------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Sabtu, Desember 01, 2012

Tayangan TV Mengancam Anak Kita

Oleh : Adela Eka Putra Marza

Sejatinya, televisi berfungsi sebagai media komunikasi, informasi, dan dengan sendirinya juga sebagai media pendidikan. Tentu saja tidak ada yang kontroversial dengan fungsi tersebut. Namun dalam perkembangannya belakangan ini, pengusaha media televisi ternyata lebih mengutamakan sisi bisnis dalam menjalankan media tersebut. Silang pendapat pun muncul karena persepsi, perspektif, dan kepentingannya kemudian bisa menjadi berbeda-beda.

Biasanya persoalan rating menjadi alasan utama ketika pengusaha televisi lebih memilih untuk menayangkan sinteron dengan cerita bertele-tele atau film televisi (FTV) tentang cinta, ketimbang menyajikan tayangan bermuatan pendidikan. Bahkan, belakangan tayangan reality show yang kebanyakan sudah diatur alur ceritanya juga ikut meramaikan dunia pertelevisian dalam negeri.

Tak heran jika kemudian muncul pendapat bahwa siaran televisi dianggap sebagai salah satu penyumbang terbesar terhadap kerusakan moral anak-anak. Penilaian banyak kalangan bahwa banyak tayangan televisi yang tidak memberikan nilai positif terhadap anak-anak menjadi pertimbangan penting. Malah banyak isi tayangan televisi yang tidak layak dikonsumsi anak-anak.

Ideologi Televisi
Seperti dikatakan Garin Nugroho, "Ia seperti Dewa Janus, penyelamat sekaligus penghancur. Televisi adalah meta-medium, instrumen yang tidak hanya mengarahkan pengetahuan tentang dunia, tetapi mengarahkan kita bagaimana mendapatkan pengetahuan" (Kompas, 10 September 1996). Televisi menawarkan ideologinya sendiri yang khas.

Seringkali televisi mencampuradukkan berbagai realitas pengalaman kita yang berlainan, karena tak adanya batasan yang jelas dan riil dalam setiap tayangan televisi. Kesulitan mengidentifikasi pengalaman pribadi yang sebenarnya; antara khayalan dan kenyataan, menjadi persoalan besar yang (malah) sering terlupakan. "Sebagai akibatnya, masyarakat kita bingung, gagap, tak berdaya, mengalami konflik, dan gegar budaya," tambah Dedy Mulyana dalam Jurnal Sosioteknologi Edisi 15 Tahun 7, Desember 2008.

Ungkapan Taufik Abdullah bahwa budaya televisi adalah "budaya pop" yang melarutkan identitas kita dalam keseragaman yang dangkal sehingga kita kehilangan kemampuan untuk mendefinisikan jati diri bangsa kita (Kompas, 14 April 1997), ternyata juga relevan dalam persoalan ini. Ini menjadi kenyataan, saat melihat banyak hilangnya jati diri dari generasi muda bangsa ini.

Televisi pada hakikatnya melakukan penetrasi yang lebih besar terhadap kehidupan kita dari pada ideologi-ideologi konvensional yang kita kenal selama ini. Hanya saja caranya begitu halus sehingga sulit terdeteksi. Ketika pesan-pesan yang disampaikan oleh televisi mulai menyimpang dari ideologi masyarakat Indonesia pada umumnya, tentu ini harus dipersoalkan. Apalagi, jika terjadi eksploitasi yang berlebihan dalam kehidupan seseorang yang ditayangkan; hanya karena pertimbangan bisnis.

Ketika media massa seperti televisi tunduk kepada kepentingan modal, kepentingan moral untuk masyarakat bisa menjadi ambivalen. Bahkan, media massa bisa tidak mempunyai kepekaan atas perasaan masyarakat. Media massa bisa kehilangan imajinasi dan fantasinya tentang masyarakat. Yang ia lihat, masyarakat adalah sederetan angka penting. Semakin tergantung masyarakat padanya, media massa itu akan semakin merasa sukses.

Ancaman Tersembunyi
Masalahnya sekarang, televisi tidak hanya memberikan ruang diplomasi virtual, tetapi juga menciptakan kesadaran baru. Media ini memberikan proses learning social norms yang lebih intensif daripada lainnya. Tentu saja dampaknya bisa baik, dan bisa buruk. Namun jika televisi dihadapi dengan ketidakkritisan, ia lebih cenderung berakibat buruk.

Itulah yang terjadi saat ini di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Kita belum punya kemampuan yang besar untuk menyaring setiap "godaan" yang diperlihatkan dalam tayangan-tayangan televisi. Apalagi jiga dengan mempertimbangkan daya ekonomi dan daya tawar masyarakat kita yang tidak merata. Hal ini pula yang kemudian mengancam anak-anak dengan yang setiap hari tidak bisa dari tayangan televisi.

American Academy of Pediatrics (AAP) dalam publikasi di jurnal ilmiahnya, "Pediatrics", pernah membuat pernyataan tentang pengaruh televisi terjadap anak; yang kemudian menimbulkan reaksi pro dan kontra. "…bahwa 2 tahun pertama seorang bayi adalah masa yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan otak, dan dalam masa itu anak membutuhkan interaksi dengan anak atau orang lain. Terlalu banyak menonton TV akan memberi pengaruh negatif pada perkembangan otak. Hal ini benar, terutama bagi usia yang masih awal, di mana bermain dan bicara sangatlah penting…"

Lebih lanjut, AAP mengeluarkan pernyataan tidak merekomendasikan anak di bawah 2 tahun untuk menonton TV. Sedangkan untuk anak yang berusia lebih tua, AAP merekomendasikan batasan menonton TV hanya satu atau dua jam saja, dan yang ditonton adalah acara yang edukatif dan tidak menampilkan kekerasan. Sebuah penelitian yang melibatkan lebih dari 3.000 anak usia 3 tahun, juga menemukan bahwa anak-anak yang terlalu sering menonton TV, secara langsung atau pun tidak, akan berisiko untuk memamerkan perilaku agresif (Kompas, 11 Juli 2011).

Pada kenyataannya, perilaku yang ditirukan anak-anak memang tidak sekadar bersifat fisik dan verbal, melainkan juga malah turut mempraktikkan nilai-nilai yang dianut tokoh-tokoh yang dilukiskan dalam setiap tayangan televisi yang ditontonnya. Pengaruh televisi memang tidak langsung terlihat, namun terpaan yang berulang-ulang pada akhirnya dapat mempengaruhi sikap dan tindakan penonton; dalam artian efeknya baru akan terasa setelah waktu yang lama.

Matikan TV!
Seharusnya para pengusaha media televisi sendiri bisa memikirkan bagaimana membuat program-program yang bermutu, menarik dan memberdayakan masyarakat, selain secara finansial menguntungkan. Jangan hanya sekedar menghitung, berapa keuntungan yang harus didapatkan dari program-program sinetron ataupun reality show yang tak jelas juntrungan dan manfaatnya.

Kita lupa bahwa mayoritas masyarakat kita tidak mendapatkan pendidikan yang maksimal, dan karenanya kurang kritis. Kita juga lupa bahwa sebagian besar dari pemirsa adalah anak-anak yang cenderung meniru apa yang mereka lihat dari televisi. Karenanya, keberadaan benda ini sangat besar pengaruhnya dalam proses pembentukan pola pikir dan karakter perilaku suatu masyarakat. Sehingga keberadaannya sangat penting dalam melakukan propaganda untuk kepentingan-kepentingan tertentu.

Semua ini memang tak bisa juga hanya menyalahkan para pengelola televisi. Kita juga harus melihat tingkat kesanggupan masyarakat kita untuk menerima semua konten tayangan televisi. Setiap individu, keluarga dan masyarakat memiliki tugas masing-masing untuk senantiasa membentengi dan mengingatkan diri sendiri, keluarga dan masyarakat dari berbagai pengaruh asing yang datang dan menggerogoti melalui televisi.

Seiring itu pula muncul seruan kampanye hari tanpa televisi pada Minggu, 25 Juli 2010 lalu, bersamaan dengan peringatan Hari Anak Nasional 23 Juli. Dengan kampanye ini, orangtua harus lebih memperhatikan pola kebiasaan anak menonton televisi; dengan tidak menghidupkan televisi selama satu hari. Harapannya, ketergantungan anak-anak akan siaran televisi bisa dikurangi.

Kita harus berani mengambil sikap tegas dalam membentengi diri kita sendiri dan terutama keluarga untuk menghindari nilai-nilai negatif dari televisi. Bahasa gampangnya, kita harus berani mematikan televisi ketika acara yang ditayangkan sama sekali tidak bermanfaat dan tidak mendidik. Seperti yang ditulis Sunardian Wirodono (2006) dalam bukunya tentang dampak negatif televisi; "Bunuh saja, TV-mu!"


* Dimuat di Harian Analisa (Sabtu, 28 Juli 2012)

Sumber: http://www.analisadaily.com/news/read/2012/07/28/65553/tayangan_tv_mengancam_anak_kita/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar