
Oleh : Adela Eka Putra Marza
Statistik pembajakan atas merek-merek di Indonesia memang semakin menurun dari tahun ke tahun. Namun itu bukan berarti kasus pembajakan telah hilang dari muka bumi Indonesia.
Soal pembajakan masih menjadi persoalan utama di negeri ini, soal apresiasi atas hak karya cipta orang lain. Padahal hak cipta tersebut merupakan kekayaan yang sepatutnya diapresiasi besar oleh bangsanya. Setiap pemilik hak cipta berhak mendapatkan perlindungan untuk setiap karyanya.
Namun kesadaran bangsa Indonesia mungkin masih kurang. Buktinya kasus pembajakan masih terus merajalela. Penegakan hukum UU Hak Cipta (HaKI) masih jauh dari yang diharapkan. Pembajakan di bidang musik dan lagu menjadi satu hal yang paling memprihatinkan, terlebih saat ini semakin mudah mendistribusikan lagu lewat internet. Menurut Dirjen Hak Kekayaan Intelektual, Abdul Bari Azed pembajakan terbesar terjadi di sektor musik, film dan buku.
Berdasarkan laporan tahunan terbaru Federasi Industri Rekaman Dunia (IFPI/ International Federation of the Phonographic Industry), Indonesia masih berada dalam daftar 10 priority countries pembajakan musik di seluruh dunia. Dalam daftar 10 besar tersebut termasuk Brasil, Kanada, Yunani, Korsel, Cina, Italia, Meksiko, Rusia dan Spanyol.
Indonesia berhasil “mempertahankan prestasi” ini berdasarkan tiga kriteria, yakni rendahnya tingkat keseriusan pemerintah dalam memberantas pembajakan, mewabahnya tren lokal pembajakan, dan pentingnya pasar musik legal Indonesia di mata dunia (pasar musik Indonesia di peringkat ke-33 dunia versi IFPI tahun 2004). Bahkan produk bajakan Indonesia pun telah mulai diekspor ke Australia-sebuah “kemajuan”.
Dari laporan tersebut menyebutkan bahwa tingkat pembajakan rekaman fisikal (CD, kaset, DVD, VCD) telah mencapai level akut, yaitu pada angka 88 persen. Ini berarti hanya 12 persen saja produk rekaman legal yang beredar di seluruh Indonesia. Diperkirakan sepanjang tahun 2005, jumlah rekaman fisikal bajakan yang beredar di Indonesia telah mencapai lebih dari 170 juta keping dan negara telah dirugikan sedikitnya US$ 70 juta atau Rp 630 miliar.
Berdasarkan data Asosiasi Rekaman Indonesia, kerugian akibat pembajakan musik mencapai 124 juta dolar AS pada tahun 2007. Sedangkan menurut Dirjen Hak Kekayaan Intelektual, Abdul Bari Azed total kerugian negara pada tahun yang sama malah lebih besar, diperkirakan sekitar 200 juta dolar AS per tahun.
Masih menurut laporan IFPI, terdapat 40 pabrik perekam CD di seluruh Indonesia, namun hanya 24 pabrik saja yang terdaftar secara resmi di Kementerian Perindustrian. Aparat kepolisian dinilai sering tidak berkoordinasi dengan pihak industri rekaman saat melakukan razia bajakan, sementara pemerintah juga dianggap lamban dalam menanggulangi pelanggaran berat hak cipta ini.
Membicarakan HaKI adalah hal yang rawan, terutama di Indonesia. Di negeri yang digelari surga bagi pembajak oleh negara-negara maju ini, nampaknya menegakkan HaKI adalah bagai menegakkan benang basah. Namun, itu bukannya tidak bisa dilakukan.
Meskipun pembajakan musik bergerak ke arah yang lebih canggih, semacam CD dan Mp3. Berbeda dengan sistem distribusi film yang mengharuskan film beredar minimum 6 bulan di layar bioskop sebelum diedarkan dalam bentuk video/VCD/DVD. Sedangkan musik bisa langsung dinikmati “fresh from the oven”. Selain itu, harga CD original yang masih tinggi.
Kerugian terbesar yang akan ditimbulkan oleh pembajakan musik adalah matinya budaya kreativitas dalam industri musik Indonesia yang tidak bisa diukur nilainya. Oleh karena itu, kita berharap industri pembajakan musik di negeri ini bisa diberantas. Sehingga para musisi kita tetap terus berkarya dengan apresiasi tinggi dari masyarakat melalui produk-produk original.
Keseriusan Pemerintah dan Masyarakat
Menurut Ketua Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia (PAPPRI), Dharma Oratmangun tata niaga industri musik di Indonesia sudah sangat primitif. Bayangkan saja, lagu ciptaan Presiden Bambang Susilo Yudhoyono (SBY), yang merupakan seorang kepala negara saja tidak bisa dijaga oleh institusi hukum. Bagaimana dengan yang lain?
Tata niaga industri musik Indonesia sudah selayaknya untuk ditata ulang. Pasalnya, ada beberapa kalangan industri musik yang tidak mau transparan dalam pemberian royalti. Hal ini dikarenakan sistem kontrolnya tidak jalan. Kalau ini dibiarkan terus menerus, lama-lama industri musik bisa mati.
Untuk restrukturisasi tersebut, kita harus ikut berperan serta bersama-sama mengawal proses revisi UU 19/2002 tentang Hak Cipta yang tengah bergulir di DPR. Karena bisa saja ada beberapa kalangan yang berupaya membelokkan substansi UU tersebut, misalnya dengan berlindung pada hak rakyat untuk merekam suara.
Selain itu, PAPPRI juga harus menyebarluaskan pemahaman tentang hak moral dan ekonomi sebuah karya cipta musik dan lagu. Aspek sosialisasi itu juga sangat penting, di samping aspek pengaturan dan penegakan hukum. Karena tiang utama tegaknya sistem di bidang hak cipta, khususnya untuk musik dan lagu sebenarnya ditopang oleh masyarakat musik atau lagu itu sendiri.
Kesadaran kita sebagai masyarakat akan pentingnya untuk menghargai hak cipta orang lain, menjadi tiang utama untuk memberantas tindakan pembajakan musik. Karena kitalah yang menjadi konsumen dari musik-musik bajakan tersebut. Jika kita tak membelinya, maka industri musik bajakan di negeri ini perlahan-lahan akan bangkrut sendiri. Oleh karena itu, sudah saatnya kita malu membeli barang-barang bajakan.
* Dimuat di Harian Analisa (Senin, 31 Juli 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar