Oleh: Adela Eka Putra Marza
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi belakangan ini terus semakin pesat dan berjalan cepat. Berbagai teknologi terbaru dalam era digital membuat arus informasi dan komunikasi pun mengalir dengan deras. Hal apapun bisa ditemukan di media massa, terutama sejak bergulirnya konvergensi media dari media konvensional seperti surat kabar ke arah media digital dengan teknologi internetnya. Masyarakat yang pada awalnya merupakan pengguna media, malah kemudian menjadi terpojok pada posisi sebagai target dari media.
Akses yang semakin besar dalam bermedia, terutama di media sosial, membuat setiap orang bisa menyebarkan informasi apapun dengan cepat. Mereka dapat menuangkan aspirasi dengan bebas melalui berbagai produk teknologi terkini, hanya dalam genggaman tangan. Namun, rendahnya kesadaran masyarakat dalam memanfaatkan media, membuat arus informasi di media sosial yang mengalir sudah tak terbendung lagi itu bisa menjadi bumerang bagi siapa saja dan kapan saja, ketika informasi tersebut sudah menyinggung ranah pribadi.
Kondisi ini terjadi karena tingkat media literate masyarakat Indonesia masih jauh dari kata baik. Kurangnya kepekaan dan pemahaman terhadap isi dan isu pemberitaan media, membuat masyarakat menjadi ‘sasaran empuk’ bagi media massa. Mengibaratkan dengan teori kependudukan ala Thomas Robert Malthus, maka teknologi informasi dan komunikasi cenderung tumbuh secara ‘deret ukur’ (deret 1, 2, 4, 8, dan seterusnya), sedangkan literasi media cenderung bertumbuh secara ‘deret hitung’ (deret 1, 2, 3, 4, 5, dan seterusnya).
Jadi ‘Korban Peraturan’
Pemerintah sendiri sebenarnya sudah mengatur penggunaan media digital berbasis internet ini melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Meski pun sempat menuai pro dan kontra dari sejumlah pihak, terutama kalangan pegiat internet sehat, karena mengundang multi tafsir pada beberapa pasalnya, namun peraturan ini membuktikan bisa menjadi rambu-rambu bagi setiap pengguna internet di Indonesia, agar lebih ‘berhati-hati’ dalam memanfaatkan media sosial.
Sejumlah orang pun sempat menjadi ‘korban’ UU ITE. Secara implisit, pengguna internet dalam beberapa kasus yang telah masuk ke ranah hukum ini memang terlihat seperti tak mendapatkan haknya untuk menyampaikan aspirasi dan pendapat. Namun, sebenarnya ada rambu-rambu yang telah dilanggar pada saat menggunakan haknya tersebut, sehingga tersangkut dalam masalah hukum. Ranah pribadi yang bisa terusik dalam kondisi ini adalah terkait dengan penghinaan dan pencemaran nama baik seseorang atau suatu lembaga.
Mulai dari kasus Prita Mulyasari pada tahun 2008 silam yang berawal dengan email-nya berisi keluhan soal layanan RS Omni Internasional Tangerang, hingga kasus Florence Sihombing, mahasiswa S2 Universitas Gadjah Mada yang mengungkapkan kekesalannya soal masyarakat Yogyakarta di situs pertemanan Path pada tahun 2014 lalu. Masalah terbaru adalah yang menimpa Yusniar, warga Makassar yang dilaporkan oleh seorang ‘wakil rakyat’ dengan tuduhan pencemaran nama baik atas statusnya di Facebook pada awal tahun 2016.
Revisi UU ITE
Pro dan kontra terkait kemungkinan beberapa pasal pada UU ITE yang multi tafsir, akhirnya mendorong pemerintah untuk melakukan revisi terhadap peraturan tersebut. Revisi UU ITE ini kemudian disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 27 Oktober 2016. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, rancangan undang-undang (RUU) tersebut akan mulai berlaku pada 30 hari setelah DPR menyetujuinya. Maka, tepat pada tanggal 28 November 2016, revisi UU ITE itu pun mulai berlaku di Indonesia.
Ada tujuh poin penting yang diubah, salah satunya untuk menghindari multitafsir terkait penghinaan dan pencemaran nama baik pada Pasal 27 ayat (3). Pasal itu menegaskan ketentuan delik aduan, bukan lagi delik umum, sehingga pihak berwajib akan ‘turun tangan’ setelah adanya laporan dari pihak korban. Tuduhan pun harus ditujukan kepada personal, sehingga kasus seperti yang dialami Florence Sihombing tak akan terjadi lagi. Selain itu, revisi UU ITE ini juga mereduksi ancaman hukuman maksimal, baik penjara maupun denda.
Perubahan pada UU ITE juga akan membuat tersangka pelaku kejahatan berbasis ITE baru bisa ditahan setelah keputusan pengadilan inkrah, sehingga tidak akan ada lagi kasus serupa dengan Prita Mulyasari. Poin penting lainnya adalah penambahan ketentuan ‘right to be forgotten’ alias hak untuk dilupakan pada Pasal 26, yang diadopsi dari ketentuan hukum di beberapa negara Eropa. Ketentuan ini memungkinkan seseorang untuk meminta menghapus konten informasi elektronik terkait dirinya, berdasarkan penetapan pengadilan.
Demi stabilitas negara
Meski pun sudah dilakukan perubahan untuk menghapus adanya kemungkinan-kemungkinan multi interpretasi pada UU ITE, namun tetap saja ada pihak yang menolak dan kontra terhadap keputusan ini. Kontroversi ini muncul karena sejumlah pihak menganggap revisi UU ITE ini akan membatasi kebebasan berekpresi. Rumusan peraturan ini dinilai masih membawa preseden buruk dengan kekuatannya menghalangi publik dalam memberikan kritik terhadap sesuatu hal terkait urusan publik melalui media.
Padahal, pada dasarnya sejumlah poin dalam revisi UU ITE dapat mengurangi penyalahgunaan hukum terhadap kebebasan berpendapat. Di sisi lain, pemerintah juga diberi kewenangan yang sifatnya lebih preventif. Ketentuan Pasal 40 UU ITE memperkuat peran pemerintah dalam memberikan perlindungan dari segala jenis gangguan akibat penyalahgunaan informasi dan transaksi elektronik, di mana pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan informasi elektronik yang memiliki muatan yang dilarang.
Melalui ketentuan tersebut, pemerintah juga berwenang melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum, termasuk menghapus konten internet yang memang disinyalir adanya pelanggaran, sebelum terjadi tindak pidana. Dalam hal ini, pemerintah memang memiliki kewajiban untuk menjaga stabilitas negara, dengan mengontrol dan mengawasi setiap informasi yang beredar di kalangan masyarakat, meski wewenang itu tetap harus digunakan secara hati-hati.
Gerakan Sadar Media
Tak hanya mengatur melalui ketentuan hukum, kesadaran masyarakat dalam bermedia juga perlu ditingkatkan. James Porter dalam Rahayu (Media Literasi Agenda ‘Pendidikan’ Nasional yang Terabaikan) Volume 1 Nomor 2 menilai, bahwa semakin rendah tingkat Media Literacy seseorang, maka semakin sedikit atau dangkal pesan yang didapatnya.
Orang-orang dengan tingkat Media Literacy rendah, akan sulit mengenali ketidakakuratan pesan, keberpihakan media, memahami kontroversi, mengapresiasi ironi atau satire, dan sebagainya.
Rendahnya kesadaran bermedia membuat masyarakat jauh lebih mudah menerima hingga mempercayai pesan yang disampaikan oleh media. Dengan ketersediaan teknologi canggih saat ini, maka setiap pesan yang diterima dengan mudahnya disebarluaskan melalui media sosial tanpa mengecek kebenaran pesan tersebut, sehingga kemudian muncul istilah ‘Hoax’.
Dalam kondisi ini, para pengguna media sosial seharusnya menumbuhkan sikap ‘cek dan ricek’ terhadap setiap pesan, sebelum menanggapi atau menyebarluaskannya.
Konsep ‘Public Sphere’ yang pernah dikemukakan oleh Jurgen Habermas (1962), juga perlu ditelisik untuk meningkatkan kesadaran bermedia. Meski pun teori ‘ruang publik’ tersebut menjamin kebebasan setiap orang dari intervensi dan restriksi pihak lain untuk menghindari hegemoni opini, namun penerima pesan juga memiliki hak untuk mendapatkan kebenaran dari setiap pesan yang muncul. Sebagai salah satu ruang publik, hal yang sama berlaku pada media sosial, di mana kebenaran tetap harus menjadi tujuan utama.
* Dimuat di Rubrik Opini Harian Analisa (Selasa, 6 Desember 2016)
search
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus