------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Advertorial

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

search

Sabtu, Agustus 22, 2009

Caleg Wong Cilik Menjawab Kejenuhan Rakyat

Menjelang Pemilu Caleg 2009

Oleh : Adela Eka Putra Marza

Pemilihan Umum Calon Legislatif (Pemilu Caleg) 2009 sudah tinggal menunggu waktu. Pada tanggal 9 April nanti kita akan menggunakan hak suara kita untuk memilih para wakil rakyat yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) nantinya, baik di pusat maupun di daerah. Saatnya kita memilih partai politik, caleg untuk DPR-RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kota/Kabupaten, serta anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).


Ribuan nama terdaftar sebagai caleg, baik untuk pusat maupun di daerah. Berasal dari berbagai latar belakang; politisi, keluarga politisi, aktivis, militer, pegawai negeri, pengusaha, bahkan sampai dari kalangan selebriti. Namun yang cukup menarik dan menjadi perhatian bagi kita adalah caleg dari kalangan wong cilik alias rakyat biasa. Jangan salah, ada caleg yang merupakan petani, loper koran, penjual sate, bahkan ada yang merupakan tukang becak dan pengamen.

Seperti di Kabupaten Tasikmalaya. Sekitar 400 caleg yang akan memperebutkan 50 kursi DPRD Kabupaten Tasikmalaya dalam Pemilu 2009 nanti yang tersebar di tujuh daerah pemilihan, sekitar 30 orang di antaranya adalah petani. Mereka ini benar-benar memiliki lahan pertanian dan ikut menggarap sendiri lahannya, di samping memiliki buruh tani penggarap.

Di Bekasi juga ada caleg yang merupakan petani. H B Anton yang lebih dikenal dengan sebutan H Anton di kalangan masyarakat petani, merupakan salah satu caleg dari petani di antara sekitar 800 caleg yang memperebutkan kursi DPRD Kabupaten Bekasi. Caleg nomor urut 1 dari Partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya) ini akan bertarung di Daerah Pemilihan (Dapil) VI Bekasi, yaitu Kecamatan Cikarang Utara, Cikarang Timur dan Karang Bahagia.

Salah satu petani di Polewali Mandar, Sulawesi Barat, Muhamad Yasin juga mencalonkan dirinya sebagai caleg. Dengan keterbatasan modal, persawahan dan teman-temannya menjadi sasaran sosialisasi dan kampanye.

Dari kalangan loper koran, ada nama Suharno yang maju sebagai caleg DPRD Klaten dari Dapil II Klaten meliputi Kecamatan Gantiwarno, Prambanan, Manisrenggo, Kemalang, Karangnongko dan Kebonarum. Suharno merupakan loper koran atau suratkabar yang terbit mingguan di Klaten. Sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Pemuda Indonesia (PPI) Klaten, ia maju sebagai caleg dari partai tersebut.

Selain itu, ada juga Sri Haryanto, loper koran yang menjadi caleg dari Partai Merdeka nomor urut satu untuk Dapil IV Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Laki-laki lulusan salah satu perguruan tinggi negeri di Purwokerto ini sudah menjadi loper koran selama sepuluh tahun.

Sriati, caleg DPRD Kendal, Jawa Tengah adalah perempuan penjual sate. Ia memanfaatkan profesinya untuk kampanye, dengan mempromosikan dirinya kepada para pelanggan satenya dan memasang stiker wajahnya di gerobak sate.

Juga di Banyumas, bahkan ada pengayuh becak di sekitar pertigaan Ajibarang yang mencalonkan diri sebagai caleg DPRD Banyumas. Tukang becak tersebut adalah Karseno, yang diusung oleh Partai Matahari Bangsa. Dengan modal yang terbatas, Karseno hanya mampu mengampanyekan diri lewat stiker yang dibagikan kepada setiap penumpangnya.

Masih di Jawa Tengah, tepatnya di Wonosobo, seorang seniman jalanan alias pengamen tak ketinggalan ikut berkiprah menjadi caleg DPRD setempat. Salah satunya Sunaryo. Dari pintu ke pintu, Sunaryo memainkan gitarnya yang dibeli dengan kredit, dan kemudian mempromosikan diri kepada warga perihal pencalonannya.

Yang paling fenomenal, mungkin adalah Herdy Aswaudi atau dikenal Edi Bonetsky. Pengamen yang biasanya mencari uang di warung-warung kali lima sekitar Tangerang ini mencalonkan dirinya sebagai caleg DPR-RI. Ia tampil dengan nomor urut lima dari Partai Bulan Bintang untuk Dapil Banten.

Tentu masih banyak lagi rakyat-rakyat biasa yang mungkin selama ini menjadi kalangan minoritas dalam hal kekuasaan dan politik, saat ini muncul menyuarakan aspirasi mereka dan kalangannya dengan maju sebagai caleg. Sebuah fenomena baru sejak kran demokrasi di negeri ini dibuka lebar, termasuk dalam pencalonan caleg. Majunya orang-orang dari kalangan bawah ke panggung politik menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia sudah membuka kesempatan yang selebar-lebarnya bagi setiap warga negara.

