------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Sabtu, Mei 14, 2011

Ketika Pembaca Lebih Memilih Berita "Orang Biasa"

Oleh: Adela Eka Putra Marza

Dalam esai pendek Kehidupan Sastra di Dalam Pikiran yang dimuat dalam bukunya Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (1997), Seno Gumira Ajidarma menulis, "Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Karena bila jurnalisme bicara dengan fakta, sastra bicara dengan kebenaran."

Tak salah yang diopinikan Seno Gumira Ajidarma tersebut. Sastra harus bisa menjadi alternatif, ketika jurnalisme tak mampu lagi menjalankan perannya untuk menyampaikan kebenaran kepada semua orang. Ketika jurnalisme saat ini sudah kehilangan kepercayaan dari masyarakat akibat permainan politik para kapitalis pemiliknya, perannya dapat diselamatkan oleh sastra.

Lalu bagaimana jika jurnalisme dan sastra dikawinkan? Sebuah pertanyaan yang cukup menarik. Paham jurnalistik yang mengedepankan fakta dipadukan dengan sastra yang identik dengan fiksi. Sebuah genre jurnalisme baru yang kemudian diperkenalkan oleh Tom Wolfe kepada dunia. New journalism itu adalah literary journalism alias jurnalisme sastra.

Kelahiran Jurnalisme Sastra

Istilah jurnalisme sastra mulai dibicarakan secara meluas pada awal dekade 1980-an, ketika jurnalisme model baru ini didiskusikan oleh para penulis dan pembaca, dan diajarkan di kelas-kelas sekolah menengah. Tom Wolfe dikenal sebagai jurnalis yang mengembangkan genre baru ini pada tahun 1973 di New York.

Namun jauh sebelumnya, Joseph Mitchell (The New Yorker) sudah mulai menulis genre ini pada tahun 1930-an. Bahkan, para pendatang baru seperti Ted Conover, Susan Orlean, dan Adrian Nicole LeBlanc, juga mengembangkan bentuk penulisan seperti ini yang sudah dirintis oleh Daniel Defoe melalui tulisan-tulisannya di awal tahun 1700-an (Septiawan Santana Kurnia, 2002).

Menurut Nieman Reports, jurnalisme sastra mulai menguasai media cetak di Amerika pada tahun 1980-an. Sejak saat itu, suratkabar-suratkabar di Negara Paman Sam tersebut banyak memakai jurnalisme yang identik dengan laporan mendalam ini, ketika kecepatan televisi tidak tertandingi lagi.

Di Indonesia, majalah Tempo dikenal sebagai yang pertama kali memperkenalkan gaya penulisan sastra dalam pemberitaan pada tahun 1970-an (Septiawan Santana Kurnia, 2002). Gaya penyajiannya yang saat itu masih langka dan unik karena menggabungkan kaidah pers dan sastra, memberikan kesegaran dalam gaya penulisan berita di Indonesia.

Namun begitu, hingga awal 1980-an, pelaporan jurnalisme baru ini masih belum mungkin dilakukan secara sempurna di Indonesia. Menurut Atmakusumah (1981), keuangan pers Indonesia belum mampu mengakomodasi wartawannya untuk liputan hingga berbulan-bulan. Soal penggunaan bahasa Indonesia, penyusunan tulisan, kesulitan mencari fakta yang benar-benar obyektif dan jelas juga menjadi permasalahan.

Dekade 1990-an, masalah ini mulai teratasi. Walaupun masih ada kekurangan di sana-sini, terutama masalah kebebasan pers yang merupakan faktor penghambat terbesar. Dalam perkembangan selanjutnya, banyak media cetak yang kemudian mengikuti gaya ini. Ekspresi sastra untuk penulisan jurnalistik pun berkembang menjadi semacam trendsetter.

