------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Minggu, April 04, 2010

Menuju Pendidikan “Merakyat”

Oleh: Adela Eka Putra Marza


Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Mahasiswa Peduli Keadilan (MPK) secara spontan melakukan sujud syukur dalam sebuah aksi di Bundaran Simpang Lima, Banda Aceh, Rabu, 31 Maret malam. Mereka meluapkan kegembiraannya mendengar putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan UU Badan Hukum Pendidikan. Aksi mendukung putusan MK tersebut kemudian berlanjut besoknya, Kamis, 1 April. Dengan aksi serupa, puluhan mahasiswa lainnya dari sejumlah Badan Eeksekutif Mahasiswa di Universitas Syiah Kuala juga melakukan aksi sujud syukur di Kampus Unsyiah, Banda Aceh.

Demikianlah sepotong ilustrasi yang mendeskripsikan luapan kegembiraan para mahasiswa dengan dibatalkannya UU Nomor Tahun 2009 Tentang BHP, seperti diberitakan dalam Harian Serambi Indonesia dua hari terakhir. Pembatalan UU BHP tersebut memang menjadi kemenangan bagi seluruh masyarakat Indonesia, terutama dari kalangan menengah ke bawah. Putusan ini dianggap sebagai sebuah langkah untuk mencerahkan dunia pendidikan dalam negeri dari jeratan-jeratan pelaku kapitalisme belakangan ini. UU BHP memang dianggap sangat berbau Pro-Kapitalis. Bagaimana tidak, UU ini memberikan otonomi kepada lembaga pendidikan, terutama PTN sebagai jaminan untuk mengelola keuangannya sendiri. Imbasnya, tentu saja biaya pendidikan akan meningkat secara tajam, apalagi jika PTN tersebut tidak bisa mengusahakan dana sendiri sehingga membebankannya kepada para mahasiswa. Pendidikan pun tidak lagi untuk mencerdaskan, tapi malah sebagai sarana “penggemukan” lembaga.

Bayangkan saja, berapa juta anak yang terancam tidak bisa mendapatkan pendidikan jika UU BHP ini benar-benar diterapkan oleh semua lembaga pendidikan di Indonesia. Padahal dalam dunia pendidikan dikatakan, siapapun berhak memperoleh pendidikannya dimanapun, kapanpun dan darimanapun peserta didiknya. Asumsi bahwa penyelenggara pendidikan di Indonesia

Hal ini pasti akan menyebabkan terganggunya penyelenggaraan pendidikan, karena pemberian otonomi kepada PTN dalam bentuk BHP akan mempunyai akibat yang sangat beragam. Apalagi, terdapat ketentuan dalam UU tersebut bahwa apabila ternyata kemampuan keuangan suatu BHP sangat jelek maka tidak tertutup kemungkinan untuk dipailitkan. UU BHP seharusnya tidak menyeragamkan lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat menjadi BHP, karena dinilai tidak sesuai dengan maksud UUD 1945 Pasal 31. Sistem pendidikan nasional dalam UUD tidak dimaknai bahwa penyelenggara pendidikan nasional harus diatur secara seragam. Seharusnya keragaman lembaga pendidikan yang ada diakomodasi.

Dalam Pasal 53 Ayat (1) UU Sistem Pendidikan Nasional memang menyebutkan bahwa “Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.” Tapi bagi MK, istilah badan hukum pendidikan itu bukanlah nama dan bentuk badan hukum tertentu seperti yang diterjemahkan dalam UU BHP. Istilah itu hanyalah sebutan dari fungsi penyelenggara pendidikan, artinya suatu lembaga pendidikan harus dikelola oleh suatu badan hukum. Berarti, selama ini ada keselahan penafsiran dalam hal ini. Pembatalan UU BHP tidak hanya disambut gembira oleh mahasiswa. Banyak kalangan juga menyambut positif putusan MK tersebut. Tokoh senior CSIS, Harry Tjan Silalahi, seperti dimuat di Harian Kompas, (Kamis, 1/4), menilai putusan MK tersebut adalah putusan yang mencerahkan. Sedangkan Thomas Suyatno dari Asosiasi BPPTSI, menganggap putusan MK tersebut sebagai kemenangan seluruh masyarakat. Pihaknya terang-terangan sangat menolak upaya penyeragaman terhadap lembaga pendidikan seperti yang diamanatkan oleh UU BHP, karena tidak sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945 Alinea IV.

Dengan adanya putusan MK tersebut, seharusnya menjadi jalan terang bagi setiap pelaku pendidikan di negeri ini untuk kembali “membumikan” pendidikan, agar setiap masyarakat dari lapisan dan golongan manapun dapat mengecap pendidikan. Apalagi, sebenarnya ini adalah tanggung jawab pemerintah yang paling mendasar dalam pendidikan, seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Pemerintah diharapkan dapat menerapkan tanggung jawabnya, antara lain mengenai alokasi anggaran sebesar 20 persen untuk pendidikan dan sebagainya. Karena, selama ini muncul anggapan bahwa pemerintah terkesan lepas tangan setelah UU BHP disahkan oleh DPR-RI pada 17 Desember 2009 lalu. Peran pemerintah dalam dunia pendidikan kedepan seharusnya lebih mendalam lagi.

Kedepannya, secara otomatis dunia pendidikan Indonesia kembali akan memakai UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. UU ini harus dilaksanakan lebih baik lagi, selain juga merevisi beberapa bagian dalam UU tersebut sebelumnya, agar benar-benar bisa menghadirkan pendidikan yang “merakyat” bagi semua lapisan masyarakat di negeri ini. mempunyai kemampuan yang sama, seperti tersirat dalam UU BHP, sangat tidak menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional. Realitasnya, kesamaan PTN bukan berarti semua PTN mempunyai kesamaan yang sama. Belum tentu semua PTN bisa mengumpulkan dana pendidikan sendiri secara mandiri, mengingat perekonomian setiap daerah berbeda dan terbatasnya sumber daya manusia.


* Dimuat di Harian Serambi Indonesia, Aceh (Sabtu, 3 April 2010)


Source:

http://www.serambinews.com/news/view/27609/menuju-pendidikan-merakyat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar