------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Sabtu, Desember 01, 2012

Rakyat Makin Beringas, Salah Siapa?

Oleh : Adela Eka Putra Marza

Selama beberapa hari terakhir, di tengah-tengah peringatan Hari Sumpah Pemuda, kita malah disuguhkan dengan berita-berita nasional seputar bentrok antar warga di sejumlah daerah. Kerusuhan sosial yang terjadi melibatkan ratusan bahkan ribuan warga antar daerah. "Hebatnya" lagi, bentrokan tersebut menyebabkan sejumlah orang meninggal dunia, rumah masyarakat yang hancur dilempar batu, dan kendaraan bermotor dibakar warga yang bentrok. Selain itu, ribuan warga terpaksa mengungsi dan anak-anak yang mengalami trauma akan kekerasan.

Mulai dari rusuh di Lampung Selatan, Bandar Lampung, antara warga Desa Agom Kecamatan Kalianda dengan warga Desa Balinuraga Kecamatan Way Panji. Sejak Minggu, 28 Oktober 2012 lalu, hingga saat ini, sudah belasan orang yang meninggal dunia dalam kerusuhan tersebut. Padahal, penyebabnya hanyalah masalah sepele. Namun, menjadi besar karena disusupi isu SARA, ditambah emosi yang meledak-ledak antara warga Desa Agom yang didominasi etnis Lampung ke Desa Bali Nuraga yang didominasi etnis Bali tersebut.

Beberapa bulan sebelumnya, tepatnya di pertengahan 2012, Lampung juga heboh karena konflik Mesuji, Ogan Komering Ilir. Sejumlah warga terpaksa kehilangan nyawanya. Penyebabnya adalah saling ejek antar dua kelompok warga yang berujung dengan kerusuhan. Selain itu, pada April 2011 dan penghujung tahun yang sama juga terjadi bentrok antar warga. Jika ditotal sudah menyebabkan belasan orang pula yang meninggal dunia. Belum lagi, akibat dari konflik antara perusahaan perkebunan sawit PT Silva Inhutani dengan warga setempat yang terjadi sejak 2003.

Kemudian bentrok antar warga yang terjadi di Palu, Sulawesi Tengah, di waktu yang bersamaan dengan kerusuhan di Lampung Selatan. Hingga saat ini, beberapa warga meninggal akibat bentrok, dan suasana masih "panas". Sebelumnya, pada April 2012 juga terjadi bentrok antar warga di Palu. Bentrokan ini malah hanya disebabkan oleh perkelahian kecil sejak tahun 1996 yang masih menyisakan dendam hingga saat ini. Berulang kali bentrok terjadi, meskipun sebenarnya kedua belah pihak yang berbeda desa tersebut masih memiliki hubungan keluarga.

Kebebasan Tanpa Kepastian Hukum
Jika melihat lebih jauh ke belakang, tentu kita juga akan ingat dengan sejumlah konflik di beberapa daerah, seperti konflik SARA di Poso (Sulawesi Tengah) dan Ambon, atau konflik separatis di Aceh dan Maluku Utara beberapa tahun silam. Belum lagi tawuran antar pelajar yang semakin marak terjadi, bahkan seakan jadi tren baru dalam kehidupan sosial pelajar. Semua konflik sosial ini malah terjadi ketika kita sudah lepas dari rezim "diktator" Orde Baru dan "keran" kebebasan dibuka selebar-lebarnya oleh pemerintah.

Satu hal yang perlu kita perhatikan dalam kasus ini adalah poin kebebasan. Kebebasan yang selama ini terkungkung akibat pemerintahan ala diktator yang dijalankan oleh elit politik Orde Baru, tiba-tiba saja didapatkan oleh semua rakyat ketika reformasi bergelora di Tanah Air. Sejak saat itu, semua orang bisa bebas bersuara, bebas mengeluarkan pendapat, dan bebas menunjukkan ekpresi dirinya. Apalagi ketika azas hak asasi manusia (HAM) semaki menguat dan menjadi kepemilikian utuh bagi siapa saja dengan perlindungan hukum oleh negara.

Bahkan, belakangan HAM selalu dijadikan tameng bagi setiap orang untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak salah, meskipun perbuatannya sebenarnya telah melanggar norma-norma sosial dan bertentangan dengan hukum. Tak heran jika banyak orang yang berani melakukan apa saja demi mendapatkan keinginannya, dengan alasan hal tersebut dilakukan atas hak asasinya sebagai seorang manusia. Seperti misalnya, warga yang menunjukkan ekspresi kemarahannya akibat (mungkin) harga dirinya dilecehkan orang lain.

Selain itu, menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang juga Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof. Jimly Asshiddiqie, dalam sebuah pertemuan di Bandung beberapa bulan yang lalu, kebebasan yang terjadi di Indonesia saat ini hanya dinikmati oleh sebagian orang saja. Hal ini kemudian justru menimbulkan kesenjangan yang berujung pada konflik di berbagai daerah. Apalagi kebebasan tersebut tidak disertai dengan prinsip keadilan dan tanggung jawab, sehingga akhirnya menimbulkan banyak masalah.

Kembalikan Kepercayaan Rakyat
Kesalahpahaman dalam mengartikan kebebasan dan hak asasi ini pun semakin menjadi-jadi, ketika hukum di negeri kita tidak dijalankan dengan benar oleh para penegak hukum. Rakyat tidak lagi yakin bisa mendapatkan keadilan dan kepastian hukum, meskipun dia adalah korban. Buktinya banyak pelanggar hukum bisa lepas dari jeratan tuntutan, hanya karena dia bisa "membeli" hukum tersebut. Bahkan ironisnya, ada kasus yang terjadi, malah pihak korban yang dihukum. Bukan tidak mungkin alasan-alasan seperti ini yang menyebabkan rakyat semakin beringas.

Keadilan dan kepastian hukum itu seperti oase yang sangat ditunggu untuk dapat menghapus dahaga rakyat saat ini. Namun masalahnya, alat-alat kekuasaan negara gagal memproduksi kepastian dan keadilan tersebut untuk semua rakyat. Dan lagi-lagi, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menikmati kepastian dan keadilan hukum tersebut, yang seharusnya menjadi hak bagi semua orang. Hanya elit saja yang bisa mendapatkannya, sedangkan rakyat biasa terpaksa harus menderita karena ketidakjelasan keadilan dan kepastian hukum tersebut.

Inilah yang kemudian melahirkan rasa ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah. Banyak persoalan yang sesungguhnya sepele akhirnya menjadi persoalan besar, karena semua orang merasa lebih baik mengambil tindakan sendiri daripada menyerahkan penyelesaiannya kepada penegak hukum. Apa yang dikatakan Ketua DPD RI Irman Gusman dalam Sidang Paripurna DPD Peringatan Hari Ulang Tahun Ke-8 DPD RI awal Oktober lalu, bahwasanya ketiadaan keadilan hukum berpotensi melahirkan berbagai gejolak dan konflik, ternyata sangat benar adanya.

Dalam hal ini, pemerintah mempunyai tanggung jawab berat untuk mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap pelaksanaan hukum di negeri ini. Pemerintah harus mampu meyakinkan kembali semua rakyat Indonesia, bahwa mereka juga mendapat perlindungan hukum yang sama tanpa adanya pembedaan, tanpa adanya transaksi jual beli hukum tersebut. Dengan itu, hukum yang selama ini hanya menjadi seonggok peraturan tanpa roh, bisa dirasakan keberadaannya sebagai sebuah kebenaran oleh semua orang tanpa kecuali.

Selain itu, pemerintah juga harus bertanggung jawab untuk menghidupkan kembali nilai-nilai kebebasan yang bertanggung jawab dalam kehidupan rakyat saat ini. Pendidikan harus mampu mengajarkan wawasan kebangsaan dan nilai-nilai pluralistik sejak dini. Sehingga, ketika anak-anak sudah menjadi bagian dari masyarakat, pemahaman tersebut bisa ikut tertanam di dalam kehidupan masyarakat. Kemudian, prinsip solidaritas dan sikap toleransi juga harus dihidupkan kembali dalam hidup bermasyarakat. Agar pemahaman tentang "perbedaan itu adalah kodrat" bisa dimaknai secara bersama, yang secara perlahan-lahan akan melunakkan kembali rakyat yang mulai beringas.


* Dimuat di Harian Analisa (Senin, 5 November 2012)

Sumber: http://www.analisadaily.com/news/read/2012/11/05/85538/rakyat_makin_beringas_salah_siapa/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar