirakan masih pada angka 285, sedangkan MDGs mensyaratkannya pada angka 221 pada tahun 2015. Sedangkan tingkat kematian karena tuberkulosis di Indonesia mencapai angka 27.

Efek negatif dari rokok memang sangat buruk, seperti dapat menyebabkan terjadinya kanker paru-paru, jantung, gangguan kehamilan pada wanita dan sebagainya. Selain itu, rokok juga menjadi salah satu penyebab tersumbatnya pembuluh darah, sehingga aliran darah menuju otot jantung menjadi terhenti dan dapat menimbulkan penyakit jantung koroner. Efeknya lebih jauh bisa mengakibatkan kematian.

Meski begitu, masih saja tetap banyak orang mengonsumsi rokok. Hal ini disebabkan karena efek negatif rokok terhadap kesehatan memang tidak bisa dirasakan langsung oleh perokok aktif maupun perokok pasif. Efek negatifnya terhadap kesehatan itu baru akan terasa sekitar 10-20 tahun mendatang. Tidak heran jika banyak penduduk Indonesia yang menderita banyak penyakit di hari tuanya.

Pengendalian Secara Ketat
Untuk menurunkan konsumsi rokok memang diperlukan kebijakan pengendalian konsumsi rokok yang komprehensif yang dilakukan secara ketat oleh semua pihak. Beberapa upaya harus dilakukan terutama oleh pemerintah, misalnya peningkatan harga rokok melalui peningkatan cukai, pelarangan iklan rokok secara menyeluruh, peringatan kesehatan bergambar di bungkus rokok dan kawasan tanpa rokok.

Banyak negara yang memberlakukan sejumlah peraturan secara ketat untuk membatasi konsumsi rokok masyarakatnya. Di Singapura misalnya, pemerintahnya sengaja menaikkan cukai rokok sehingga harga jualnya pun sangat tinggi. Satu bungkus rokok di Singapura bisa mencapai harga belasan dolar Singapura, atau hampir Rp 100 ribu per bungkus. Iklan rokok juga diatur ketat, sehingga sangat jarang dijumpai papan iklan rokok di tempat umum.

Selain itu, jika masih ada orang yang ingin merokok di Singapura, mereka hanya boleh melakukannya di tempat-tempat khusus yang diperuntukkan bagi orang yang ingin merokok. Jika ada yang melanggar peraturan tersebut dengan merokok di tempat umum, maka mereka akan didenda hingga 1000 dolar Singapura, atau mencapai Rp 7,2 juta. Peraturan-peraturan tersebut tentu saja membuat penduduk Singapura berpikir panjang untuk merokok.

Di Indonesia sendiri, dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 199 Ayat (2) disebutkan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Namun, sayangnya peraturan ini belum dilaksanakan secara ketat, karena penerapan kawasan tanpa rokok juga belum maksimal.

Jika melihat kondisi tersebut, tentunya sangat diharapkan ketegasan pemerintah daerah untuk menjalankan amanat dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 115 yang telah dijelaskan sebelumnya. Pemerintah daerah harus segera menerapkan kawasan tanpa rokok di lokasi-lokasi yang telah diatur undang-undang, dan kemudian diikuti dengan pelaksanaan sanksinya secara ketat.


* Dimuat di Harian Analisa (Minggu, 30 Juni 2013)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar