------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Kamis, Oktober 22, 2009

Miyabi, Antara Polemik dan Popularitas

Oleh : Adela Eka Putra Marza


Miyabi adalah gadis blasteran, keturunan Jepang-Prancis-Kanada. Pada umur 19 tahun, dia sudah terjun dalam industri esek-esek tersebut sebagai bintang film.


Dengan modal akting mendesah dan mengaduh, ia pun muncul sebagai "bintang" dalam dunia perfilman "biru." Sudah pasti, tak ada penikmat "film biru" yang tak kenal dengan sosok Miyabi. Bahkan mungkin banyak yang mengidolakannya.


Makanya tak heran jika masyarakat Indonesia heboh dengan rencana kedatangan Miyabi ke Indonesia. Berbagai media massa sibuk menayangkan berita tersebut. Kurang tahu juga, apakah karena saking diidolakannya Miyabi, atau hanya karena sekadar mempopularitaskan Miyabi.


Sebagian masyarakat menggunjingkan kedatangannya ke bumi pertiwi ini. Tapi tak sedikit pula yang terang-terangan mengaku sangat menunggu-nunggu kedatangannya meramaikan dunia perfilman di negeri ini.


Namun yang paling heboh tentu saja berita penolakan kedatangan Miyabi. Front Pembela Indonesia (FPI) sampai harus melakukan demonstrasi ke kantor Maxima Pictures di Jakarta. Bahkan mengancam akan melakukan "sweeping" di Bandara Soekarno Hatta pada hari kedatangan Miyabi, tanggal 14 Oktober.


Di Medan juga tak kalah seru. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Medan terang-terangan menyatakan penolakan sejak dari awal muncul berita kedatang Miyabi ke Indonesia. Begitu juga di beberapa daerah di Jawa.


Kenapa Harus Miyabi?

Dari awal pendeklarasian kedatangan dan keterlibatan Miyabi sebagai salah satu pemeran utama dalam film Menculik Miyabi, Maxima Pictures dan Raditya Dika sebagai penulis skenario sudah menjanjikan bahwa film ini bergenre komedi, bukan seperti "film" Miyabi lainnya. Makanya pihak Maxima berani mendatangkan Miyabi, tanpa takut akan dicekal. Mungkin mereka menganggap "ketokohan" tidak akan bermasalah di negeri yang terkenal suka mempermasalahkan sesuatu yang tidak penting ini.


Bahkan Maxima berharap dapat menaikkan nama industri perfilman Indonesia melalui "ketokohan" Miyabi yang sudah populer di seluruh dunia ini. Siapa yang tak kenal Miyabi coba, mungkin begitu pikir mereka. Maxima yakin dengan memainkan Miyabi, popularitasnya akan ikut mendongkrak "citra" dunia film Indonesia. Bahkan bisa jadi Indonesia "terkenal" karena didatangi Miyabi.


Tapi kemudian, muncul pertanyaan. Kenapa harus Miyabi? Kenapa tidak Luna Maya saja, seperti yang ditawarkan FPI saat berdialog dengan pihak manajemen Maxima ketika perwakilan mereka diterima dalam aksi demonstrasi menolak Miyabi beberapa waktu yang lalu.


Ya, kenapa harus Miyabi? Apakah Luna Maya kurang cantik? Atau, "Miyabi-Miyabi" Indonesia kurang "garang" dibandingkan si blasteran Jepang?


Tak ada yang bisa memberikan jawaban lain, selain keinginan untuk mendompleng popularitas Miyabi. Padahal popularitasnya negatif, kecuali bagi para penikmatnya. Alasan yang kurang kuat memang. Karena industri film Indonesia juga sudah mulai bangkit dengan kehadiran Azzam dalam film Ketika Cinta Bertasbih dan Ikal si Laskar Pelangi. Bahkan film-film yang saudara sepupu dengan film Miyabi, seperti Mas Suka Masukin Aja, Kawin Kontrak dan sebagainya, yang malah membuat citra film Indonesia semakin melorot.


Promosi Gratis

Lalu siapa yang pernah mengkritisi film-film yang tersebut di atas? Masih banyak film-film yang "tak benar" lainnya yang ikut meramaikan industri perfilman Indonesia. Mulai dari film yang katanya bergenre komedi hingga film horor, yang ternyata memuat sensualitas juga secara diam-diam. Paku Kuntilanak misalnya, tak ada yang heboh ketika Dewi Persik tampil semi-porno dalam film tersebut.


Kenapa hanya Miyabi yang dipersoalkan? Padahal jika mau jujur, masih banyak film Indonesia yang tak becus dan memberikan pendidikan yang tak benar bagi generasi muda negeri ini. Coba kalau kita juga menghebohkan permasalahan ini. Jangan hanya setengah-setengah ketika Miyabi yang lebih terkenal sebagai bintang porno akan bermain film di Indonesia.


Ini bukan pernyataan yang mendukung kedatangan Miyabi. Tapi hanya sekadar mengkritisi masyarakat kita yang selalu suka ikut-ikutan kalau banyak orang yang bersuara. Kalau si heboh diam, yang lain pun tak akan ada yang bicara. Inilah buktinya.


Jika boleh berburuk sangka, semua yang heboh sebenarnya mungkin saja hanya sekadar untuk mendompleng popularitas Miyabi, baik yang setuju maupun yang menolak kedatangannya.


Inilah pro kontra di antara masyarakat sendiri. Sebagian orang yang menganggap tak ada masalah dengan kedatangan Miyabi ke Indonesia, malah berprasangka bahwa kelompok yang menolak tersebut sok suci dan mencoba mencari nama di atas polemik ini.


Herannya, kok malah sesama kita yang jadi ribut. Sebagian menolak kedatangan Miyabi, sebagian lagi malah menganggap hal tersebut tidak ada masalah, sedangkan yang lain adem ayem saja. "Gitu aja kok repot!" Sepertinya trademark Gus Dur itu bisa dialamatkan kepada kita yang malah jadi ribut dengan kedatangan Miyabi. Kita malah tidak menyadari kalau yang bersangkutan malah mendapatkan keuntungan besar dari ribut-ributnya kita ini.


Popularitas Miyabi pun semakin naik. Karena secara tidak langsung, dengan kehebohan kita ditambah berita-berita di media cetak otomatis mengiklankan Miyabi ke banyak orang. Bahkan, tidak heran jika sebelumnya masih ada orang yang awam dengan nama Miyabi, akhirnya bisa tahu lebih banyak dibandingkan dengan kelompok yang mengidolakannya. Bahkan dalam sebuah berita di media massa, usaha internet di salah satu daerah di Pulau Jawa jadi laris hanya gara-gara keingintahuan masyarakat yang tiba-tiba meroket untuk mengenal Miyabi. Hayo...!!!


Jadi buat apa sih kita ribut? Menteri Kebudayaan dan Pariwisata sudah terang-terangan melarang kedatangan Miyabi ke Indonesia. Meski sampai saat ini berita dari Maxima masih simpang siur, apakah mereka akan mematuhi larangan Menbudpar, atau malah nekat menyelundupkan Miyabi lewat Bandara Soekarno Hatta.


Tapi yang jelas, jaga hati masing-masing saja, sekaligus jaga mata juga, jangan sampai ikut pula menikmati akting Miyabi. Toh, jika sebagian besar masyarakat kita sepakat tidak akan menonton film Menculik Miyabi, tanpa ribut-ribut pun Maxima pasti akan berpikir dua kali untuk mendatangkannya ke Indonesia. Buat apa kalau rugi! Daripada Miyabi, mending Mie Ayam...


* Dimuat di Harian Analisa (Sabtu, 17 Oktober 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar