------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Kamis, Oktober 22, 2009

“Kerajaan Baru” Demokrasi Indonesia

Oleh : Adela Eka Putra Marza


Presiden dan Wakil Presiden Indonesia terpilih, Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono sudah resmi dilantik oleh Majelis Perwakilan Rakyat di Jakarta. Upacara pelantikan yang berlangsung sederhana tersebut cukup ramai dihadiri oleh para undangan, tidak hanya dari dalam negeri tetapi juga dihadiri oleh beberapa para pemimpin negara sahabat. Jusuf Kalla yang selama lima tahun terakhir mendampingi kerja-kerja SBY pun resmi menyandang gelar sebagai mantan Wakil Presiden Indonesia.


Kelengkapan kabinet pun sudah dibentuk. Para calon menteri yang akan mengisi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II sudah menjalani fit and proper test dalam tiga hari terakhir sebelum pelantikan SBY-Boediono. Melalui serangkaian tes interview dan tes kesehatan, para calon menteri itu ibarat sedang mengikuti audisi untuk terpilih sebagai menteri-menteri SBY. Sebanyak 34 orang calon menteri telah muncul namanya masing-masing sebelum SBY-Boediono dilantik - kecuali Kuntoro Mangkusubroto yang akan di-"audisi" setelah pelantikan SBY-Boediono.


Beberapa setelah pelantikan SBY-Boediono, para menteri ini dilantik langsung oleh Presiden SBY di Istana Negara. Mereka masing-masing akan mulai melaksanakan tugas-tugasanya sebagai "pembantu" SBY-Boediono hingga lima tahun ke depan. Mereka telah mendapatkan arahan sesuai pos masing-masing dalam tes interview sebelumnya. Kontrak kerja dan fakta integritas masing-masing menteri pun telah disepakati. Kesehatan fisik dan jiwa mereka juga telah diuji. Tak ada yang kurang lagi dengan para menteri tersebut. Mereka siap menjalankan tugas.


Namun terlepas dari itu semua, soal "audisi" calon menteri yang banyak dibilang pengamat terlalu show on, soal beberapa menteri yang tidak tepat dengan pos-posnya, hingga pelantikan SBY yang begitu meriah meskipun dihelat sederhana, masih ada satu persoalan yang mungkin terlupa oleh kita. Soal partai koalisi dan kepentingan mereka dalam koalisi bersama SBY dan Partai Demokrat tersebut. Hampir semua partai "kuda hitam" dalam Pemilu Presiden lalu menjadi koalisi Partai Demokrat. Belakangan, Partai Golkar di bawah kepemimpinan baru Aburizal Bakrie pun menelan ludah kembali dengan ikut berkoalisi bersama Partai Demokrat. Ada apa dengan ini semua?


Kabinet yang Kuat

Tidak ada yang mengira betapa besarnya kekuatan koalisi Partai Demokrat. Mulai dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan 19 partai politik lainnya berada dalam koalisi bersama Partai Demokrat. Apalagi ketika Partai Golkar pun kemudian ikut bergabung dalam koalisi tersebut.


Pastinya SBY tentu harus mempertimbangkan keinginan para pendukungnya dalam pilpres yang lalu, alias jatah partai koalisi tentu juga harus dipikirkannya. Parpol-parpol tersebut juga punya kepentingan politik masing-masing. Sehingga mereka meminta jatahnya untuk mengisi beberapa pos menteri dalam KIB II. Kewajiban SBY-lah untuk mengakomodir para tokoh dari parpol tersebut untuk masuk dalam kabinetnya, seperti yang telah disepakati dalam perjanjian koalisi sebelum pelaksanaan Pilpres.


Beberapa nama tokoh partai koalisi tersebut sudah dipanggil untuk audisi dan interview di Cikeas. Di antaranya adalah Tifatul Sembiring (Presiden PKS), Muhaimin Iskandar (PKB), Surya Dharma Ali (PPP), dan Patrialis Akbar (PAN) adalah beberapa nama dari partai koalisi. Fadel Muhammad dari Partai Golkar juga mendapat tempat. Masing-masing partai koalisi tersebut hampir mendapat jatah dua hingga empat pos menteri. Bahkan Partai Golkar yang terkahir kali bergabung menjelang pembentukan kabinet pun mendapat jatah tiga pos menteri.


Bersatunya partai koalisi tersebut dalam kabinet menteri SBY untuk periode lima tahun mendatang, mengisyaratkan pembentukan sebuah kabinet presidensial yang kuat. Bahkan bisa jadi SBY ingin membentuk kabinet yang super kuat, karena partai oposisi dibujuk untuk bergabung, dan yang sudah mulai mulai merapat. Jika ini terjadi, pemerintahan SBY pada periode keduanya ini benar-benar akan memiliki kekuasaan penuh dalam menjalankan kepentingan politiknya, setidaknya di tingkat eksekutif.


Partai Golkar yang sebelumnya merupakan pesaing Partai Demokrat dalam Pilpers, di mana dalam hal ini Partai Golkar adalah salah satu partai oposisi, jelas-jelas sudah bergabung dalam koalisi SBY. Hanya beberapa partai saja yang masih setia dan memegang prinsipnya sebagai parati oposisi. Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-Perjuangan) yang berkoalisi dengan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) sedikit pun tak termakan oleh bujuk rayuan partai Demokrat untuk ikut bergabung dalam kabinet SBY. Mega tetap bersikukuh dalam idealismenya sebagai partai oposisi yang akan mengawas penuh kinerja pemerintahan SBY nantinya. Begitu juga dengan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) yang awalnya adalah koalisi Partai Golkar dalam Pilpers lalu.


Kekuasaan Penuh

Jika koalisi besar ini terwujud, sebuah kabinet kabinet presidensial yang sangat kuat benar-benar akan menjadi nyata. Karena partai oposisi pun telah menjadi koalisi bagi partai pemenang Pemilu. Hampir semua partai besar dalam pilpres yang lalu, termasuk Partai Golkar telah bergabung bersama SBY. Mereka pastinya akan menguasai di tingkat eksekutif dalam menjalankan pemerintahan lima tahun ke depan.


Kekuasaan penuh ini tentu saja tidak menutup kemungkinan akan terjadi di tingkat legislatif. Para legislator di DPR dari partai koalisi bisa jadi juga akan memberikan dukungan yang besar bagi pemerintahan SBY. Bila manuver partai koalisi dalam KIB II tadi sukses, bersama partai-partai yang menjadi koalisinya pada pemilu legislatif lalu, setidaknya SBY akan menguasai hampir 90% suara di DPR. Dukungan penuh kepada kabinet seperti ini sama sekali belum pernah tercipta dalam era demokrasi di negeri ini.


Akan tetapi, bila keinginan itu tercapai, di sini pulalah akan muncul peluang terciptanya oligarki kekuasaan. Kalaupun ada oposisi, sangatlah tidak berarti karena suaranya di DPR amat kecil. Membangun kabinet presidensial yang kuat memang menjadi harapan dan impian. Namun, dukungan yang sangat kuat sampai meniadakan oposisi di parlemen, akan melahirkan pemerintahan yang otoriter. Jika ini terjadi, sudah pasti kekuasaan penuh dalam menjalankan pemerintahan akan berada di tangan SBY dan partai-partai koalisinya.


Kekuasaan seperti ini cenderung korup dalam makna pelaksanaan kekuasaan itu sendiri. Oleh karena itu, pengawasan terhadap kekuasaan perlu dan harus dilakukan. Dan, pengawasan itu sejatinya lahir dari oposisi yang juga kuat. Keberadaan koalisi yang kuat dan memegang kekuasaan yang diimbangi dengan oposisi yang juga kuat justru akan menyehatkan dan menguatkan proses demokrasi. Namun itu bisa saja tidak terjadi, karena peran oposisi semakin menghilang ditelah oleh kehadiran para partai koalisi tersebut.


Kekuasaan hanya menjadi milik segelintir orang, inilah oligarki kekuasaan yang bisa muncul dalam praktik koalisi yang dilakukan SBY. Siapa yang bisa menjamin jika kekuasaan penuh oleh segelintir orang tersebut tidak akan terjadi di tingkat eksekutif dan legislatif. Semuanya bisa terjadi, apalagi ketika para parpol anggota koalisi tersebut semakin memanfaatkannya untuk bisa menjadi penguasa utama. Tanpa disadari, oligarki kekuasaan tersebut telah tumbuh dalam demokrasi yang sejak awal menjadi cita-cita murni dalam pergerakan reformasi tahun 1998 dulu.


Jika ini terus terjadi dan kekuasaan tersebut semakin menguat, juga tidak tertutup kemungkinan akan muncul "kerajaan baru" dalam sejarah demokrasi di negeri ini yang masih berusia muda. Memang tidak ada orang yang bisa memastikan era pemerintahan Orde Baru akan kembali ke Indonesia. Tapi itu bisa saja terjadi melihat kekuatan Partai Demokrat yang semakin kuat dari tahun ke tahun. Saat ini memang masih karena juga didukung kuat oleh para partai koalisi. Tapi bisa jadi beberapa tahun ke depan, Partai Demokrat sudah yakin tak membutuhkan koalisi lagi.


