------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Kamis, Agustus 05, 2010

Kebebasan Pers: Masih Hanya Sekadar Wacana (?)

Oleh: Adela Eka Putra Marza









Pada Februari 2010 lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melansir hasil survey yang dilakukan oleh Komite Perlindungan Wartawan atau Committee to Protect Journalists (CPJ). Dari catatan tersebut, tercatat sebanyak 70 wartawan terbunuh selama tahun 2009 saat bertugas. Ini merupakan catatan terburuk dalam 30 tahun ini. Angka ini jauh lebih besar dari catatan tahun 2007 yang mencapai 67 kematian ketika kekerasan di Irak merajalela, dan tahun 2008 yang hanya 41 kematian.

Tercatat sebagai negara dengan jumlah kematian wartawan terbanyak pada tahun 2009 adalah Filipina dengan jumlah kematian sebanyak 31 wartawan. Jumlah tersebut diduga terkait pembunuhan saat pemilihan umum digelar di Maguindanao, Filipina, pada November 2009. CPJ mengatakan, penyebab utama kematian sebagian besar wartawan tersebut adalah pembunuhan. Paling tidak sebanyak 51 wartawan diketahui tewas dibunuh.

Sementara itu, hasil survei CPJ ini juga menyatakan bahwa sebanyak 136 reporter, editor, dan wartawan foto dipenjarakan sejak Desember 2008. China tercatat sebagai negara terburuk yang memenjarakan wartawan dalam 10 tahun terakhir, dengan jumlah 24 wartawan yang ditahan di negeri tirai bambu tersebut. Kemudian, ada Iran, Kuba, Eritrea dan Birma yang mengikuti catatan buruk perlakuan terhadap wartawan.

Di Sumut Juga Terjadi

Pada Mei 2009 lalu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia juga pernah melansir data kekerasan terhadap wartawan di Indonesia dalam Laporan Kebebasan Pers 2009. Dari catatan tersebut, tercatat ada 44 kasus kekerasan yang terdiri dari kekerasan fisik dan kekerasan verbal sepanjang Mei 2008 hingga Mei 2009. Dari data tersebut, terungkap bahwa kekerasan tersebut paling banyak dilakukan oleh aparat kepolisian, yakni sebanyak 12 kasus. Sedangkan lima kasus dilakukan oleh oknum TNI dan pejabat sipil tujuh kasus.

Dari catatan AJI Indonesia tersebut terungkap bahwa sebagian kasus kekerasan itu terjadi karena pelaku tidak ingin wartawan meliput suatu peristiwa tertentu. Sedangkan motivasi lain pelaku melakukan tindak kekerasan tersebut adalah karena pelaku kecewa dengan hasil liputan wartawan tersebut, dan karena ingin wartawan mengungkap identitas narasumber yang dirahasiakannya.

Di Sumut pun tidak jauh berbeda; kekerasan terhadap wartawan juga terjadi di daerah ini. Setidaknya terdapat tiga kasus kekerasan yang terjadi terhadap wartawan di Sumut berdasarkan catatan AJI Indonesia tersebut. Sedangkan menurut KontraS Sumut, setidaknya ada dua kasus kematian wartawan yang hingga saat ini belum juga berhasil diusut tuntas oleh kepolisian. Diantaranya adalah kasus tewasnya wartawan mingguan Aspirasi di Balige, Agus Hutapea bulan Oktober 2009 lalu, dan wartawan Harian Berita Sore di Nias, Elyuddin Telembanua yang hilang sejak Agustus 2005.

Soal kasus hilangnya Elyuddin, sampai saat ini belum terungkap dan keberadaannya tidak diketahui sama sekali. Kabar yang beredar, hilangnya Elyuddin berkaitan dengan salah seorang calon kepala daerah yang tidak senang atas pemberitaannya tentang konflik pilkada di Nias Selatan. Ada informasi yang mengatakan bahwa ia dibuang ke tengah laut. Ada juga yang mengatakan mayatnya disemen oleh pelaku.

Awal 2010, Semakin Meningkat

Belakangan ini, angka tindak kekerasan terhadap wartawan di Medan dan Sumatera semakin meningkat. Setidaknya, di awal tahun 2010 ini tercatat ada tiga kasus penganiayaan dan kriminalisasi terhadap wartawan di Sumut. Padahal seharusnya mereka mendapatkan perlindungan dalam menjalankan tugasnya sebagai pengabar berita kepada khalayak. Kenyataan ini jelas-jelas menunjukkan adanya ancaman bagi kebebasan pers yang selama ini sangat diagung-agungkan di negara ini sejak berdirinya tonggak reformasi pada 1998 lalu.

Catatan pertama, kasus penyekapan dan tindak kekerasan terhadap lima wartawan yang dilakukan oleh oknum dokter dan satpam RSUP Haji Adam Malik Medan pada 6 Februari lalu. Mereka mendapat perlakuan tersebut saat melakukan peliputan terhadap bayi yang diduga korban malpraktik dengan dikunci dalam salah satu ruangan rawat inap selama 10 menit.

Kelima wartawan tersebut adalah Al Amin Zakir dari Harian Metro Aceh, Reza dari Harian Pos Metro Medan dan Edi Ginting dari Harian Metro 24 Jam. Sedangkan dua wratawan lagi berasal dari media elektronik, yakni Fendi dari ANTV dan Wahyu Maulana dari SCTV. Mereka ditahan di ruang rawat inap Rindu B, tempat sang bayi dirawat. Para wartawan tersebut juga dipaksa untuk menghapus gambar bayi tersebut, dan harus berjanji untuk tidak memberitakannya.

Kemudian kasus penodongan dengan pistol yang dilakukan oleh Kepala Dinas Pemuda Olahraga Kota Binjai Darmanto terhadap tiga wartawan di Binjai. Para wartawan yang berinisial IP, BR dan JT tersebut ditodong saat hendak mewawancarai dan meminta konfirmasi dari pejabat tersebut terkait kasus dugaan perbuatan cabul yang dilakukannya.

Penodongan pistol tersebut dilakukan oleh pelaku di kafe miliknyadi Jalan T Amir Hamzah, Kecamatan Binjai Utara pada 3 Maret lalu. Mereka awalnya datang dan menjumpai sang kepala dinas untuk melakukan konfirmasi terkait kasus dugaan cabul tersebut. Namun, saat mereka sampai, tanpa basa basi pelaku langsung mengambil senjata apinya yang mirip jenis FN dari pinggangnya sambil mengacung-acungkan ke arah wartawan.

Yang terakhir adalah kasus penganiayaan terhadap Dedek Mohan Basri Hasibuan (26 tahun) yang bekerja untuk Harian Metro 24. Wartawan yang akrab disapa Abay ini dianiaya oleh preman yang dikenal korban sebagai Ucok Kibo. Akibat penganiayaan tersebut, Abay mengalami sejumlah luka serius dan terpaksa dirawat di rumah sakit. Kepala dan leher kanannya mengalami cidera serius, serta salah satu jari tangannya nyaris putus karena dipukul oleh pelaku dengan botol minuman keras.

Kasus penganiayaan itu sendiri terjadi pada Sabtu malam, 6 Maret lalu di kawasan Jalan Sisingamangaraja, Medan. Saat itu korban bersama seorang rekannya sedang membeli rokok di sebuah grosir. Tiba-tiba datang dua pelaku. Salah satu pelaku menghantam kepala korban dengan botol. Lantas pecahan botol itu ditusukkan ke leher korban. Dalam keadaan terluka korban masih sempat memberikan perlawanan, namun tersangka kemudian segera melarikan diri dengan sepeda motor.

Penganiayaan ini merupakan yang ketiga kalinya yang dialami oleh Abay; pertama pada Agustus 2008 dan yang kedua pada Januari 2009, tapi pelaku tak kunjung ditangkap polisi. Kasus pertama dilaporkan ke Polsekta Patumbak, sementara kasus kedua dilaporkan ke Poltabes Medan. Namun tidak ada pengusutan kasus dan pelaku tetap bebas berkeliaran. Motif penganiayaan ini diduga terkait berbagai pemberitaan mengenai premanisme di Kota Medan yang ditulis korban pada Agustus 2008 lalu.

UU Pers Harus Diterapkan

Akibat banyaknya ancaman dan kriminalisasi yang diterima oleh para wartawan tersebut, akhirnya mengakibatkan wartawan tidak lagi kritis dan objektif dalam pemberitaannya, karena keselamatan dirinya terancam. Para wartawan seringkali diancam agar tidak memberitakan suatu kasus, sehingga hal ini menyangkut keselamatan dirinya.

Selain itu, selama ini seringkali aparat kepolisian mengusut kasus kriminalisasi terhadap wartawan tanpa memperhatikan aturan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Bahkan, banyak aparat kepolisian yang sama sekali tidak mengetahui UU Pers tersebut. Kepolisian biasanya hanya menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana saja dalam pengusutan kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan tersebut.

Sikap arogansi dan tindakan main hakim sendiri yang sering kali dilakukan oleh pihak-pihak tertentu, bahkan termasuk oknum pejabat pemerintahan terhadap pekerja pers telah menunjukkan pelanggaran terhadap kebebasan pers itu sendiri. kedepannya, persoalan menyangkut profesi wartawan ini harus diselesaikan dengan mengacu dan berdasarkan UU Pers.

Selain itu, kita juga harus mendesak aparat keamanan agar melindungi tugas-tugas wartawan dan memproses hingga tuntas setiap pelanggaran hukum yang dilakukan terhadap wartawan. Karena mereka sebagai pengabar informasi harus mendapatkan perlindungan tersebut. Jika tidak, kebebasan pers yang selama ini diagung-agungkan di negeri ini mesti dipertanyakan.

* Dimuat di Surat Kabar SOEARA RAKJAT - BAKUMSU (Edisi 30/ Juli 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar