------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Minggu, September 13, 2009

Mencari Buku Murah

Oleh : Adela Eka Putra Marza


Sungguh mengecewakan memang melihat harga buku-buku belakangan ini semakin bertambah mahal. Jauh lebih mahal berkali lipat dibanding DVD bajakan di emperan kaki lima. Makanya tak bisa disalahkan juga jika akhirnya masyarakat lebih memilih barang-barang bajakan, termasuk buku bajakan ketimbang harus mengeluarkan kocek yang lebih banyak untuk membeli buku. Apalagi di zaman yang serba susah ini, krisis ekonomi global yang semakin melilit perekonomian dunia.


Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, bukan masalah buku tersebut asli atau tidak. Toh, asli maupun palsu tak ada bedanya juga. Yang penting ada tulisannya, bisa dibaca dan semoga halamannya juga lengkap. Apakah buku tersebut asli atau tidak, tak ambil peduli. Yang penting harganya murah dan terjangkau, tak mengurangi budget untuk makan hari ini.


Sehingga tak bisa disalahkan juga, jika dewasa ini buku-buku bajakan lebih laris manis ketimbang buku-buku asli. Bisa dibayangkan buku sekelas Oxford Advanced Learner's Dictionary yang aslinya dijual Rp 300 ribuan, di Lapangan Merdeka atau di Pasar Kampus Universitas Sumatera Utara (Pajus) bisa didapatkan dengan harga hanya sekitar Rp 65 ribu. Jauh berkali lipat lebih murah. Bukan soal asli atau palsunya, tapi asal bisa dibaca, tak ada masalah dengan buku palsu. Toh, membeli buku juga bukan untuk melihat asli atau palsunya, tapi untuk membacanya.


Apalagi melihat budaya masyarakat kita yang belum literat, alias masih kurangnya budaya membaca di tengah-tengah masyarakat negeri ini. Bagi masyarakat awam, bahkan buku malah tak ada gunanya. Mereka beranggapan, membaca tak akan mengurangi jumlah rumput yang harus mereka siangi, atau bisa memperbanyak hasil sawah dan kebun mereka. Tidak juga membuat binatang ternak mereka lebih pintar beranak. Intinya, buku tak membuat kehidupan mereka menjadi lebih baik. Jelas-jelas, orang kampung tak terlalu membutuhkannya.


Pengurangan Pajak dan Subsidi

Tingginya harga buku-buku asli tentu saja bukan tanpa alasan. Biaya produksi buku yang juga tinggi menjadi alasan utama. Selain nilai kontrak dan pembayaran royalti bagi penulisnya yang harus dibayar di muka, penerbit juga harus membayar pajak buku tersebut. Ditambah dengan biaya promosi sekitar tiga sampai lima persen dan biaya tetek bengek lainnya, kita bisa bayangkan kenapa harga buku bisa mahal.


Belum lagi jika menerbitkan buku-buku asing, yang harus diterjemahkan dan di-lay out ulang sebelum dicetak lagi. Pajaknya yang mencapai 10 persen, biaya overhead 20 persen, dan yang paling penting adalah kewajiban membayar biaya hak cipta (copy right), juga harus disiapkan penerbit sebelum melemparkan buku tersebut ke pasaran. Lumrah saja jika harga buku pun melambung tinggi.


Buku-buku terbitan luar negeri biasanya menjadi buku rujukan utama bagi mahasiswa di perguruan tinggi. Harga buku-buku tersebut bisa mencapai ratusan ribu rupiah. Salah seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, mengaku harus merogoh kocek lebih dari satu juta rupiah jika membeli semua buku kuliah dalam satu semester. Bayangkan saja, jika ia baru menamatkan kuliahnya dalam waktu empat tahun; hampir 10 juta rupiah harus dikeluarkannya hanya untuk buku-buku kuliah.


Makanya tak heran, buku-buku asing yang dibebani pajak yang tinggi sehingga harnya mahal ini biasanya menjadi objek utama yang dibajak para pembajak buku. Selain karena harganya yang selangit, koleksi buku-buku asing ini juga sangat sedikit, bahkan susah ditemukan di perpustakaan. Oleh karena itu, daripada harus mengeluarkan uang yang banyak, mending beli buku bajakan saja.


Mestinya pemerintah bisa menanggulangi permasalahan ini dengan memotong pajak bagi penerbitan buku, sehingga pajak yang dibayar akan lebih murah. Hal ini guna mengurangi beban produksi yang harus dikeluarkan penerbit. Dengan demikian, buku-buku murah akan tetap tersedia di pasar bagi kepentingan masyarakat. Intervensi pemerintah dalam pengadaan buku-buku murah juga bisa dalam bentuk pemberian subsidi bagi penerbit, terutama dalam penerbitan buku-buku asing.


Pemotongan pajak agar lebih murah dan pemberian subsidi ini sebenarnya tidak akan merugikan pemerintah. Toh nantinya, penerbit malah akan semakin berlomba-lomba untuk lebih banyak memproduksi buku, karena pajak yang lebih murah tersebut. Ujung-ujungnya, pemerintah tetap akan menerima pajak dengan total yang tak jauh berbeda, meski dalam satuan yang lebih kecil.


Seperti falsafah dagang orang Cina, 100 x 1; menjual 100 barang dengan keuntungan satu per barang. Hasilnya tetap sama dengan menjual satu barang dengan memaksakan meraup untung 100 dari penjualan satu barang tersebut. Hanya caranya saja yang berbeda; yang pastinya juga akan memberikan efek yang berbeda bagi keuntungan yang akan diterima.


Penggandaan Buku dan E-Book

Selain mengurangi pajak buku dan memberikan subsidi bagi penerbit, pemerintah juga bisa menawarkan solusi untuk menuju era buku murah di Indonesia, dengan cara mengalihkan hak cipta buku, khususnya buku-buku karya penulis dalam negeri. Pemerintah bisa membeli hak cipta buku-buku tersebut dari penulis maupun penerbit.


Dengan mengantongi hak cipta buku dari penulis dan penerbit tersebut, Indonesia bisa menerapkan aturan penggandaan buku, seperti yang sudah sejak lama dilakukan oleh negara-nagara lain. Salah satunya di Asia, India sudah melakukan praktek penggandaan buku seperti ini. Buku-buku yang hak ciptanya telah dibeli pemerintah tersebut, digandakan dengan kertas murah dari dalam negeri. Lalu kemudian didistribusikan, dan penerbitnya mendapat persentase dari total penjualan.


Dengan cara seperti ini, pemerintah bisa menjual buku-buku tersebut lebih murah kepada masyarakat, dibandingkan dengan harga jual dari penrbit yang pastinya akan berorientasi pada keuntungan perusahaan. Pemerintah tentu tidak akan seperti itu sebagai "pelayan" masyarakat. Budget ini tentu bisa didapatkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk bidang pendidikan.


Bagi penerbit, prinsip mekanisme seperti ini tentu tidak akan bermasalah, asal tidak berujung pada penggandaan naskah yang merugikan mereka. Selagi hanya pemerintah yang telah membeli hak ciptanya yang memperbanyak dan menjual murah buku-buku tersebut, tentu tidak akan merugikan penerbit, karena mereka juga akan mendapatkan persentase untuk penjualan buku-buku tersebut. Tapi jika pembajak juga ikut-ikutan menggandakan dan menjualnya, ini yang akan mendatangkan kerugian bagi penerbit, dan tentu saja juga negara.


Dengan membeli hak cipta dari penulis dan penerbit tadi, selain bisa menggandakan buku-buku yang kemudian dijual ke masyarakat dengan harga yang jauh lebih murah, pemerintah bisa juga mengubah buku-buku tersebut menjadi buku elektronik. Buku-buku seperti ini dikenal dengan istilah e-book (electronic book). Melalui sistem ini, pemerintah dapat memasukkan buku tersebut ke dalam situs website, yang kemudian bisa di-download oleh siapa pun yang membutuhkannya, tanpa harus memohon perizinan dulu. Sehingga masyarakat dapat memperoleh buku-buku tersebut dengan gratis, tidak lagi harus mengeluarkan uang sepeser pun.


Untuk beberapa institusi pendidikan negeri, pemerintah sudah memberlakukan sistem ini dengan menciptakan buku-buku pelajaran buku pendidikan menjadi e-book. Namun sistem ini belum menyentuh semua bidang kehidupan, meski beberapa institusi non-pemerintah juga sudah ada yang memberlakukannya demi kemudahan masyarakat untuk mendapatkan buku-buku murah, bahkan bisa jadi gratis.


Meski begitu, kita sebagai masyarakat tidak bisa juga sembarangan dalam mendapatkan e-book ini. Jangan pernah men-download-nya untuk keuntungan pribadi dengan menjualnya kembali sebagai buku bajakan. Ini harus sama-sama kita perhatikan juga, karena seperti yang kita ketahui masyarakat Indonesia belum bisa profesional untuk yang gratisan seperti ini. Ujung-ujungnya, bisa saja kasus pembajakan buku di negeri ini akan semakin merajalela.


Peran Penting Pemerintah

Poin paling penting yang harus kita tekankan dan kita perhatikan bersama saat ini adalah soal keseriusan dari pemerintah dalam menjalankan program ini. Pemerintah harus serius jika ingin mengambil jalan keluar seperti ini untuk menyalurkan buku-buku murah bagi masyarakat; jangan melakukannya setengah hati yang ujung-ujungnya hanya untuk keuntungan pribadi dan kelompok para penguasa.


Karena, selama ini yang selalu menjadi penyebab kegagalan kita adalah ketidakseriusan dalam melaksanakan suatu program. Jika pemerintah tidak memiliki keseriusan untuk hal ini, maka jangan harap masyarakat bisa menikmati buku-buku murah di negeri yang kata orang lain disebut negeri kaya ini.


Di banyak negara lain, program untuk memberikan kesempatan pada masyarakat mendapatkan buku-buku murah seperti ini memang jadi political will bagi pemerintah dalam mengembangkan pendidikan dan negaranya. Sehingga mereka konsisten dengan pelaksanaan dan tujuan utama dari program tersebut. Hal ini yang juga kita harapkan dapat muncul dari hati setia pelaku pemerintahan di Indonesia.


Seperti pernah diucapkan G Aris Buntaran dalam salah satu surat kabar nasional, dia menilai hampir tak ada Presiden RI yang memberi perhatian khusus terhadap dunia perbukuan di negara ini, selain Soekarno. Dulu, Presiden Soekarno pernah memerintahkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Priyono dalam sebuah rapat akbar, untuk untuk menerbitkan buku murah. Sejak berakhirnya masa pemerintahan Soekarno, tak pernah ada lagi rezim yang memberi perhatian untuk menerbitkan buku murah sehingga masyrakat bisa dengan mudah memiliki buku-buku bermutu.


Dengan kerangka kebijakan yang jelas, tentunya pemerintah tak perlu khawatir lagi untuk mengalirkan dana yang cukup besar dalam rangka mencerdaskan masyarakat. Hal-hal yang mendukung perkembangan ilmu pengetahuan seperti pengurangan pajak - atau mungkin penghapusan pajak bagi penerbitan buku, penggandaan buku, penciptaan e-book, serta subsidi lainnya untuk para penerbit perlu direalisasikan sesegera mungkin. Sehingga buku-buku murah tak lagi jadi mimpi bagi masyarakat. Sudah saatnya kita bisa mendapatkan buku-buku bermutu dengan harga yang jauh lebih murah, atau malah mungkin tak berbayar alias gratis.


* Dimuat di Harian Global (Kamis, 28 Mei 2009)

2 komentar: