------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Rabu, Januari 16, 2013

Belajar Profesional, Siap Mundur dari Jabatan

Oleh: Adela Eka Putra Marza 

Dalam sejarah panjang kelahiran Republik Indonesia, pernah tercatat tentang pengunduran diri Mohammad Hatta dari jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Ketika itu, Hatta memiliki perbedaan pendapat dengan Presiden RI Soekarno tentang visi dan pendekatan dalam membangun bangsa Indonesia. Hatta tidak setuju dengan rencana Soekarno untuk melanjutkan revolusi, karena menurutnya saat itu sudah masanya memikirkan nasib rakyat.


Dengan alasan untuk tidak membebani pemerintahan Soekarno dengan perbedaan pendapat tersebut, akhirnya Hatta mengundurkan diri pada 1 Desember 1956. Kemudian Soekarno memberhentikannya secara hormat melalui Keputusan Presiden No. 13 Tahun 1957, pada 5 Februari 1957. Pengunduran diri Hatta tersebut hingga saat ini masih tercatat sebagai bentuk sportif seorang pejabat dalam menyikapi sebuah perbedaan prinsip.

Namun, sikap berani mundur dari suatu jabatan seperti yang pernah dilakukan Hatta mungkin masih menjadi fenomena langka di negeri ini. Bahkan, banyak pejabat publik di tanah air yang tersandung kasus hukum, namun tetap saja bersikeras mempertahankan jabatannya. Meski sudah menuai banyak kritik dan unjuk rasa dari masyarakat, tetap saja banyak pejabat di Indonesia yang "mati rasa" dan "menutup mata" terhadap kasus hukum yang menjeratnya.

Sikap Bertanggung Jawab
Padahal keputusan mengundurkan diri dari jabatan dengan alasan tidak mampu lagi atau karena terlibat kasus hukum, merupakan bentuk sikap terhormat dari seorang pemimpin. Ini menunjukkan mental seseorang yang menerima kritik saat melakukan kesalahan. Selain itu, MPR RI melalui Tap MPR No VI Tahun 2001 juga telah menyarankan pejabat publik dan elit politik yang merasa melanggar peraturan dan etika untuk mengundurkan diri

Jika kita melihat ke luar negeri, maka budaya para pemimpinnya sangat jauh berbeda dengan di Indonesia. Banyak kita saksikan para pemimpin di negeri asing yang secara "jantan" mengundurkan diri dari jabatan publik yang diembannya, ketika ia merasa tidak sanggup lagi menjalankan tugas secara maksimal atau tersangkut dalam suatu kasus hukum. Bahkan mereka juga mengakui kesalahannya dan siap untuk bertanggung jawab.

Lihat misalnya, Ketua Parlemen Singapura Michael Palmer yang mengundurkan diri pada 12 Desember 2012 lalu karena terlibat skandal seks. Hebatnya lagi, ia mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada rakyat, serta dengan tegas menyampaikan alasan pengunduran dirinya untuk mempertanggungjawabkan kesalahan yang telah dilakukannya (Harian Analisa, 13 Desember 2012).

Begitu juga dengan pengunduran diri Walikota New York Eliot Spizer pada 2008 lalu karena ketahuan menyewa pelacur oleh media massa. Kemudian kasus perselingkuhan Direktur CIA David Petraeus dengan penulis biografinya Paula Rodwel, yang menyebabkan ia mundur dari jabatannya pada awal November 2012. Ternyata di negara liberal seperti Amerika Serikat sekalipun, kesadaran moral para pemimpinnya tetap jadi persoalan utama.

Mundur Karena Korupsi
Ketika Andi Mallarangeng mengundurkan diri sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga RI pada awal Desember 2012 lalu, ia mendapat banyak apresiasi dari sejumlah pihak, termasuk dari atasannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu Andi mengundurkan dari jabatan yang telah dipegangnya sejak 2009 itu, karena terlibat dalam kasus korupsi proyek Pembangunan Pusat Pelatihan dan Sarana Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang.

Dalam konferensi pers pengunduran dirinya tersebut, ia memberikan alasan bahwa status tersangka yang telah ditetapkan Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK) terhadapnya beberapa hari sebelumnya, dapat menghambatnya dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraan. Selain itu, ia juga beralasan ingin fokus dalam menyelesaikan persoalannya. Saat itu juga, Andi dengan tenang meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia.

Andi sendiri merupakan menteri aktif pertama yang mengundurkan diri dari jabatannya karena tersangkut kasus korupsi. Meskipun kasus korupsi yang didugakan terhadapnya telah merugikan negara sehingga ia pantas untuk turun dari jabatannya, namun sikap gentleman yang ditunjukkan Andi dengan mengundurkan diri tanpa paksaan dan tekanan dari siapapun lebih pantas diapresiasi dan menjadi contoh bagi pemimpin lainnya di negeri ini.

Sikap bijak yang ditunjukkan Andi ini seharusnya bisa ditiru oleh pejabat lainnya di Indonesia yang banyak tersangkut kasus korupsi, namun tetap bersikukuh untuk mempertahankan jabatannya. Bahkan tidak sedikit yang menghalalkan segala cara agar kasusnya bisa terus diulur oleh jaksa, meskipun si pejabat yang bersangkutan telah ditetapkan sebagai tersangka.

Tidak Tahu Malu (?)
Jika Andi diduga merugikan negara karena upaya korupsi yang disangkakan kepadanya, maka lain hal dengan kasus Bupati Garut Aceng HM Fikri. Pria yang menjabat Bupati Garut sejak tahun 2008 itu terlibat dalam skandal pernikahan siri dengan seorang gadis yang masih berusia 18 tahun, Fany Octora. Permasalahannya, Aceng kemudian menceraikan istri sirinya tersebut dalam 4 (empat) hari setelah pernikahan mereka. Akibatnya, Aceng pun diprotes oleh rakyatnya. Bahkan sejumlah media internasional turut menyorot "pernikahan kilat" tersebut.

Lain pula kasus korupsi Tunjangan Penghasilan Aparatur Pemerintahan Desa (TPAPD) Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel) Tahun 2005, yang didugakan terhadap Walikota Medan Rahudman Harahap saat ia menjabat Sekretaris Daerah di kabupaten tersebut. Dalam kasus itu, Kejaksaan Tinggi Sumut menetapkannya sebagai tersangka sejak 26 Oktober 2010 (Analisa, 10 September 2012). Namun, meski status tersangka tersebut sudah berumur 2 tahun, perkembangannya ternyata masih "gelap" hingga saat ini.

Jika membandingkan dengan sejumlah skandal yang melibatkan para pejabat di negeri Barat, seperti diulas pada awal tulisan, kita bisa melihat bahwa negara-negara bebas sekalipun tetap mengedepankan persoalan moral para pemimpinnya. Meski negaranya memberikan kebebasan bagi siapa saja untuk melakukan apapun asal tidak melanggar hukum yang berlaku, tetap saja seorang pemimpin harus bisa membatasi tingkah laku. Jika tersangkut masalah, ia harus berani mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada rakyat.

Padahal, dalam kasus skandal seperti perselingkuhan, jelas bukanlah perbuatan merugikan negara. Dalam artian, mereka sama sekali tidak memakan uang negara alias korupsi. Bahkan mereka juga tidak pernah ditetapkan sebagai tersangka atau divonis bersalah oleh lembaga peradilan. Tentu lain halnya dengan kasus Andi Mallarangeng yang memang diduga terlibat kasus korupsi, sehingga ia lebih memilih untuk mengundurkan diri daripada pengusutan kasusnya tersebut malah menimbulkan beban bagi pemerintahan.

Mencontoh yang Baik
Apa yang pernah dilakukan oleh Hatta, Andi dan sejumlah pejabat luar negeri tersebut tentu saja patut dicontoh oleh para pemimpin di negeri ini. Mereka menunjukkan sikap yang sangat sportif dan bertanggung jawab sebagai seorang pemimpin. Mereka siap dan berani mundur dari jabatannya tanpa tekanan atau paksaan, saat diduga terlibat dalam suatu persoalan hukum atau skandal yang tidak terpuji.

Harapannya, tentu saja sikap tersebut bisa membudaya di Indonesia. Setidaknya, dengan sikap berani mundur dari jabatan tersebut mampu menunjukkan kepada rakyat bahwa para pemimpin di negeri masih punya moral dan tanggung jawab. Apalagi di tengah-tengah krisis kepercayaan dari rakyat yang sedang terjadi saat ini. Lalu siapa pemimpin di negara kita ini yang berani mengikuti jejak Mohammad Hatta dan Andi Mallarangeng?


* Dimuat di Harian Analisa (Rabu, 16 Januari 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar