- Refleksi Hari Ulang Tahun AJI (7 Agustus) -
Oleh : Adela Eka Putra Marza
"Seorang wartawan muda di Medan, yang idealismenya membara, bercerita kepada saya. Ada kebiasaan wartawan menyetor sebagian "amplop" kepada redaksi agar berita mereka mendapat jatah kapling di halaman tertentu.
(Budiman S Hartoyo, Jurnalis Idealis atau Wartawan "Bodrex"?, http://budimanshartoyo.multiply.com/, 29 November 2006)
Masalah Klasik
Persoalan kesejahteraan wartawan selalu saja menjadi masalah klasik dari masa ke masa dalam sejarah pers di Indonesia. Toh buktinya, hingga saat ini, masih saja ada wartawan yang digaji di bawah standar oleh perusahaan media yang mempekerjakannya. Bahkan, juga tak sedikit para "kuli tinta" tersebut yang malah tak digaji; hanya berharap dari setiap "amplop" yang akan diterimanya dari para narasumber demi tetap "mengepulkan asap dapur rumah."
Padahal, selama ini kita tahu bagaimana perjuangan wartawan bagi masyarakat Indonesia. Coba perhatikan, banyak tulisan para wartawan yang menyampaikan perjuangan buruh dalam menuntut haknya, atau tentang kenaikan gaji para PNS. Tetapi, malah sebaliknya bagi para pekerja media tersebut, banyak di antara mereka yang masih berpenghasilan di bawah UMR (upah minimum regional).
Makanya jangan salah jika banyak pihak yang mengasumsikan pekerjaan pencari berita tak jauh berbeda dengan buruh kebanyakan. Bekerja setengah mati dengan resiko yang tinggi, tetapi apresiasi dan penghargaan atas pekerjaan tersebut yang sangat minim. Padahal, jelas-jelas profesi wartawan berbeda jauh dengan buruh yang hanya mengandalkan otot semata; wartawan bekerja dengan otak, bukan otot.
Upah yang Layak
Hampir setiap tahun dalam berbagai peristiwa, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) selalu meneriakkan mengenai upah yang layak bagi wartawan dalam aksinya. Bermacam usaha selalu mengkampanyekan untuk memperjuangkan hak-hak para wartawan.
Menurut catatan AJI berdasarkan survei terhadap 192 wartawan dari 48 media di tujuh kota di Indonesia, yakni Jakarta, Banda Aceh, Medan, Lampung, Bandung, Solo, dan Palu, ditemukan masih banyaknya wartawan yang digaji di bawah standar upah minimum kota dan kabupaten (www.okezone.com, 1 Mei 2010). Bahkan, hanya beberapa media saja khususnya di Jakarta, yang sudah memberi upah yang layak bagi wartawannya.
Oleh karena itu, AJI terus memperjuangkan agar perusahaan media bisa memberikan penghargaan kepada wartawan dengan upah yang layak. Karena, upah yang rendah dikhawatirkan menyebabkan para wartawan akan menjadi pragmatis, rentan suap dan tidak independen terhadap kekuatan di luar profesinya. Dan menang itu yang menjadi fenomena dalam dunia pers di Indonesia saat ini, terutama di daerah-daerah. AJI sendiri mengajukan angka Rp 4,6 juta bagi setiap wartawan sebagai upah yang layak. Apakah ada media lokal yang sanggup memenuhi itu?
Selain itu, AJI juga terus mengkampanyekan "tolak amplop" demi tercapainya wartawan yang jujur dan independen dalam menjalan profesinya. Fenomena PHK massal yang dilakukan oleh beberapa media belakangan ini terhadap para pekerjanya juga dikecam AJI dalam aksinya tersebut. Tentunya, kita juga berharap kelompok-kelompok profesi wartawan lainnya, termasuk para wartawan sendiri secara individu ikut juga mengkampanyekan dan memperjuangkan ini.
Berharap Kualitas (?)
Dunia pers memanglah sebuah pilihan; sebuah pilihan untuk menjadi manusia yang jujur seutuhnya, atau menjadi manusia yang jujur di halaman koran tapi korupsi di belakang layar. Sebuah pilihan dengan selera dan cita rasa yang berbeda, namun itu tetaplah sebuah pilihan.
Pekerjaan ini memang sebuah pilihan yang sangat dilematis, di zaman yang serba sulit ini. Belum lagi, penghargaan bagi seorang wartawan di Indonesia terutama di daerah-daerah sangatlah rendah. Mulai dari gaji yang minim, hingga apresiasi masyarakat terhadap kerja-kerja wartawan yang masih kurang.
Fenomena yang tidak mengherankan lagi jika di banyak kantor-kantor pemerintahan "bergentayangan" wartawan-wartawan yang "aneh"; mulai dari wartawan amplop, wartawan bodrek hingga wartawan gadungan. Banyak orang yang mengaku sebagai wartawan, tetapi media tidak jelas dan tidak tahu terbitnya kapan.
Kita tidak bisa juga menyalahkan wartawan amplop ini sepenuhnya. Karena, kenyataannya perusahaan yang mempekerjakan media jelas tak bertanggung jawab untuk menghidupi para karyawannya dengan kesejahteraan yang layak. Ini tentu harus menjadi perhatian banyak pihak, termasuk para wartawan sendiri harus memperjuangkan hak-hak mereka tersebut.
Bagaimana lagi membicarakan kualitas para wartawan, jika mereka sendiri dibayar tidak layak? Jangan pernah berharap para wartawan tersebut bisa melaporkan sebuah berita dengan baik, benar dan jujur tanpa memihak, jika mereka masih kebingungan memikirkan untuk makan anak-istrinya di rumah. Sebuah kenyataan yang tidak masuk akal jika berharap banyak akan kualitas para wartawan jika perusahaannya sendiri tidak pernah memikirkan kualitas hidup mereka.
* Dimuat di Harian Analisa (Sabtu, 7 Agustus 2010)
Sumber:
http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=64632:refleksi-hari-ulang-tahun-aji-7-agustus--kualitas-hidup-untuk-kualitas-wartawan-&catid=78:umum&Itemid=131
Tidak ada komentar:
Posting Komentar