Rakyat Sudah Jenuh
Kehadiran orang-orang "kecil" di bursa caleg bisa jadi merupakan indikasi kejenuhan rakyat terhadap para politikus yang selama ini mengaku jadi wakil rakyat. Masyarakat yang tidak tahu apa-apa ini selalu dimanfaatkan para politikus untuk mendulang suara. Di masa kampanye, janji-janji muluk ditebar oleh para caleg demi mendapatkan perhatian dari masyarakat. Tapi setelah kemudian terpilih, tidak ada realisasi dari janji-janji tersebut.

Maka tak heran, jika menjelang Pemilu 2009 ini banyak muncul caleg yang notabene tak punya apa-apa dan tak identik dengan politik. Banyak rakyat biasa yang mencalonkan dirinya sebagai caleg dengan misi untuk langsung menyampaikan aspirasi dari kalangannya yang selama ini sama sekali tidak difasilitasi oleh wakil-wakil mereka, walaupun sebelumnya pada masa kampanye sudah dijanjikan dengan kata-kata serius. Sudah hal yang lumrah jika titipan aspirasi dari rakyat kepada para caleg tidak pernah terwujud.

Selain itu, akan sangat besar kemungkinannya rakyat memilih caleg dari kalangan bawah ini, karena masyarakat sudah jenuh dengan caleg-caleg umumnya yang lebih banyak mengobral janji. Masyarakat sekarang sudah pintar dan tidak mudah lagi dibohongi dengan janji-janji muluk yang sama sekali tak ada efeknya nanti bagi mereka. Yang terjadi malah sering menambah kesengsaraan bagi masyarakat selama lima tahun ke depan.

Rakyat saat ini tidak dapat dibodohi ataupun terprovokasi oleh janji-janji para caleg lagi. Sehingga lebih cenderung apa adanya, bahwa sebuah keinginan dari anak rakyat untuk menjadi wakil rakyat, tentu tujuannya berjuang untuk rakyat. Bisa jadi rakyat akan lebih memilih mereka dibanding caleg-caleg lain pada umumnya.

Ingat, Soal Kualitas
Tidak tertutup kemungkinan, orang kecil yang maju sebagai caleg dalam pemilu tahun ini akan mendapat kursi di DPR maupun DPRD. Pertimbangannya, hal ini terkait dengan popularitas sang calon di kalangan mereka, karena caleg tersebut dekat dengan rakyat serta adanya intensitas pertemuan yang cukup tinggi di antara mereka.

Sudah seharusnya memang para wakil rakyat dekat dengan konstituen. Sehingga akan lebih mudah menampung dan memahami aspirasi dari masyarakat. Jangan hanya memanfaatkannya saja, ingat rakyat ketika butuh suara saja. Selain memang, soal popularitas dan kedekatan ini juga tak ada korelasinya dengan kinerja yang akan dituntut sebagai caleg.

Namun begitu, ada hal lain yang juga harus kita ingat sebagai pemilih nantinya, dan juga bagi para caleg yang berasal dari kalangan yang tidak punya apa-apa ini. Soal kualitas adalah catatan paling penting. Pengetahuan secara umum, terutama dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pemerintahan menjadi hal utama yang harus dimiliki oleh para caleg. Begitu juga dengan caleg wong cilik ini.

Catatan penting ini benar-benar harus diperhatikan oleh para caleg rakyat biasa ini, karena memang pada umumnya mereka berasal dari pendidikan setingkat SMA. Meski tidak juga bisa disebut caleg dari golongan ini berpendidikan rendah. Pasalnya, tidak sedikit juga dari mereka yang justru berpendidikan sarjana.

Selain itu, juga banyak di antara mereka yang memang aktif berorganisasi, baik dalam organisasi partai atau organisasi lainnya. Pengalaman berorganisasi ini secara tidak langsung akan memberikan bekal yang cukup bagi mereka untuk menjadi anggota DPRD yang terhormat. Pengalaman ini nantinya juga akan ditambah dengan pembekalan dari parpol yang mengusungnya, terkait bagaimana berpartai dan bagaimana berkiprah sebagai anggota legislatif.

Jika poin ini sama sekali tak diindahkan, bisa saja yang terjadi mereka malah dimanfaatkan oleh caleg-caleg lain yang sudah mapan dan mendominasi di parlemen nantinya. Mereka akan terlalu mudah tertipu oleh trik-trik politisi yang lebih licik dan pintar. Karena yang berpotensi menjadi lawan politik mereka bukan hanya berasal dari partai lain saja, tetapi bisa jadi juga atasan mereka sendiri atau pimpinan parpolnya, yang mungkin hanya bertujuan memperalat mereka untuk menjaring suara. Bisa saja kan?!

Mungkin kita lihat saja apa yang akan terjadi nanti, ketika para caleg wong cilik ini terpilih menjadi wakil rakyat. Kita akan memantau bersama kinerja mereka. Yang jelas, soal kualitas ini tetap jadi catatan penting yang harus kita perhatikan bersama. Dan yang paling penting lagi adalah kepedulian dan usaha mereka nanti untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jangan sampai masyarakat kehilangan kepercayaan lagi. Jika itu terjadi, pada siapa lagi kita akan menitipkannya?

* Dimuat di Harian Global (Rabu, 8 April 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar