------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Sabtu, Agustus 25, 2018

Mari (Mulai) Bijak Bermedia Sosial!

Oleh: Adela Eka Putra Marza

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi belakang­an ini terus se­ma­kin pesat dan berjalan cepat. Berbagai tek­no­logi terbaru dalam era digital mem­buat arus informasi dan komunikasi pun mengalir dengan deras. Hal apapun bisa ditemu­kan di media mas­sa, terutama sejak bergulirnya kon­ver­­gensi media dari media konvensio­nal seperti surat kabar ke arah media digital dengan teknologi internetnya. Ma­sya­ra­kat yang pada awalnya merupakan peng­guna media, malah kemu­dian menjadi ter­pojok pada posisi sebagai target dari media.


Akses yang semakin besar dalam ber­media, terutama di media sosial, mem­buat setiap orang bisa menyebarkan infor­masi apapun dengan cepat. Mereka dapat me­nuangkan aspirasi dengan bebas me­lalui berbagai produk teknologi ter­kini, hanya dalam genggaman tangan. Na­mun, rendahnya kesadaran masyara­kat dalam memanfaatkan media, mem­buat arus infor­masi di media sosial yang me­ngalir sudah tak terbendung lagi itu bisa menjadi bumerang bagi siapa saja dan kapan saja, keti­ka informasi tersebut su­dah menyinggung ranah pribadi.

Kondisi ini terjadi karena tingkat media literate masyarakat Indone­sia masih jauh dari kata baik. Kurangnya kepekaan dan pemaha­man terhadap isi dan isu pem­beritaan media, membuat ma­sya­ra­kat menjadi ‘sasaran empuk’ bagi media massa. Mengiba­ratkan dengan teori ke­pen­dudukan ala Thomas Robert Malthus, maka teknologi informasi dan komuni­kasi cen­derung tumbuh secara ‘deret ukur’ (deret 1, 2, 4, 8, dan seterus­nya), se­dangkan literasi media cenderung bertumbuh secara ‘deret hitung’ (deret 1, 2, 3, 4, 5, dan seterusnya).

Jadi ‘Korban Peraturan’
Pemerintah sendiri sebenarnya sudah me­ngatur penggunaan media digital ber­basis internet ini melalui Undang-Un­dang Nomor 11 Tahun 2008 tentang In­formasi dan Transaksi Elek­tronik (UU ITE). Meski pun sempat menuai pro dan kon­tra dari sejumlah pihak, terutama ka­langan pegiat internet sehat, karena me­ngundang multi tafsir pada beberapa pa­salnya, namun peraturan ini mem­buk­tikan bisa menjadi rambu-rambu bagi se­tiap pengguna internet di Indonesia, agar lebih ‘berhati-hati’ dalam meman­fa­atkan media sosial.

Sejumlah orang pun sempat menjadi ‘korban’ UU ITE. Secara implisit, pengguna internet dalam beberapa kasus yang telah masuk ke ranah hukum ini me­mang terlihat seperti tak mendapat­kan haknya untuk menyampaikan aspirasi dan pen­dapat. Namun, sebenar­nya ada rambu-rambu yang telah dilang­gar pada saat menggunakan haknya ter­se­but, sehingga tersang­kut dalam ma­salah hukum. Ranah pribadi yang bisa ter­usik dalam kondisi ini adalah terkait de­ngan penghinaan dan pencemaran nama baik seseorang atau suatu lembaga.

Mulai dari kasus Prita Mulyasari pada tahun 2008 silam yang berawal dengan email-nya berisi keluhan soal layanan RS Omni Internasional Tangerang, hingga kasus Florence Sihom­bing, mahasiswa S2 Universitas Gadjah Mada yang meng­ungkap­kan kekesalannya soal masyarakat Yogyakarta di situs pertema­nan Path pada tahun 2014 lalu. Masalah terbaru adalah yang menimpa Yusniar, war­ga Makassar yang dilapor­kan oleh se­orang ‘wakil rakyat’ dengan tuduhan pen­­cemaran nama baik atas statusnya di Facebook pada awal tahun 2016.

Revisi UU ITE
Pro dan kontra terkait kemungkinan be­berapa pasal pada UU ITE yang multi tafsir, akhirnya mendorong pemerintah untuk melakukan revisi terhadap peratu­ran tersebut. Revisi UU ITE ini kemudian disetujui oleh Dewan Perwaki­lan Rakyat (DPR) pada tanggal 27 Ok­tober 2016. Berdasarkan peraturan perun­dang-undangan yang berlaku, rancangan un­dang-undang (RUU) tersebut akan mulai berlaku pada 30 hari setelah DPR menyetujuinya. Maka, tepat pada tanggal 28 November 2016, revisi UU ITE itu pun mulai berlaku di Indonesia.

Ada tujuh poin penting yang diubah, sa­lah satunya untuk meng­hindari mul­ti­taf­sir terkait penghinaan dan pencemaran nama baik pada Pasal 27 ayat (3). Pasal itu menegaskan keten­­tuan delik aduan, bu­kan lagi delik umum, sehingga pihak ber­­wajib akan ‘turun tangan’ setelah ada­nya laporan dari pihak korban. Tuduhan pun harus ditujukan kepada personal, se­hingga kasus seperti yang dialami Florence Sihombing tak akan terjadi lagi. Se­lain itu, revisi UU ITE ini juga me­re­duksi an­caman hukuman maksimal, baik penjara maupun denda.

Perubahan pada UU ITE juga akan mem­buat tersangka pelaku kejahatan ber­basis ITE baru bisa ditahan setelah ke­pu­tu­san pengadilan inkrah, sehingga tidak akan ada lagi kasus serupa dengan Prita Mulyasari. Poin penting lainnya adalah pe­nam­bahan ketentuan ‘right to be forgotten’ alias hak untuk dilupa­kan pada Pa­sal 26, yang diadopsi dari ketentuan hu­kum di beberapa negara Eropa. Ke­ten­tuan ini memungkinkan sese­orang untuk meminta menghapus konten informasi elek­tronik terkait dirinya, berdasarkan pe­netapan pengadilan.

Demi stabilitas negara
Meski pun sudah dilakukan perubahan untuk menghapus ada­nya kemungkinan-kemungkinan multi interpretasi pada UU ITE, namun tetap saja ada pihak yang me­nolak dan kontra ter­hadap keputusan ini. Kontroversi ini muncul karena se­jum­lah pihak menganggap revisi UU ITE ini akan membatasi kebeba­san berek­pre­si. Rumusan peraturan ini dinilai masih membawa preseden buruk dengan ke­kua­tannya menghalangi publik dalam mem­berikan kritik terhadap sesuatu hal terkait urusan publik melalui media.

Padahal, pada dasarnya sejumlah poin dalam revisi UU ITE dapat mengurangi penyalahgunaan hukum terhadap kebeba­san ber­pendapat. Di sisi lain, pemerintah juga diberi ke­wenangan yang sifatnya le­bih pre­ventif. Ketentuan Pasal 40 UU ITE memperkuat peran pemerintah da­lam mem­berikan perlin­dung­an dari segala je­nis gangguan akibat pe­nya­lahgunaan in­for­masi dan transaksi elektronik, di mana peme­rintah wa­jib melaku­kan pencegahan penye­bar­luasan informasi elektronik yang memiliki muatan yang dilarang.

Melalui ketentuan tersebut, pe­merintah juga berwenang melaku­kan pemutusan akses terhadap in­formasi elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum, ter­masuk meng­­hapus konten internet yang memang disinyalir adanya pe­lang­garan, sebelum terjadi tindak pidana. Dalam hal ini, pemerintah memang memiliki kewajiban untuk menjaga stabilitas negara, dengan mengontrol dan mengawasi setiap informasi yang beredar di kalangan masyarakat, meski wewenang itu tetap harus digunakan secara hati-hati.

Gerakan Sadar Media
Tak hanya mengatur melalui ke­tentuan hukum, kesadaran masyara­kat dalam bermedia juga perlu di­ting­katkan. James Porter dalam Ra­hayu (Media Literasi Agenda ‘Pe­ndidikan’ Nasional yang Ter­abai­kan) Volume 1 Nomor 2 menilai, bah­wa semakin rendah tingkat Media Literacy seseorang, maka sema­kin sedikit atau dangkal pesan yang didapatnya.

Orang-orang dengan tingkat Media Literacy rendah, akan sulit mengenali ketidakakuratan pe­san, keberpihakan media, mema­ha­mi kontro­versi, mengapresiasi ironi atau satire, dan sebagai­nya.

Rendahnya kesadaran bermedia membuat masyarakat jauh lebih mu­dah menerima hingga mempercayai pesan yang disampai­kan oleh media. Dengan ketersediaan teknologi cang­gih saat ini, maka setiap pesan yang diterima dengan mudahnya di­sebarluas­kan melalui media sosial tanpa mengecek kebenaran pesan tersebut, sehingga kemudian muncul istilah ‘Hoax’.

Dalam kondisi ini, para pengguna media sosial seha­rusnya menumbuh­kan sikap ‘cek dan ricek’ terhadap setiap pesan, sebelum menanggapi atau menyebar­luas­kannya.

Konsep ‘Public Sphere’ yang per­nah dikemukakan oleh Jurgen Ha­bermas (1962), juga perlu ditelisik untuk meningkat­kan kesadaran ber­media. Meski pun teori ‘ruang pu­blik’ tersebut menjamin kebebasan setiap orang dari intervensi dan res­triksi pihak lain untuk menghindari hegemoni opini, namun penerima pesan juga memiliki hak untuk men­dapatkan kebenaran dari setiap pesan yang muncul. Sebagai salah satu ruang publik, hal yang sama berlaku pada media sosial, di mana kebe­naran tetap harus menjadi tujuan utama.

* Dimuat di Rubrik Opini Harian Analisa (Selasa, 6 Desember 2016)

1 komentar: