------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Senin, Desember 10, 2012

Asa Indonesia pada KPK



Oleh: Adela Eka Putra Marza

Bangsa Indonesia lagi-lagi dikejutkan dengan hasil perkembangan penyidikan sejumlah kasus korupsi di negeri ini. Setelah sebelumnya beberapa nama ditetapkan sebagai tersangka, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menunjukkan peningkatan kinerjanya dengan menetapkan beberapa orang tersangka lainnya dalam kasus korupsi proyek Pembangunan Pusat Pelatihan dan Sarana Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang.

Para tersangka baru dalam kasus korupsi senilai Rp 2,5 triliun itu salah satunya adalah Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Andi Alfian Mallarangeng, yang juga Sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat. Selain itu, adik bungsunya Andi Zulkarnain (Choel) Mallarangeng dan Kepala Divisi Konstruksi I PT Adhi Karya M Arief Taufiqurahman juga ditetapkan sebagai tersangka pada saat yang bersamaan.

Ini tertuang dalam surat KPK tanggal 3 Desember 2012 yang ditujukan kepada Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM. Dalam surat tersebut tertulis bahwa "...KPK sedang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi terkait pengadaan sarana dan prasarana olahraga Hambalang TA 2010-2011 yang dilakukan oleh tersangka Andi Alfian Mallarangeng selaku Menpora/Pengguna Anggaran..." (Harian Analisa, Jumat, 7 Desember 2012).

Terus Bergulir
Beberapa hari sebelumnya, sebenarnya Ketua KPK Abraham Samad sudah menjanjikan akan mengungkap sejumlah nama baru sebagai tersangka dalam kasus Hambalang. Apalagi sejak menetapkan Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga Dedy Kusdinar sebagai tersangka, sejumlah fakta baru dalam kasus korupsi ini mulai terkuak. Pelaku penyalahgunaan wewenang dalam kasus Hambalang semakin terlihat jelas.

Selain itu, dalam beberapa kali sidang di Pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) Jakarta mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dan mantan anggota Fraksi Demokrat DPR-RI Angelina Sondakh juga menyebut sejumlah nama petinggi partai penguasa tersebut yang turut andil dalam kasus Hambalang. Di antara nama yang disebut adalah Ketua Umum Anas Urbaningrum dan Sekretaris Jenderal Edhi Baskoro Yudhoyono alias Ibas Yudhoyono.

Pada awalnya, adalah Muhammad Nazaruddin yang terseret dalam kasus korupsi pembangunan Wisma Atlit di Palembang, hingga kemudian ditetapkan sebagai tersangka pada 30 Juni 2011. Meski sebelumnya ia bersikap defensif dengan cara bungkam tidak membongkar borok rekan-rekan separtainya, namun akhirnya ia tidak tahan juga. Nama Angelina Sondakh menjadi yang pertama diungkapnya ke KPK terkait kasus korupsi Wisma Atlit.

Kemudian, Nazaruddin juga menyebut nama Anas Urbaningrum sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam berbagai skandal. Pada saat itu Anas membantahnya, bahkan sampai bersumpah siap digantung di Monas (Monumen Nasional, Jakarta) jika ia terlibat dalam kasus korupsi tersebut. Selanjutnya, giliran putera Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Ibas Yudhoyono yang disebut oleh Nazaruddin dalam sidang Pengadilan Tipikor, Kamis (29/11) lalu.

Dukungan Penuh
Gebrakan yang dilakukan oleh KPK sejak dipimpin Abraham Samad memang memberikan harapan baru bagi upaya percepatan pemberantasan korupsi di Indonesia. Tak hanya kasus korupsi para pejabat politik, KPK juga memburu pelaku korupsi di jajaran kepolisian. Pada 3 Desember 2012 lalu, KPK sudah menetapkan mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Djoko Susilo sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengadaan simulator SIM di Korlantas Polri 2011.

Bahkan, Abraham juga mengaku telah mengantongi sejumlah nama sebagai tersangka dalam kasus korupsi pemberian dana talangan fasilitas pendanaan jangka pendek (bailout) ke Bank Century. Saat ini, kasus korupsi tersebut telah naik ke proses penyidikan. Kasus bailout Bank Century sendiri hingga saat ini masih tercatat sebagai kasus korupsi terbesar di Indonesia, yakni senilai Rp 6,7 triliun, dan penanganannya sudah berlangsung sejak Desember 2009.

Upaya-upaya yang dilakukan KPK dalam mengungkap kasus-kasus korupsi di negeri ini tentu saja harus mendapat dukungan penuh dari pemerintah dan masyarakat. Independensi KPK dalam menjalankan tugasnya harus tetap dijaga, tanpa adanya campur tangan pihak penguasa untuk mengaburkan fakta-fakta dan bukti-bukti dalam pengungkapan kasus-kasus korupsi tersebut. Penguatan di tubuh KPK juga harus terus dilakukan oleh semua pihak.

Fakta bahwa sebanyak 31 orang dari total 83 penyidik KPK telah ditarik oleh Mabes Polri, bisa saja menjadi upaya pelemahan di tubuh KPK. Jumlah tersebut belum termasuk 13 penyidik yang juga akan ditarik oleh Mabes Polri dalam waktu dekat. Kebijakan ini ternyata berpengaruh besar terhadap kecepatan penyidikan yang dilakukan KPK, yang belakangan mengalami penurunan lantaran sedikitnya jumlah penyidik. Ini seharusnya menjadi sorotan kita bersama.

Harapan Besar
Penetapan tersangka terhadap sejumlah tokoh partai penguasa di negeri ini seperti menjadi sejumlah ujian yang sedang dilewati oleh KPK. Lembaga tersebut berusaha menunjukkan kekuatannya dalam memberantas korupsi di Indonesia. Meskipun beberapa dari nama-nama yang telah ditetapkan sebagai tersangka merupakan tokoh-tokoh penting dalam pemerintahan, seperti Andi Mallarangeng dan Muhammad Nazaruddin, namun KPK tetap jalan terus.

Bahkan, ketika nama Ketua Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan Sekretaris Jenderal Ibas Yudhoyono yang notabene merupakan putra bungsu dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), juga diungkit-ungkit ikut bertanggung jawab dalam sejulah kasus korupsi tersebut, KPK tetap terus mengusutnya. Semua masyarakat tentu saja berharap agar KPK bisa mengenyampingkan embel-embel "anak pejabat" sebagai uji nyali bagi keberanian KPK ini.

Jika merujuk ke belakang, sebelumnya Presiden SBY juga pernah menegaskan bahwa ia sebagai presiden tidak akan pernah mencampuri proses hukum dalam pengusutan kasus korupsi di negeri ini. Pernyataan tersebut tertulis dalam surat balasannya kepada Nazaruddin pada Agustus 2011 lalu, yakni "Dalam setiap kasus hukum, yang melibatkan siapapun, saya tidak pernah, tidak akan, dan memang tidak boleh mencampuri proses hukum yang harus independen, bebas dari intervensi siapa pun". Pernyataan ini tentu saja juga bisa menjadi catatan kita bersama.

* Baca juga di Harian Analisa (Senin, 10 Desember 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar