------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Sabtu, Juli 31, 2010

Menyaring Tayangan Televisi

Oleh : Adela Eka Putra Marza


Siaran televisi dianggap sebagai penyumbang kerusakan moral terhadap anak-anak. Karena sebagian besar kalangan menilai tayangan televisi saat ini banyak yang tidak memberikan nilai positif terhadap anak-anak. Malah banyak isi tayangan televisi yang tidak layak dikonsumsi anak-anak.


Makanya tak heran jika kemudian muncul seruan kampanye hari tanpa televisi pada Minggu, 25 Juli 2010. Melalui kampanye tersebut, sejumlah aktivis LSM berharap agar dapat mengurangi ketergantungan anak-anak atas tayangan televisi. Orangtua harus lebih memperhatikan pola kebiasaan anak menonton televisi. Harapannya, ketergantungan anak-anak akan siaran televisi bisa dikurangi. Karena normalnya anak-anak menonton televisi adalah dua jam dalam sehari dan harus didampingi orangtua.


Dalam kampanye yang digalakkan pada peringatan Hari Anak Nasional, 23 Juli kemarin itu, para aktivis menghimbau keluarga Indonesia untuk tidak menghidupkan televisi pada hari Minggu tanggal 25 Juli. Disarankan kepada warga Indonesia, agar pada hari Minggu tersebut, memberikan hiburan lain bagi anak-anak, seperti pergi main ke taman, menggambar, dan hal lain yang mendidik.


Media Infomasi ke Media Bisnis

Televisi adalah metamedium, instrumen yang tidak hanya mengarahkan pengetahuan tentang dunia, seperti dikatakan Dedi Mulyana (1997). Televisi menawarkan ideologinya sendiri yang khas. Dengan tayangan yang batas-batasannya begitu cair: berita, fiksi, propaganda, bujukan (iklan), hiburan, dan pendidikan, Televisi mencampuradukkan berbagai realitas pengalaman kita yang berlainan: mimpi, khayalan, histeria, kegilaan, halusinasi, ritual, kenyataan, harapan, dan angan-angan, sehingga kita sendiri sulit mengidentifikasi pengalaman kita yang sebenarnya.


Televisi pada hakikatnya melakukan penetrasi yang lebih besar terhadap kehidupan kita dari pada ideologi-ideologi konvensional yang kita kenal selama ini. Hanya saja caranya begitu halus sehingga sulit terdeteksi.


Sejatinya, televisi berfungsi sebagai media komunikasi, informasi, dan dengan sendirinya pendidikan. Tentu saja tidak ada yang kontroversial dengan fungsi tersebut. Barulah pada sisi sebagai media bisnis, silang pendapat muncul karena persepsi, perspektif, dan kepentingannya kemudian bisa menjadi berbeda-beda. Dalam bisnis, kata keramat yang diagung-agungkan adalah mengeluarkan biaya serendah-rendahnya, dengan keuntungan setinggi-tingginya.


Dalam konteks pertelevisian, dicari cara bagaimana menekan biaya produksi serendah-rendahnya, dan mencari iklan sebesar-besarnya. Tentu saja, sesungguhnya prinsip itu merupakan sesuatu yang normal saja. Namun ketika demi bisnis terjadi eksploitasi berlebihan, asas keadilan menjadi terusik. Sisi perasaan publik terabaikan, dan itu yang harus dipersoalkan, mengingat tingkat penetrasi televisi yang tinggi.


Ancaman Bagi Budaya Lokal

Masalahnya sekarang, televisi tidak hanya memberikan ruang diplomasi virtual, tetapi juga menciptakan kesadaran baru. Media ini memberikan proses learning social norms yang lebih intensif daripada lainnya. Tentu saja dampaknya bisa baik, dan bisa buruk. Namun jika televisi dihadapi dengan ketidakkritisan, ia lebih cenderung berakibat buruk. Dan sayangnya, masyarakat Indonesia tidak berada dalam situasi imunitas yang baik pula. Setidaknya, daya ekonomi, daya nalar, daya persepsi, daya abstraksi, dan daya tawar, tidak terdukung dengan sistem kebudayaan yang memadai. Tingkat kesiapan dan keterdidikan masyarakat Indonesia sangat rentan untuk mudah digoda.


Salah satunya, pengetahuan masyarakat dewasa ini tentang budaya lokal. Betapa minimnya pengetahuan masyarakat sekarang terhadap akar budayanya sendiri. Sistem budaya lokal yang seharusnya berfungsi membuat masyarakat bertahan hidup dan relatif tentram, kini setelah mengalami sinkronisasi budaya, justru menyebabkan masyarakat bingung, gagap, tak berdaya, mengalami konflik dan geger budaya di negara mereka sendiri. Televisi telah memberi andil terhadap hal tersebut, penurunan bahkan kepunahan budaya lokal.


Ketika tidak munculnya budaya-budaya lokal di layar kaca, secara bersamaan sirna pula dalam ingatan warganya. Pada saat tertentu, ketika generasi baru muncul, mereka tidak menemukan sebuah tradisi dan budaya yang telah dilestarikan nenek moyangnya pada tontonan mereka. Akhirnya jangan aneh jika mereka merasa asing terhadap berbagai pagelaran musik dan budaya tradisional, baik calung, angklung, wayang, jaipong, bahasa daerah dan budaya lokal lainnya.


Lihat saja program-program televisi di negeri kita saat ini. Banyak sekali tayangan yang tak jelas manfaat dan nilai-nilainya bagi masyarakat. Sinetron yang memberikan gambaran prilaku konsumtif, pergaulan bebas, kekerasan, sama sekali tak cocok dengan nilai-nilai orang Timur yang kita anut. Apa yang bisa kita pelajari dari tayangan-tayangan tersebut?


Malah ibu-ibu larut berjam-jam di depan televisi hanya untuk menyaksikan kelanjutan nasib si tokoh utama dalam sinetron favoritnya yang tak habis-habis. Para remaja sibuk dengan pergaulan bebasnya, tak terkontrol lagi. Anak-anak sudah mulai belajar main kekerasan dengan teman-teman sekolahnya. Apakah itu yang mau kita dapatkan?


Perilaku yang ditirukan remaja dan anak-anak kita tidak sekedar bersifat fisik dan verbal, melainkan justru nilai-nilai yang dianut tokoh-tokoh yang dilukiskan dalam acara-acara televisi. Pengaruh televisi memang tidak langsung terlihat, namun terpaan yang berulang-ulang pada akhirnya dapat mempengaruhi sikap dan tindakan pemirsa. Dengan kata lain, pengaruh televisi boleh jadi bersifat jangka panjang, substil, dan sulit dibuktikan lewat penelitian-penelitian yang biasa dilakukan.


Kepentingan Modal atau Moral (?)

Ketika media massa seperti televisi tunduk kepada kepentingan modal, kepentingan moral untuk masyarakat bisa menjadi ambivalen. Bahkan, media massa bisa tidak mempunyai kepekaan atas perasaan masyarakat. Media massa bisa kehilangan imajinasi dan fantasinya tentang masyarakat. Yang ia lihat, masyarakat adalah sederetan angka penting. Semakin tergantung masyarakat padanya, media massa itu akan semakin merasa sukses.


Seharusnya para pengelola televisi sendiri bisa memikirkan bagaimana membuat program-program yang bermutu, menarik secara memberdayakan masyarakat, selain secara finansial menguntungkan. Jangan hanya sekedar menghitung, berapa keuntungan yang harus didapatkan dari program-program sinetron yang tak jelas juntrungan dan manfaatnya.


Kita lupa bahwa mayoritas masyarakat kita kurang terdidik, dan karenanya kurang kritis, termasuk mereka yang berada di pedesaan. Kita juga lupa bahwa sebagian besar dari pemirsa adalah anak-anak yang cenderung meniru apa yang mereka lihat dari televisi. Karenanya, keberadaan benda ini sangat besar pengaruhnya dalam proses pembentukan pola pikir dan karakter perilaku suatu masyarakat. Sehingga keberadaannya sangat penting dalam melakukan propaganda untuk kepentingan-kepentingan tertentu.


Semua ini memang tak bisa juga hanya menyalahkan para pengelola televisi. Kita juga harus melihat tingkat kesanggupan masyarakat kita untuk menerima semua konten tayangan televisi. Setiap individu, keluarga dan masyarakat memiliki tugas masing-masing untuk senantiasa membentengi dan mengingatkan diri sendiri, keluarga dan masyarakat dari berbagai pengaruh asing yang datang dan menggerogoti melalui televisi.


Kita harus berani mengambil sikap tegas dalam membentengi diri kita sendiri dan keluarga terutama, untuk menghindari nilai-nilai negatif dari televisi. Atau lebih mudahnya, kita harus berani mematikan televisi ketika acara yang ditayangkan tidak bermanfaat. Seperti yang ditulis Sunardian Wirodono (2006) dalam bukunya tentang dampak negatif televisi; "Bunuh saja, TV-mu!"


* Dimuat di Harian Analisa (Sabtu, 31 Juli 2010)


Sumber:

http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=63763:menyaring-tayangan-televisi&catid=78:umum&Itemid=131

Kamis, Juli 01, 2010

Kembali Menuju Keluarga Kecil Berkualitas

- Refleksi Hari Keluarga Berencana Nasional (29 Juni) -


Oleh: Adela Eka Putra Marza


Selama 30 tahun melaksanakan program Keluarga Berencana (KB) Nasional, Indonesia berhasil menekan angka kelahiran.


Pada masa transisi pemerintahan orde lama ke orde baru, Indonesia mampu menekan angka kelahiran mencapai 80 juta jiwa atau menurunkan angka kelahiran dari 5,6 persen menjadi 2,6 persen. Keberhasilan ini membuat Indonesia pernah menjadi "kiblat" bagi negara lain yang sedang menata pertumbuhan penduduknya.


Gerakan KB Nasional yang dicanangkan sejak tahun 1970, menjadi momentum dari puncak kristalisasi semangat para pejuang KB untuk memperkuat dan memperluas program KB di Tanah Air. Sejak itulah dimulainya kesadaran keluarga Indonesia untuk membangun dirinya ke arah keluarga kecil melalui program KB. Dalam perjalanannya, program KB pun berkembang secara pesat dan mengubah program ini menjadi suatu "gerakan masyarakat" dengan hasil-hasil yang nyata, berupa semakin meningkatnya jumlah keluarga kecil bahagia dan sejahtera.


Keberhasilan ini pun kemudian diperingati setiap tahunnya dalam Peringatan Hari Keluarga Berencana Nasional sejak 29 Juni 1993 di Lampung. Pada dasarnya, peringatan ini merupakan suatu kegiatan komprehensif dan terpadu, yang dilaksanakan setiap tahun untuk memberikan inspirasi dan menggerakkan keluarga Indonesia untuk bersama-sama membangun keluarga sejahtera. Momentum ini menjadi pemicu yang besar untuk lahirnya komitmen baru bagi penyempurnaan pelayanan program pembangunan keluarga kecil berkualitas di masa yang akan datang.


Alami Stagnasi

Namun, prestasi tersebut tak terlihat lagi saat ini. Dalam lima tahun terakhir, program KB Nasional malah mengalami stagnasi. Tercatat, angka kelahiran secara nasional tumbuh menjadi 2,6 persen per wanita subur. Sedangkan prevalensi pemakaian alat kontrasepsi berkisar 60 persen, dimana pemakaian alat kontrasepsi modern ini meningkat 0,7 persen (2008). Artinya, keberhasilan program KB saat ini jauh berkurang.


Diperkirakan, hal ini disebabkan semakin menurunnya komitmen para pengambil kebijakan di pusat dan daerah, serta dukungan terhadap kelangsungan program KB di daerah, dan sinergitas program tidak terjadi. Petugas lapangan KB yang pernah menjadi kebanggaan, juga tidak sesuai lagi jumlahnya dibandingkan dengan peningkatan jumlah penduduk dan pemekaran wilayah, sehingga pergerakan masyarakat juga menurun.


Jika permasalahan pertumbuhan penduduk yang tidak terkontrol ini dibiarkan, persentase pertumbuhan penduduk akan terus bertambah dari tahun ke tahun. Jika persentase pertumbuhan penduduk terus bertambah dengan laju yang tinggi, sementara laju perekonomian berjalan lamban, maka Indonesia dari tahun ke tahun akan bertambah miskin.


Soal kemiskinan juga menjadi permasalahan bagi keluarga Indonesia saat ini. Hasil Pendataan Keluarga tahun 2004, sekitar 30,5 persen (16,2 juta) keluarga di Indonesia merupakan keluarga miskin, yaitu masuk kategori Keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera I. Keadaan ekonomi ini tentu merupakan masalah yang sangat menekan para keluarga. Terlebih pada umumnya mereka memiliki jumlah anak yang lebih banyak, sehingga permasalahan keluarga menjadi lebih besar.


Tekanan ekonomi membuat banyak keluarga tidak mampu memberikan perhatian yang cukup terhadap kebutuhan anggota keluarga, khususnya anak-anak. Kasus-kasus kekurangan gizi, semakin banyaknya anak-anak jalanan di kota-kota besar tentunya berkaitan dengan kemampuan ekonomi keluarga.