Liputan Mendalam nan Memikat

Di awal perkembangan jurnalisme sastra, Wolfe mengawinkan disiplin keras dalam jurnalisme dengan daya pikat sastra. Ibarat sebuah novel, tapi menyampaikan isu faktual. Jurnalisme ini mensyaratkan liputan dalam, namun memikat. Penulis jurnalisme sastra lebih banyak memperhatikan soal kehidupan sehari-hari ketimbang tokoh publik atau selebritis.

Laporan mereka banyak yang menampilkan kisah-kisah tersembunyi dari komunitas yang tak tersentuh media, dengan kekuatan narasi yang sama menggugahnya dengan kisah-kisah spektakuler di headline koran. Kisah-kisah spektakuler juga tetap disentuh dengan gaya tutur genre klasik yang menangkap perasaan dan pengalaman, sebagai layaknya orang biasa di balik kementerengan dan kegemerlapan sang tokoh (Septiawan Santana Kurnia, 2002).

Penulis jurnalisme sastra, menurut Norman Sims dalam The Art of Literary Journalism, mengaku menggunakan teknik yang sama dengan teknik yang digunakan penulis fiksi. Para penulis berusaha menampilkan profil karakter-karakter dan mengungkapkan pengalaman-pengalaman mereka dengan lebih mendalam.

Dalam perjalanannya, jurnalisme sastra berkembang menjadi genre yang menarik dan kreatif, yang memungkinkan para penulis untuk masuk ke bidang-bidang yang selama ini dijauhi. Dalam format yang lebih jauh dari bentuk tradisional, karya jurnalisme sastra diarahkan menjadi medium untuk menancapkan penulisnya di antara teks-teks laporan perjalanan atau memoar mereka.

Sebagai Alternatif Berita

"Tapi mengapa sastra?" tulis Septiawan sebagai sub judul dalam bukunya Jurnalisme Sastra (2002). Seperti Seno yang memberikan judul Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (1997) untuk salah satu bukunya, mungkin itu juga yang diinginkan Wolfe ketika pertama kali bergelut dengan jurnalisme sastra.

Karena sastra mampu menyampaikan kebenaran yang masih belum tersentuh secara menyeluruh oleh jurnalistik. Karena sastra dapat bicara banyak tentang realitas sosial, politik, budaya, dan lainnya yang tak bisa diangkat pers. Sastra membawa tawaran alternatif medium watchdog terhadap dominasi kekuatan politik yang selama ini mencekoki masyarakat.

Ketika jurnalisme diaduk dengan sastra, inilah yang menjadi ramuan ajaib yang begitu ditunggu-tunggu oleh pembaca, untuk menyegarkan pemikiran pers di dunia ini, begitu pun di Indonesia. Masyarakat saat ini sudah bosan dengan sajian berita-berita yang terlalu sering dipelintir oleh pemilik modal. Tak lagi murni kebenaran, melainkan "kebenaran" menurut masing-masing para kapitalis media tersebut.

Di tengah-tengah kondisi inilah jurnalisme sastra hadir dengan penyajian berita yang lebih segar. Para jurnalis sastra mengembangkan teknik pelaporan yang tidak berjarak dengan pembaca, untuk menampilkan realitas seutuhnya, untuk lebih menuruti kehendak masyarakat, dan untuk melihat fakta secara lebih tegas. Mereka malah menjauhi koridor-koridor kekuasaan dan memilih meriwayatkan "keluhuran orang-orang biasa".

Belakangan, sejumlah media cetak lokal juga mulai memperhatikan berita-berita dengan gaya seperti ini, termasuk Harian Analisa dengan tulisan khas dari Rizal Surya. Cerita ringan yang berisi drama, emosi, dan kompleksitas kehidupan orang biasa ini memang jauh lebih ’berharga’, di tengah kecepatan laju perkembangan media online saat ini. ***

* Dimuat di Harian Analisa, Medan (Jumat 13 Mei 2011)


Baca juga di:

http://analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=95416:ketika-pembaca-lebih-memilih-berita-qorang-biasaq&catid=78:umum&Itemid=131


Tidak ada komentar:

Posting Komentar