Ini memang hanya sebatas dugaan dan prediksi awal setelah melihat hasil koalisi Partai Demokrat sejak terbentuknya DPR dan kabinet baru pemerintahan SBY untuk periode kedua ini. Tentu saja prediksi ini belum bisa dipastikan dan tidak ada jaminan akan pasti terjadi. Tapi yang jelas, kemungkinan itu ada. Lambat laun, pastinya sejarah akan mencatat, apakah demokrasi di Indonesia melahirkan kontradiksi yang parah dengan menciptakan oligarki kekuasaan, atau sebaliknya.


Kita tentu berharap itu tidak akan tumbuh "kerajaan" dalam demokrasi di negeri ini yang masih berusia belia, sembari tetap berharap para legislator di DPR tetap berpihak kepada rakyat dan setia memegang janji-janjinya. Memang rakyatlah yang memilih mereka. Tapi kita tetap saja tak punya kekuatan apa-apa, ketika para wali amanah tersebut telah berkeinginan melakukan apa yang mereka inginkan. Terlepas itu untuk kepentingan rakyat, atau malah untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya saja. Pastinya kita akan menunggu dan sejarah akan mencatat.


* Dimuat di Harian Global (Rabu, 21 Oktober 2009)

Miyabi, Antara Polemik dan Popularitas

Oleh : Adela Eka Putra Marza


Miyabi adalah gadis blasteran, keturunan Jepang-Prancis-Kanada. Pada umur 19 tahun, dia sudah terjun dalam industri esek-esek tersebut sebagai bintang film.


Dengan modal akting mendesah dan mengaduh, ia pun muncul sebagai "bintang" dalam dunia perfilman "biru." Sudah pasti, tak ada penikmat "film biru" yang tak kenal dengan sosok Miyabi. Bahkan mungkin banyak yang mengidolakannya.


Makanya tak heran jika masyarakat Indonesia heboh dengan rencana kedatangan Miyabi ke Indonesia. Berbagai media massa sibuk menayangkan berita tersebut. Kurang tahu juga, apakah karena saking diidolakannya Miyabi, atau hanya karena sekadar mempopularitaskan Miyabi.


Sebagian masyarakat menggunjingkan kedatangannya ke bumi pertiwi ini. Tapi tak sedikit pula yang terang-terangan mengaku sangat menunggu-nunggu kedatangannya meramaikan dunia perfilman di negeri ini.


Namun yang paling heboh tentu saja berita penolakan kedatangan Miyabi. Front Pembela Indonesia (FPI) sampai harus melakukan demonstrasi ke kantor Maxima Pictures di Jakarta. Bahkan mengancam akan melakukan "sweeping" di Bandara Soekarno Hatta pada hari kedatangan Miyabi, tanggal 14 Oktober.


Di Medan juga tak kalah seru. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Medan terang-terangan menyatakan penolakan sejak dari awal muncul berita kedatang Miyabi ke Indonesia. Begitu juga di beberapa daerah di Jawa.


Kenapa Harus Miyabi?

Dari awal pendeklarasian kedatangan dan keterlibatan Miyabi sebagai salah satu pemeran utama dalam film Menculik Miyabi, Maxima Pictures dan Raditya Dika sebagai penulis skenario sudah menjanjikan bahwa film ini bergenre komedi, bukan seperti "film" Miyabi lainnya. Makanya pihak Maxima berani mendatangkan Miyabi, tanpa takut akan dicekal. Mungkin mereka menganggap "ketokohan" tidak akan bermasalah di negeri yang terkenal suka mempermasalahkan sesuatu yang tidak penting ini.


Bahkan Maxima berharap dapat menaikkan nama industri perfilman Indonesia melalui "ketokohan" Miyabi yang sudah populer di seluruh dunia ini. Siapa yang tak kenal Miyabi coba, mungkin begitu pikir mereka. Maxima yakin dengan memainkan Miyabi, popularitasnya akan ikut mendongkrak "citra" dunia film Indonesia. Bahkan bisa jadi Indonesia "terkenal" karena didatangi Miyabi.


Tapi kemudian, muncul pertanyaan. Kenapa harus Miyabi? Kenapa tidak Luna Maya saja, seperti yang ditawarkan FPI saat berdialog dengan pihak manajemen Maxima ketika perwakilan mereka diterima dalam aksi demonstrasi menolak Miyabi beberapa waktu yang lalu.


Ya, kenapa harus Miyabi? Apakah Luna Maya kurang cantik? Atau, "Miyabi-Miyabi" Indonesia kurang "garang" dibandingkan si blasteran Jepang?


Tak ada yang bisa memberikan jawaban lain, selain keinginan untuk mendompleng popularitas Miyabi. Padahal popularitasnya negatif, kecuali bagi para penikmatnya. Alasan yang kurang kuat memang. Karena industri film Indonesia juga sudah mulai bangkit dengan kehadiran Azzam dalam film Ketika Cinta Bertasbih dan Ikal si Laskar Pelangi. Bahkan film-film yang saudara sepupu dengan film Miyabi, seperti Mas Suka Masukin Aja, Kawin Kontrak dan sebagainya, yang malah membuat citra film Indonesia semakin melorot.


Promosi Gratis

Lalu siapa yang pernah mengkritisi film-film yang tersebut di atas? Masih banyak film-film yang "tak benar" lainnya yang ikut meramaikan industri perfilman Indonesia. Mulai dari film yang katanya bergenre komedi hingga film horor, yang ternyata memuat sensualitas juga secara diam-diam. Paku Kuntilanak misalnya, tak ada yang heboh ketika Dewi Persik tampil semi-porno dalam film tersebut.


Kenapa hanya Miyabi yang dipersoalkan? Padahal jika mau jujur, masih banyak film Indonesia yang tak becus dan memberikan pendidikan yang tak benar bagi generasi muda negeri ini. Coba kalau kita juga menghebohkan permasalahan ini. Jangan hanya setengah-setengah ketika Miyabi yang lebih terkenal sebagai bintang porno akan bermain film di Indonesia.


Ini bukan pernyataan yang mendukung kedatangan Miyabi. Tapi hanya sekadar mengkritisi masyarakat kita yang selalu suka ikut-ikutan kalau banyak orang yang bersuara. Kalau si heboh diam, yang lain pun tak akan ada yang bicara. Inilah buktinya.


Jika boleh berburuk sangka, semua yang heboh sebenarnya mungkin saja hanya sekadar untuk mendompleng popularitas Miyabi, baik yang setuju maupun yang menolak kedatangannya.


Inilah pro kontra di antara masyarakat sendiri. Sebagian orang yang menganggap tak ada masalah dengan kedatangan Miyabi ke Indonesia, malah berprasangka bahwa kelompok yang menolak tersebut sok suci dan mencoba mencari nama di atas polemik ini.


Herannya, kok malah sesama kita yang jadi ribut. Sebagian menolak kedatangan Miyabi, sebagian lagi malah menganggap hal tersebut tidak ada masalah, sedangkan yang lain adem ayem saja. "Gitu aja kok repot!" Sepertinya trademark Gus Dur itu bisa dialamatkan kepada kita yang malah jadi ribut dengan kedatangan Miyabi. Kita malah tidak menyadari kalau yang bersangkutan malah mendapatkan keuntungan besar dari ribut-ributnya kita ini.


Popularitas Miyabi pun semakin naik. Karena secara tidak langsung, dengan kehebohan kita ditambah berita-berita di media cetak otomatis mengiklankan Miyabi ke banyak orang. Bahkan, tidak heran jika sebelumnya masih ada orang yang awam dengan nama Miyabi, akhirnya bisa tahu lebih banyak dibandingkan dengan kelompok yang mengidolakannya. Bahkan dalam sebuah berita di media massa, usaha internet di salah satu daerah di Pulau Jawa jadi laris hanya gara-gara keingintahuan masyarakat yang tiba-tiba meroket untuk mengenal Miyabi. Hayo...!!!


Jadi buat apa sih kita ribut? Menteri Kebudayaan dan Pariwisata sudah terang-terangan melarang kedatangan Miyabi ke Indonesia. Meski sampai saat ini berita dari Maxima masih simpang siur, apakah mereka akan mematuhi larangan Menbudpar, atau malah nekat menyelundupkan Miyabi lewat Bandara Soekarno Hatta.


Tapi yang jelas, jaga hati masing-masing saja, sekaligus jaga mata juga, jangan sampai ikut pula menikmati akting Miyabi. Toh, jika sebagian besar masyarakat kita sepakat tidak akan menonton film Menculik Miyabi, tanpa ribut-ribut pun Maxima pasti akan berpikir dua kali untuk mendatangkannya ke Indonesia. Buat apa kalau rugi! Daripada Miyabi, mending Mie Ayam...


* Dimuat di Harian Analisa (Sabtu, 17 Oktober 2009)