Berbagai masalah sosial dihadapi keluarga antara lain penyimpangan perilaku yang mendorong meningkatnya angka penderita HIV/AIDS, pengguna narkoba dan aborsi di kalangan remaja, perkelahian antar anak sekolah, kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan sosial lainnya. Keluarga ini sangat memerlukan perhatian yang seksama dari seluruh komponen bangsa.


Komitmen Pemerintah dan Masyarakat

Kita memaklumi bahwa kualitas suatu masyarakat dan bangsa sangat ditentukan oleh kualitas keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat. Keluarga adalah wadah pertama dan utama dalam pembentukan kepribadian manusia. Karena dalam keluarga terdapat rangkaian interaksi sosial yang terkait dengan peran dan fungsi keluarga, seperti fungsi keagamaan, budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi dan pembinaan lingkungan.


Permasalahan yang dialami oleh keluarga Indonesia saat ini diharapkan menjadi dapat perhatian utama bagi pemerintah, dalam hal ini Badan Koordinator Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Pusat, dan pemerintah daerah serta segenap unsur lembaga swadaya masyarakat dan seluruh keluarga di Indonesia. Karena jika terjadi pertambahan penduduk, otomatis penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan dan lapangan kerja harus ditingkatkan. Berarti beban pemerintah menjadi bertambah.


Seharusnya dengan jumlah dua anak dalam setiap keluarga, pengeluaran beban masyarakat dan pemerintah daerah dapat ditekan. Karena biaya-biaya seperti biaya kesehatan maupun pendidikan tidak terlalu terbebani dengan jumlah tanggungan yang tidak terlalu banyak. Seperti yang telah pernah dilakukan di Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Mereka mampu menghemat pengeluaran masyarakat sebesar Rp 330 miliar pada tahun 2006 melalui program KB (hasil penelitian Fakultas Ekonomi UNPAD). Tentu saja upaya ini tidak mungkin bisa berjalan dengan baik, jika tidak ada komitmen yang tinggi dari kepala daerahnya dan kerja sama dari masyarakat sebagai pelaksana program KB tersebut.


Selain itu, setiap keluarga Indonesia harus mulai lebih memperhatikan fungsi keluarga. Karena seperti yang kita sadari bersama, bahwa akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tuntutan zaman, serta pengaruh budaya barat yang liberal, telah menyebabkan keluarga tidak dapat memerankan fungsinya sebagaimana proporsi yang sebenarnya dengan skala prioritas yang pas.


Secara hakekat, keluarga memiliki delapan fungsi yang harus diperankan secara lengkap agar dapat membentuk kepribadian anak yang baik dan berbudi pekerti luhur. Delapan fungsi tersebut adalah fungsi keagamaan, sosial budaya, cinta kasih, melindungi, reproduksi, sosialisasi/pendidikan, ekonomi, dan fungsi pembinaan lingkungan. Saat ini, banyak fungsi keluarga tersebut yang sudah melemah dan sering dilupakan. Sehingga tak aneh sering timbul masalah dalam keluarga yang berimbas terhadap lingkungan sosial, karena disebabkan keluarga sudah kehilangan peranannya.


Oleh karena itu, hendaknya setiap keluarga Indonesia dapat memberikan perhatian yang lebih terhadap peran dan fungsi masing-masing anggota keluarga, baik sebagai ayah, ibu ataupun sebagai anak. Semua ini bisa dijaga dalam suasana komunikasi dan interaksi yang harmonis, yang pada akhirnya akan memberikan ketahanan keluarga yang lebih baik.


Untuk itu perlu diwujudkan budaya dialog yang lebih terbuka, baik diantara anggota keluarga itu sendiri maupun dengan masyarakat di lingkungannya. Dengan keterbukaan yang didasari dengan rasa saling menghormati dan mengasihi sesama keluarga dan sesama warga bangsa, akan dapat melahirkan keluarga dan masyarakat yang berkepribadian dan bermoral tinggi dengan tidak meninggalkan nilai-nilai sosial budaya bangsa Indonesia, sebagai tumpuan masa depan bangsa.


* Dimuat di Harian Analisa (Selasa, 29 Juni 2010)


Sumber:

http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=59994:refleksi-hari-keluarga-berencana-nasional-29-juni--kembali-menuju-keluarga-kecil-berkualitas&catid=695:29-juni-2010&Itemid=217