------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Senin, September 14, 2009

Hutan, Air, Iklim dan Sikap Kita

Oleh : Adela Eka Putra Marza


Selama Maret 2009, terdapat tiga agenda penting untuk lingkungan kita; peringatan hari-hari lingkungan, yaitu tanggal 20 Maret sebagai Hari Hutan Sedunia (World Forest Day), tanggal 22 Maret sebagai Hari Air Sedunia (World Water Day), dan tanggal 23 Maret sebagai Hari Meteorologi Sedunia (World Meteorological Day).


Banyak catatan penting yang harus kita perhatikan soal lingkungan dewasa ini. Kenyataan bahwa kondisi alam dan lingkungan yang cenderung tidak bersahabat lagi dengan kita adalah sebuah tanda. Kita juga tak memperhatikan lagi pelestarian alam dan lingkungan, sehingga semua berakibat bagi kehidupan kita sendiri.


Bayangkan saja, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (Food and Agriculture Organization, FAO) melaporkan bahwa dalam periode tahun 2000-2005 Indonesia telah kehilangan hutan seluas 1,5 juta hektar per tahun. Bahkan menurut Conservation International Indonesia dan WALHI (Wahana Lingkungan Hidup), laju kerusakan hutan Indonesia lebih dari 3 juta hektar per tahun, atau seluas 6 lapangan sepak bola per menit.


Kerusakan hutan secara nasional begitu parah. Hal ini disebabkan oleh tindakan penebangan yang berlebihan, illegal logging, dan alih fungsi lahan. Setiap 900 hektar hutan rusak akibat perluasan lahan perkebunan, proyek pembangunan, dan illegal logging (2006). Kerusakan ini terus terjadi, dan pelaku utamanya adalah perusahaan swasta. Mereka terus mengeruk keuntungan pribadi dari hutan. Sedangkan masyarakat yang berada di pinggir hutan tidak sejahtera, malah kian sengsara karena proyek-proyek perusahaan swasta tersebut.


Dampaknya, hampir 75% dari 136 daerah aliran sungai (DAS) besar di Indonesia mengalami krisis. Pusat Litbang Sumber Daya Air (PUSAIR) mencatat bahwa Indonesia memiliki Indeks Ketersediaan Air (IKA) 16.800 meter kubik/kapita/tahun untuk 220 juta jiwa penduduk (2007). Angka ini diprediksi akan menurun menjadi 9.200 meter kubik/kapita/tahun untuk perkiraan penduduk sebanyak 273 jiwa pada tahun 2025.


Pulau Jawa yang mengalami tekanan ketersediaan air cukup parah, merupakan salah satu yang paling harus diwaspadai. IKA-nya hanya 1.600 m3/kapita/tahun, karena luasnya yang hanya 7% dari daratan Indonesia hanya memiliki 4,5% dari seluruh potensi air tawar di Indonesia, namun harus menopang 65% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia.


Catatan ini tidak berhenti sampai di sini. Efek lebih jauh adalah krisis ekologi; peningkatan pemanasan global, perubahan iklim, dan penyimpangan musim adalah beberapa di antaranya. Kenyataan bahwa kondisi alam dan lingkungan sekitar kita lebih cenderung rentan bencana akibat cuaca dan iklim yang cenderung esktrim adalah buktinya. Eksistensi kondisi cuaca dan iklim kian tidak beraturan dan cenderung pada kondisi ekstrem yang merugikan. Ketidakteraturan pola cuaca dan iklim tersebut merupakan dampak tidak langsung dan tidak terlepas dari perusakan-perusakan hutan tadi.


Di Indonesia sendiri, periode esktrim kering cenderung lebih panjang. Sedangkan periode esktrim basah lebih pendek, dan disertai dengan tingginya intensitas hujan yang kadang-kadang diikuti dengan munculnya angin kencang dan petir bersahut-sahutan. Kondisi yang demikian biasanya juga berkaitan dengan hadirnya badai yang tiba-tiba muncul. Anehnya lagi, kondisi cuaca seperti ini tidak bisa diprediksi dengan tepat kapan hadirnya. Kadang dalam musim kering atau musim basah pun juga sering muncul dan berlangsung di beberapa kawasan di Indonesia.


Ini aneh dan menyimpang dari teori, namun kenyataan menunjukan adanya kegiatan tersebut. Kondisi ini merupakan analisis dari kejadian yang telah berlangsung. Hal ini memberikan petunjuk bahwa situasi dan kondisi pola cuaca dan iklim di alam raya tidak beraturan lagi. Dengan kata lain, evolusi perubahan cuaca dan iklim bumi secara global tengah dan sedang berlangsung saat ini.


Bencana iklim pun semakin meningkat, baik frekwensi maupun skalanya. Bencana demi bencana bermunculan, dan yang menjadi korban kebanyakan adalah penduduk-penduduk miskin. Menurut catatan Organisasi Meteorologi Sedunia (World Meteorological Organization, WMO), bencana alam yang sering terjadi di muka bumi ini adalah banjir 37 persen, badai 28 persen, kekeringan dan kelaparan 9 persen, gempa 8 persen, tanah longsor 6 persen, temperatur ekstrim 5 persen, kebakaran 5 persen, dan letusan gunung berapi 2 persen (2006). Dari sekian banyak jenis dan jumlah kejadian bencana, 90 persen di antaranya berkaitan dengan masalah hutan, air, dan iklim, yang diprediksi sebagian besar adalah akibat perilaku manusia di muka bumi.


Sikap Bersama

Semuanya merupakan kenyataan dari kondisi gundulnya hutan yang berlanjut dengan krisis air ataupun kelebihan air, yang kadang-kadang dipadukan dengan kondisi iklim yang ekstrim. Kasus pencaplokan hutan, proyek pembangunan, dan illegal logging, mau tidak mau berdampak juga terhadap ketersediaan air bagi kehidupan kita, serta ikut berperan juga menyebabkan kondisi cuaca dan iklim yang kian tak menentu. Ujung-ujungnya bencana semakin akrab dengan kehidupan kita.


Poin penting dalam hal ini adalah sikap kita bersama sebagai masyarakat dunia. Memelihara hutan, baik berupa hutan alam maupun hutan buatan di dalam DAS sudah merupakan suatu keharusan. Karena hutan dapat mendaur ulang hujan, menangkap, menyimpan dan mengendalikan air, serta dapat mencegah banjir, erosi dan tanah longsor.


Contoh sukses adalah Kota New York di Amerika Serikat. Mereka berhasil melindungi sumber daya air dengan menanam dan memelihara hutan lindung di daerah tangkapan hujannya. Bahkan hamparan hutan ini mampu menyediakan air bersih 1,3 milyar galon per hari untuk memenuhi kebutuhan 9 juta penduduk Kota New York. Kota-kota lain yang telah mengikuti jejak New York adalah Tokyo, Barcelona, dan Melbourne. Sangat berkebalikan dengan Kota Bandung dan Kota Jakarta, dan hampir semua kota besar di Indonesia. Saat ini, kita justru sedang menghancurkan kawasan lindungnya sendiri.


Saran Prof MT Zen, mantan Guru Besar ITB, sepertinya patut untuk dilakukan. Beliau menekankan manusia harus membuat kontrak ekologi dengan alam; untuk tidak lagi merusak alam dan harus arif terhadap alam. Agar masalah klasik yang selalu muncul saat ini, tak mengganggu kehidupan kita lagi; di musim hujan terjadi peningkatan air sehingga datang banjir, sedangkan di musim kemarau terjadi kelangkaan air sehingga muncul bencana kekeringan.


Kelangkaan air ini juga bisa jadi memunculkan pertentangan di kalangan masyarakat yang dapat memicu pertikaian. Risiko ini semakin besar jika distribusi air tidak dilakukan dengan baik. Sementara usaha pengelolaan air yang lebih baik perlu menjadi perhatian berbagai pihak. Untuk mengatasi kelangkaan air, mungkin mulai saat ini bisa kita praktikkan “Gerakan Hemat Air”.


Pemahaman dan pendalaman pengetahuan cuaca dan iklim, seyogianya juga perlu diupayakan. Akan sangat baik bila diikuti dengan pengembangan basis data cuaca dan iklim. Pengalaman naiknya derajat keasaman pada musim kemarau dan diikuti munculnya hujan asam, menyebabkan terganggunya binatang air tawar dan percepatan korosi. Kondisi tersebut berubah menjadi kondisi berlawanan dengan munculnya indikasi fluktuasi atau variasi cuaca dan iklim.


Banjir bandang dan tanah longsor yang semakin sering terjadi, sebenarnya bukan bencana alam. Ini terjadi karena disebabkan kondisi lingkungan yang mengalami degradasi akibat eksploitasi lingkungan yang berlebihan. Semuanya merupakan realitas kondisi alam dan lingkungan yang sudah terlalu sering dieksploitasi secara bebas, sehingga mendorong ketidakberaturan kondisi cuaca dan iklim. Dan semuanya bisa kita kendalikan, jika kita berani mengambil sikap bersama untuk menjaga alam dan lingkungan kita.


* Dimuat di Harian Medan Bisnis (Kamis, 2 April 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar