------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Kamis, Agustus 12, 2010

Kriminalisasi Wartawan dan Kebebasan Pers

- Refleksi Hari Ulang Tahun AJI (7 Agustus) -

Oleh: Adela Eka Putra Marza

Keran kebebasan pers di Indonesia mulai terbuka lebar sejak jatuhnya rezim Orde Baru tahun 1998. Sejak itu, berbagai media massa, mulai cetak, televisi dan radio hingga media online tumbuh bak jamur di musim hujan, seiring semakin tertancapnya kuku-kuku demokrasi di negeri ini.

Lihat saja, berbagai koran, tabloid, majalah, hingga televisi, radio dan portal berita online lahir menyemarakkan dunia jurnalistik di Tanah Air.


Setidaknya, fenomena ini bisa sedikit mengobati sakitnya terbelenggu oleh kekuasaan tunggal rezim Orde Baru hampir selama 32 tahun. Meski kebebasan pers belakangan ini di Indonesia juga sepertinya malah kebablasan. Tapi yang jelas, ini sudah menjadi sebuah pembelajaran menuju cita-cita pers yang sebenarnya; sebagai pengabar masyarakat, sebuah tugas yang begitu mulia.


Namun, kebebasan dalam arti jaminan dalam menjalankan tugas-tugas dan fungsinya sebagai pengabar informasi kepada masyarakat umum, ternyata masih ada segelintir pihak dan oknum-oknum tertentu yang begitu tega menciderai kebebasan pers tersebut. Terbukti kasus pelanggaran terhadap tugas-tugas wartawan di Indonesia, belakangan ini terus meningkat. Ada wartawan yang diancam, disekap, dianiaya, bahkan hingga dibunuh.


Posisi 100 dari 175
Sebuah lembaga dunia, Reporters Without Borders (RSF) pernah merilis Indeks Kebebasan Pers 2009 pada tahun lalu. Menurut hasil penelitian tersebut, Indonesia menempati posisi 100 dari 175 negara di dunia. Ternyata, kebebasan pers di negeri ini masih ketinggalan dibandingkan negara-negara lain di dunia.


Angka ini tentu saja dapat membuka pemikiran kita tentang kebebasan pers di Indonesia. Ternyata secara umum, dibandingkan negara-negara lain, kebebasan pers di Nusantara masih jauh di bawah standar. Apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara Barat, tentu saja kebebasan pers di Indonesia belum ada apa-apanya. Belum lagi, jika kita bicara soal kesejahteraan para kuli tinta tersebut.


Meski begitu, Indonesia masih lebih baik dari negara-negara lainnya di Asia Tenggara. Myanmar misalnya, yang dikuasai pemerintahan junta militer, menempati rangking yang nyaris paling bawah, yakni 171 dari 175 negara. Oleh RSF, Myanmar dideskripsikan sebagai “surganya sensor”, salah satu di antara sedikit negara di dunia yang semua publikasinya diharuskan melewati mekanisme sensor.


Kemudian, Vietnam menempati rangking 166 dari 175 negara. Menurut deskripsi RSF, Vietnam disebut tidak memiliki media yang independen. Pers, baik koran, majalah, televisi, dan radio, semua di bawah kontrol Hanoi. Sementara itu, Laos menempati posisi 169, kemudian Filipina pada posisi 122, Thailand 130, Singapura 133, dan Malaysia, yang juga dikenal mengontrol ketat persnya, menempati rangking 131.


Sumut, Setali Tiga Uang
Di Sumatera Utara pun tak ada bedanya; kekerasan terhadap wartawan malah juga sering terjadi di daerah ini. Bahkan belakangan ini, angka
tindak kekerasan terhadap wartawan Sumut semakin meningkat. Setidaknya, di awal tahun 2010 ini tercatat ada tiga kasus penganiayaan dan kriminalisasi terhadap wartawan di Sumut.

Catatan pertama, kasus penyekapan dan tindak kekerasan terhadap lima wartawan yang dilakukan oleh oknum dokter dan satpam RSUP Haji Adam Malik Medan pada 6 Februari lalu. Mereka mendapat perlakuan tersebut saat melakukan peliputan terhadap bayi yang diduga korban malpraktik dengan dikunci dalam salah satu ruangan rawat inap selama 10 menit. Selain disekap, mereka juga dipaksa untuk menghapus gambar bayi tersebut, dan harus berjanji untuk tidak memberitakannya.


Kemudian kasus penodongan dengan pistol yang dilakukan oleh Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Kota Binjai Darmanto terhadap tiga wartawan di Binjai pada 3 Maret lalu. Para wartawan yang berinisial IP, BR dan JT tersebut ditodong saat hendak mewawancarai dan meminta konfirmasi dari pejabat tersebut terkait kasus dugaan perbuatan cabul yang dilakukannya. Namun, tanpa basa basi pelaku malah mengambil senjata api dari pinggangnya dan mengacung-acungkannya ke arah wartawan.


Yang terakhir adalah kasus penganiayaan terhadap Dedek Mohan Basri Hasibuan (26) yang bekerja untuk Harian Metro 24. Wartawan yang akrab disapa Abay ini dianiaya oleh preman yang dikenal korban sebagai Ucok Kibo, 6 Maret lalu. Akibat penganiayaan tersebut, Abay mengalami sejumlah luka serius dan terpaksa dirawat di rumah sakit. Kepala dan leher kanannya mengalami cidera serius, serta salah satu daun telinganya nyaris putus karena dipukul oleh pelaku dengan botol minuman keras.


Penganiayaan ini sendiri merupakan yang ketiga kalinya yang dialami oleh Abay; pertama pada Agustus 2008 dan yang kedua pada Januari 2009, tapi pelaku tak kunjung ditangkap polisi. Kasus pertama dilaporkan ke Polsekta Patumbak, sementara kasus kedua dilaporkan ke Poltabes Medan. Namun tidak ada pengusutan kasus dan pelaku tetap bebas berkeliaran. Motif penganiayaan ini diduga terkait berbagai pemberitaan mengenai premanisme di Kota Medan yang ditulis korban pada Agustus 2008 lalu.


Buat Apa UU Pers?
Ketiga kasus diatas hanya segelintir dari kasus-kasus lainnya yang menimpa wartawan di Sumut. Masih banyak kasus kriminalisasi terhadap wartawan di Sumut yang hingga saat ini belum juga terungkap.
Padahal seharusnya mereka mendapatkan perlindungan dalam menjalankan tugasnya sebagai pengabar berita kepada khalayak. Sehingga tetap bisa kritis dan objektif dalam setiap pemberitaannya.

Selain itu,
selama ini seringkali aparat kepolisian mengusut kasus kriminalisasi terhadap wartawan tanpa memperhatikan aturan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Bahkan, banyak aparat kepolisian yang sama sekali tidak mengetahui UU Pers tersebut. Kepolisian biasanya hanya menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana saja dalam pengusutan kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan tersebut.

Lalu untuk apa UU Pers tersebut ada, jika pada praktiknya malah tidak dilaksanakan oleh para penegak hukum. Padahal persoalan menyangkut profesi wartawan seharusnya diselesaikan dengan mengacu kepada UU Pers. Aparat keamanan seharusnya juga turut melindungi tugas-tugas wartawan dan memproses hingga tuntas setiap pelanggaran hukum yang dilakukan terhadap wartawan.


Seperti dimuat laman Asianewsnet pada akhir 2009 lalu, negara-negara Asia Tenggara harus waspada. Sebab, dalam beberapa tahun ke depan indeks kebebasan pers berpotensi besar melorot tajam. Kita semua harus bertanya, apakah musti mengorbankan demokrasi dan kebebasan demi keamanan dan stabilitas sesaat? Jangan sampai kebebasan pers yang selama ini diagung-agungkan di negeri ini hanya sekadar wacana semata.

* Dimuat di Harian Medan Bisnis (Rabu, 11 Agustus 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar