------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Jumat, Agustus 21, 2009

Mengkaji Rencana Pembentukan Bank UMKM

Oleh: Adela Eka Putra Marza

Sebuah bank yang khusus melayani sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), sedang dipersiapkan pemerintah. Berdasarkan konsepnya, unit perbankan khusus UMKM diharapkan bisa memperluas akses penyaluran kredit untuk sektor ini dalam memperkuat permodalan yang selalu menjadi masalah pelik. Apakah ini sebuah bentuk tanggapan riil atas sikap bank komersial saat ini yang selalu ogah-ogahan meladeni pengusaha kecil?

Gagasan membentuk bank UMKM sebelumnya pernah dikemukakan dalam rapat kabinet yang dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Kantor Kementerian Negara Urusan Koperasi dan UKM (Kemennegkop dan UKM) pada awal Maret 2008. Kemudian, rencana ini semakin diperkuat oleh Kemennegkop dan UKM dengan terus menggodok dan mengkaji konsep Bank UMKM bekerjasama dengan berbagai lembaga dan departemen terkait, termasuk Bank Indonesia (BI).

Secara mendasar, pemahaman bank UMKM tentu saja akan berbeda dengan pemahaman tentang bank pada umumnya. Prinsipnya, bank ini khusus menyalurkan kredit kepada para pengusaha skala mikro, kecil dan menengah, dengan cara yang berbeda untuk memudahkan masyarakat pengusaha kecil. Kalau perbankan pada umumnya pakai agunan, maka bank UMKM tidak perlu pakai agunan; yang menjadi agunan itu adalah usahanya sendiri.

Tonggak Dasar Pemikiran
Potensi pertumbuhan sektor UMKM di Indonesia memang sangat luar biasa besar. Saat ini saja, sekitar 99,99% pengusaha Indonesia bergerak di sektor tersebut. Karena itu, Kemennegkop dan UKM merasa perlu untuk mempertimbangkan pembentukan bank yang secara khusus fokus pada sektor ini. Bank UMKM yang dikonsep dapat diakses langsung oleh masyarakat, dinilai penting bagi pengusaha mikro, kecil, dan menengah melihat kondisi saat ini, di mana para pengusaha tersebut sulit mendapatkan pinjaman kredit dari bank.

Selama ini, kebijakan, dukungan dan fasilitas permodalan bagi UMKM memang masih berjalan setengah hati. Padahal seharusnya, program-program pendanaan bagi UMKM dan koperasi tidak boleh mengalami hambatan. Apalagi karena kondisi ketatnya likuiditas perbankan dewasa ini. Hambatan teknis penyaluran kredit yang sekarang terjadi sangat berpotensi mengganggu pertumbuhan UMKM.

Pemerintah melalui Kemennegkop dan UKM, sebenarnya telah mengucurkan dana bergulir untuk penguatan modal UMKM yang disalurkan melalui koperasi. Pada tahun 2008, dana bergulir yang dikucurkan sebesar Rp 403 miliar. Selain itu, ada juga kredit usaha rakyat (KUR). Sejak diluncurkan awal November 2007, jumlah penyerapan KUR mencapai Rp 10,141 triliun dengan jumlah nasabah 1,2 juta orang. Rata-rata kreditnya sebesar Rp 8,4 juta per nasabah.

Namun, implementasi KUR di lapangan menimbulkan perdebatan, terutama soal penjaminan. Masyarakat menganggap untuk mendapatkan KUR tidak perlu jaminan, tetapi masih ada bank penyalur KUR yang meminta jaminan. Perbedaan pemahaman ini tentu saja membuat penyaluran KUR tersendat, sehingga kredit yang disalurkan pemerintah belum efektif mengembangkan sektor UMKM.

Karena itu, untuk meningkatkan pelayanan kredit bagi UMKM, pemerintah merasa perlu membentuk perbankan khusus UMKM. Bank ini yang nantinya akan membantu penyaluran kredit pemerintah yang lebih luas, serta akses langsung bagi pengusaha UMKM hingga daerah terpencil.

Selain itu, kehadiran Bank UMKM dapat menggerakkan sektor riil yang layak bank (bankable), di mana bank ini nantinya akan menjadi lembaga otoritas pengembangan UMKM yang sinergis, sehingga seluruh program di pusat dan daerah tidak berjalan sendiri-sendiri.

Jika dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia, UMKM di negeri jiran itu sudah mendapatkan layanan fasilitas pembiayaan melalui bank khusus UMKM yang berada di bawah Kementrian Pembangunan Usahawan dan Koperasi. Selain itu, pembiayaan UMKM juga diikuti dengan pembinaan kewirausahaan, agar benar-benar menghasilkan usahawan yang berkualitas.

Hingga saat ini, pemerintah dalam hal ini Kemennegkop dan UKM, masih menggodok konsep Bank UMKM. Kementerian sudah mengkaji pembentukan bank ini didampingi Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) BI, serta terus membahas regulasinya. Dari pengkajian ini, akan ditemukan jawaban berdasarkan aspek-aspek yang diperlukan dalam mendirikan sebuah bank, seperti aspek perundang-undangan dan permodalan, untuk pertanyaan apakah Bank UMKM layak didirikan.

Bukan Hal yang Mudah
Namun begitu, rencana besar pemerintah ini tentu saja tak luput dari hambatan. Mendirikan sebuah bank bukanlah suatu hal yang mudah, apalagi fungsi bank ini berbeda dengan bank pada umumnya. Masih banyak hal yang perlu dipertimbangkan dalam membentuk bank UMKM. Di antaranya menyangkut masalah permodalan, regulasi, penjaminan dan ahli yang dapat mengawasi operasional bank tersebut.

Rencana tersebut sangat sulit untuk direalisasikan, baik dari sisi substansi maupun dari sisi kemampuan pemerintah untuk memberikan permodalannya. Untuk pembentukan sebuah bank saja diperlukan modal awal setor sebesar Rp 3 triliun. Jumlah ini memang tidak harus dibayar langsung, tetapi tetap saja merupakan sebuah angka yang besar.

Meskipun begitu, pemerintah tetap optimis dengan rencana ini. Menurut Menteri Negara Urusan Koperasi dan UKM Suryadharma Ali, Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) yang disiapkan sebagai cikal bakal Bank UMKM telah memiliki dana yang tersedia sebesar Rp 403 miliar. Jadi nanti akan diharapkan ada share dari departemen lain sehingga angka Rp 3 triliun dapat tercapai, dengan target Rp 1,5 triliun pada tahun pertama. Namun, tetap saja peluangnya sangat kecil untuk bank ini dapat berdiri dalam waktu 2-3 tahun ke depan.

Masalah penjaminannya juga perlu diperhatikan. Karena selama ini, masalah jaminanlah yang sering kali menyebabkan perbedaan pemahaman antara bank penyalur KUR dengan pengusaha UMKM, sehingga penyaluran KUR menjadi tersendat. Jika masalah penjaminan ini dialihkan kepada PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) dan Perum Sarana Pengembangan Usaha (SPU) sebagai penjamin, maka akan menambah beban kedua perusahaan penjamin tersebut.

Dengan arsitektur regulasi perbankan yang sudah baku, kebijakan membuat bank baru juga tidak produktif. pembentukan bank UMKM ini tentu saja nantinya akan memerlukan payung hukum yang baru. Akan cukup rumit sekali, jika harus membuat regulasi baru dan menyesuaikan lagi dengan regulasi yang lama untuk pembentukan bank UMKM ini.

Namun, terlepas dari beberapa pertimbangan di atas, BI sendiri mengaku tidak akan menghalangi pembentukan Bank UMKM tersebut. Karena risiko-risiko perbankan yang akan terjadi nantinya ke depan, sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah, tidak akan melibatkan bank-bank lainnya. Namun begitu, pemerintah tetap perlu memperhatikan aspek-aspek perbankan tersebut di atas.

Solusi untuk Bank UMKM
Seperti yang telah dijelaskan di atas, saat ini pemerintah dinilai belum perlu mendirikan bank khusus yang berfokus pada pembiayaan UMKM. Karena masih ada pertimbangan-pertimbangan yang mungkin bisa menjadi solusi untuk pemecahan masalah pembiayaan dan penyaluran kredit serta permodalan bagi UMKM.

Salah satu hal yang mungkin bisa dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi permasalahan pelik tersebut adalah, dengan cara mengoptimalkan lembaga keuangan lainnya yang sudah ada. Ini bisa diterapkan pada beberapa lembaga keuangan seperti PNM, Askrindo atau Bahana, dan lembaga nonbank lainnya. Lembaga ini bisa dioptimalkan untuk memberikan kredit kepada sektor UMKM.

Koperasi yang ikut berperan dalam pembiayaan UMKM juga bisa diikutsertakan dalam usaha pengoptimalan lembaga keuangan ini. Cara ini juga sebagai jawaban bahwasanya perbankan saat ini belum sepenuhnya dapat menjangkau permasalahan pembiayaan sektor UMKM.

Kalaupun pendirian bank UMKM tetap harus dipaksakan untuk dipenuhi, sebaiknya hanyalah berupa pemisahan salah satu cabang perbankan. Misalnya, cabang Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang khusus melayani sektor UMKM. Jadi bukan dengan mendirikan bank baru yang khusus dalam pelayanan sektor ini. Selain bisa menanggulangi masalah permodalan yang sangat besar, cara ini juga dapat menghindari penyusunan regulasi baru yang malah akan semakin rumit.

Terlepas dari dua solusi di atas, pengembangan aspek yang mendorong pertumbuhan UMKM dan lembaga keuangan mikro (LKM) tetaplah sangat penting. Namun hal ini tetap perlu dikonsolidasikan. Karena itu, payung hukum undang-undang LKM sangat diperlukan agar LKM tidak disebut sebagai bank gelap. Yang harus dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah menyelesaikan RUU LKM.

Sementara, untuk mempercepat gerakan sektor riil, pemerintah semestinya memberikan payung hukum berupa peraturan presiden (Perpres) atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu). Selanjutnya, LKM tersebut juga harus segera diakreditasi. Sedangkan Departemen Keuangan (Depkeu) harus menjadi regulator dalam hal ini, sehingga LKM tidak dicap sebagai bank gelap.

Inilah pekerjaan rumah terbesar yang harus segera diselesaikan pemerintah, untuk memperluas akses pembiayaan dan penyaluran kredit bagi UMKM di tanah air. Daripada berpolemik, mending memanfaatkan yang sudah ada kan?!

* Dimuat di Harian Medan Bisnis (Kamis, 22 Januari 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar